Jantung Aleyah berdebar lebih kencang dari biasanya. Mereka baru saja menyelesaikan makan malamnya di salah satu resto resort ini. Dan sekarang, mereka berdua tengah duduk di pinggiran ranjang dengan Marco yang sibuk dengan ponselnya. Sedangkan Aleyah, jangan ditanya dia sedang mengatur deru nafas, detak jantung, detak ginjal, bahkan sampai detak paru pun Aleyah sedang meminta mereka untuk tidak perang. Mencoba untuk menarik selimut, hal itu malah langsung membuat Marco menahan tangan Aleyah.
Tentu saja wanita itu langsung menatap Marco dengan heran. Matanya yang kecil berkedip beberapa kali. "Ada apa?" tanya Aleyah gugup.
Marco tahu jika wanita itu tengah gugup berhadapan dengannya. Tapi dia sudah mengatakan kalau dia akan menyentuh Aleyah jika wanita itu mengizinkan. Dan malam ini Marco membutuhkan jawaban itu.
Debaran jantung Aleyah semakin tak beraturan, dia pun mencoba untuk biasa saja, tapi tetap saja Aleyah tidak pandai menyembunyikan apa yang dirasakan.
"Jadi … bagaimana?" ucap Marco membingungkan. Aleyah menoleh sejenak, terlihat jelas rakyat wajah Aleyah yang bingung dengan pertanyaan Marco. Hingga membuat pria itu tertawa kecil. "Saya hanya menagih jawaban kamu saja. Apakah bisa saya menyentuhmu malam ini atau tidak?" tanyanya tertawa kecil.
Aleyah semakin menundukkan kepalanya, pertanyaan apa yang Marco lontarkan? Terlalu sibuk memikirkan pertanyaan apa yang Marco lontarkan, sampai Aleyah tidak sadar jika Marco sudah menarik tangannya untuk mendekat. Bahkan ketika Aleyah menoleh menatap Marco, barulah Aleyah sadar tentang pertanyaan yang Marco lontarkan.
"Anu … itu ya." Aleyah terlihat gugup dengan hal ini. Mencoba untuk menarik tangannya, Marco malah menahannya. "Bo-boleh Mas. Lagian … kita kan udah sah menjadi suami istri." lanjutnya.
Marco mendesah pelan, dia pun bangkit dari duduknya dan menuju koper hitam miliknya. Mengeluarkan anggur merah dari koper hitam miliknya. Membawanya di depan Aleyah dengan senyum yang mengembang.
"Ini apa Mas?" dia terlihat asing dengan botol warna hitam di tangan Marco. Isinya terlihat jelas tinggal setengah. "Mas kenapa bawa botol kecap?" pertanyaan polos itu membuat Marco tertawa kecil.
Pria itu menjelaskan jika dia sengaja membawa anggur merah kesukaannya ke resort. Dia ingin menikmati anggur merah ini bersama dengan Aleyah. Ingin menikmati malam ini dengan suasana yang berbeda, Marco terlalu terbiasa dengan mabuk. Dan ingin menikmati tubuh Aleyah dengan keadaan seperti ini agar sama-sama menikmati rasa nikmat yang luar biasa.
Sejujurnya bukan itu, hanya saja Marco ingin menyingkirkan rasa bersalah nya ketika menyentuh tubuh Aleyah.
"Tapi aku gak pernah mabuk Mas. Gak pernah minum begituan." ucap Aleyah menunduk.
"Gak masalah. Asal masuknya sama saya, bukan sama yang lain."
Aleyah mendongak langsung, jantungnya kembali berdebar ketika Marco memberikan satu gelas kecil dengan isi setengah. Aromanya tidak begitu menyengat, bahkan bisa dikatakan manis. Sambil menatap Marco, hingga pria itu memberikan aba-aba meminta Aleyah untuk segera meneguk nya dengan perlahan. anggur ini tidak bisa dinikmati sekali teguk, minumnya pun harus pelan dan nikmat.
Sesuai dengan instruksi Marco, Aleyah meneguk minuman itu dengan pelan. Rasanya panas sampai di tenggorokan Aleyah hingga membuat wanita itu nyaris saja mengeluarkan kembali
"Jangan dikeluarkan, kalau terasa mual kamu bisa mendorongnya dengan air putih."
Lagi!! Aleyah kembali menuruti apa yang Marco katakan, mengambil botol air minum Aleyah langsung meneguk air putih itu hingga rasa mualnya hilang.
Melihat wanita penurut membuat Marco tersenyum. Dulu, Tamara juga seperti itu menuruti apapun yang Marco katakan. Bahkan ketika masih menjadi kekasih, Tamara sering membawakan dia makanan yang katanya dia sendiri yang masak. Namun, ketika sudah menikah semuanya berubah. Tamara memulai bisnisnya dengan temannya, membangun butik dan meraih mimpi yang sempat tertunda. Dia tidak ingin anak, tidak mau memasak atau melakukan apapun selain bekerja dan melayani Marco diranjang. Karena menurut Tamara, tidak hanya wanita itu saja yang bisa melakukan pekerjaan rumah tapi juga Marco. Hingga akhirnya ada banyak sekali pembantu rumah tangga di rumahnya yang memiliki tugas masing-masing.
Anggur merah ini tinggal sedikit, Marco masih bisa melihat Aleyah yang anteng dalam duduknya. Wanita itu hanya mengerjapkan matanya lucu. Tubuhnya yang sudah memerah karena alkohol.
"Tunggu!!" seru Aleyah ketika melihat samar-samar tangan Marco yang ingin menyentuhnya. "Aku ingin ke kamar mandi dulu, Mas. Kebelet pipis." katanya.
Marco mengangguk. "Mau aku bantu?"
"Tidak. Aku bisa sendiri."
Baru juga menurunkan kakinya, Aleyah langsung ambruk ke lantai. Tentu saja hal itu langsung membuat Marco menggeleng pelan, dia membantu Aleyah bangkit dan menuntunnya ke kamar mandi. Bahkan Marco juga masih mendengar celoteh Aleyah tentang hidupnya yang penuh dengan kesengsaraan. Dari ayahnya meninggal karena kecelakaan, kakaknya masuk penjara karena membunuh orang. Harusnya Aleyah bersyukur karena Marco mau menikahinya? Atau malah ini akan menjadi musibah barunya untuk Aleyah?
Keluar dari kamar mandi, hanya dengan menyembuhkan kepalanya. Aleyah mengaduh pusing, dia tidak bisa jalan jika tidak ada alat bantu yang menopang dirinya. Tentu saja Marco langsung gerak cepat, dia langsung menggendong Aleyah untuk kembali ke ranjang. Dan tentunya, Marco juga langsung menjalankan aksinya untuk membuat Aleyah untuk cepat hamil.
***
Karena sinar matahari yang menusuk kedua bola mata Aleyah, wanita itu memilih menarik selimutnya hingga menutup kepala. Bahkan Aleyah juga sampai membalik badannya, memunggungi jendela resort agar cahaya itu tak menyilaukan matanya. Namun, ketika tangan kiri Aleyah tak sengaja melewati guling, yang ada perempuan itu malah merasakan ranjang di sampingnya kosong. Tentu saja Aleyah langsung membuka matanya lebar untuk memastikan jika Marco benar-benar tidak meninggalkan dirinya.
“Mas … ,” panggil Aleyah panik. Dia melihat sekeliling kamar resort dan tak menemukan Marco sama sekali. Suara Aleyah juga tidak kecil, bahkan bisa dikatakan cukup jika berteriak orang tuli pun bisa mendengar. “Mas Marco … .” panggil Aleyah kembali.
Wanita itu panik, dia mencoba untuk menurunkan kakinya. Namun kepalanya kembali berdenyut nyeri hingga membuat Aleyah berteriak.
Sedangkan Marco yang baru saja masuk ke dalam kamar pun terkejut mendengar teriakan Aleyah. Dia pun langsung mendekati wanita itu yang memegangi kepalanya dan membiarkan selimut tebal terjatuh di atas pangkuannya. Buru-buru Marco menutup tubuh Aleyah bagian depan dengan selimut itu dan mencoba mereguhnya dan memeluknya.
“Ada apa? Kepalamu pusing lagi?” tanya Marco pelan.
Aleyah mengangguk. Dia hanya merasa pusing saja, mungkin efek bangun tidur yang langsung panik karena Marco tidak ada. Wanita itu berpikir jika Marco telah meninggalkan dirinya di kamar resort ini dengan biaya yang membengkak. Dan yang jelas Aleyah tak mungkin mampu membayarnya meskipun dia harus satu tahun bekerja di salon.
“Saya tidak mungkin meninggalkan kamu. Lebih baik kamu mandi, membersihkan diri lebih dulu setelah itu kita sarapan.”
Aleyah mengangguk lemah, dia kembali menarik selimut yang menutupi tubuhnya dengan pelan. Berjalan dengan tertatih, karena merasa tidak nyaman dengan bagian bawahnya yang terasa sakit dan nyeri.
Ketika berada di dalam kamar mandi, Aleyah menurunkan selimut itu di lantai kering kamar mandi ini. Dia melihat tubuhnya yang banyak sekali bercak-bercak merah kebiruan akibat ulah Marco. bahkan juga bekas cengkeraman yang cukup kuat di lengan bagian atas tubuh Aleyah. Wanita itu menghela nafasnya berat, berjalan pelan sambil menahan rasa sakit. Akhirnya wanita itu berhasil masuk ke dalam bathup, menyalakan shower dan juga memainkan sabun di dalam sana, setidaknya tubuh Aleyah membutuhkan sesuatu yang dingin meskipun terasa perih.
Dan sialnya, dia malah lupa mengunci pintu kamar mandi ini sehingga membuat Marco nyelonong masuk ke dalam bathup.
“Mas kamu mau ngapain!!” pekik aleyah kaget. Dia baru saja merasakan me time dengan sabun, bahkan Aleyah berpikir jika dia akan merendam dirinya selama tiga puluh menit untuk menghilangkan rasa pusingnya. Tapi yang ada …
“Kita belum melanjutkan aktivitas kita semalam.” kata Marco terang-terangan.
Mata Aleyah membulat seketika, semalam mereka ngapain saja Aleyah tidak ingat apapun karena terlalu banyak minum anggur. Dan sekarang Marco bilang melanjutkan aktivitas semalam? Terus ini selakangan Aleyah sakit karena apa?
“Mas tapi—”
Marco langsung menyumpal mulut Aleyah dengan bibirnya agar wanita itu diam. Marco juga langsung memposisikan dirinya untuk permainan yang kesekian kalinya. Kali ini tidak boleh gagal, dia sudah seperti penjepit yang membuat Marco ingin terus menyentuhnya. Penjepit kecil yang memberikan kenikmatan seperti sebelumnya.
***
Satu setengah jam, akhirnya Marco dan juga Aleyah keluar dari kamar mandi. Mereka berdua terkejut ketika melihat beberapa staff resort yang berada di dalam kamar mereka. Tentu saja para staff langsung menunduk malu, melihat pasangan suami istri ini keluar dari kamar mandi berdua dengan keadaan setengah basah.
“Maaf pak, kami lancang masuk. Pintunya gak dikunci dan masih buka, Bapak juga menelpon untuk mengganti sprei dan juga memberishkannya. Kami juga–”
“Cukup!!” Marco berseru sambil mengangkat tangannya ke udara, sehingga membuat ucapan staff itu berhenti. “Saya tahu, karena saya yang menyuruh kalian datang. Terimakasih.” Marco mengambil uang lembaran warna merah dua lembar, lalu dia berikan pada mereka sebelum pergi. Tentu saja hal itu langsung membuat mata Aleyah mendelik. uang segitu sudah dipastikan bisa menampung hidup Aleyah selama satu bahkan dua minggu.
Aleyah menunduk ketika para staf itu melihatnya, dia bahkan menyibukkan diri untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Jujur saja pengalaman pagi ini mendadak membuat Aleyah mual jika mengingatkannya. Dia bisa melihat sesuatu yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia lihat. Badan Marco yang terpahat sangat bagus, lengan yang dipeluk terasa nyaman. Hingga bibir itu … mengingatnya saja membuat kedua pipi Aleyah memerah.
Berjalan ke arah tas kecil miliknya, Aleyah mengambil satu baju dan juga celana panjang yang akan dia kenakan. namun, Marco langsung menaruh kembali baju Aleyah di atas kopernya.
“Kenapa dibuang Mas? Aku mau pakai baju.” ucap Aleyah gugup.
"Itu juga baju."
Aleyah tahu jika ini juga baju, tapi kan ini bukan baju yang bisa dikenakan bebas. Ini baju mandi, tidak mungkin satu hari ini Aleyah mengenakan baju mandi seperti ini. Aleyah juga ingin keluar kamar untuk menghirup udara segar, atau mungkin menikmati pemandangan yang ada. Bukan berarti dia juga harus mengenakan baju mandi ini kan?
Tentu saja tidak. Tapi jika Aleyah ingin juga tidak masalah, toh, siapa yang akan menatap atau bahkan membicarakan Aleyah? Ini kota, bukan pinggiran kota atau mungkin desa, yang dimana setiap apa yang dia kenakan selalu menjadi pembicaraan orang. disini, Aleyah bisa mengenakan apapun yang dia inginkan, termasuk hanya dengan lilitan handuk saja.
Mata Aleyah mendelik, dia tidak peduli jika Marco akan melarangnya kembali. Yang jelas Aleyah akan tetap mengenakan baju. Peduli setan jika Marco akan marah padanya, Aleyah sama sekali tidak peduli.
Alis Marco terangkat sebelah, dia menatap Aleyah yang masuk ke dalam kamar mandi hanya untuk mengganti bajunya. Sedangkan Marco yang memiliki kesempatan, langsung menghubungi Tamara. Istrinya itu belum juga pulang, sedangkan Marco ingin sekali menghabiskan waktu bersama dengan Tamara. Lagian, wanita itu juga berjanji untuk makan malam kan? Dalam waktu satu minggu kedepan, Marco harap Tamara sudah kembali ke rumah.
Menaruh kembali ponselnya, Marco kembali memanggil Aleyah untuk duduk di sampingnya. Sarapannya sudah siap untuk mereka nikmati. Ada pasta, daging dan juga beberapa sayuran. Bahkan ada juga sepiring nasi putih jika Aleyah merasakan kurang kenyang.
"Katanya, sayur ini bagus untuk kandungan." ucap Marco terang-terangan.
Aleyah harus menarik nafasnya berat, dia tahu setelah menikah dan setelah melakukan hal itu tujuan mereka hanya memiliki anak. Tapi kan masalahnya tidak bisa secepat itu. Pikiran, body Aleyah tidak boleh lelah dan stres, pembuahan juga tidak boleh setiap hari. Kalau setiap hari harus melakukan begitu, dengan durasi yang cukup lala dan beronde-ronde, yang jelas tubuh Aleyah akan kelelahan dan sulit untuk hamil. Mengingat usianya sudah tiga puluh tahun, dan tentunya agak kesulitan untuk mendapatkan anak. Dia hanya memasrahkan pada Tuhan saja perkara anak. Di kasih ya syukur, jika tidak henti saja tidak masalah.
Menghabiskan setengah nasi, sayur dan sepotong daging, Aleyah sudah merasa kenyang. Apalagi Marco yang sejak tadi terus saja menatapnya tanpa berkedip. Pria itu juga tidak menyentuh makanannya kecuali jus jeruk. Dan yang jelas hal itu mampu membuat Aleyah gugup.
Marco tersenyum, "Kali ini ada salah satu temanku datang untuk membahas bisnis. Kita akan makan siang di restoran resort ini, mau ikut?"
Aleyah menggeleng, "Tidak. Aku di kamar saja, lagian aku bingung mau ngapain Mas kalau ketemu temen kamu."
"Kenalan mungkin?"
Dan Aleyah bukan tipe seperti itu. Dia bukan tipe orang yang mengenalkan dirinya secara langsung pada orang yang tidak dia kenal. Aleyah tipe orang malu dan minder, jika bukan karena budenya mana mungkin Aleyah bisa sedekat ini dengan Marco. Meskipun dia hanya bertemu sekali dalam hidupnya.
Tapi disini, Marco meminta Aleyah untuk ikut. Berguna atau tidak, itu bukan masalah. Yang penting Aleyah ikut makan siang dengan mereka. Marco tidak mungkin membiarkan Aleyah kelaparan di resort ini dan menunggu Marco. Meeting kali ini cukup lama, untuk membahas proyek baru mereka. Jadi, lebih baik Aleyah ikut saja dibanding di kamar seorang diri.
"Tapi Mas–"
"Tenang, ada aku. Jadi jangan khawatir." potong Marco hingga membuat Aleyah diam seketika. Apa iya dia harus ikut?
To be continued