Aku minta tap love-nya ya, Kak. Terima kasih.
———
"Kamu ngapain di sini?" Aku terkaget ketika Majid menepuk pundakku tiba-tiba. Ngapain juga sih dia di sini, aku kan sedang fokus mendengarkan apa yang dibicarakan Maura, Aura, dan juga orang-orang itu. "Cepat kerja! Pak Yuda mau sejam lagi meja depan sudah penuh dengan hidangan yang sempurna!" lanjutnya membuatku lebih syok.
Hidangan yang sempurna? Berarti tanpa cacat sedikit pun dari rasa ataupun tampilan? Ya ampun, mana bisa secepat ini.
"Enggak ada waktu lagi, ayo ikut!" Majid langsung menarik tanganku untuk pergi mengecek makanan yang akan dihidangkan. Setelahnya aku langsung pergi ke dapur untuk melihat makanan apa yang sudah siap.
"Mana yang sudah selesai dimasak?" Aku mulai memperhatikan semuanya satu persatu. Termasuk rasa dan bentuk. Tentu saja butuh waktu sekitar dua jam untuk memenuhi meja di depan dengan hidangan yang sempurna.
Kini pikiranku dipaksa untuk fokus ke sini, padahal sangat penasaran dengan perbincangan wanita pandai berpura-pura itu.
Huh lihat saja nanti.
Setelah semua hidangan sudah siap, kini aku dan Majid bisa bernapaskan lega. Akhirnya selesai juga.
Aku terpaku ketika melihat orang-orang yang ada di gedung tadi sudah duduk rapi di depan meja. Bahkan Aira dan Maura juga ikut di sana. Apa-apaan dia ini? Mulai lagi. Huh, bikin malu.
Beberapa kali aku memberikan isyarat kepada kedua orang itu agar menjauh dari meja, tapi tetap saja mereka seolah abai. Padahal aku sangat yakin kalau mereka melihatku di sini.
"Sini, Pak!" Maura memanggil Majid untuk ke sana, tapi teman yang ada di sebelahku hanya diam sama. Sudah pasti Majid juga ragu kalau dia yang manggil.
"Kalian berdua, sini duduk!" Pak Yuda ikut memanggil,kok lagi-lagi Maura tahu kalau kita berdua akan dipanggil?
Kita pun langsung berjalan mendekat ke arah mereka. Ternyata diminta untuk duduk dan makan bersama, kebetulan aku duduk di antara Maura dan Aira. Aku jadi bisa memberitahu batasan yang tidak boleh mereka lewati.
"Mari makan!" titah Pak Yuda. Bunyi peraduan sendok, garpu, dan piring sudah terdengar.
Sementara aku masih diam. "Untuk apa kau di sini Maura?” bisikku geram. Andai saja di rumah, mungkin aku sudah mencaci makinya.
"Andai saja aku punya Papa seperti Pak Yuda, pasti aku udah bangga banget." Aira tiba-tiba bicara omong kosong.
Beraninya dia bandingkan aku dengan Pak Yuda, tentu saja beda jauh. Tapi tetaplah aku lebih muda darinya.
"Harusnya kau di rumah, didik anakmu dengan benar!" bisikku lagi, tapi Maura tidak membalas satu pun. Dia tetap saja diam sambil makan dengan lahap.
Pak Yuda tertawa pelan. "Papamu juga pasti hebat, kalau tidak, mana mungkin Mamamu mau jadi istrinya."
Hidungku langsung kembang-kempis ketika mendengar pujiannya. Benar, aku memang hebat. Sayangnya Maura tidak demikian.
Setelah selesai makan, aku pun langsung bangun dari duduk. Tapi Maura menahan lenganku dari bawah dan ia pun ikut bangkit. "Aku Bosnya di sini," bisiknya membuatku spontan tertawa, bahkan semua orang sampai menatapku heran.
"Kalau begitu, akulah presiden di negara ini!" ucapku bangga, lalu kembali melanjutkan langkah ke kasir untuk menghitung jumlah uang yang akan disetorkan ke Pak Yuda.
****
"Kamu sepertinya benci banget sama istrimu, kenapa?" tanya Majid heran.
Andai saja bukan dia yang tanya, aku pasti sudah menghiraukannya. Tapi karena yang bertanya teman seperjuangan, aku harus menjawabnya.
"Semuanya berawal dua belas tahun lalu, aku punya pengasuh yang sudah merawatku dari bayi sampai berusia tujuh belas tahun. Setelahnya ia bekerja bantu Mamaku. Namun tiba-tiba ia berhenti ketika aku berumur dua puluh tiga tahun. Katanya, putri satu-satunya akan segera menikah." Aku mulai bercerita.
"Esoknya aku mendengar kalau pernikahan Mbok Jum dibatalkan dari pihak suaminya dan orang tuaku iba. Tanpa angin dan hujan, mereka langsung memaksaku untuk menikahi putrinya itu. Padahal saat itu aku punya seseorang yang selalu kurindukan."
"Waktu itu, Papa sedang dirawat karena jantungnya kumat, dan membaik ketika mendengar aku akan menikah dengan anaknya Mbok Jum yang ternyata hanya anak angkat. Maura punya orang tua kandung yang setara dengan keluargaku. Jadi Mama mengharuskan untuk menikahinya, kalau tidak, orang yang kusukai akan berada dalam bahaya." jelasku lagi.
Majid terheran. "Terus kamu percaya?"
"Aku percaya, Mamaku gak segan-segan untuk bertindak jika itu menyangkut Papa. Aku juga setuju, karena ternyata orang tuanya Muara kaya. Jadi yakin kalau dia adalah gadis yang tidak memalukan, tapi ternyata pekerjaannya hanya rebahan dan dia hanya lulusan SMK. Setelahnya aku jadi ingin membatalkan rencana pernikahannya, tapi tidak bisa."
"Sialnya lagi, baik orang tuaku ataupun orang tuanya tidak memberikan apapun untuk kami. Katanya cukup dengan gajiku." Kini air mata kembali turun ketika aku mengingat tentang Ismi.
Si Bunga Kampus dan pemilik butik terbesar di kota ini. Tapi karena perjodohan bodoh ini, aku jadi terpisah dengannya. Awalnya aku pun menolak untuk punya anak, tapi Papa kembali kumat dan meminta cucu, aku lagi-lagi tidak bisa menolaknya.
"Mungkin kamu memang ditakdirkan untuk menjadi suami dan papa yang baik, Fer. Maura sangat cantik, jangan sampai dia direbut orang lain." Majid berbicara konyol.
Mana mungkin ada yang mau sama Maura? Kalau lihat fisik saja sih bisa, tapi setelah tahu dia tukang rebahan, sudah pasti akan langsung dibuang.
Di zaman sekarang, istri juga harus bisa menghasilkan uang. Kalau tidak, miskinlah sudah sepertiku sekarang. Mau apa-apa harus nabung lama banget.
****
Setelah jam sepuluh, aku baru bisa pulang. Sesampainya di rumah, lampu di semua ruangan masih menyala dengan terang, dan terdengar suara orang-orang tertawa.
"Kamu baru pulang?" Mama mendekat ke arahku.
"Wah, Mama di sini?" Aku sedikit kaget orang tuaku ada di sini. Apa mau memberikan sesuatu, ya?
Jangan-jangan tanah? Rumah? Apa mungkin uang miliaran? Yah, sudah pasti begitu.
Aku langsung memeluk mereka erat, biasanya akan semakin baik kalau dipeluk begini.
"Kami di sini hanya mau mengingatkan, kalau kamu baru akan mendapatkan warisan jika menantu dan cucuku bahagia. Jika tidak, bersiaplah untuk tidak mendapatkan sepeser pun!" ancamnya membuatku panas dingin.
Bisa-bisanya orang tuaku zalim seperti ini, jelas-jelas akulah anaknya. Bukan Maura.
Jangan lupa untuk tap love-nya ya, Kak. Cerita ini untuk sementara akan update seminggu sekali. Setelahnya, baru update tiap hari, ya. Yuk, bantu share juga, Kak, agar bisa baca tiap hari.
Terima kasih banyak, semoga sehat selalu, dan dilimpahkan rezekinya, ya. Jangan lupa tap love sama follow akun aku, ya. Love you so much.