bc

Ajari Aku Untuk Lupa

book_age18+
18
IKUTI
1K
BACA
love-triangle
HE
friends to lovers
drama
serious
city
office/work place
like
intro-logo
Uraian

Shafia merasa dilema dengan hubungannya bersama Rhadi, pria beristri yang sebentar lagi melahirkan putri pertamanya, di sudut hatinya paling dalam ia ingin mengikhalsakan kekasihnya namun lagi-lagi Radhi meyakinkan dirinya kalau hubungan mereka akan berjalan lancar yang membuat Shafia berkali-kali gagal move on.

Rizfan harus berbesar hati menerima sosok Agatha, mantan kekasihnya menjadi sosok ibu sambungnya, perempuan yang cintai lebih memilih ayahnya yang memang memiliki kemapanan finansial dari pada dirinya, seorang dosen baru dengan gaji yang tidak seberapa.

Kesamaan itu membuat Shafia dan Rizfan memutuskan untuk saling mengisi ruang yang seharusnya tidak mereka isi karena hanya membuat luka satu sama lain.

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab1 Pertahanan Diri
“Shafia, setelah ini ke ruangan saya, ada beberapa hal yang ingin saya bahas sama kamu.” Shafia tersentak ketika merasakan tangan besar itu menyentuh pundaknya. “Baik, Pak.” “Jangan lama, aku kangen.” “Rad! Jangan ngaco kita lagi di kantor!” tegur Shafia ketika dengan santainya Radhi mengatakan hal seperti itu di kantor, dan ia yakin kalau Adis hanya pura-pura tidak dengar dengan apa yang dikatakan Radhi barusan padanya. “Kamu tenang saja enggak ada orang selain kita bertiga, Sayang.” Shafia melirik ke kiri dan ke kanan, syukurnya memang tidak ada siapa pun selain ia, Radhi dan juga Adisti yang tampak tidak peduli. “Aku tunggu secepatnya, Sayang.” Shafia tidak dapat menahan bibirnya untuk tersenyum mendengar kalimat terakhir Radhi. Shafia melirik Adisti, gadis itu berjalan terburu-buru menarima panggilan entah dari siapa, hal itu tidak disia-siakan oleh Shafia tentu saja. Tanpa perlu mengetuk pintu, dengan santainya Shafia membuka pintu ruangan ketua divisi keuangan sekaligus pacar rahasianya. Selain aturan kantor yang melarang untuk sesama pegawai memiliki hubungan asmara, laki-laki itu sudah memiliki istri dan sebentar lagi akan memiliki seorang anak, bisa dibilang dirinya adalah simpanan Radhi. Meski begitu pada dasarnya mereka sudah bersama jauh sebelum laki-laki itu menikahi pilihan orang tuanya, Shafia tidak menyalahkan keputusan orang tua Radhi karena memang hal itu sudah menjadi budaya mereka dengan memilihkan jodoh untuk anak-anaknya dan saat itu Shafia belum ada niatan untuk menikah dan mungkin sampai detik ini, hanya saja ia tidak mau meninggalkan Radhi. Setelah laki-laki itu menikah, mereka sepakat untuk berpisah baik-baik hingga satu tahun setelahnya, Radhi kembali mendekatinya dan berulang kali meyakinkan dirinya yang akhirnya membuat Shafia luluh, terlebih Radhi sudah berniat melepaskan sang istri karena laki-laki itu mengaku belum bisa menerima istrinya. “Ngakunya enggak cinta, tapi istrinya tetap bunting, hmm?” “Aku laki-laki normal yang memiliki istri, dan asal kamu tahu setiap aku menyentuhnya aku selalu memabayangkan kalau perempuan itu adalah kamu.” “Jahat!” “Aku tahu, tapi aku tidak punya pilihan lain, bukan? Yang aku mau Shafia bukan Shania.” “Selamat siang, Pak Radhi.” Shafia tersenyum lebar ketika melihat laki-laki itu tampak sedang menunggunya. Radhi bangkit dari duduknya menyingsingkan kemejanya sampai ke siku. Shafia selalu merasa terpesona dengan apa pun yang laki-laki itu lakukan, hanya dengan gerakan sederhana itu mampu membuat bibirnya merekah lebar. “Aku benar-benar rindu sama kamu, aku hampir mati menahan rindu setelah satu minggu tidak bisa melihat senyum manis kamu, Sayang.” Shafia menipiskan bibirnya mendengar keluhan kekasihnya yang sangat menggelikan namun ia tetap menyukainya. “Calon ayah yang baik emang harus ada di saat istrinya sedang sakit.” Shafia ingin sedikit menggoda Radhi yang satu minggu ini absen tidak masuk kerja dikarenakan mengurus Shania yang bolak-balik masuk rumah sakit. “Kita jangan bahas yang lain dulu, aku sedang tidak ingin membahas orang lain di antara kita, oke?” Shafia mencebikkan bibirnya. “Memangnya kamu enggak rindu sama aku, hmm?” Shafia menyambut dengan suka cita ketika Radhi mulai menciumnya, memuji kecantikan dirinya yang membuat Shafia semakin luluh dan tidak menolak sedikit pun dengan apa yang dilakukan Radhi padanya, sejujurnya ia pun juga merindukan laki-laki itu. “Rad!” Shafia mulai meronta tidak nyaman ketika laki-laki itu menidurkan dirinya di atas sofa yang ada di ruangannya,bahkan tanpa ia sadari bajunya sudah setengah tersingkap. “Rad, stop! Jangan terlalu jauh atau kita tidak akan bisa berhenti sama sekali, hargai pilihan aku sekali pun aku juga sama menginginkannya.” Shafia hampir menangisi kebodohannya dengan hampir menyerahkan tubuhnya pada laki-laki itu. “Aku minta maaf, aku benar-benar kelewatan dan hampir melupakan janjiku sama kamu.” Shafia mengangguk saja, mau marah pun rasanya juga percuma, karena tidak dipungkiri ia pun memiliki naluri yang sama hanya saja akalnya masih sangat berfungsi untuk menolak keinginan laki-laki itu dan mungkin juga keinginannya sendiri. “Udah dulu kangen-kangennya, kerjaan aku masih banyak, jangan lagi recokin aku dengan seenaknya minta ke sini.” “Rad?” panggil Shafia ketika laki-laki itu tampak diam setelah percintaan gagal mereka. “Yah?” “Tidak ada, kalau gitu aku keluar dulu, yah?” Radhi mengangguk kecil meski begitu Shafia tahu kalau Radhi cukup keberatan dengan keinginannya. Setelah merapikan pakaian dan menata rambutnya yang berantakan ulah kekasihnya, Shafia membuka pintu yang tadi sempat dikunci Radi ketika laki-laki itu akan, yah begitulah. “Nanti malam aku ke apartemen kamu.” Shafia kembali menoleh ke belakang mengangguk sejenak sebelum meneruskan langkahnya kembali ke mejanya. “Habis tempur berapa ronde, Mba? Tuh lipstick udah belepotan.” Adisti melempar kotak tisu miliknya ke atas meja Shafia yang tentu saja langsung Shafia aplikasikan ke wajahnya namun tidak ada noda lipstick yang menempel di tisu tersebut. “Dis?!” “Nggak usah panik gitu yang ada kamu bakalan ketahuan habis ngapa-ngapain di dalam sana.” Adis melempar ponsel kearah Shafia yang tentu dengan refleks berhasil ditangkap oleh Shafia. “Sori tadi aku angkat panggilan dari tante Bening, soalnya berisik ganggu yang lain pada kerja.” “Thanks.” Shafia tidak menggubris ucapan perempuan itu dengan kembali fokus pada pekerjaannya yang sempat tertunda usai meladeni kekasihnya. “Masih mau ngambek sampai kapan kamu sama orang tua sendiri, Shaf? Kurang-kurangin gede-gedean ego, mumpung mereka berdua masih hidup sering-sering pulang tanpa harus nunggu mereka negmis-ngemis dulu, kualat baru tahu rasa.” Shafia tidak mendengar ocehan dari Adisti dengan terus bekerja, namun setelah Adisti pergi barulah Shafia membuka ponselnya dan benar saja entah berapa banyak pesan dari mamanya yang belum ia buka. *** “Kamu kenapa sayang? Ada masalah?” Seperti ucapan laki-lai itu tadi siang, saat ini mereka sedang makan malam bersama di apartemennya. “Sayang? Kamu kenapa?” “Aku nggak papa kok, kayanya cuma kelelahan biasa.” Shafia mencoba tersenyum meski begitu ia tahu kalau Radhi tidak akan percaya begitu saja. “Pasti bukan cuma itu aja kan?” Shafia yang semula tidak terlalu berminat dengan makan malamnya semakin kehilangan nafsu makan. “Sayang? Orang tua kamu?” Shafia mendongak dan terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk ragu. “Mama sama papa ngerecokin aku soal pernikahan, belum lagi tadi aku dapat pesan kalau papa masuk rumah sakit tapi untungnya tidak perlu sampai menginap, sepertinya cuma kelelahan biasa.” Shafia mengusap keningnya yang terasa berdenyut. “Bagaimana kalau kita menemui orang tua kamu, Sayang?” “Kamu gila? Mau bilang apa sama mereka? Jangan ngaco, Rad!” Shafia tersenyum gusar mendengar penuturan Radhi yang tidak masuk akal. “Kamu dengarin aku dulu, kita bisa bicara sama mereka pelan-pelan setidaknya mereka tahu kalau kamu punya aku, dan kita serius dengan hubungan ini.” Shafia menggeleng kuat. “Rad, kamu enggak akan bisa meyakinkan orang tua aku sampai kapan pun sebelum kamu punya status yang jelas, dan ada hal yang belum aku ceritakan mengenai orang tua aku sama kamu.” “Kita belum mencoba sayang, aku yakin bisa menghadapi orang tua kamu. Kamu percaya sama aku kan?” “Dengan apa? Pura-pura kalau kamu itu single yang berarti kita berbohong? Atau mengaku kalau kamu punya istri dan statusku adalah orang ketiga, begitu?” “Kenapa kamu berpikiran sejauh itu? Kita bisa bicara pelan-pelan, kamu tahu betul aku sedang mengurus perceraianku dengan Shania.” Shafia menggeleng kuat, ia masih bersikukuh dengan pilihannya untuk menutupi hubungan gelapnya bersama Radhi. “Kamu enggak perlu ikut campur dengan urusan aku, Rad!” Tanpa memerdulikan makan malamnya yang belum ada ia sentuh, Shafia memilih masuk ke dalam kamarnya dan menenangkan diri di balkon kamarnya. Shafia menarik napas dalam beberapa kali hingga ia mulai tenang. “Sayang.” Shafia diam saja ketika mendengar suara Radhi menyusulnya ke balkon. “Maafin aku sayang.” Sahafia masih diam namun tidak menolak ketika Radhi memeluknya. “Kalau kamu emang enggak nyaman aku bahas orang tua kamu, aku enggak bakal bahas itu lagi sampai kamu sendiri yang memintanya untuk kita bahas, maafin aku dan jangan marah lagi.” Shafia berbalik arah menatap kekasihnya, namun tidak mengatakan apa-apa. “Setelah aku pikir, aku pengecut yang hanya ingin terlihat ada di hadapan orang tua kamu, tanpa bisa membawa kamu ke rumah orang tua aku.” Shafia menunduk dalam. “Sayang?” “Rad, bagaimana kalau kita akhiri hubungan kita? Aku enggak melihat ada masa depan dengan hubungan kita.” “Shafia?!” “Rad, kamu sebentar lagi punya anak, setidaknya kamu belajar setia demi anak kamu, darah daging kamu.” “Aku tidak mencintai perempuan itu, dan mengenai anak itu aku akan bertanggung jawab penuh, aku cuma mau kamu sayang, kita udah selesai bahas ini sebelumnya, jadi aku minta untuk kamu tetap tenang dan biarkan aku yang mengurus semuanya.” Shafia diam tanpa mengatakan apapun, ia bisa merasakan sakit atas ucapannya, namun tidak ada yang lebih sakit dari pada Shania, istri Radhi yang mereka curangi. “Rad, udah malam. Kamu pulang yah? Tadi aku lihat ada pesan dari Shania, dia minta dibawakan sup iga jangan lupa beliin yah.” Shafia tersenyum ketika Radhi mengangguk, meski dengan jelas Shafia melihat keengganan dari laki-laki itu. “Yah sudah kalau gitu aku pulang yah, aku enggak janji bisa kasih kabar malam ini.” Shafia hanya mengangguk saja, ia sudah sangat mengerti jobnya sebagai simpanan. “Hati-hati.” Meski begitu Shafia tetap mendoakan kekasihnya. Radhi berbalik arah menegcup singkat kening Shafia. “Jangan begadang, aku pulang dulu, enggak usah antar aku ke depan.” “Rad, maafin aku yah.” “Iya sayang aku ngerti, aku pulang dulu.” Shafia mengangguk saja, setelah Radhi keluar dari kamarnya Shafia terduduk lemas di tempatnya, pikirannya sedang kacau. Aku harus apa bun?

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
315.0K
bc

Too Late for Regret

read
319.6K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.3M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
145.1K
bc

The Lost Pack

read
438.5K
bc

Revenge, served in a black dress

read
153.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook