Bab 5

2177 Kata
Sore ini kafe outdoor tampak lenggang. Amira mengedarkan pandangan menunggu kedatangan Kalila. Tak lama wanita yang ditunggu-tunggu itu datang dan menarik sofa segitiga di depan meja Amira.  Meski, kecewa pada sahabatnya itu, Kalila tetap menghargai permohonan maafnya.  Tak ada sapaan, salam hangat ataupun senyum ramah yang biasa Kalila lakukan. Kalila memang bisa lebih kejam dari yang Amira pikirkan, kalau dia mau. Sayangnya Kalila tidak ingin terlihat seperti b***k cintanya Arlon.  Amira bisa masuk dan kerja di kantor Arlon karena dirinya. Dia ingin membantu Amira yang baru saja bercerai dengan suaminya dan butuh pekerjaan. Nyatanya Amira membalas kebaikan Kalila dengan cara seperti ini.  Ternyata godaan janda itu lebih besar dari gadis perawan. Terbukti Arlon lebih memilih jatuh ke dalam lembah kemaksiatan bersama seorang janda dibanding berada dalam kebaikan bersama dirinya.   “Gue mau minta maaf, La. Gue sadar Arlon cuma jadiin gue pelarian,” tutur Amira membuka percakapan.  Kalila menarik napas sembari menatap jijik pada Amira. “Pelarian apa? Lo lupa, selama ini gue baik-baik aja sama Arlon.” Sejujurnya Kalila tidak ingin membahasnya lagi. Namun, Amira seolah memutar fakta dan menyalahkan dirinya dalam masalah ini.   Kalila tak berniat memesan minum saat pelayan kafe menyodorkan buku menu, dia hanya mengacungkan telapak tangannya ke depan sebagai sebuah penolakan. “Gue tahu lo sama Arlon selalu baik-baik aja, tapi Arlon emang jadiin gue pemuas nafsunya.” Alira memberi jeda. “Dan gue nyesal, La.” Dia kemudian meraih tangan Kalila. “Gue mohon, lo pergi dari sini.”  Kalila segera menarik tangannya dari genggaman Amira. “Maksud lo apa?” “Gue denger Arlon lagi jadiin lo bahan taruhan sama teman-temannya. Gue tahu dia menantang dirinya biar bisa tidur bareng lo.” Mata Kalila membola. Namun, dia mendecih, seolah tak percaya apa yang dikatakan Amira. “Lo terlalu takut gue terima Arlon lagi. Elo takut nggak punya jalan buat bisa deketin dia, ‘kan?” tuduhnya. Amira menggeleng pelan. “Nggan gitu, La. Gue cuma takut lo jadi kayak gue,” ucapnya. “Gue mohon pergilah sebelum semuanya terlambat.” Amira meyakinkan ucapannya dengan setetes air mata yang melintasi pipi. “Permintaan maaf Arlon cuma jebakan.” Kalila mendengkus, dia tidak melihat itu, justru dia melihat ada penyesalan dan ketulusan di mata Arlon.  “Jangan bilang lo lupa sama ucapan Arlon. Soal teman-temannya yang iri karena Arlon berhasil jadi pacar lo, dan semua temannya mikir lo selalu kasih jatah sama Arlon.” Jantung Kalila mencelus. Iya, dia ingat, bahkan Arlon memintanya untuk menghabiskan satu malam saja, hanya apabila Kalila ingin hubungannya dengan Arlon berlanjut.  Lelah hati Kalila menghadapi masalah ini. Sepertinya memang dia harus pergi menjauh dari Arlon.  “Gue emang terlalu besar kepala, gue bodoh karena ngira Arlon melakukan itu atas dasar cinta. Nyatanya dia cuma jadiin gue teman tidurnya.” Amira kembali menitikkan air mata.  “Semua pria itu brengs*k! Bajing*n!” Amira menarik napas. “Sebaiknya lo benar-benar pergi dari Arlon sebelum dia hancurin masa depan lo.”  Kalila menarik napas.  “Gue hamil, La.” Amira kembali meraih tangan Kalila. “Arlon nggak mau nikahin gue.” Jantung Kalila mencelus dengan kedua mata yang terbelalak. Dad*nya sesak seperti dihantam benda berat. Dia kemudian membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Kalila juga mencoba melonggarkan sesak di dadanya dengan menarik napas setenang mungkin, dia benar-benar tidak ingin dikuasai emosi.  Kalila menghela napas, dia mencoba menyelami kedua bola mata Amira. “Arlon suka pakai kond*m, ‘kan? Kenapa hamil?” ucapnya hati-hati, sejujurnya dia merasa jijik membahas hal sensitif ini. Namun, kalau bukan karena dia teringat saat malam itu dia menemukan alat kontrasepsi berbentuk karet dalam kantong kresek Arlon, tentu dia tidak akan berani menanyakan itu pada Amira.   Wajah Amira berubah merah. “Iya, kalau dia rencanain itu sebelumnya, pasti dia pakai. Kalau saat di kantor, di kamar mandi kantor, di ruangannya ….” Amira menarik napas, lalu membuangnya kasar. “Kalau gue nolak, dia selalu gancam bakal pecat gue.” Amira menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya.  Jantung Kalila mencelus. “Cukup!” Dia mengacungkan telapak tangannya. Sejujurnya Kalila merasa bodoh dengan bersikap seperti ini. Namun, entahlah siapa yang harus dia percaya, tapi mungkin benar kata Byan, dia hanya harus percaya pada dirinya sendiri.  Perlahan Kalila bangkit dan meninggalkan Amira di kafe tersebut sendirian. Kini mobil Kalila melesat melawan kemacetan ibukota. Dia menyumpal telinga dengan earphone dan menyambungkan panggilan pada Byan.  Di nada sambung ketiga, panggilan tersambung, suara berat pria itu membuat jantung Kalila berdegup. [Iya, La?] “By, gue di depan kantor lo," ucap Kalila seraya turun dari mobil dan terus melangkah menuju ruangan Byan.  Jantung Byan menyahut perkataan Kalila. Entah kenapa akhir-akhir ini Byan jadi seperti ini setiap hendak bertemu dengan wanita itu. [Kerjaan gue belum beres, lu masuk aja, La. ] "Gue udah di depan ruangan lo."  [Cepet banget?] Byan terperangah karena tiba-tiba pintu ruangannya terbuka. Dia lalu mematikan sambungan telepon, kemudian bangkit.  Kalila berjalan ke arahnya, kemudian menghambur memeluk Byan. Pria itu tergemap saat tubuhnya hampir terkoyak akibat pelukan Kalila yang mengejutkannya.  Kalila hanya butuh sandaran, dia juga butuh kekuatan. Maka dia pun semakin kencang memeluk Byan. Tanpa ragu, Byan membalas pelukan hangat Kalila. Pria itu tahu, Kalila sedang bersedih, dia tidak keberatan meski hanya dijadikan tempat untuk bersandar di kala susah, sementara di kala senang Kalila pergi dengan pria lain. Namun, itu dulu, sekarang tidak lagi, lantaran kebahagian semu yang Kalila dapatkan sudah pudar bersama dengan pengkhianatan yang Arlon berikan.   Perlahan Kalila mengurai pelukannya dari Byan. “Maaf,” ucapnya dengan wajah tertunduk, “gue terlalu emosional.” Byan segera menggenggam kedua pipi wanita itu dan mengangkat wajahnya. “Kenapa harus minta maaf?” Kalila menarik napas. “By, gue--” Tiba-tiba dia tergemap saat Byan menarik tangannya untuk duduk di kursi kerja pria itu. Kemudian Byan sedikit membungkuk dengan tangan yang bertumpu pada meja. Jantung Kalila malah tidak karuan, entah apakah selama ini dia terlalu sibuk dengan Arlon, sehingga mungkin dia lupa Byan pernah bertahta di hatinya.  “Kenapa?” tanya Byan. “Soal Arlon lagi?” Kalila malah terdiam. Sejujurnya dia tidak enak jika harus terus-menerus menumpahkan kesedihannya pada Byan. Kalila kemudian tengadah menatap Byan. "Temenin gue makan bakmi di depan yu, By, " bujuknya kemudian.  Byan menggaruk tengkuk lehernya. Dia tahu mungkin memang benar ini soal Arlon, sepertinya Kalila sudah malas membicarakan pria itu lagi. Syukurlah, Byan lebih baik tidak mendengar keluhan soal dia, lagi pula emosinya sudah pasti tersulut dan nanti Kalila pasti takut melihat kekesalannya.  “Gimana, By?” “Boleh, bentar ya, gue beresin ini dulu,” ucap Byan sembari menutup laptop dan merapikan mejanya. Beberapa lembar berkas dia letakkan di atas laptopnya. Bahkan Byan rela membiarkan pekerjaannya terbengkalai hanya demi sahabatnya itu. Mereka kemudian berjalan beriringan menuju ke luar gedung perusahaan pemasaran tersebut. Tepat di depannya warung bakmi tersedia. Tiba-tiba Kalila terkesiap saat Byan menautkan jemari ke jari lentiknya. Jantungnya berdebar kencang, sehingga Kalila harus memegangi dad* kirinya sendiri.  Byan kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri untuk menghindari lalu lalang mobil dan motor yang melintas. Depan kantornya memang cukup ramai dengan pengendara, sehingga mereka harus lebih berhati-hati dalam menyebrang.  Sesampainya di depan warung, Byan lupa melepaskan genggaman tangannya dari tangan Kalila. Dia terus menggandeng wanita itu, hingga saat di dalam dan saat meminta Kalila duduk. Kalila menatap tangan Byan yang terus menggenggam tangannya.  “Eh, iya, maaf,” ucap Byan salah tingkah, dia segera melepaskan tangannya. Entah kenapa dia harus meminta maaf, apa masih kurang bersahabat dengan wanita itu sejak kecil?  Kalila tak menjawab maafnya, dia langsung saja mendaratkan bok*ng di kursi kayu dekat jendela. “Gue pesan dulu,” ucap Byan. Kalila menggigit bibir bawah, kemudian mengangguk. Kini Byan berlalu dan Kalila hanya dapat menatap pria itu dari belakang.  *** Kalila berdiri di belakang seorang pria yang sedang sibuk dengan kameranya. Dia mengedarkan pandangan hanya ada dirinya dan Arman di studio ini. Perlahan dia mendekat. “Kak,” panggilnya pelan.  Arman menoleh sekilas. “Ya, La?” Sementara tubuhnya masih membelakangi Kalila.  Kalila menarik napas. “Bantu aku ya, bujuk mas Kenan agar satu minggu pemotretan bisa dijadikan satu hari saja.”  Mendengar permintaan Kalila, Arman segera menjauhkan lensa kamera dari matanya, kemudian berbalik menatap Kalila. “Kemarin-kemarin hasil fotomu jelek. Banyak yang gagal. Terpaksa minggu ini, kamu harus mengulang.” Arman kemudian kembali berbalik mengarahkan kamera pada jendela dan mencoba membidik burung yang sedang terbang.  “Kenan ingin merubah dan membuang konsep kita minggu kemarin,” imbuhnya sembari melihat hasil bidikannya.  Kalila menghela napas. Dia sadar kemarin-kemarin memang suasana hatinya sedang buruk, itulah sebebnya hasil jepretannya pasti jelek.  “Lihat!” Arman menunjukkan hasil bidikannya pada Kalila. “Jadilah seperti burung.”  Kalila mendekat untuk melihat apa yang sedang Arman tunjukkan. Namun, kemudian dia mengernyit. “Kalau begitu bebaskan aku.” Hanya itu yang Kalila tangkap dari perkataan Arman.  Arman malah tertawa. “Dari dulu kami tidak menahanmu, Cantik.” Kalila menjauh saat Arman hendak menjawil dagunya. Tiba-tiba saja Arman melangkah, kemudian berdiri di belakang Kalila mengapitnya dengan dua tangan dan mendekatkan kamera itu di depan wajah Kalila. “Cobalah menangkap gambar.” Arman menaikkan kacamata Kalila ke puncak kepala wanita itu. Arah mata Kalila mengikuti pergerakan tangan Arman, tapi dia tidak mencegah pria itu saat menarik kacamatanya ke atas. Dia kemudian melihat apa yang ditunjukkan Arman. “Kamu fokus ke sini,” ucap Arman memberi pengarahan.   Kalila mengikuti saja apa yang dikatakan Arman. Sialnya, hidung nakal Arman menyesap aroma sweet dari rambut Kalila. “Aku bisa membuat kontrakmu dengan Kenan selesai,” ucapnya.  “Caranya?” Kalila tetap fokus pada kamera yang sedang diarahkan Arman ke luar jendela.  Arman kemudian melangkah dan berdiri di depannya. “Lupakan Arlon, jadilah pacarku!” pintanya.  Kalila segera menjauh, sementara matanya memindai wajah Arman. Dia berharap semoga Arman mengakhiri perkataannya dengan tawa seperti sebelum-sebelumnya. Namun, Arman terlihat begitu serius. “Kalau tidak bisa, kamu habiskan satu malam denganku,” Arman mengacungkan jari telunjuknya. “Hanya satu malam,” ulangnya.  Kalila terperangah. “Apa?” Dia kemudian mengacungkan telapak tangannya dan satu tamparan berhasil mendarat di pipi Arman. Pria itu meringis kesakitan dan memegangi pipinya yang panas disertai perih. Matanya membulat sempurna menatap nyalang ke arah Kalila.  “Aku memintamu secara baik-baik. Kalau kamu mau, aku berjanji akan membuat kontrakmu dengan Kenan selesai.” Arman kembali mengulangi perkataannya. “Selesai!” imbuhnya penuh penekanan. Kalila tersulut amarah. Arman telah bersikap kurang ajar terhadapnya. Dia bersumpah tidak akan mengampuni Arman lantaran telah melukai perasaannya. Kalila terus melangkah mundur karena Arman yang terus saja mendekat padanya. “Berhenti!” pekik Kalila.  Arman mendecih. “Sudah lama aku hanya bisa menikmati gambarmu saja.” Arman tersenyum miring.  “Sebelum kamu mengakhiri kontrak kerjamu dengan Kenan, aku ingin memberimu kenang-kenangan. Lebih tepatnya kamu memberiku kenang-kenangan.” Arman sedikit membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke leher Kalila. “Ayolah, Honey.”  Kalila menggelengkan kepala sembari terus mundur. Dia kembali mengacungkan telapak tangannya hendak menampar pria itu lagi. Namun, Arman berhasil menahan tangannya. Pria itu tersenyum miring sembari mendekat hendak mendaratkan bibir di leher Kalila. Namun, wanita itu menjerit dengan keras sembari menjauhkan wajahnya. “Ssssttt tidak ada siapapun di sini selain kita berdua.” Arman kembali memajukan wajahnya.  Namun, Kalila kembali menggelengkan kepala. Dia mencoba lepas saat Arman berhasil membelenggunya dengan menahan tubuhnya di dekat dinding. “Tolong!” pekik Kalila. Hanya itu yang bisa Kalila teriakkan. “Sudah kubilang percuma,” sergah Arman dengan garang.  Namun, Kalila terus menjerit dengan keras.   “Hei, di sini hanya ada kita berdua saja. lebih baik kau simpan tenagamu itu.” Arman kembali mengumbar senyum sinisnya. “Mari kita lakukan dengan penuh kelembutan.” Arman kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Kalila yang dengan sigap wanita itu segera tertunduk untuk menghindari Arman.  Arman sudah tidak dapat lagi menahan. Kalila terlalu mempermainkannya. Pria itu segera mengapit rahang Kalila dengan tangannya. Dia mendaratkan bibirnya ke bibir Kalila dengan kasar. Air mata mengucur dari sudut mata wanita itu, dengan tenaga yang dia miliki dia terus saja berontak. Arman semakin kasar, hingga bibir Kalila tergigit olehnya. Kalila meringis dan mencoba menjerit, tak pikir panjang lagi, Kalila langsung menendang s**********n Arman, hingga membuat pria itu mengaduh dan melepaskan belenggunya terhadap Kalila.  “Sial!” Arman meringis. “Sepertinya kamu lebih suka main kasar.” Pria itu mendecih. “Baiklah mari kita lakukan.” Dia membuka jaket dan melemparnya asal.  Kalila segera berlari menuju pintu. Dia berhasil keluar karena kebetulan pintu tidak terkunci. Arman memang kurang ajar! Sembari terus berlari, dia terus mengusap kasar bibirnya, sementara air mata tak hentinya berderai.  Kalila terus berlari menuruni anak tangga, tak peduli saat dia hampir tersandung yang terpenting dia bisa lolos dari Arman. Namun, heels gladiator yang runcing berhasil membuatnya terpelanting hingga ke bawah tangga.  “Kalila,” pekik Arman dari atas.  Kalila menggelengkan kepala kuat-kuat. “Tolong, aku mohon, Kak. Jangan seperti ini.” Kalila memohon sembari mencoba menegakkan tubuhnya yang sakit.  Arman berjongkok dan mendekat pada wanita itu. “Aku minta maaf, seharusnya kamu tidak berlari,” ucapnya.  Kalila segera menepis tangan Arman saat jari-jemari pria itu menyentuh pelipisnya, lalu membukakan tangannya dengan lebar dan siap mendekap Kalila, tapi Kalila terus beringsut ke belakang sembari berteriak meminta tolong, berharap Tuhan mengirimkan malaikatnya sekarang juga. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN