Bab 4

2089 Kata
Arlon berdiri di depan pintu, meski satpam rumah sudah mengizinkannya masuk, tetap saja dia malu dengan apa yang telah dia lakukan terhadap Kalila.  Langit memang sudah terlalu gelap. Namun, dia tidak ingin menunda masalah ini. Setelah merenungi kesalahannya, kenapa Arlon baru berani datang di waktu malam seperti ini? Perlahan dia mengetuk pintu, meski sedikit ragu, tapi dia tidak ingin membuang waktu dengan terus berdiri di depan rumah bernuansa klasik modern itu.  “Arlon?” Rayna berdiri di depan pintu. Anehnya dia segera keluar tanpa membiarkan pintu tetap terbuka. Dia memperhatikan Arlon yang tampak kusut. “Kalila ada?” tanya pria itu.  Rayna kemudian menatap satu buket bunga yang ada dalam genggaman Arlon. “Kalila di rumah Mey,” jawab Rayna. “Boleh saya minta alamatnya?” Rayna memang tidak tahu dengan apa yang terjadi antara Arlon dan adiknya itu. Tadi sepulang dari rumah Byan, Kalila memang pergi lagi, bahkan tanpa pamit. Karena ketidaktahuannya itulah Rayna berani memberikan alamat Mey dengan mengetik di ponselnya, lalu mengirimkan alamat itu lewat pesan w******p pada Arlon. “Sudah kukirim.” “Terima kasih,” ucap Arlon setelah mengecek ponselnya. “Kalau begitu saya permisi.” Rayna mengangguk sembari menatap kepergian Arlon dari teras rumahnya.  Jam digital di atas dashboard mobil Arlon menunjukkan pukul 7 malam. Semoga dia bisa menemui Kalila. Sesuai instruksi dari pemandu jalan di ponselnya, dia terus melaju. Malam ini hanya ada hening dan deru suara mesin mobilnya yang menemani rasa sesal di hati Arlon.  “Aku minta maaf, la. Aku menyesal karena pernah tergoda oleh Amira.”   Luka yang Arlon berikan pada Kalila sebenarnya juga melukai dirinya sendiri. Amarah Kalila yang tak bisa meledak sepenuhnya membuatnya merasa semakin bersalah. Setengah jam dia melajukan mobilnya, sampailah di sebuah rumah minimalis dengan taman dan kolam kecil di depan rumah. Tak semewah rumah Kalila, meski Mey saudara sepupu Kalila. Namun, keluarga Mey sepertinya lebih senang hidup sederhana.  Arlon mengetuk pintu rumah itu. Seorang wanita paruh baya berdaster merah membukakan pintu. Sesaat Arlon ragu jika ini benar-benar rumah Mey.  “Cari siapa?” tanya wanita yang kini berdiri di depan pintu.  “Apa benar ini rumah Mey?” tanya Arlon ramah. Wanita itu mengernyit. “Mey?” Dia mengulangi pertanyaan Arlon.  Arlon mengangguk. Sial! Apa Rayna menipunya? “Maksud kamu Mel?” tanya wanita berjilbab panjang itu dengan lembut. Arlon mengerjap. Dia menenggak liurnya. “Sepupunya Kalila?”  “Iya, nama anak tante Meylani. Kalila memang dari kecil menyebutnya Mey.” Syukurlah! Arlon tak salah rumah. “Kalila ada di sini, Tante?” “Baru saja pulang.”  Jantung Arlon mencelus, dia gagal lagi menemui Kalila, saat ini dia merasa seperti kucing-kucingan dengan wanita itu. “Kalau Mey ada? Saya mau ketemu.” “Sebentar ibu panggilkan.” Wanita itu pergi ke dalam rumah memanggil anaknya yang sedang ada di kamar menikmati coklat sembari menonton drama korea. “Ada orang nyariin kamu,” ucapnya usai mengetuk. Mey menahan lelehan coklat di mulutnya. Dia beranjak dari kasur setelah mematikan laptop, lalu dia berjalan ke arah ibunya. “Siapa?” “Ibu nggak tahu. Mirip bule Prancis.” “Hmmm ….” Bibir Mey mencebik, dia kemudian berjalan melewati ibunya. “Memangnya ibu pernah lihat bule Prancis,” ledeknya.  Wanita paruh baya itu tersenyum sembari mengedikkan bahu.  Mey segara berlari menuruni anak tangga, meski tubuhnya agak gemuk tapi masih ringan untuk dibawa berlari. “Ada ap--” Tiba-tiba Mey tergemap saat melihat punggung seorang pria yang tengah berdiri di depan pintu. Arlon menoleh saat mendengar ada suara dari belakangnya. Dia menatap Mey cukup lama. Sementara Mey enggan bertanya, dia tahu tujuan Arlon datang ke sini. “Tumben?” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Mey seraya mendekat.  “Saya mau bicara,” ucap Arlon gugup. Mey berjalan ke depannya dan duduk di teras. “Apa?” Wanita itu menatap langit gelap di ujung jalan. Arlon mengernyit masa dia harus mengikuti Mey duduk di teras, yang benar saja, Mey sama sekali tidak menyambutnya sebagai tamu? Arlon menarik napas dan menatap Mey dari belakang. “Soal Kalila,” ucapnya yang masih berdiri. Namun, beberapa detik kemudian Arlon memutuskan duduk di sebelah Mey. “Dia minta putus.” “Kenapa?” tanya Mey pura-pura tidak tahu, padahal Kalila sudah ceritakan semuanya. Arlon terdiam cukup lama, hingga Mey kesal sendiri menunggu Arlon berkata jujur. Mey kemudian menoleh. “Kerjaan Kalila di dunia modeling itu nggak mudah. Kadang banyak juga yang mencibir, yang menghina bahkan melecehkannya. Harusnya lo bersyukur karena Kalila bisa jaga dirinya sendiri, menjaga kesuciannya hanya untuk laki-laki beruntung yang bisa menjadi suaminya.” Jantung Arlon seperti dihantam benda berat. Kebodohan yang dia lakukan seumur hidupnya, adalah menyia-nyiakan dan menghancurkan kepercayaan Kalila. “Tapi, saya sudah merusak kepercayaan Kalila.” Mey mengangguk. “Kalila sudah cerita semuanya. Dia kecewa.” Mey kemudian menoleh. “Yang jelas dia sakit hati," geram Mey.  “Kira-kira Kalila mau nggak maafin saya?" “Tergantung.” Mey mengedikkan bahu. Arlonmenghela napas. Dia kemudian memiringkan wajahnya dan menatap Mey yang tengah memperhatikan langit gelap.  “Tergantung, dia mau apa nggak maafin lo.” Mey kemudian bangkit dari duduknya. “Tapi, gue harap Kalila nggak ngasih lo ampun, cowok kayak lo nggak pantes dipertahanin,” ucapnya sembari menepuk-nepuk bok*ngnya yang kotor, lalu dia merapikan baju.  Arlon tengadah menatap Mey. Namun, dia bingung harus berkata apa, Mey bahkan sepertinya lebih marah dari Kalila.  “Sudah malam, Bapak Arlon Sanjaya. Saya permisi.” Mey melenggang pergi dan masuk meninggalkan Arlon di teras rumahnya.  *** Kalila membuka mata dan menatap jendela. Dia kemudian bangkit dari ranjangnya, kicauan burung kenari di halaman belakang terdengar nyaring . Lalu dia membuka jendela kamar yang mengarah ke halaman belakang, di sana terdapat kolam ikan dan sangkar-sangkar burung kenari koleksi ayahnya.  Dia kemudian tersenyum menatap sang ayah yang sedang bersiul, bermain dengan burung-burung itu. Wajah renta Surya kemudian tengadah. Dia menatap anak gadisnya sembari mengernyit karena silau matahari yang baru saja meninggi. “Kamu sudah bangun?” tanyanya. Surya kemudian kembali menunduk menatap gerombolan ikan yang siap melahap jatah makan yang dilempar Surya. “Ada Arlon, cepat turun.” Jantung Kalila mencelus, meski Surya mengucapkannya seraya bergumam, sialnya, dia mendengar jelas apa yang dikatakan Surya padanya. Apa yang dikatakan ayahnya benar-benar telah membuat mood paginya berubah.  Kalila menutup jendela kamarnya dengan keras. Dia menjatuhkan tubuhnya di kasur dan kembali menarik selimut sembari mengecek ponselnya. Dari semalam Kalila mengabaikan panggilan Arlon. Kini dia membuka aplikasi w******p, lalu membuka chat dari Arlon yang isinya hanya permohonan maaf dan penyesalan.  Titik tiga di kanan atas mencuri perhatian Kalila. Lalu dia menekan kata “Lainnya” pada nomor Arlon. Di baris kedua dia melihat ada kata blokir. Antara iya dan tidak akhirnya dia menekan dan menyetujui untuk memblokir nomor Arlon.  Meski setelah itu dia bimbang, tak enak hati karena memblokir nomor orang yang dia sayang. Namun, setelah apa yang dilakukan Arlon padanya. Sungguh Kalila tidak kuat lagi untuk bernapas, kenangan buruk kemarin benar-benar telah-telah mencekiknya.  Orang yang dia banggakan, orang yang dia kagumi, nyatanya sama saja dengan pria lain. Kalila terkesiap tatkala sang ibu mengetuk pintu kamar dari luar. Sudah pasti dia memberitahu bahwa Arlon sedang menunggunya.  Kalila tak menjawab dan pura-pura masih tidur.  “La, Bunda tahu kamu sudah bangun.” Sonia masih mengetuk pintu kamar anaknya. Lagi-lagi Kalila tak menjawab.  “Kalau gitu, Bunda suruh Arlon ke kamar kamu aja, ya.” Tiga ketukan di daun pintu membuat jantung Kalila mencelus. Dia hafal siapa yang mengetuk. “Sayang,” sahut Arlon dengan lembut, “aku mau ngomong.”  Jantung Kalila semakin mencelus, bahkan kini diiringi debaran yang menyakitkan. Air mata sudah lebih dulu tergenang dan membasahi pipinya.  “Sayang, aku tahu aku salah.” Arlon kembali mengetuk. Dia menoleh sekilas pada Sonia yang masih berdiri di dekatnya. “Aku memang bukan pria sempurna, kamu tahu itu.” Arlon terdiam sejenak dia mendekatkan telinga ke daun pintu, berharap Kalila akan menjawab, atau menanggapi perkataannya dengan sekedar berdehem seperti yang sering dilakukannya.  “Aku janji akan memperbaiki semuanya. Aku janji aku--” Tiba-tiba Arlon tergemap saat Kalila membuka pintu. “La?” Dia mematung menatap wanita itu.  Mata Kalila membola. “Mau apa lagi?” tanyanya kesal. “Kamu lupa aku udah mutusin kamu, hm?” Rindu yang Kalila rasakan berubah murka pada Arlon. Meski pria itu belum pergi dari hatinya, tapi luka dari kejadian kemarin tak ada penawarnya. Bahkan perlahan Kalila merasa air matanya menyurut.  Saat Arlon hendak merengkuh dan membelenggunya dalam pelukan, Kalila sudah terlebih dahulu mendorongnya. “Maafin aku,” ucap Arlon pelan. Kalila mendecih. Dia kembali menepis tangan Arlon dari bahunya. “Lebih baik sekarang kamu pergi! Jangan pernah menampakkan wajahmu di depanku lagi. Aku nggak mau lihat kamu seumur hidupku.”  “La. La, aku mohon.” Arlon memelas, dia mencoba menahan tangan Kalila. Kali ini dia telah merendahkan dirinya sendiri, jika kemarin Arlon bersikap angkuh dengan segala kalimat kasarnya, kini pria itu menyadari dan ingin memperbaiki semuanya.   “Pergi!” Kalila mengulangi perkataannya. “Kamu belum lupa dengan perkataanmu kemarin, ‘kan? Aku memang memang bukan wanita suci, tapi aku punya harga diri,” ucap Kalila diiringi getaran dari amarahnya.  Arlon tergemap dengan perkataan Kalila. Jika dia berharap Kalila mau menerimanya kembali, mungkin dia salah. “La. aku minta maaf, La.” “Pergi!” pekik Kalila seraya membanting pintu. Dengan penuh keterpaksaan Arlon melangkahkan kaki memenuhi keinginan Kalila. Namun, dalam setiap kegamangan langkahnya, dia menoleh, berharap wanita itu akan memanggilnya. Jika Kalila berubah pikiran, tentu Arlon tidak akan membuang kesempatan.  Namun, saat Arlon menoleh, Kalila sudah menutup pintu kamarnya. Arlon telah membuat Kalila terjatuh ke dalam jurang yang tak bertepi. Seperti inikah dikhianati?  Kalila berjalan lemah dan menjatuhkan diri ke atas ranjang. Dia tidak mengerti kenapa dia harus terus menangisi kebejatan Arlon, bukankah Byan sudah katakan dia harus banyak bersyukur? Sonia mencurigai sesuatu, dia segera menyusul anaknya ke kamar. Pintu terus mendapat hantaman dari tangan Sonia. “Sayang, kamu kenapa?” tanyanya.  Kalila tak menjawab. Kelabu membuatnya sesak, andai dia bisa seperti orang lain dengan menjerit atau meraung, mungkin saat ini hatinya sudah lebih baik.  Sonia berhasil membuka pintu. Dia melihat Kalila sedang meringkuk di atas kasur dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.  Dibawah selimut, derai demi derai air mata terus membanjiri pagi hari Kalila. Dia merasakan kalau ibunya duduk di atas ranjang. “Kamu kenapa. ada masalah sama Arlon?” tanya Sonia sembari membelai puncak kepala Kalila.  Kalila pura-pura tak mendengar ucapan ibunya dengan memilih memejamkan mata.  “Cerita sama Bunda, Nak.” pinta Sonia. “Bagi dong kisah kamu, agar kamu lebih tenang, jangan memendam semuanya sendiri,” imbuhnya lembut.  Kalila lagi-lagi hanya bisa terdiam. Dia benar-benar merasa sesak sehingga dia merasa seolah akan mati detik itu juga. Sonia segera membuka selimut yang menutupi tubuh Kalila, dia segera mengambilkan inhaler dan memberikan itu pada putrinya.  Kalila meraihnya dan segera menyemprotkan cairan yang terdapat pada benda itu ke mulutnya.  Arlon telah membuat asmanya kambuh.  Dalam keadaan tersengal-sengal, Kalila menatap sang ibu yang terlihat gundah.  “Ada apa, Sayang?” tanya Sonia sembari memeluk kepala Kalila dan mendekatkan ke dad*nya. “Kalila putus sama Arlon, Bund,” ucapnya pelan sekali. Namun, telinga Sonia masih tajam, sehingga dia dapat mendengar dengan jelas apa yang baru saja dikatakan Kalila. “Apa?  Kening Sonia mengernyit. “Kamu putusin dia?” Kalila mengangguk. “Dia selingkuh.” Sonia terbelalak. Dia tidak mengira, mana mungkin pria baik seperti Arlon tega melakukan ini pada anaknya. “Kamu yakin?” Kalila menarik napas seraya mengangguk. Kepalanya bergerak lambat sekali. “Aku lihat sendiri, Arlon keluar dari kamar mandi sama Amira,” gumamnya.  Mata Sonia semakin membola. Jantungnya bahkan mencelus. “Kurang ajar! Kok Bunda nggak nyangka dia kayak gitu?” Kalila terkesiap dan segera tengadah menatap ibunya. “Bund … jangan bilang sama ayah.” Sonia menoleh dan menatap anak gadisnya yang baru saja menginjak usia 23 tahun bulan lalu. “Tapi, ayah harus tahu, Nak.” Kalila menggelengkan kepala. “Jangan, Bund. Nanti ayah kaget,” ucap kalila khawatir.  Sonia tercenung. Ssuaminya memang punya riwayat penyakit jantung, kalau Sonia katakan ini, mungkin saja akan terjadi sesuatu pada Surya.  “Please, Bund ….” Kalila memeluk pinggang Sonia. Sonia kemudian mengangguk. Dia merengkuh bahu Kalila dan membalas pelukannya dengan anaknya itu dengan erat. “Pria seperti Arlon tidak pantas buat kamu.” Sonia mengusap punggung anaknya. “Bunda doakan kamu akan mendapatkan pria yang jauh lebih baik segala-galanya dari Arlon.” Kalila menyeka pipinya dengan telapak tangan, kemudian mengangguk, meski apa yang dikatakan ibunya terkesan seperti berlebihan, tapi dia percaya, tak ada yang tidak mungkin jika itu ke luar dari mulut tulus sang ibu.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN