3. Menolak Lupa Pria Songong

1319 Kata
  At some point, you have to realize that some people can stay in your heart, but not in your life. Aku menatap lurus layar ponselku dan mendadak linglung. Sebuah kata bijak di post oleh Thomas di instagramnya dan tidak menandaiku pada postingan itu. Perihal postingannya yang tidak pernah menandai akunku bukanlah hal baru, kami sangat hati-hati dalam merahasiakan hubungan kami terutama dalam media sosial. Apalagi mengingat keaktifan Mama dalam menggunakan media sosial, adalah bijak untuk tidak menggumbar kemesraan terutama di i********:, media sosial favorit Mama. Kebingunganku itu muncul semata-mata karena konten posting-an Thomas. Aku harus berkonsentrasi penuh untuk mengerti maksudnya. Lantas untuk siapakah postingan itu dimaksud Thomas? Kalau postingan itu untukku, apa maksudnya? Apa dia secara tidak langsung ingin mendepakku dari kehidupannya? Postingan itu k****a tepatnya ketika aku berdiri di depan lift kantor yang akan mengangkutku dari basement ke lantai empat, ruang kerjaku. Sibuk berpikir tentang bagaimana harus menanggapi posting-an Thomas membuatku mengabaikan sekitar dan tidak benar-benar menyapa dengan benar orang-orang yang menyapaku pagi itu. “Pagi...” balasku asal pada Tya setelah meliriknya cepat, lalu masuk berimpitan dengan para pekerja lainnya.  Lift merangkak naik dari basement dan terbuka lagi di lantai dasar. Kerumunan pekerja lainnya mendesak masuk ke dalam kotak lift padat tempatku berdiri. Aku terpaksa mundur lagi dan tanpa kusengaja ujung Kelly bag yang terjepit di ketiakku menubruk tangan seseorang hingga yang tertubruk merintih kesakitan. “Ahhh...!!!” pekiknya halus, namun cukup kuat untuk membuat semua orang di dalam kotak berukuran 2x2 meter itu mendengar rintihannya. Kerumunan orang di dalam lift langsung berinisiatif untuk memberi ruang padaku dan pria yang berteriak kesakitan itu. Aku buru-buru berbalik dan memeriksa keadaannya. Sungguh di luar dugaanku, ujung Kelly bag yang kukenakan melukai pria tersebut hingga tangannya bersimbah darah. Darah mengucur menembus kemeja putih dan jas abu-abu yang dikenakannya di sekujur siku hingga pergelangan tangannya. Melihat kondisinya yang separah itu, tak kuasa aku menahan suara dan ikut-ikutan menjerit histeris. “AAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHH....!!!” Kerumunan orang di dalam lift semakin memencar. Panik. Beberapa bahkan memilih untuk keluar dari lift. Beberapa yang lain menahan pintu lift agar tetap terbuka. “Ssshhh... teriakan kamu hanya akan membuat orang-orang semakin panik.” Pria itu membungkam mulutku dengan tangannya yang lain -yang tidak terluka. Suaranya memang seksi, berat namun teduh. Tapi tatapan matanya yang tajam cukup untuk membuatku merasa tercekam. Dingin dan buas sekaligus. Mungkin itu yang membuatku sempat terancam hingga suara teriakanku mendadak reda. “Oh tidak!!! Kamu taro di mana matamu?” Pak Ivan yang ternyata berdiri tidak jauh dari tempat kami berdiri tiba-tiba mendekat berteriak di depan wajahku. Interupsi Pak Ivan itu langsung membuat pria yang terluka menjauhkan telapak tangannya dari bibirku. “Ya ampun, Pak. Ayo kita turun di lantai ini. Kebetulan di lantai ini ada ruang unit kesehatan.” Kata Pak Ivan lagi di depan pria yang terluka. Nalarku tidak sama sekali tidak mampu mencerna kejadian ini. Bagaimana mungkin Kelly bag-ku yang, okelah mungkin sedikit keras karena terbuat dari kulit buaya sintetis, tapi sungguh tidak berpotensi untuk melukai sama sekali!!! Bagaimana mungkin hanya tersenggol saja memberi efek serupa dengan sayatan beling?! “Kamu kenapa masih bengong di situ? Tidak mau bertanggungjawab?” tanya pria terluka itu dari ambang pintu lift dengan nada dingin saat aku masih bingung sendiri. Mendengar sindirannya aku pun langsung buru-buru mengekor tubuh jangkungnya dari belakang. Terlepas dari ke-jutek-annya yang sejujurnya membuatku ingin memberontak, aku malah menurut. Aku harus membuktikan apakah kelly bag kesayanganku ini benar-benar berbahaya.   ***   Setibanya di ruang unit kesehatan di pojok selatan lantai dasar gedung perkantoran tempatku bekerja, kami bertiga disambut kehampaan. Tidak ada dokter ataupun ahli medis yang menyambut kehadiran kami di ruangan kecil serba putih itu. Hampir satu tahun aku bekerja di perusahaan asuransi jiwa ini, baru kali ini aku masuk ke ruangan ini. Ruangannya cukup nyaman. Satu ranjang pasien, satu set meja-kursi untuk ahli medis, satu lemari besar dan tinggi berisi obat-obatan, dan wastafel di dekat pintu masuk. “Pak Ivan, Bapak serahkan saja dulu berkas yang sudah saya siapkan ke setiap departemen agar mereka bisa mempersiapkan setiap karyawan untuk acara penyambutan nanti.” Kata pria terluka pada Pak Ivan yang setia berdiri di sampingnya, “Jangan lupa siapkan pakaian ganti untuk saya. Berkat seseorang saya harus bekerja ekstra di hari pertama.” Tambahnya dengan sorot mata tajam menusukku di akhir kalimatnya. “Baik Pak.” Balas Pak Ivan. Seninggal Pak Ivan, pria terluka duduk di ranjang pasien dan melepas jasnya dengan bersusah payah. Mengingat dinginnya perilaku pria ini sejak detik pertama kami saling berinteraksi, aku memilih untuk diam dan menunggu instruksi sebelum disemprot lagi karena pegang-pegang jas mahalnya. Setelah jas itu terlucut dari tubuhnya, dia menggunakan kelihaian mulut dan tangan kanannya untuk melepas kancing di pergelangan tangan kirinya yang terluka dan menggulung kemeja itu hingga pangkal siku, hingga tampak perban yang bersimbah darah sepanjang pangkal siku hingga pergelangan tangannya. Pemandangan itu sekaligus menjawab rasa penasaranku tentang lukanya. Ternyata Kelly bag-ku bukan satu-satunya alasan di balik luka itu. Dia sudah lebih dulu terluka sebelum tasku menyenggol lukanya hingga menguak dan berdarah. “Kalau cuma bantu ngeliatin, lebih baik kamu pergi saja. Cicak-cicak di dinding yang diam-diam merayap sudah cukup jadi saksi betapa tidak bergunanya keberadaanmu di sini.” Sindirnya sinis ketika aku hanya memandanginya bersusah payah melepas perbannya. “Itu bukan cara yang tepat untuk minta tolong.” Balasku tak kalah sinis. “Itu juga bukan cara yang tepat untuk bertanggungjawab.” “Ini bukan sepenuhnya salah saya, kenapa saya yang harus bertanggungjawab? Anda sudah lebih dulu terluka. Tas saya hanya menyenggol anda. Itupun bukan sengaja. Anda lihat sendiri kan bagaimana ramainya karyawan yang berdesakan masuk ke dalam lift? Kalau anda benar-benar ingin pertanggungjawaban kenapa tidak minta saja pada orang yang melukai anda?” orang ini benar-benar sedang cari masalah. Apa dia tidak tau aku sedang dalam kondisi badmood karena postingan Thomas? Dia hanya menyulut api dalam amarahku saja. Alih-alih membalas dengan kata-kata pedas lagi, dia hanya menatapku sinis. Maka aku memutuskan untuk membantunya. Hanya karena kupikir dia tidak akan bisa mengganti perbannya sendiri dengan kondisi tangan kiri terluka. Sama sekali bukan karena tanggungjawab. Tanggungjawab katanya? Minta saja sana sama orang yang menoreh luka ini! Lagian, siapa sih orang ini? Berani-beraninya bicara se-songong itu? Okay, aku tahu dia pasti punya jabatan cukup tinggi hingga Pak Ivan yang menduduki jabatan sebagai Manager Pemasaran saja tunduk di hadapannya. Tapi setinggi apapun jabatannya bukankah perilakunya kurang beretika terhadap bawahannya? Pikiranku yang mulai berkecamuk tiba-tiba tersedot pemandangan di depan mataku sekarang. Aku hampir saja tersentak saat perban terbuka dan memperlihatkan lukanya. Lukanya cukup dalam dan panjang. Sekitar sepuluh senti panjangnya. Aku sendiri sama sekali tidak ahli dalam dunia medis. Paling juga pinternya nempel plester doang. “Saya akan bantu dengan memanggilkan ahli medis saja. Saya tidak ahli dalam memasang perban.” “Saya benar-benar berurusan dengan orang yang salah.” Dia tertawa hambar, “Bilang saja kalau kamu mau lari dari tanggungjawab?” “Kenapa anda terus memojokkan saya? Apakah anda makhluk dari planet lain? Atau anda bukan berkebangsaan Indonesia? Anda tidak paham bahasa Indonesia? Biar saya terangkan sekali lagi, luka anda sama sekali bukan tanggungjawab saya.” “Lalu tanggungjawab siapa?” “Kenapa anda tanyakan pada saya? Anda sendiri yang tahu jawabannya. Oke, saya akui saya mungkin terlibat dalam menguak lukanya hingga merembeskan darah segar. Untuk itu saya minta maaf atas nama tas saya. Tapi jangan pernah sebut saya yang melukai anda, karena anda sudah terluka lebih dulu sebelum ujung tas saya menyenggol lengan anda.” Dia menatapku menyelidiki. Aku tidak mengerti maksudnya. Tapi karena dia sudah bersedia untuk mengunci mulutnya yang persis seperti bunyi klakson angkot yang berisik itu, aku menyerah pada niatku untuk mengabaikannya. Walaupun tidak terlalu ahli memasang perban, aku membantunya. Kuharap dia tidak akan menjadikan perban asal-asalan ini sebagai alasan untuk memojokkanku lagi nanti. Ah, terserahlah, yang penting aku sudah menunjukkan sedikit empati padanya. “Kamu akan menyesali semua yang kamu ucapkan.” Katanya tepat saat aku menempelkan plester terakhir pada perbannya. Ya ampun si songong ini, bukannya berterimakasih, dia malah menyudutkanku lagi? Setinggi apa sih jabatannya? Aku doakan semoga dia kehilangan pekerjaannya dengan karakter seburuk itu. Tapi sebelum aku yang kehilangan pekerjaan karena meladeni ke-songong-annya, aku memilih untuk diam. Mencari gara-gara dengan atasan tempramental hanya akan membuatku terancam kehilangan pekerjaan. “Baiklah, perban anda sudah rapi kembali. Kalau begitu saya permisi.” “Kamu tidak berniat untuk meminta maaf setelah membuat saya terluka begini?” “Saya pikir dengan membantu mengobati luka anda sudah lebih dari cukup sebagai permintaan maaf saya. Permisi.” **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN