Terperangkap rasa tanggungjawab untuk hal yang tidak sepatutnya kupertanggung-jawabkan membuat waktuku tersita cukup banyak. Hampir satu jam aku terlambat masuk ke ruang kerjaku sehingga harus menyerah saat disemprot Ibu Ningsih karena dianggap melanggar etika kerja. Kalau saja aku tidak menghamburkan waktu demi membantu pria songong yang tak tahu berterimakasih itu, aku pasti tidak perlu mendengar ocehan Bu Ningsih. Huh...
“Sabar ya, Bu Ningsih kalau lagi marah emang meledak-ledak.” Hansel mencoba menghiburku begitu Bu Ningsih meninggalkan kubikel meja kerjaku.
Jika kedua orangtuaku tetap berkeras untuk menikahkanku di usia duapuluh lima sementara Thomas tidak kunjung siap berkomitmen, Hansel adalah target yang kuincar untuk mengisi posisi menjadi calon suamiku. Dia baik. Dia punya penghasilan. Dia berasal dari keluarga berada. Dia berpendidikan. Dan yang terpenting, aku tau dia suka padaku.
Dia sudah menyatakan perasaannya dua bulan yang lalu. Aku sempat takut persahabatan kami akan merenggang karena aku menolaknya saat itu. Ternyata tidak. Kurasa aku harus menambahkan “Gentleman” dalam daftar kelebihannya. Dia bisa menerima penolakanku dan tetap berteman baik denganku. What a gentleman.
“Hufff... bukan Bu Ningsih sih masalahnya, ini semua gara-gara laki-laki songong itu!” keluhku.
“Emang siapa dia?” Hansel memutar kursinya menghadapku. Memperlihatkan kondisi tangan kirinya yang tidak biasa. Tangan yang biasanya lincah itu kini dibalut gips.
“Tangan kamu kenapa, Han?” bukannya menjawab pertanyaan Hansel, aku malah memberinya pertanyaan baru.
Hansel tidak langsung menjawab. Dia sempat memberi jeda cukup lama sebelum akhirnya menjawab, “Ng, kamu nggak ingat apa-apa?”
Malam minggu itu, sebelum benar-benar tercekoki alkohol yang membuat kesadaranku menari di awang-awang, aku bertemu dengan Hansel di the-A-Club dengan kondisi tangannya masih sehat walafiat. Dia bahkan sempat membantuku bangkit dari lantai karena terjatuh saat duduk di sebelahnya.
Coba kuingat-ingat dulu, kenapa aku bisa jatuh ya? Apa aku sudah mabuk saat duduk bersama Hansel? Atau mabuk saat bersama Thomas? Aku tidak tahu.
Kalau kucoba merunutkan ingatan yang terpecah menjadi beberapa potongan di dalam benak, aku bisa menemukan gambaran ketika dipapah Hansel keluar dari Kelab. Tapi aku tidak tahu pasti bagaimana dan kapan aku tiba-tiba ada dalam kediaman Thomas. Apakah dia terluka saat keluar dari kediaman Thomas? Siapa yang melukainya? Kenapa?
Fakta tentang terlukanya lengan Hansel ibarat satu keping potongan puzzle yang semakin memperjelas ingatanku yang samar tentang kejadian malam minggu kemarin. Aku ingat betul tangan seseorang bersimbah darah saat mencegah botol kaca mendarat di kepalanya. Entahlah kepala siapa. Yang kuingat jelas, aku berlindung di bawah meja makan di dekat dapur apartemen Thomas saat kejadian itu. Jika bukan tangan Thomas yang terluka, apakah mungkin itu adalah tangannya Hansel?
“Han, abis dari The-A-Club kamu kemana malam minggu kemarin?”
“Ng, emangnya kenapa, Maureen?”
“Kamu... orang yang berantem sama Thomas?”
Hansel tampak sedikit tersentak. Walau dia bisa menguasai keterkejutannya dengan baik, tapi aku yakin dia sedang menyembunyikan sesuatu. Hansel memberi jeda yang panjang sekali lagi sebelum memutuskan menjawab, “Thomas nggak bilang apa-apa sama kamu?”
***
Seakan deretan panjang mulai dari malam berdarah, perjodohan, insiden di lift hingga teka-teki tentang terlukanya lengan Hansel tidak cukup untuk membuat hariku terasa berat, masih ada kenyataan bahwa kami para karyawan Asuransi Bina Faedah di-WAJIB-kan untuk berpatisipasi di acara penyambutan Presiden Direktur baru yang akan memimpin di perusahaan kami, malam ini. Hal ini sekaligus membuatku harus mengundurkan niatku bertemu Thomas untuk meng-konfirmasi tentang kejadian malam minggu berdarah itu sekaligus menanyakan maksud dari posting-annya di i********: tadi pagi.
Nasib sebagai staff HRD yang masih termasuk kelas pegawai rendahan, aku harus mengikuti perintah atasan untuk ikut ke acara penyambutan Presdir yang dilaksanakan di ruang pertemuan di lantai empat itu. Terpaksa. Dengan langkah gontai.
Ruang Pertemuan yang cukup untuk menampung ratusan karyawan kali ini disulap menjadi ruang pesta sederhana. Bagian panggung dihiasi dengan rangkaian bunga, dan sederet makanan dipajang di sisi kanan ruangan memenuhi meja panjang. Beberapa pondok makanan ringan seperti sate padang, dimsum dan roti jala dideretkan di sisi kiri ruangan. Tapi tak satupun dari deretan makanan itu yang menggugah seleraku. Pikiranku masih dipenuhi Thomas dan insiden berdarah itu. Entah mengapa perasaanku mengatakan ada yang tidak beres dengan kejadian malam itu.
“Maureen, sini!” Hansel menarik tubuh gontaiku hingga terduduk di antara rekan-rekan satu departemen kami. Kami duduk di deretan kursi bagian tengah.
Tadinya semua organ tubuhku sudah ikut berkonspirasi dalam penolakan hadir di ruangan ini, mataku menjadi sayu, gerakanku jadi gemulai bahkan dudukku pun merosot di bangku. Tapi semua organ tubuh mendadak bangkit dari tidurnya begitu menemukan sosok pria tengil-songong-tak-beretika yang kutemui tadi pagi di lift muncul di podium dan memperkenalkan diri sebagai Presdir perusahaan yang baru. What the hell!!
Aku sudah menduga dia pasti menduduki posisi tinggi di kantor ini mengingat perlakuannya pada Pak Ivan, tapi aku sama sekali tidak menduga dia menduduki posisi tertinggi di perusahaan ini. Tampangnya terlalu muda untuk posisi itu. Bahkan Pak Frans, Presdir yang sebelumnya sudah memiliki tiga anak dulu baru bisa menduduki jabatan itu. Tapi dia? Lihatlah rambut lebatnya, wajah kinclong tanpa kerutannya, postur tubuh tegaknya dan semua yang ada padanya, bukankah dia terlihat seumuran dengan Hansel? Paling juga masih di akhir duapuluhan kalau bukan awal tigapuluhan.
“Denger-denger calon mantunya Pak Komisaris tuh, makanya langsung di promote jadi Presdir.” Gea, salah seorang staff HRD yang duduk di meja yang sama denganku, seolah menjawab pertanyaan yang bersemayam dalam isi kepalaku.
“Nggak cuma karena itu sih, denger-denger doi emang pinter dan inovatif, pelebaran sayap perusahaan di Indonesia salah satu sepak terjangnya.” Imbuh Husein dari samping Gea.
Aku tidak sempat mendengar secara rinci dari isi pidatonya karena dalam hati aku sempat mengumpat setiap sikap kasar yang telah kulakukan padanya pagi tadi, bisa gawat kalau kejadian tadi pagi benar-benar membuatku terancam kehilangan pekerjaan, tapi aku sempat mendengarnya menyebut namanya Epafram Eulio.
“...Saya suka karyawan yang punya etika. Tahu cara meminta maaf dan berterimakasih...” Katanya dari atas podium dengan pandangan mata terkunci padaku.
Mati aku!
Dia pasti sedang menyindirku.
Tidaaakkkk!!!
Padahal tinggal menunggu dua bulan lagi aku sudah resmi menjadi karyawan tetap, bukan karyawan kontrak lagi, semoga kejadian tadi pagi tidak membuat kesempatanku bekerja di perusahaan ini justru hilang.
Demi b****g seksi Jamie Dornan, kenapa nasibku sial begini!!!
***