Acara penyambutan Presiden Direktur baru terbilang singkat. Dua jam saja. Tidak ada acara hiburan musik berlebihan, hanya pidato singkat dari para petinggi dan disusul dengan makan malam bersama. Syukurlah. Karena aku pasti tidak akan bisa tidur tenang malam ini sebelum menanyakan langsung pada Thomas tentang posting-annya di i********:, juga tentang kejadian berdarah itu. Aku sudah bertekad akan menemuinya malam ini juga.
Entah kapan Presdir pemilik hajatan pulang aku tidak tahu. Yang jelas ketika dia sudah tidak kelihatan lagi rimbanya, aku memutuskan untuk ikut melesat pergi. Tentu saja bukan untuk menyusulnya dan mengajarkannya etika tentang tata cara meninggalkan pesta yang baik dan benar. Oh astaga, apa yang kupikirkan? Aku tidak mungkin berpikir kalau orang itu akan berpamitan denganku sebelum pulang kan? Memangnya aku ini siapa? Cuma remahan kembang loyang.
“Maureen, mau kemana buru-buru amat?” Hansel mencegat langkahku di depan pintu aula.
“Mau ketemu Thomas. Aku harus meminta penjelasan dari Thomas... tentang lengan kamu.” Aku menatap lengannya prihatin, “Perasaanku mengatakan ada yang nggak beres.”
“Sudahlah Maureen. Aku nggak papa kok. Lukanya nggak parah. Lagian, kalau Thomas nggak ingin membahasnya, sebaiknya kita anggap aja kecelakaan ini nggak pernah ada.”
“Kalau memang lukanya nggak parah, nggak mungkin darahnya memenuhi lantai dapur Thomas kan, Han?”
Hansel tampak bingung dengan pertanyaanku, “Darah? Lantai dapur Thomas?”
“Iya, aku nggak tahu gimana ceritanya aku tiba-tiba diselundupkan di bawah meja makan, tapi aku bisa ingat jelas darahnya merembes kemana-mana. Dan kamu masih mau bilang lukanya nggak parah? Dengan darah bersimbah sebanyak itu, nggak mungkin lukanya nggak parah Han...”
Butuh beberapa menit untuk Hansel mencerna kalimatku, keningnya berkerut banyak. Dia tampak berpikir cukup keras untuk mengerti, namun akhirnya dia mengaku, “Itu bukan aku. Aku dan Thomas ribut di parkiran Kelab. Bukan di apartemennya. Gips ini dipasang karena ada syaraf yang tergeser karena tanganku dipelintir Thomas, sama sekali nggak ada darahnya...”
***
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, ketika Aku, Hansel dan Thomas akhirnya bertemu dengan suasana mencekam di apartemen Thomas. Nuansa gothic yang kental di apartemen Thomas yang terbilang mungil itu menambah horor suasana.
“Aku tahu aku bukan laki-laki yang pantas untuk kamu, Maureen. Tapi se-nggak-pantas-nya aku, laki-laki ini jauh lebih nggak pantas buat kamu.” Thomas mengunci tatapan matanya yang panas pada Hansel, “Dia ini cuma serigala berbulu domba. LAKI-LAKI b******k!”
“Aku punya alasan untuk semua yang aku lakukan. Jangan sembarangan menuduh! Kalau ada yang disebut b******k di sini, itu adalah kamu Thomas!” balas Hansel tak kalah galak, “Bagaimana mungkin kamu berpikir untuk mencumbu Tiara sementara kamu masih berstatus pacar Maureen! DASAR LAKI-LAKI BUAYA!”
Aku sudah siap berteriak kencang dan memaki Thomas, tapi sebelum satu huruf pun meluncur dari bibirku, Thomas menambahkan lagi, “Paling enggak aku nggak pernah memasukkan obat perangsang pada minuman perempuan manapun.”
“Sudah kubilang aku punya alasan. Aku siap menikahinya. Aku bukan kamu yang mengganggap Maureen selingan. Aku serius mau menikahinya.”
“Jadi kamu mau menjebaknya? Memberinya obat perangsang dan membuat dia terpaksa menempel padamu bagai lintah karena keperawanannya kamu ambil? Oh ayolah, apa kamu tidak punya cara yang lebih berpendidikan dari ini?” rahang Thomas ikut mengeras saat bertanya.
Apa-apaan ini? Suaraku tiba-tiba lenyap ditelan keterkejutan. Aku hampir tidak mengerti semua yang mereka bicarakan. Lalu tubuhku mendadak jatuh di sofa dengan posisi terduduk. Entah mengapa airmataku seakan tidak mau bekerja sama untuk berpura-pura tegar di depan kedua laki-laki b******k ini, dan suaraku ikut-ikutan keriting saat bertanya, “A, aku- aku benar-benar nggak ngerti, Bisa tolong jelaskan pelan-pelan.”
Thomas dan Hansel akhirnya merangkumkan cerita dengan diselingi u*****n dan opini memojokkan di setiap kalimat yang mereka ucapkan untuk satu sama lain. Tapi aku cukup paham yang mereka katakan.
Orang yang ingin ditemui Hansel malam itu adalah Thomas, niatnya baik, dia hanya ingin memastikan keseriusan Thomas. Jika Thomas belum bersedia menikahiku, maka Hansel yang akan melakukannya. Namun sebelum niat tulusnya itu tersampaikan, Hansel malah memergoki Thomas sedang mencumbu Tiara di dekat toilet. Darah Hansel langsung mengucur ke ubun-ubun karena marah, apalagi Thomas menegaskan bahwa aku hanya dianggapnya sebagai selingan.
Tidak sampai baku hantam, tapi urat syaraf keduanya sempat menegang kala itu.
Lalu entah mendapat inisiatif darimana, Hansel yang bertemu denganku sebelum aku bertemu Thomas justru memberiku obat perangsang. Jelas maksudnya untuk merebut keperawananku. Gila! Dia sampai senekat itu menjadi p*******a! Saat Hansel membawaku ke mobilnya, Thomas datang berlagak sebagai pahlawan. Dia menyelamatkanku dari Thomas lalu membawaku pulang ke apartemennya.
Oke, intisari kejadiannya mungkin cukup jelas. Tapi yang paling jelas di antara rentetan kejadian tidak masuk akal itu adalah:
1. Thomas tidak pernah serius dengan hubungan kami. aku hanya selingan baginya. Dia benar-benar tidak menghargai semua waktu dan perasaan yang telah kutuangkan dalam hubungan kami selama setahun terakhir. b*****t!
2. Hansel ternyata berhati busuk. Dia hampir saja merebut keperawananku setelah mencekokiku dengan obat perangsang. Gila! Apa dia tidak punya alternatif cara lain yang lebih pantas?
3. Laki-laki semua sama saja! Kurang ajar!
**
Perasaanku benar tentang malam berdarah itu. Tidak beres. Terkuaknya kejadian itu sekaligus menjadi kunci keselamatan masa depanku. Hampir saja aku menggantungkan sisa hidupku pada orang yang salah.
Aku benar-benar menyesal telah berniat mengancam Thomas untuk menikahiku. Kalau saja dia benar-benar setuju, tidak bisa kubayangkan bagaimana sisa hidupku di tangan laki-laki tukang selingkuh macam dia! Ngaku-ngakunya nggak tertarik sama Tiara karena dia penyanyi dangdut, tapi apa??? Dia mencumbunya??? Bahkan di saat aku masih menyandang status menjadi kekasihnya? Oh Tuhan, beginikah rasanya sakit hati? Seakan jantung ini mau terbakar rasanya.
PRANGGG!!!!
Kali ini aku melempar botol Joe Malone ke dasar lantai. Membuat serpihan pecahannya bersatu dengan koleksi parfum lain yang sudah terlebih dahulu mendarat darurat di tempat yang sama. Rasa sakit hati ini seakan membuat akal sehatku hilang. Aku mendadak lupa bagaimana aku menyicil parfum-parfum mahal itu agar bisa terpajang di meja riasku.
Lalu aku meringkuk lagi di kaki meja rias. Menumpahkan airmata lagi yang tak kunjung mengering. Sejak meninggalkan kedua lelaki j*****m itu di apartemen Thomas, aku menangis sepanjang jalan. Airmata yang tumpah selama setengah jam perjalanan dari apartemen Thomas hingga ke tiba di rumahku seakan tidak cukup untuk melampiaskan kesedihan ini. Belum lagi aku mencuci muka atau sekedar ganti baju, airmata ini sudah mengucur deras lagi. Tidak berhenti hingga waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari.
Dalam sedu sedan tangisan, aku sempat bersyukur. Bersyukur karena aku tidak sempat menjalankan niatku untuk mengandidatkan Hansel sebagai calon suami. Siapa sangka dibalik semua kesempurnaannya selama ini dia hanya laki-laki rendahan! Bagaimana mungkin dia berpikir untuk mengikatku dengan cara rendahan seperti itu? Itu sama saja dengan p*********n!
Aku jadi ingat beberapa bulan setelah masa training kami selesai, hampir setahun yang lalu, aku pernah mengaku padanya tentang keperawananku. Aku juga pernah mengaku padanya akan menikahi siapapun yang merebutnya. Bodoh sekali dia menjadikan curhatanku itu sebagai referensi.
“Aku ngelakuin itu karena itu satu-satunya cara untuk membuat kamu bertahan di sisiku, Mo. Aku juga nggak bakal senekat itu kalau Thomas memang bersedia berkomitmen denganmu. Tapi dengan kelakuan Thomas yang kayak binatang begitu, bagaimana mungkin aku tega lepasin kamu ke tangannya?” aku tiba-tiba mengingat dalih Hansel dalam membela dirinya tadi di apartemen Thomas.
Alasan macam apa itu? Gila dia! Apa dia tidak sadar kelakuannya juga persis seperti binatang!
“Maureen...” Mama tiba-tiba masuk ke dalam kamarku. Astaga, aku lupa mengunci pintu. Mama pasti kaget melihat kelakuan anak gadisnya yang sebelas dua belas dengan penghuni kebun binatang. Buas. Liar.
“Kalau kamu nggak setuju dengan perjodohan itu, nggak papa, Nak.” Mama mengusap lembut kepalaku yang kusandarkan di atas lutut, “Satu-satunya alasan Mama pengen kamu cepat-cepat menikah supaya kamu bisa menikmati hari tua dengan keturunanmu nanti. Mama melahirkan kamu di usia 40, dan sekarang Mama sudah 65 tahun, Nak. Mama sudah tua. Mama pengeeennn sekali punya kesempatan buat nimang cucu. Tapi kalau memang kamu belum siap ya nggak papa.”
Mama pasti sedang salah sangka. Wajar. Mama pasti sedang mengira amukanku ini disebabkan oleh perjodohan itu. Tapi aku tidak berusaha meluruskan pikirannya. Biarlah. Dengan begini aku bisa terlepas dengan orang yang dijodohkan denganku itu.
Aku benar-benar sedang tidak ingin berurusan dengan laki-laki.
***