Masa berduka atas hancurnya hatiku kubatasi hingga dua hari saja. Dua hari sudah lebih dari cukup untuk menangis merana meratapi nasib sambil mengurung diri di kamar tanpa melakukan apapun selain menangis. Walaupun aku tidak benar-benar pulih saat kembali ke kantor lagi hari ini, tapi setidaknya aku harus mencari kesibukan untuk mengalihkan rasa sakit hati ini.
Begitu tiba di kantor, aku langsung mendapat panggilan dari atasanku, ibu Ningsih Priyanti. Ketidakhadiranku selama dua hari ke kantor sebenarnya sudah disertai dengan surat keterangan sakit dari klinik di dekat rumah atas inisiatif mama. Entahlah ibu Ningsih memanggilku untuk apa kali ini.
Ningsih Priyanti adalah wanita paruh baya yang menjadi kepala bagian HRD di perusahaan kami. Dia termasuk salah satu wanita yang kukagumi karena pribadi, prilaku dan karekternya membuatnya pantas berada di posisinya sekarang ini. Setidaknya begitu kupikir hingga lima menit yang lalu.
Semua penilaianku terhadapnya harus berubah 180 derajat karena alasannya memanggilku adalah untuk memberiku ultimatum agar aku menyerahkan posisiku sekarang. Demi Tuhan, aku didepak? Dan bagian terburuknya adalah, bukan karena aku melakukan kesalahan dalam mengerjakan tugasku, tapi semata-mata karena diperintahkan oleh atasan!
Ya Tuhan, mengapa nasib sial tidak berhenti menghampiriku?
“Tenang saja, kamu bukan dipecat. Kamu hanya dipindahtugaskan.”
“Ke mana, Bu?”
“Mulai pagi ini kamu bekerja sebagai asisten pribadi Bapak Epafram Eulio. Ruanganmu di lantai tujuh.”
“Tapi kenapa, Bu?”
“Lho, kok kenapa? Anggap aja kamu naik pangkat. Gaji pokok kamu akan dikalikan dua dari yang kamu terima selama ini, karena tugas sebagai asisten Pak Pram tidak akan mudah.”
“Tapi Bu, kenapa harus saya? Saya masih menyimpan data-data pelamar yang ikut tes satu bulan yang lalu kok, Bu. Nilai mereka bagus-bagus. Bagaimana kalau kita mencari kandidat dari data itu saja, Bu?”
Ibu Ningsih menatap wajah meranaku cukup lama, tapi tidak cukup untuk membuat keputusannya berubah, “Kamu lebih suka diberhentikan?”
“Apa? Tidak, Bu.”
“Kalau begitu, lakukan seperti yang diperintahkan. Di perusahaan ini ada tingkatan jabatan. Ada perintah dari jabatan-jabatan tertentu yang tidak bisa kamu bantah. Mengerti?”
Asisten Pribadi katanya? Itu terdengar sangat buruk. Maaf, bukan bermaksud merendahkan pekerjaan asisten, hanya saja kalau saja boleh memilih, aku lebih suka berinteraksi dengan banyak orang daripada harus melayani satu orang saja. Mana yang harus dilayani si tengil-songong-tak beretika itu lagi? Atas dasar apa dia tiba-tiba menunjukku jadi asistennya, coba?
Oh tidak! Jangan bilang ini skenario yang sengaja disiapkan ular picik itu untuk membalasku. b*****t! Apa begini caranya berterimakasih setelah kubantu memperbaiki perbannya tempo hari?
Kesimpulanku tentang laki-laki semakin kuat. Semuanya b******k! Termasuk Epafram Eulio!
“Maureen, kenapa kamu nggak angkat telponku? Nggak balas semua pesanku? Aku benar-benar minta maaf, Maureen. Aku serius. Aku terpaksa. Aku nggak punya cara lain untuk mengikat kamu,” berondong Hansel saat menyambangi kubikelku. Kubikel kesayangan yang harus kutinggalkan mulai hari ini.
“Kamu tinggal nembak aku, Han. Apa susahnya? Kenapa cara pikirmu harus picik begitu?” tak kuasa aku menahan emosi sehingga suara bisik-bisikku pun terdengar penuh penekanan.
“Aku udah lakuin itu dua kali. Dan nggak berhasil. Ingat?”
Ya, Hansel mungkin ada benarnya. Dia memang telah melamarku menjadi kekasihnya dua kali. Kali pertama adalah saat kami selesai training sebagai karyawan sekitar satu tahun yang lalu, dan yang kedua adalah dua bulan yang lalu. Tapi kenyataan tentang dia benar-benar telah menembakku dan berakhir ditolak sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk berbuat zina terhadapku kan?
“Kenapa kamu tidak berpikir dari sudut pandang lain? Aku berani melakukan itu karena begitu besar keinginanku untuk memilikimu hingga aku berani berbuat nekat. Dan aku pastikan akan bertanggungjawab penuh atas semua tindakanku.”
Aku menatap lurus mata Hansel. Ada kejujuran dan ketulusan terpancar dari kedua bola matanya.
Mungkin ide tentang pindah-tugas ini ada baiknya. Setidaknya aku tidak perlu terpedaya tatapan mata buaya itu.
“Dengar Han, mulai detik ini, kuharap kita nggak usah ketemu lagi.”
***
Seumur-umur baru kali ini aku menginjakkan kaki di lantai puncak gedung perkantoran kami. Lantai ini sarangnya para bos besar hingga orang-orang yang tidak lebih dari remahan peyek sepertiku tidak akan pernah punya kepentingan untuk memijakkan kaki di lantai ini.
Di banding lantai-lantai lainnya di gedung ini, lantai ini lebih tenang dan nyaman. Lantainya bahkan dilapisi dengan karpet tebal dan pigura-pigura yang menggantung di dindingnya lebih berkelas. Tepat di depan lift sudah tersedia meja informasi yang sedang diduduki oleh dua orang perempuan super cantik yang langsung menyambutku ketika mendekati meja mereka.
“Ng, saya dipindahtugaskan jadi asisten pribadi Bapak Epafram Eulio, kalau boleh saya tahu, ruangan saya di mana ya?” tanyaku pada salah satu perempuan cantik itu sambil memeluk kardus berisi barang-barangku.
“Oh, Maureen Fidelia?”
“Iya, betul.”
“Kamu lurus saja dari lorong ini,” perempuan itu menunjuk sebuah lorong di sebelah kiri, “tepat di ujung lorong itu sudah ada meja Yuliani Mulia, sekretarisnya Pak Pram. Kamu boleh tanyakan pada beliau.”
“Oh oke, terimakasih.”
Sejurus kemudian aku sudah melewati lorong sepanjang dua puluh meter dan berhenti di depan meja Yuliani Mulia.
Enaknya jadi bos, sudah punya sekretaris sekalipun, tidak akan ada yang berani protes kalau kau meminta asisten tambahan. Sialnya posisiku bukan sebagai bos, tapi hanya figuran tak berarti berkedok asisten. Sial.
Aku hanya membaca profil Yuliani Mulia lewat curriculum vitae yang diserahkannya sebagai data perusahaan, tadi sebelum menginjakkan kaki di lantai tujuh ini. Tampangnya persis seperti foto yang ditempelkan pada data dirinya itu. Cantik. Rambut panjangnya tergerai menonjolkan sisi feminin. Kalau hasil analisa singkatku tidak meleset, aku seharusnya bisa cepat akrab dengan perempuan yang usianya hampir sebaya denganku itu. Hanya dua tahun di atasku. Orang-orang cenderung cepat akrab dengan seusianya kan? Paling tidak, itu satu-satunya penghiburan yang bisa kuharapkan setelah didepak ke tempat ini.
Mengingat siapa yang menjadi atasanku saja sudah membuat perutku mulas. Epafram Eulio! Lelaki tengil yang matanya mengandung laser yang siap membakar apapun yang dilihatnya. Belum lagi pembendaharaan katanya yang sarkastik. Uh, sungguh aku lebih suka putar balik dan kembali ke meja kerjaku sebelumnya.
“Maureen Fidelia?” Aku menangguk di depan Yuliani saat dia bertanya, hingga membuatnya menambahkan kalimat lagi, “Sebentar aku kasih tahu Pak Pram kamu sudah tiba.”
Aku mengangguk lagi.
Setelah memberi kabar pada atasannya tentang kehadiranku Yuliani lalu melambai-lambaikan tangannya sebagai isyarat untukku mendekat. Aku mengikuti isyaratnya dengan menunduk mendekati wajahnya, “Kamu kok lama sih? Pak Pram udah lama lho nungguin kamu, dia kan paling nggak suka disuruh nunggu,” bisiknya.
Kata demi kata yang dirangkai Yuliani menjadi kalimat perlahan-lahan merayap di sekujur tubuhku memberi efek merinding. Aku sudah sangat yakin tidak akan mendapat kesan baik tentang jabatan baru ini, bekerja dengan baik saja belum tentu dapat pujian kalau model bosnya kayak Pak Pram, gimana ceritanya kalau belum mulai bekerja aja aku udah bikin dia nggak suka? Bakal diapain coba aku? Jangan bilang aku bakal dipecat sebelum mulai bekerja!
Aku menelan ludah dengan tingkat kesulitan tinggi begitu masuk ke area perbatasan Singa Liar itu. Ruangan kantor Pak Pram sendiri seharusnya tidak memberikan kesan mengecam karena berlatarkan wallpaper nuansa kayu yang digantungi pigura dengan lukisan bunga edelweis yang terpisah menjadi tiga bagian di tiga frame yang terpisah. Sementara sisi kiri ruangan berbatasan langsung dengan kaca yang memenuhi dinding mempertontonkan keindahan kota Jakarta. Di pusat ruangan sendiri tersedia satu set sofa hitam super empuk berlapiskan kulit yang sama persis seperti kursi yang sedang diduduki Pak Pram di meja kerjanya.
Satu-satunya yang membuat suasana mencekam mungkin adalah Pak Pram sendiri. Penampakannya di pojok ruangan dengan kemeja gading dan dasi yang sedikit miring pagi ini tampak kontras dengan kepribadiannya. Dia tampak terlalu tenang dalam tumpukan berkasnya dan konsentrasinya yang tinggi membuat garis-garis wajahnya tampak jelas menebar aura kepemimpinan yang membuatku sempat lupa kalau dia hanya singa liar yang masih tertidur.
Begitu matanya menatapku, di situlah kurasakan sensasi singa liar baru dibangunkan dan siap menerkam mangsa. Horor. Sorot matanya yang tajam mengamatiku dari ujung kaki hingga ujung rambut. Oh, mengapa dia harus menyelisikku dengan tatapan Vampire begitu? Tapi kalau dipikir-pikir kok malah jadi mirip Edward Cullen?
Astaga, apa yang sedang kupikirkan? Sadar Maureen, sadar!
“Kenapa lama?”
Tuh kan, dia ini bukan Edward Cullen, Maureen, dia ini bukan vampir vegetarian, tapi dia Vampir penghisap darah manusia!
“Ng, saya beberes dulu tadi, Pak.”
“Dengan bawaan cuma sekotak kardus begitu apa tidak terlalu banyak waktu yang kamu habiskan? Saya jadi bertanya-tanya berapa banyak waktu yang bakal kamu gunakan sekedar untuk membuatkan saya kopi nanti.”
Dengan kerjaan bapak yang sebanyak itu, apa tidak terlalu buang waktu dengan menceramahi saya? Adalah yang ingin kulontarkan, tapi aku malah menjawab, “Maaf, Pak.”
“Saya tidak suka asisten yang lelet.”
Kemudian dia meletakkan penanya dan menyilang tangannya di depan d**a. Singa begajulan itu bahkan tidak mempersilakan aku duduk dulu atau menyuruhku meletakkan barang-barang dulu. Memang dasar tidak berprikemanusiaan!
“Sudah tahu jobdesc kamu kan?”
“Ng, sebenarnya masih agak rancu, Pak.”
“Lho, bukannya kamu selama ini bekerja di HRD mestinya kamu kan yang paling tahu tugas dan kewajiban setiap karyawan?”
“Tapi saya sendiri belum pernah bekerja sebagai asisten pribadi, Pak. Apa perlu saya seleksi calon pelamar yang bulan lalu mengikuti tes masuk perusahaan ini? Mungkin ada yang cocok dengan kriteria Bapak.”
Dia diam sejenak sebelum bangkit dari singgasananya. Dia berjalan mengitari meja kerjanya hingga berdiri tepat di depanku. Tangannya diayunkankannya mendekati wajahku. Perlahan tapi pasti ujung tulunjuknya mulai menyentuh pipiku.
Mati aku!
Bisakah tolong berjalan mundur sejenak, wahai waktu? Mungkin aku harus mengoreksi kalimatku tadi. Mungkin tidak seharusnya aku mendiktenya cara untuk merekrut asisten segala. Kalau saja kedua tanganku tidak penuh dengan kardus barang-barang, mungkin sudah kutangkis tangannya dan memelintirnya hingga dia kesakitan.
“Saya tidak punya kriteria khusus. Saya hanya memilihmu karena saya pikir kamu pantas mendapat ganjaran karena telah melukai saya,” katanya. Jari telunjuk yang mendarat di pipiku kemudian digunakannya untuk menarik sehelai rambut yang menempel di dekat bibirku.
Oh syukurlah.
Aku sempat berpikir untuk melaporkannya kepada pihak kepolisian karena melakukan kekerasan terhadap karyawan jika tangan itu benar-benar digunakannya untuk menampar atau mencubitku. Lalu sebagian dari diriku ingin berontak. Ganjaran karena melukai saya katanya??? Kenapa sih si kutu kupret ini tidak berhenti menyudutkanku atas luka di lengannya???
“Detail pekerjaannya sebentar lagi juga kamu bakal tahu,” sambungnya sambil melabuhkan bokongnya di tepi meja kerjanya. “Yang jelas kamu tidak boleh jauh dari saya, karena saya bisa memberi tugas sewaktu-waktu. Meja kerja kamu, Itu...” dengan dagunya dia menunjuk sebuah meja kerja yang ukurannya sedikit lebih mungil daripada meja kerja pada umumnya di sudut ruangan, sejajar dengan pintu masuk. Posisi yang tidak menguntungkan karena membuat siapapun yang duduk di bangku itu harus berhadapan dengan pemilik ruangan ini.
Sial.
***