Hari pertama bekerja sebagai Personal Assistence Pak Pram tidak seburuk yang kubayangkan. Pekerjaan di tempat ini memang tidak mengenal jeda. Setiap kali kukira sudah bisa menarik napas lega sambil meregangkan otot, Pak Pram akan menumpukkan berkas lagi di atas meja kerjaku. Yang harus difotokopilah, yang harus diperiksa ulanglah, yang harus diserahkan ke beberapa departemen yang berbedalah, dan seabrek pekerjaan lainnya.
Aku jadi sedikit paham bagaimana ceritanya Pak Pram bisa menjabat posisi ini di usianya yang masih muda. Dia pekerja keras. Aku mungkin bakal protes besar kalau dia menugasiku banyak hal sementara dia cuma ongkang-ongkang kaki. Nyatanya, aku bahkan tidak berani berkutik karena Pak Pram selalu sibuk bekerja. Bekerja. Dan bekerja.
Seabrek kesibukan ini sekaligus menyedot semua konsentrasiku dan berhasil membuatku lupa sejenak tentang sakit hatiku.
Menikmati pemandangan dengan suasana ruangan baru juga cukup menyenangkan. Selain karena ruangan yang mewah ini membuatku serasa petinggi, pemandangan Pak Pram sendiri yang sedang diam dan sibuk bekerja menjadi hiburan tersendiri. Ibarat sedang berada di akuarium raksasa, keberadaan Pak Pram persis ikan hiu yang tengah berenang-renang cantik. Begitu mempesona. Tapi tetap, dia hanya binatang buas.
Kulirik lagi jam tanganku, jam 5 teng. Waktunya pulang.
Pak Pram sendiri masih sibuk dengan semua berkas di atas mejanya. Aku jadi bingung harus bagaimana. Kalau aku buka suara dan minta izin pulang lebih dulu, alamat kena terkam singa ngamuk deh. Tapi aku nggak mungkin berdiam diri saja, aku juga letih dan butuh istirahat.
“Tok... Tok... Tok...” Yuliani sang sekretaris dengan blazer pink bunga-bunganya masuk ke dalam ruangan menginterupsi kesibukan Pak Pram. “Maaf Pak, kalau boleh saya permisi pulang. Ini sudah pukul 5, Pak.” Kata Yuliani dengan suara pelan.
Pak Pram hanya melirik sebentar dari balik berkas yang sedang diperiksanya, kemudian mengangguk pelan.
Yes, syukurlah Yuliani membuka jalan. Aku ikut-ikutan menyusun barang-barangku ke dalam tas dan ikut beranjak untuk bisa keluar bersama Yuliani. Namun sebelum aku keluar dari pintu Pak Pram sudah bersuara, “Maureen, mau kemana?”
Sumpah, rasanya ingin mengumpat saja. Tapi aku malah memutar balik tubuhku dan permisi, “Pulang, Pak.”
“Kata siapa kamu sudah boleh pulang? Kamu ini asisten pribadi, berani-beraninya kamu pulang lebih dulu daripada atasan kamu? Di mana etika kerjamu?”
“Tapi, Pak... Mbak Yuliani sudah boleh pulang...” suaraku kehilangan tenaga. Memelas.
“Dia kan tidak perlu mengantarkan saya pulang. Tapi kamu, tugas kamu memastikan saya sampai di apartemen dengan keadaan baik dan tidak kekurangan suatu apapun.”
“Lho, Bapak kan punya fasilitas kendaraan plus supir dari kantor? Lagian, saya bawa kendaraan sendiri, Pak.”
“Kendaraan kamu biar supir yang antar ke kediaman kamu.”
“Jadi, kalau saya antar Bapak pulang, siapa yang antar saya pulang, Pak?”
“Lho, kamu ini kudet apa gimana sih? Zaman sekarang kan sudah banyak ojek online, taksi online, gitu aja kok repot? Kenapa? Kamu tidak download aplikasinya?”
“Bukan soal aplikasinya, Pak. Tapi kan tidak efesien, Pak. Akan lebih efisien kalau saya pulang naik kendaraan saya, dan supir Bapak yang mengantar Bapak pulang.”
“Yuli, kamu boleh pulang. Silahkan.” Tanpa kami sadari Yuliani masih menyaksikan perdebatan kami, seolah-olah perdebatan ini lebih seru ketimbang debat kandidat Gubernur saja. Disuruh pulang oleh Pak Pram, Yuliani tampak sedikit kecewa, namun mengangguk setuju dan langsung menghilang dari pandangan mata.
“Maureen, sini!” panggil Pak Pram sambil melambaikan tangannya, memberi isyarat untukku mendekat.
Mati aku!
Mana Yuliani udah keburu pulang duluan lagi. Kalau sampai kepalaku dijitak sampai benjol gimana dong? Aduuhhh, aku benar-benar berurusan dengan orang yang salah!
“I, Iya, Pak...” cicitku dari samping kursinya.
“Kamu masih betah kerja di sini?” suaranya terdengar berbahaya.
“M-Masih, Pak,” sementara suaraku masih saja terdengar mencicit.
“Kalau begitu ikuti yang saya perintahkan.”
Aku mengangguk patah-patah.
“Asal kamu tahu, saya memberi posisi ini untukmu supaya kamu sadar bahwa saya bukan pria baik-baik. Cam kan itu.”
Butuh waktu cukup untukku bisa berhenti bergeming setelah mendengar peringatan Pak Pram. Tanpa diingatkan olehnya pun, aku sudah tahu dia bukan pria baik-baik, dia jelas-jelas pria tengil-songong-tak beretika. Tapi untuk apa dia repot-repot membuatku harus memberinya penilaian buruk? Apa pendapatku tentangnya begitu penting?
***
Apa aku sudah menyebutkan hari pertama bekerja sebagai personal assistant Pak Pram tidak buruk? Aku ingin meralatnya. Hari pertamaku bagai NERAKAAAAA...!!!
Dia meninggalkanku di kantor hingga hampir semua ruangan gelap gulita, sementara dia pergi menemui klien hingga pukul 10 malam! Bangsaaaatttt!!!
Kalau saja dengan tatapan mata aku bisa membuatnya sadar betapa aku sedang marah, mungkin level kemarahan ini akan sedikit menurun. Setidaknya, marahku punya sasaran. Tetapi tidak. Bahkan dengan tatapan mata yang begitu menyeramkan kubidik dia saat duduk di bangku penumpang mobil Range Rover-nya, dia santai saja.
“Sudah bisa jalan? Belum cukup melihat saya dengan sinis begitu? Hati-hati bola mata kamu meloncat keluar dari tempatnya.” Dia justru mengejekku ketika aku hanya membidiknya kejam tanpa melajukan mobil yang sudah kunyalakan mesinnya.
“Apa pendapat saya begitu penting, sehingga Bapak harus memperlakukan saya begini?” suaraku tak kalah sinis dari tatapan mataku.
“Oh, jelas. Kamu adalah orang pertama yang harus tahu betapa kejamnya saya.” Dia menyelesaikan kalimatnya begitu perlahan. Seolah-olah setiap kata yang baru saja diucapkannya harus benar-benar terserap sempurna di otakku.
Dan Bapak adalah orang pertama yang harus tahu betapa Bapak telah berurusan dengan orang yang salah! Adalah yang ingin kuucapkan, namun hanya kulampiaskan dengan memijak pedal gas begitu dalam hingga mobil hampir meloncat.
Kebut-kebutan di jalan mungkin jadi salah satu pelampiasan yang cukup membantu mengobati kekesalanku hari ini. Tanpa ragu aku menyalip mobil-mobil di sisi kiri dan kanan jalan hingga sesekali membuat tubuh Pak Pram kehilangan kendali dan hampir oleng. Namun kekesalan itu mendadak sirna begitu Pak Pram menyingsing lengan kemejanya dan memperlihatkan lukanya tempo hari. Masih dengan perban amburadul yang kami kerjakan di unit kesehatan tempo hari. Pak Pram sendiri tampak meringis kesakitan ketika menyingsing balutan luka itu.
Pemandangan yang benar-benar menyita semua kekesalanku terletak pada ujung perban yang mulai melorot dan memperlihatkan luka bengkak dan merah menyala.
“Ya ampun, Pak! Luka Bapak infeksi?” seruku. Untunglah kami sedang berhenti di lampu merah.
“Thanks to you.” Sorot matanya menuduhku.
Tapi tidak membuatku merasa tersudut karena perhatianku masih tertuju pada bekas lukanya. Saat aku ingin memegangnya, tangan Pak Pram lebih dulu mencegah tanganku, “Stop, sebelum kamu membuatnya semakin parah!”
Kalau bukan karena tangannya yang super panas hampir membakar kulitku, mungkin aku sudah balas membela diri. Alih-alih memperpanjang perdebatan, aku justru meletakkan telapak tangan di keningnya. Panas. Dia demam tinggi. Maka ketika rambu lalu lintas berubah warna menjadi hijau, aku memutar balik kendaraan menuju rumah sakit terdekat.
“Ini bukan jalan ke apartemen saya!”
Aku memilih mengabaikan protesnya. Sejak detik pertama aku memijakkan kaki di kantornya aku sudah ingin protes besar karena si songong ini tidak tahu cara berterimakasih setelah kubantu memperbaiki perbannya tempo hari. Tapi mungkin aku keliru. Jangan-jangan aku justru membuat lukanya menjadi infeksi?
***