Tidak lebih dari dua puluh menit waktu yang kami tempuh untuk tiba di rumah sakit swasta terdekat. Pak Pram berkali-kali berontak tidak ingin diperiksa dokter akhirnya harus mengalah karena aku memanggil perawat dari bagian IGD.
“Ada luka di lengannya, sudah berhari-hari dan sepertinya tidak ditangani dengan benar. Tubuhnya juga demam tinggi. Saya curiga lukanya infeksi, Sus.” Aku memberi keterangan saat dua orang perawat akhirnya turun tangan menggotong tubuh Pak Pram.
Pak Pram diam saja saat ditangani kedua perawat itu, namun matanya tidak berhenti menyorotku tajam. Seolah-olah hanya sejauh itu kemampuannya untuk bisa protes menghadapiku saat ini. Dia mungkin tidak berani mengeluarkan kalimat sarkastik andalannya lantaran jaim di depan para perawat cantik. Dasar laki-laki buaya!
“Wah, kalau lukanya begini sih, seharusnya dijahit Pak. Kok dibiarin terbuka sampai berhari-hari?” celetuk salah seorang perawat berambut sebahu saat memeriksa lengan Pak Pram.
Pak Pram diam saja. Ajaib.
Seharusnya begitulah caranya menghadapiku setiap saat. Diam. Dia kan jadi keliatan cool persis tokoh protagonis angkuh nan mempesona di drama-drama.
“Ini sih harus dirawat ulang, Pak. Bapak ada wali? Untuk membantu mengurusi andministrasi saja sih,” kali ini dokter yang memeriksa luka Pak Pram yang bersuara.
Pak Pram menggeleng pelan, tak luput wajahnya tampak menyedihkan. Sialnya tampangnya itu justru mengundang rasa ibaku. Apakah dia benar-benar tidak punya seseorang untuk dihubungi di saat-saat penting seperti ini? Sial.
“Biar saya saja, Dok, yang jadi walinya.” Bodoh! Aku pasti sedang menggali liang kuburku sendiri. Rasa tanggungjawab apa yang sedang kumanjakan hingga aku bertindak sejauh ini? Bodoooohhh!!!!
Saat aku sibuk mengutuk diriku sendiri, di situlah kusadari tatapan mata Pak Pram mulai berbeda saat melihatku. Tidak ada sorot mata tajam nan buas lagi, tapi... tatapannya berubah lembut.
***
Aku pasti kehilangan akal sehat pasca patah hati dikhianati pacar dan sahabatku, Thomas dan Hansel, kalau tidak mana mungkin aku se-betah ini menunggui Pak Pram hingga pukul 12 malam ditangani dokter. Pakai minta izin menginap di luar segala lagi sama Mama dengan alasan menemani bos besar di rumah sakit.
“Ooo, pantes mobil kamu dianter sama supir kantor tadi,” kata Mama saat kuberi kabar lewat telepon.
“Iya, Ma,” balasku sekenanya.
“Bosnya laki-laki apa perempuan?” tanya Mama lagi. Nada suaranya sedikit centil, seolah-olah sedang berharap anak gadisnya berhubungan dengan bos laki-laki yang potensial menjadi calon suami.
“Laki-laki, Ma. Tapi udah punya istri. Gendut. Kepalanya botak lagi.” Aku mematahkan harapan Mama. Jangan sampai deh, Mama sampai menaruh harapan sama bos yang satu ini. Alamat satu keluarga ketiban sial berhubungan sama laki-laki songong kayak dia.
“Waduh, kalau gitu kamu jaga diri baik-baik. Jangan sampai diapa-apain. Bisa gawat kalau kamu dikira gadis penggoda suami orang. Apa sih istilah kerennya? Pelakor ya?”
“Idih Mama, ketahuan banget deh hobi follow akun-akun gosip. Eh, udah dulu ya, Ma. Bosnya udah selesai ditangani dokter nih. Selamat Malam, Ma.”
Aku mengakhiri pembicaraan tepat ketika dua orang suster mendorong ranjang Pak Pram masuk ke dalam ruangan VVIP yang sudah dipilihnya sebelum ditangani dokter tadi. Pak Pram sendiri terbaring pulas di atas ranjang tersebut. Pulas dan menenangkan. Syukurlah.
Menurut suster lukanya sudah dijahit dengan benar dan Pak Pram sendiri diberi antibiotik dan obat penurun panas hingga sekarang tertidur pulas di ranjangnya. Jadi di sinilah aku menungguinya. Dengan bodohnya.
“Kalau perlu bantuan, silahkan tekan tombol ini saja yaa, Mbak,” kata salah seorang suster sambil menunjukkan tombol bantuan.
“Iya, Sus. Makasih.”
“Lain kali kalau punya calon suami dijagain dong, Mbak. Kan kasian, ganteng-ganteng begitu tapi nggak terurus,” imbuh suster yang lainnya.
Oh tidak! Apa mereka sedang berpikir kalau kami sepasang kekasih?
“Dia bos saya, Sus. Bukan calon suami saya.” Aku berusaha meluruskan.
“Tadi si Bapak bilang, Mbak ini calon istrinya,” sahut sang suster lagi.
Astaga, betapa menyedihkan nasib bos-songong ini. Apa dia harus membuatku tampak seolah-olah calon istrinya hanya karena tidak ada seorang keluarga pun yang mendampinginya? Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
***
Aku tertidur dengan posisi duduk di samping Pak Pram dan kepala bertengger ke tepi ranjangnya. Sayup-sayup kudengar gemeresik gerakan Pak Pram dari tempat tidur, tapi kelelahan yang melandaku membuat mataku tidak sanggup untuk sekedar mengintip kondisinya.
Satu-satunya yang membuat mataku mulai mengintip di antara celah tipis kelopak mata adalah satu hembusan napas lembut menyapu daguku dan sesuatu yang lembut dan sedikit basah menyentuh bibirku.
“Thank you,” desahnya pelan di dekat telingaku.
Dan aku mengangguk begitu saja.
Perlahan namun pasti, sebentuk wajah dengan posisi terbalik mulai menjauhi wajahku. Sebentuk wajah yang baru saja berdempetan dengan bagian bibir terbalik menyatu dengan bibirku. Sebentuk wajah yang mulanya hanya terlihat jelas pada bagian rahang yang keras beringsut menjauh memperlihatkan bagian lain dari wajah itu sendiri; hidung yang tinggi mancung, mata yang tajam dengan alis lebat, dan rambut hitam legam. Sebentuk wajah yang perlahan memutar hingga posisi tegak dan tidak kelihatan terbalik lagi.
Semua kesatuan wajah milik EPAFRAM EULIO!!!
***
Wajah Pak Pram sudah mengamatiku serius dengan posisi duduk di ranjangnya, saat aku mengerjap-ngerjapkan mata sembari mengumpulkan nyawa yang masih wara-wiri. Menyadari wajah itu persis seperti wajah yang mengecupku barusan, aku tersentak kaget hingga hampir terjungkal bersama bangku yang sedang kududuki.
Wajah itu! Wajah itu yang menempel dengan posisi terbalik saat mengecup bibirku!
“Mimpi apa kamu? Sampai pucat begitu?”
Mimpi? Oh, jadi ternyata cuma mimpi? Aku menghela napas lega.
“Sudah pagi! Jangan molor saja! Anak gadis kok tidurnya mirip beruang kutub sedang hibernasi?” gerutu Pak Pram.
Bukannya meladeninya, aku malah menggeleng-geleng kepala mengingat mimpi burukku. Bagaimana bisa aku mimpi dikecup Pak Pram? Kayak nggak ada laki-laki lain yang lebih berbobot saja? Jamie Dornan kek, Sam Claflin kek, atau Dan Stevens kek, kok malah Pak Pram? Ini pasti efek samping kebanyakan menangis dua hari penuh pasca patah hati, hingga aku malah memimpikan laki-laki kayak Pak Pram bilang thank you lagi??? Emangnya dunia udah mau kiamat?
Aku yang paling hafal pengakuan Pak Pram yang bilang kalau aku yang harus paling sadar kalau dia bukan laki-laki baik-baik. Mana mungkin dia memperlakukan aku baik jika dia ingin dicap buruk?
“Kalau udah selesai melamunnya, tolong kamu ambilin tas kerja saya di mobil. Ada beberapa berkas yang harus ditandatangi dan diserahkan ke bagian keuangan hari ini.”
Tuh kan. Bukannya nanyain sarapan atau ngucapin terimakasih karena udah jagain dia semalaman, dia malah merintah-merintah lagi pagi-pagi begini! Dia jelas bukan laki-laki baik-baik.
“Saya permisi ke mini market dulu. Mau beli sikat gigi dan sabun cuci muka. Sarapan Bapak biar saya suruh dianter sama suster.”
“Pakaian dan alat mandi kamu, itu.” Dengan dagunya Pak Pram menunjuk sebuah kantong kertas di atas sofa dekat jendela, kemudian berdeham untuk mengatasi salah tingkah karena kupandangi dengan tatapan tidak percaya, dia menambahkan, “Ehem. Kamu bau! Mandi sana.”
Baru saja aku ingin berterimakasih karena sudah menyiapkan pakaian dan alat mandiku, niatku sudah merangkak mundur karena justru diledek bau! Dasar bengis!
Tanpa meladeni si bengis itu lagi, aku memungut kantong kertas yang ditunjuknya dan masuk ke dalam kamar mandi.
Sesampainya di kamar mandi aku cukup takjub. Heran sekaligus kagum. Heran karena pakaian yang disediakan lengkap dengan onderdil daleman yang ukurannya bisa dipastikan pas. Dan kagum karena pakaian yang disediakan persis seleraku, elegan, namun tidak terlalu terbuka.
Aku keluar dari kamar mandi saat Pak Pram sudah siap untuk menyendokkan mulutnya dengan makanan yang sudah diantar suster. Tangannya sempat diam di depan mulut karena pemilik tangan sibuk mengamatiku dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Tidak ada yang terlalu spesial sebenarnya karena aku masih menggulung rambut dengan handuk sementara tubuhku dibalut dress one piece selutut berwarna dark grey, sedangkan kaki masih beralaskan sandal rumah sakit. Tapi siapapun yang melihat Pak Pram detik ini bisa menyimpulkan kalau beliau sedang terpesona. Matanya bahkan tidak berkedip.
Atau aku yang baper-an?
“Jangan biarkan pintu kamar mandinya terbuka begitu. Wangi sabunnya menguar bikin selera makan saya hilang,” umpatnya setelah beberapa detik jeda.
Fixed, aku baper-an. Apa yang sedang kupikirkan hingga merasa orang seperti Pak Pram terpesona padaku? Maureen… Maureen… otakmu benar-benar harus di-upgrade, ledekku pada diri sendiri.
“Apa model pakaian itu cocok untukmu?” tanya Pak Pram di sela-sela kegiatannya mengunyah makanan.
“Cocok, Pak,” jawabku sumringah, “Siapa yang membelikannya, Pak?”
“Siapa lagi kalau bukan saya?” jawabnya acuh tak acuh.
“Bapak kan masih terbaring lemah di sini. Bagaimana caranya?”
“Saya membelikannya pakai aplikasi ini.” Pak Pram menunjukkan layar ponselnya yang masih belum keluar dari aplikasi layanan jasa kurir.
“Ooo…” balasku sambil manggut-manggut. Sikap Pak Pram yang satu ini di luar dugaanku sebenarnya. Orang seperti Pak Pram tidak seharusnya repot-repot berselancar di dunia maya untuk menyiapkan perlengkapanku kan, ya? Habis kesambet apa dia sampai rela waktu istirahatnya digunakan untuk memesankan perlengkapanku segala?
Tapi kemudian alisku tiba-tiba bertaut ketika mengingat, “Bagaimana Bapak bisa tahu ukuran saya?”
Pak Pram tampak kesulitan menelan makanannya sendiri saat mendengar pertanyaanku, “Kamu sendiri yang dengan senang hati mempertontonkannya pada saya.” Kurasa aku tidak salah saat melihat wajahnya mulai ketat.
“Ya?”
Bola mata Pak Pram ditugasinya untuk menyorotku tajam saat menjawab, “Perempuan seperti kamu adalah perempuan yang paling saya hindari. Saya tidak suka berurusan dengan perempuan yang sembarangan memamerkan asetnya pada sembarangan pria. Asal kamu tahu, saya tidak akan tergoda!”
“Apa?”
Hanya karena dia dengan sukarela mempersiapkan perlengkapanku, bukan berarti dia bebas menghakimiku seperti ini kan? Kalau saja aku tidak ingat dia adalah atasanku di kantor, mungkin sudah kutempeleng saja kepala busuknya itu.
Memamerkan aset katanya? Jelas-jelas aku selalu berpakaian sopan ke mana pun dan di mana pun. Paling lancang juga rok tiga senti di atas lutut, tidak lebih.
Apa jangan-jangan Pak Pram sudah berpengalaman dengan tubuh perempuan, hingga dia bisa menebak ukuran siapapun hanya dengan melihat posturnya saja? Sembarangan sekali dia mengataiku mempertontonkan padanya? Memangnya dia siapa, yang membuatku rela mempertontonkan asetku padanya? Pada pacar sendiri aku masih jual mahal.
Karena Pak Pram tidak kunjung melanjutkan tuduhannya tapi malah melanjutkan makan dengan wajah kesal maksimal, akhirnya kuputuskan untuk mendengus pasrah. Meladeni kegilaan Pak Pram sama saja dengan cari mati. Aku masih butuh pekerjaanku, jadi aku harus profesional.
“Pastikan Bapak makan obat setelah selesai makan, tampaknya demam Bapak berpotensi membuat pikiran Bapak tersesat.”