PART 10 - CEMBURU

1342 Kata
"Lidahmu jangan kamu biarkan menyebut kekurangan orang lain, sebab kamu pun punya kekurangan dan orang lain pun punya lidah." - Imam Syafii – *** Bandara Soetta, Ummu dan Azra menunggu Fatih dan Aamina di sebuah restoran dengan label halal yang ada di terminal tiga Ultimate Soekarno Hatta. Ummu dan Azra sudah shalat maghrib dan setelah melakukan check in, mereka ingin makan terlebih dulu. "Azra, apa kau sudah memberi kabar pada Fatih kalau kita menunggu di sini?" Azra mengangguk, "Sudah Ummu," jawabnya. Ponsel Ummu berbunyi notifikasi pesan masuk. Dari Fatih. Assalamualaikum Ummu, kami shalat maghrib dulu barusan, ini sedang menuju ke sana ya. Ummu langsung membalasnya. Waalaikumussalam, iya nak. Ummu memesan makanannya dengan melihat-lihat menu yang tersedia. Ia menanyakan Azra mengenai pesanannya. Sementara itu Aamina dan Fatih yang baru selesai shalat terlihat berjalan berdampingan menuju tempat yang Azra sampaikan pada Fatih tadi melalui teks pesan. Fatih pun lupa membawakan Aamina mukena untuk shalat, karena itu ia agak lama karena harus memaksa Aamina mengantre mukenanya.  Aamina menguncir rambutnya  model buntut kuda. Baju Fatih memang terlihat agak longgar di tubuh gadis mungil itu. Tapi ini lebih baik dari pada yang bahan wool tadi, tebal dan panas. Membuat kulitnya iritasi saja. Raut wajah gadis itu masih bersungut-sungut karena tadi dipaksa shalat dengan menggunakan mukena yang dipakai oleh banyak orang. “Makanya lain kali bawa mukena sendiri dalam tas kamu itu,” sindir Fatih. Aamina memiringkan bibirnya sambil memandang Fatih dengan ekspresi kesal. "Kamu bagus pakai kemeja seperti itu," ujar Fatih sambil tersenyum tipis. "Tidak ketat seperti seragam sekolahmu tadi," sambungnya. Aamina melirik dari sudut matanya. "Kalau mau bilang aku cantik, enggak usah malu-malu. Pake nambahin enggak suka liat aku pake yang ketat," sahutnya. "Ya wanita itu memang terlihat lebih cantik jika berpakaian seperti ini, tertutup. Lebih cantik lagi kalau rambutnya juga tertutup," imbuh Fatih. Aamina menghela napas. "Asal kamu tahu ya, wanita itu terlihat cantik atau enggak bisa ketahuan saat dia telanjang! Enggak pakai apa-apa sama sekali!" sahutnya dengan ekspresi kesal. Tentu saja mata Fatih mendelik mendengar perkataan Aamina barusan. Ia sampai beristigfar karena Aamina bisa santai seperti itu mengucapkannya, tanpa perasaan malu atau canggung.  Fatih gemas ingin mencubit mulut gadis itu. "Astagfirullah! Aamina!" sergahnya sambil menatap Aamina dengan ekspresi marah. "Kamu itu perempuan, enggak sepantasnya ngomong begitu" sergahnya dan matanya sibuk melihat sekeliling, berharap tidak ada yang mendengar komentar Aamina barusan. Aamina mau menyahut lagi tadinya, namun mereka sudah tiba di restoran yang dimaksud. Ummu dan Azra menyambutnya. Aamina masih sesekali menggaruk lehernya dengan tangannya yang berkuku agak panjang, sehingga menyebabkan kulit lehernya merah-merah. Ummu yang memperhatikan Aamina jadi penasaran. "Kamu kenapa sayang?" tanyanya lembut. Aamina duduk di depan Ummu dan Fatih duduk di depan Azra. "Tadi Fatih kasih aku baju, eh bukan! Bukan baju, tapi sweater gitu. Dari bahan wool kayaknya, terus aku gatel-gatel kayak begini deh," terang Aamina. Ummu seperti melonjak kaget dengan mata sedikit membesar menatap Aamina. Ia teringat sahabatnya, Titi, ibunda Aamina. Titi juga alergi terhadap bahan wool. Karenanya Titi tidak bisa memakai pakaian berbahan wool. Dan sekarang anaknya juga mempunyai alergi yang sama. Ummu berpaling ke anak lelakinya, Fatih. "Fatih, Aamina punya alergi terhadap apapun yang berbahan wool. Jadi lain kali belikan ia pakaian dari bahan lain, selain wool. Ini sama persis dengan Ibunya," ujar Ummu. Ia memalingkan wajahnya lagi ke arah Aamina. Aamina tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Titi pasti bahagia bila bisa melihat anak gadisnya ini. Seketika Ummu rindu akan sahabatnya yang sudah lama meninggalkannya itu. Melihat Aamina, ia seperti kembali ke masa lalu. Ketika sahabatnya masih ada. Karena Aamina mirip sekali dengan ibunya. Ummu Nida berharap Fatih bisa mengajak Aamina menjadi wanita yang lebih baik. Dan tentu saja itu memerlukan kesabaran. Mata Aamina juga membesar, "Oya? Mamaku juga alergi wool, Ummu?" tanyanya antusias. Ummu mengangguk. "Ini gara-gara Fatih Ummu. Dia melarang aku pakai bajuku sendiri," ujarnya merajuk. Fatih memicingkan mata pada Aamina, "Ya baju yang kamu sering pakai itu ukuran anak SD, bukan ukuran kamu," gumamnya seraya menerima pesanan yang sudah datang dari pelayan restoran. "Ck!" Aamina berdecak sebal. "Ssh, Fatih ... tolong jangan terlalu memaksanya. Kamu harus pelan-pelan. Aamina hanya belum terbiasa," ujar Ummu. "Hal yang baik itu harus dipaksakan Ummu, supaya menjadi kebiasaan. Kalau sudah jadi kebiasaan maka akan jadi kebutuhan dan kalau sudah menjadi kebutuhan maka nanti akan menjadi sebuah nikmat yang patut disyukuri," ujar Fatih tegas. Ummu mengangguk. Sedangkan Aamina menggeram menatapnya. Dasar bapak ustadz nyebelin yang jutek! Makinya dalam hati. Berikutnya adalah Ummu bercerita tentang kisah masa lalunya bersama sahabatnya, Ibunya Aamina. Aamina mendengarkan dengan penuh ketertarikan. Selama ini ia hanya mendengar tentang ayah ibunya dari Nenek Zainy saja. Mendengar cerita Ummu, membuat Aamina sangat merindukan sosok seorang ibu yang selalu ada untuknya. Memeluknya di saat Aamina sedih atau sakit. Ada sosok ayah yang mungkin akan memarahinya jika ia pulang larut malam. Nenek juga sering memarahinya sih, tapi Aamina tidak takut pada Nenek, karena Nenek terlalu lembut untuk marah. Seketika ia juga rindu neneknya. Matanya berkaca-kaca kala ia mengingat semua orang yang sudah pergi meninggalkannya. Walaupun ia tidak pernah mengenal orang tuanya, tetap saja Aamina merindukan sosok mereka ada di dekatnya. Ummu yang sudah berpindah tempat duduk di sebelah Aamina, menghapus air matanya yang baru saja menetes. Ah, betapa Ummu menyayangi Aamina seperti anaknya sendiri. Hanya karena ia juga sangat menyayangi sahabatnya. Ummu menelan ludahnya sekaligus menghela napasnya pelan. Ia pun terharu melihat mata Aamina yang bening berkaca-kaca. "Kalau kalian sudah menikah nanti, kita ke tempat Ummu. Dan Ummu akan mengajak Aamina ke tempat-tempat di mana Ummu dan Mamamu pergi," ujarnya pelan. Aamina mengangguk dengan cepat. Bukan karena harus menikah cepat dengan Fatih, tapi karena ia begitu antusias dengan tawaran Ummu mengajaknya jalan-jalan ke tempat-tempat ibunya pergi di waktu hidupnya. "Selesaikan sekolahmu dulu, kemudian menikah dengan Fatih. Dan Fatih harus membawamu ke kota kelahirannya," ujar Ummu lagi. Fatih berdeham sambil melirik Ummu. Mata Aamina mengerjap. "Kenapa harus menikah dulu, Ummu? Kan bisa saja kita pergi sekarang atau besok?" tanya Aamina. "Karena Ummu ingin perjalanan itu menjadi istimewa untukmu dan Fatih yang akan menjadi bagian hidupmu nanti sayang." Ummu menghela napasnya sambil memandang anak lelakinya, "lagi pula biar bepergiannya tenang karena kalian sudah menjadi mahrom," lanjutnya. Aamina menghela napasnya, ia berpaling memandang Fatih. Tapi wajahnya berubah jadi masam ketika menangkap mata Fatih yang masih mencuri pandang pada Azra saat memainkan ponselnya. "Sebenernya anak Ummu itu lebih cinta sama Mba Azra," ujarnya cukup keras. Menyebabkan Azra dan Fatih sama-sama menoleh ke arah Aamina. Aamina memiringkan kepalanya, bersamaan dengan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursinya. "Memang iya kan?" "Aamina." Fatih menatapnya dengan ekspresi memberi peringatan pada Aamina untuk menjaga lisannya. Sedangkan Azra hanya bisa menatap Aamina dengan raut wajah yang bingung dan canggung. "Mbak Azra memang lebih baik dari aku! Dia lebih cantik juga. Lebih memenuhi kriteria untuk jadi istri kamu kan? Sedangkan aku? Aku kan hanya anak—." Ummu menahan tangan Aamina agar tidak meneruskan lagi kata-katanya. "Aamina sayang. Ummu tidak suka Aamina berbicara seperti itu. Azra gadis yang baik. Wajar bila ia disukai banyak pria termasuk Fatih. Namun Azra akan segera menikah sebentar lagi. Fatih memang mengagumi Azra, karena Azra adalah wanita solehah yang menjadi incaran setiap lelaki soleh juga. Hanya saja Allah berkehendak lain. Azra berjodoh dengan orang lain. Bukan dengan Fatih. Dan mungkin kamu-lah jodoh yang ditunggu Fatih," ujar Ummu menenangkan. "Tapi Ummu—." Aamina menatap mata Ummu yang teduh. "Kalau kamu cemburu karena keimanan Azra yang lebih daripada kamu itu pertanda bagus, sayang. Itu tandanya kamu menginginkan iman kamu bertambah juga untuk bisa menyamai Azra. Sehingga kamu bisa memenuhi kriteria menjadi istri Fatih," lanjut Ummu. "Menurut Ummu, memangnya aku bisa jadi wanita seperti Mbak Azra?" tanya Aamina. Ummu mengangguk cepat dan mantap. "Tentu saja! Ummu percaya itu. Asal Aamina sendiri yakin dan punya niat yang kuat. Insya Allah!" sahut Ummu. Aamina mengangguk dan tersenyum memeluk erat Ummu Nida. Ummu memandang ke arah Fatih dan Azra yang terlihat kelihatan canggung. Ketika tiba waktunya melepas Ummu dan Azra untuk masuk ke dalam area passanger,  Aamina memeluk Ummu sambil terisak. "Ummu main ke sini lagi ya. Aku malas kalau berhadapan dengan anak Ummu sendirian," bisik Aamina, membuat Ummu mengusap pipi Aamina dengan gemasnya. "Apa yang Fatih lakukan, itu semua untuk kebaikanmu, Aamina. Dan itu sebagai bukti sayangnya padamu," sahut Ummu berbisik juga di telinga Aamina. Sayang? Padanya? Masak iya Fatih sayang padanya? Kalau sayang kenapa pria selalu jutek pada Aamina? Ck! Sayang apanya? Batin Aamina.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN