PART 9 - GODAAN

1567 Kata
Berbahagialah ketika melihat orang lain berhasil melakukan sesuatu dengan baik. Jaga hatimu dari perasaan cemburu, salah satu emosi terburuk yang bisa mengonsumsi dan menghancurkan dirimu – Mufti Ismail Menk - *** Kantor Fatih, 15.00 WIB Aamina menginjakkan kakinya di bangunan tinggi bertingkat dengan tulisan cukup jelas di bagian atasnya,  CONCEPTUAL AL FATH BUILDING. Ruangan kantor Fatih berada di lantai paling atas gedung ini. Aamina, yang ditemani ditemani Nuriah memasuki lift menuju lantai di mana Fatih berada. Sekretaris Fatih memberitahu bahwa atasannya itu sedang ada tamu penting yang sebentar lagi selesai. Aamina diminta untuk duduk menunggu di ruang tamu yang disediakan--berada persis disamping ruangan Fatih. Ia menghela napasnya sambil mengempaskan bokongnya di salah satu sofa yang ada di ruangan tersebut. Nuriah juga ikut duduk dan memberikan bantal pada Aamina untuk menutupi pahanya. "Besok cariin rok panjang sekolah untuk aku Mbak," ujarnya pada Nuriah dan Nuriah terkejut mendengar Aamina bicara begitu. "Eh? Saya enggak salah dengar kan?" tanyanya, membuat Aamina hampir melemparkan lagi bantalnya ke arah Nuriah. "Iya-iya! Besok saya akan belikan rok panjang buat Mba Aamina," ujarnya sambil tersenyum senang. Aamina melipat kedua tangannya di dadanya. Kemudian ia melihat ada dua pria bule yang melewati ruangan terbukanya menuju ke lift. Lalu sekretaris Fatih mempersilakan Aamina untuk masuk ke ruangan Fatih. Nuriah ikut berdiri dan mengucapkan salam sebelum masuk. Pria di dalam itu menjawabnya dan mempersilakan mereka berdua masuk. "Assalamualaikum Aamina," sapa Fatih ke arah Aamina, karena ia tidak mendengar suara gadis itu mengucapkan salam tadi. "Waalaikumsalam," sahut Aamina cepat. "Biasakan ucapkan salam sebelum masuk ke ruangan atau ke dalam rumah," sindir Fatih. "Iya, Pak Ustadz," sahut Aamina dan mendapat delikan mata dari Nuriah. Fatih hanya menghela napasnya. Ia akan bersabar sampai merasa tidak mampu lagi untuk itu. "Jadi apa syarat yang sudah kamu lakukan hari ini?" Fatih memandang ke rok Aamina dan Aamina langsung tahu maksudnya. "Iya, besok Mbak Nuriah yang mau beliin. Hari ini masih pakai yang ada-lah, dari pada enggak pakai rok??" sahut Aamina asal. "Jangan bayangin ... nanti gimana-gimana lagi," tambahnya. Fatih memilih diam tidak menyahut lagi. Nuriah menyenggol siku Aamina. Aamina menyeringai melihat sikap dingin Fatih, lalu ia berujar, "Aku udah putus sama Ega." Nuriah yang berada di sebelahnya malah tersenyum mendengar kabar tersebut, ia juga bergumam pelan, "Bagus." "Bagus itu!" sahut Fatih sambil merapikan berkas di mejanya dan berdiri. Ia melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. "Sudah mau masuk waktu Ashar, kamu bawa mukena kan? Kita shalat bersama di sini," ujarnya. "Huh? Aku enggak bawa mukena, memangnya mau ke masjid bawa mukena," sahutnya sambil menatap Nuriah yang menggeleng. "Saya sedang enggak shalat Mas Fatih, jadi saya enggak bawa mukena juga," kilah Nuriah. Fatih menghela napasnya sambil menekan interkom ke ruangan sekretarisnya dan memintanya agar membawakan mukena. "Bawa mukena itu bukan berarti hanya ke masjid saja," cetusnya geram. "Berarti tadi kamu enggak shalat Dzuhur ya?" tudingnya. "Iiih nuduh! Memang enggak," sahut Aamina enteng. Nuriah menghela napasnya mendengar sahutan gadis cuek itu. Rasanya ia ingin mengusap wajah Aamina pakai adonan, gemas banget. Ia melirik ke arah Fatih yang juga terlihat sedang menarik napasnya diam-diam. Yang sabar ya Mas, gumamnya dalam hati. "Ambil wudhu dulu sana," perintah Fatih memandang ke arah Aamina. Lalu serta merta Aamina langsung berdiri dan melangkah ke arah kamar mandi yang ada di dalam ruangan istirahat Fatih. Nuriah menatap punggung gadis ajaib itu dengan penuh takjub. "Waaah, Mas Fatih hebat! Itu anak paling susah kalau Neneknya nyuruh shalat," gumamnya dengan berbisik. Fatih mengangguk pelan. Kemudian ia menyampaikan pada Nuriah bahwa ia akan mengajak Aamina mengantar Ummu ke bandara malam ini. Nuriah dengan senang hati menyerahkan Aamina kepada Fatih. "Iya, tentu saja Mas Fatih. Salam untuk Ummu Nida." "Jangan lupa, belikan Aamina rok panjang untuk sekolah dan baju seragam yang tidak terlalu sesak untuknya. Karena kelihatannya ia salah beli baju, yang dia pakai itu seperti baju untuk anak SD saja," ujar Fatih. Nuriah terkekeh geli. Memang ia membeli seragam ukuran anak SD untuk Aamina, sesuai permintaan anak itu. "Baik, Mas Fatih. Nanti saya akan belikan." "Kirimkan nomor rekening Mbak Nuriah dan saya akan transfer uangnya nanti," ujar Fatih. "Baik, Mas. Kalau begitu saya permisi dulu." Nuriah mohon diri dan mengucap salam sebelum keluar dari ruangan Fatih. Mata Fatih terpaku pada Aamina ketika melihat gadis itu keluar dari kamar mandi dengan keadaan bajunya yang basah kuyup. Pria itu menelan ludahnya diam-diam. "Astagfirullah, Aamina. Kamu itu habis ngapain sampai basah kuyup begitu?" "Ya habis wudhu-lah! Aku begini karena salah muter kran! Yang aku putar malah kran yang untuk shower, basah deh," ujarnya sambil memutar kepalanya yang basah dengan gerakan macam model iklan samphoo di televisi. Darah Fatih berdesir melihat adegan tersebut, ia  mendengus pelan dan langsung menundukkan pandangannya. Dan hal itu memancing Aamina untuk berkomentar, "Kenapa buang muka? Kamu pasti terangsang yah ngeliat aku yang basah begini?" Mata Fatih membesar dan langsung menyembunyikan batuknya. Hih! Ini anak kalau ngomong memang enggak pernah di-filter, batin Fatih. Kemudian ia memberikan sebuah paper bag pada Aamina. "Ganti bajumu dengan ini, nanti kamu masuk angin," ujarnya. “Iih perhatian banget sih ... enggak nyangka,” sahut Aamina menggoda. Fatih memilih melangkah cepat masuk ke dalam kamar mandi dibanding meladeni celotehan Aamina. Dan ketika ia kembali, Aamina sudah berbalut mukena dan itu benar-benar terlihat lebih baik. Pria itu menghela napasnya lega melihat gadis yang sangat cantik dengan mukena yang melekat di tubuhnya. Ia tidak memungkiri kenyataan itu—Aamina yang cantik. Terlebih jika gadis itu menggunakan pakaian tertutup seperti sekarang. Fatih duduk pada tahiyat akhir di shalatnya dan mengucapkan salam, memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri. Ia mendengar pergerakan di belakangnya. Sepertinya Aamina sudah membuka mukenanya. Ini berarti ia sudah harus siap dengan segala godaan yang datang dari Aamina. Sekali lagi ia menelan ludahnya. Fatih melipat sajadahnya dan merapikannya ke tempat semula. "Saya akan mengajakmu ke bandara untuk berpamitan pada Ummu,” ujarnya. Aamina tertegun menatap Fatih, "Huh? Ummu sudah mau pulang? Kenapa? Padahal aku senang Ummu ada di sini," ujarnya dengan ekspresi kecewa sembari ia membuka mukenanya. Dan mata Fatih membesar ketika ia melihat Aamina masih menggunakan bajunya yang basah. Dan Aamina menangkap ekspresi pria jutek itu, "Aku bingung ini apa?" tanyanya sambil mengeluarkan isi dari tas kertas tersebut. Sweater berlengan panjang berwarna cream dan celana panjang yang memang sesuai ukurannya. Matanya mengerut memandang ke arah Fatih, "aku harus pakai ini? Serius??" tanyanya dan ia makin syok ketika melihat kepala Fatih mengangguk. "Ya ampun! Ini Indonesia kali, panas-lah!" sahutnya tidak suka. Fatih mendelik menatapnya. "Pakai itu, atau tidak jadi ikut saya mengantar Ummu," ujarnya santai, "terserah kamu," lanjutnya. Aamina membalas menatap Fatih dengan mata membesar. Ia tahu arti dari kata 'terserah' yang Fatih ucapkan maksudnya adalah pakai atau harta nenek kamu akan hilang. "Ck! Kamu memang senengnya nyiksa anak orang!" rutuk Aamina sambil berjalan ke ruangan istirahat Fatih dan mengunci pintunya dengan gusar. Beberapa menit kemudian, Aamina keluar dengan baju ganti yang diberikan Fatih tadi. Rambutnya yang panjang terurai sedikit berantakan—karena kondisi yang setengah kering, tapi entah kenapa itu malah membuat Aamina terlihat semakin cantik. Issh! Apa yang Fatih pikirkan sekarang? Seandainya hanya dia yang melihatnya, mungkin ia tidak akan segelisah ini. Tapi semua orang akan melihat rambut Aamina yang tergerai indah itu dan berpikir macam-macam. Seakan Fatih tidak rela jika orang lain yang melihatnya berpikir sama dengannya. "Nih! Puas kan?" ujar Aamina berdiri di depan Fatih sambil merentangkan tangannya. Pria di depan Aamina itu mengangguk sekaligus menahan napasnya. "Begitu lebih baik" ujarnya. "Ya ini cocok kalau di Swiss atau di negara dingin. Kalau di sini bisa-bisa aku diketawain!" "Biar saya tonjok yang berani ngetawain kamu!" ujar Fatih spontan dan membuat Aamina membelalak kaget. "Huh? Kamu bisa nonjok orang emangnya?" Aamina tersenyum tidak percaya. Fatih mengedikkan bahunya, "Belum pernah sih," cetusnya polos dan membuat Aamina malah tertawa terbahak-bahak. Ia melihatnya heran, namun tidak bisa menahan senyumnya juga. Hal itu mungkin saja terjadi, jika ia mendapati ada orang lain yang merendahkan atau meremehkan gadis itu. Entahlah, perasaan itu muncul begitu saja tanpa alasan yang jelas. Ketika di dalam mobil Aamina tidak henti-hentinya komplain dengan menaikkan lengan sweater sampai ke sikunya. Tangannya terus saja menggaruk-garuk kulitnya yang putih bersih. "Ini tuh bahannya panas tahu enggak sih? Lain kali kalau beliin baju buat aku, yang bahannya tipis-tipis aja! Duuh gatal banget nih! Buka aja yah, please?" usulnya enggak jelas. Fatih menoleh ke arah Aamina, "Huh? Buka?" "Iya, aku enggak tahan lagi nih!" ujar Aamina makin resah dengan menggerakan semua anggota tubuhnya. Lehernya terlihat kemerahan akibat garukannya. "Kalau dibuka, kamu mau pakai baju apa?" tanya Fatih. "Pakai daleman aja dulu deh, enggak apa-apa kok,” sahut Aamina tanpa berpikir, namun sempat membuat jantung Fatih melonjak. “Atau kita mampir ke mall dulu deh,” lanjutnya lagi. “Gatel-gatel nih ... lihat!" Aamina menyulurkan tangannya memperlihatkan guratan merah bekas garukannya. "Nanti lama-lama juga hilang karena terbiasa," ujar Fatih dan mengabaikan keluhan Aamina. Ia kembali fokus ke jalan raya ketimbang meladeni gadis rempong itu. "Enggak, ini enggak enak banget! Sumpah!" Aamina mulai menggaruk lehernya lagi. mengangkat bajunya sampai perutnya terlihat dan membuat Fatih risih. Akhirnya pria itu menepikan mobilnya di bahu jalan. Ia sempat menoleh ke arah Aamina dan mendapati lehernya penuh dengan bentol-bentol, demikian juga dengan tangannya. "Kamu punya alergi ya?" Aamina mengedikkan bahunya, "Enggak tahu! Tapi aku memang belum pernah pake baju wool begini." Sekarang Aamina menggaruk-garuk ketiaknya. "Gatel nih!" rengeknya lagi. "Aduuuh...," keluhnya tidak berhenti juga. Fatih melihat ke kursi belakang mobilnya, ada kemeja cadangan yang selalu ia bawa. Dan ia pun memberikan kemeja itu pada Aamina dan memintanya mengganti sweater-nya. Ia keluar dari mobil dan membiarkan Aamina mengganti dulu pakaiannya. “Ganti dengan ini.” Ck. Ada-ada saja, pikirnya. Namun tiba-tiba jendela mobilnya terbuka dan wajah Aamina menyembul di sana. "Ini buka bajunya kok susah ya, kamu bisa bantuin enggak??" ujarnya dengan wajah memelas. Subhanallah, apalagi ini? batin Fatih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN