3. Pangeran Sekolah

1151 Kata
Setelah kesalahpahaman yang terjadi di restoran, Shane terlihat  seperti seorang kakak yang dipisahkan dengan saudaranya. Ia terlihat lemas, dan mulai menunjukkan sikap manjanya. “Shane tidur rumah Om Oris aja ya? Gak asik ah, masak ketemu Aze cuma bentar doang,” gerutu Shane. Mendengar perkataan sang anak, Viana menghela napas lalu mendekati Shane. “Cane, kalo Aze udah bisa diajakin main kayak temen-temen kamu, gak masalah kok kamu mau berapa lama ama Aze, tapi nggak buat sekarang, anak Om Oris itu masih kecil, belum saatnya dia main sama kamu yang udah tau hampir banyak hal,” jelas Viana. Shane terdiam … mencoba mencerna ucapan sang ibu. Setelah itu, Shane memilih untuk masuk ke dalam kamar dan beristirahat. Di dalam kamar, Shane langsung mengganti pakaiannya dengan hanya mengenakan celana pendek saja saat tidur. Ia pun melompat ke atas ranjang dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Keesokan paginya, Shane terbangun karena suara alarm dari alarm yang ada di ponselnya. Ia meregangkan tubuhnya beberapa detik, lalu mulai memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai dengan kegiatannya di dalam sana, Shane mulai mengenakan seragam sekolah dan menyiapkan beberapa buku untuk dibawa di dalam tas. Ceklek “Kak, hari ini aku dianter Mama. Kakak bisa berangkat sendiri,” ujar Ashley. “Oke, Udah pada kumpul di bawah semua?” tanya Shane. “Udah, Alyssa udah selesai makan, aku yang belum.” “Kenapa?” “Karena aku baru selesai mandi dan merapikan diri.” “Oh, ya udah … turun bareng aja,” ajak Shane. Akhirnya mereka melangkah turun dari lantai dua. Dari tangga sudah terlihat jika ayah dan ibunya tengah menikmati hidangan makan pagi. Sementara adiknya yang bernama Alyssa sudah menunggu di ruang tamu dengan membaca sebuah buku. “Pagi, Ma. Pagi, Pa,” sapa Shane. “Cane, duduk. Makan dulu. Ashley juga ya!” “Iya, Ma.” Shane melihat sang ayah sudah sangayt rapi. Ada sebuah tas koper yang siap untuk dibawa di ruang tamu, dan tentu saja bukan milik Shane maupun saudaranya. “Papa mau luar kota?” tanya Shane. “Papa mau ke Aussy, Om Vio ada masalah dikit,” jawab Theo. “Om Vio kenapa? Lagi sakit? Atau Tante Yaya yang sakit?” tanya Shane lagi. “Masalah bisnis, Shane. Udah kamu buruan makan, nanti telat kalo banyak nanya,” ujar Theo. Theo telah selesai dengan makan paginya, ia pun berpamitan pada anak dan istrinya untuk segera pergi. Setelah kepergian Theo, Shane yang hanya memakan sandwich juga akan segera berangkat menuju sekolahnya. “Ma, Shane udah selesai. Berangkat dulu ya?” pamit Shane. “Cane, gak mau bawa bekal?” tanya Viana. “Gak,Ma. Kasihan penjual di kantin kalo Shane bawa bekal,” jawab Shane. Pletak! “Aduh, Ma!” “Bawa bekal biar kamu hemat, napa kamu jadi boros sih! kemarin tagihan kartu kredit kamu Mama lihat bayarin makan banyak banget, itu kamu sendiri yang makan apa gimana?” omel Viana. “Ish, kemarin Shane kalah mainan ama temen, jadi kan kita tarok CC di atas nampan, terus ada satu waitress yang di suruh milih, eh gak taunya dia ambil punya Shane,” jelas Shane. “Hmm, dasar kamu ya! Jangan jajan yang gak perlu lah!” sambung Viana. “Iya, Mama.” “Ya udah, buruan berangkat, Mama juga mau anter adik kamu.” “Ahsyiap!” Shane akhirnya melangkah keluar dari rumah, lalu ia masuk ke dalam mobil yang sudah siap di halaman depan. Mobil itu akhirnya melaju menuju ke arah sekolah SMA swasta yang bertaraf internasional. Untuk masuk ke sana, Theo dan Viana tidak mengeluarkan sedikit uang, meski Shane sangat pintar seperti mereka, tetapi tetap saja mereka ingin yang terbaik untuk anaknya. Sampai di tempat parkir sekolah, Ben dan dua teman lainnya sudah menunggu di sana. Lebih tepatnya, mereka menunggu di samping mobil masing-masing. Shane baru saja turun dari mobil, dan kini Ben memberikan sebuah kostum padanya. “Apaan?” tanya Shane. “Itu yang bakal lu pakek buat pertunjukan nanti,” jelas Ben. “Ecie … jadi pangeran,” sindir Kaito. “Diem lu, mau ni ban mobil masuk mulut?” sahut Shane kesal. “Udah yok! Anak-anak pada nunggu.” Akhirnya mereka berjalan bersama, menuju ke aula sekolah. Sampai di aula, seorang panitia menghampiri Shane dan ke tiga teman lainnya. “Lama amit! Buruan! Temen lu udah pada nunggu di sana.” “Bicik deh,” sahut Liony. Sampai di belakang panggung, Shane langsung mengganti pakaiannya dengan kostum yang sudah disiapkan. Cowok itu semakin terlihat tampan, dan membuat beberapa cewek di sana mengeluarkan darah dari hidungnya saat melihat ketampanan Shane. “Napa pada lebay sih! Kek kagak pernah liat pejantan aja,” ujar Shane. “Lu sih … terlalu sempurna,” sahut Liony. “Terus … lu napa kagak ikutan mimisan?” tanya Shane. “Gue udah biasa, di rumah ada tiga Kakak gue yang cakep.” “Pantesan.” Pertunjukan drama itupun berjalan sesuai dengan persiapan yang mereka miliki. Shane yang tidak membaca dialog dengan teliti, bisa membawakan karakter seorang pangeran di atas panggung dengan sempurna. Banyak pasang mata yang melihat drama itu, dan membuat nama Shane dikenal sebagai pangeran saat ini. Selesai dengan pertunjukkan, acara MOS itu pun selesai dan mulai esok, akan dilakukan pembelajaran seperti biasa. Shane dan ke tiga temannya kini berada di kantin, mereka sedang minum dan memakan camilan di sana. “Eh, gimana kalo kita bikin grup?” celetuk Ben. “Geng?” sahut Liony. “Seperti itu, lalu … mau ape kagak?” tanya Ben. “Ikut aja kalo gue,” ujar Shane sembari memasukkan potongan kentang goreng ke dalam mulutnya. “Gue juga, serah deh.” Kaito juga menyetujui seperti Shane. “Oke, namanya apaan ya?” tanya Ben. “Lu yang punya ide, coba lu tentuin nama yang rada keren.” Liony memberi masukan. “Ehm, The Genius Trouble. Gimana?” “Boleh, mayan tuh.” “Oke,” sahut Shane dengan Kaito. Saat mereka tengah asik dengan percakapan di kantin, seseorang mendekati mereka dan memberikan seporsi camilan. “Apa ini?” tanya Liony. “Buat Pangeran, di makan ya?” ujar cewek yang memiliki wajah cukup cantik. “Widih … Shane udah punya fans nih,” sahut Ben. “Nama lu siapa?” tanya Kaito. “Gue Ricis.” “Oke, makasih ya? Nanti pasti di makan kok sama Shane,” ujar Kaito. “Tunggu! Lain kali jangan buang duit buat gue, cukup kali ini aja, gak ada dua kali,” ujar Shane. “Ehm … gitu ya, maaf deh kalo lu kagak nyaman,” ujar cewek bernama Ricis itu. Shane mengeluarkan uang, lalu memberikannya pada Ricis. “Nih, gue bayar. Makasih.” Setelah menerima uang itu, Ricis melangkah pergi dari sana dengan perasaan yang sedikit kecewa. Ternyata tidak mudah untuk mendekati Shane. Dan kini ke tiga temannya menatap heran pada Shane. “Lu kagak ada selera ama cewek?” tanya Ben. “Gue males punya hubungan serius ama cewek. Ribet,” jawab Shane.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN