4. Hari Malas

1171 Kata
Menjadi siswa popular bukan keinginan Shane, dia yang saat ini sedang ingin duduk sendirian di taman, harus terganggu oleh kedatangan beberapa kakak kelas dan teman satu tingkat yang berbeda kelas. Meski Shane sudah menolak mereka dengan tegas, tetap saja tidak ada yang peduli dengan perkataan Shane. Itu karena mereka menganggap Shane hanya berpura-pura menjadi cowok dingin di sekolah. “Shane, boleh kasih ini?” tanya seorang cewek. “Hm? Apaan lagi? Astaga! Lu kagak liat yang ada di tempat sampah itu? Daripada sia-sia kebuang, mending lu kasih ke pengemis sana,” ujar Shane sembari berdiri dari posisinya dan berjalan pergi dari sana. Kaito baru saja datang untuk membawakan minuman kaleng untuk Shane, tetapi orang yang dia hampiri ternyata sudah pergi dari sana. Kaito berlari menyusul Shane yang masuk ke dalam kelas dan menghindari banyak anak cewek. “Lu kenapa?” tanya Kaito. “Gapapa, mana minuman gue!” sahut Shane. “Pulang sekolah nongki kuy!” ajak Kaito. “Liat entar deh.” Sampai di dalam kelas, Shane melihat teman-temannya sedang berkumpul. Shane meraih bangku miliknya lalu duduk begitu saja. Melihat semua mata menatapnya, Shane merasa bingung. “Apaan?” tanya Shane pada akhirnya. “Lu di cariin ketua OSIS,” ujar seorang teman. “Lah, ada apaan?” tanya Shane. “Mana ane tahu.” Shane berdiri, dan kembali berjalan keluar dari kelas. “Nyusahin aja!” gumam Shane. Sampai di depan pintu kelas, Shane melihat ada seorang cowok dengan pakaian rapi dan penampilan yang tidak kalah keren dari dirinya.  Mereka saling tatap, dan cowok itu menyapa Shane terlebih dahulu. “Kamu Shane kan? Aku Keinan, ketua OSIS. Bisa ikut aku dulu?” “Oke.” Shane berjalan mengekor pada Keinan, sampai mereka tiba di ruang OSIS. Keinan menyuruh Shane untuk duduk di kursi yang tersedia di sana. Ada beberapa anggota OSIS di dalam ruangan itu, dan Shane tidak mengenal satupun diantara mereka sampai ada satu cewek yang menyapa Shane. Tidak, bukan satu … tapi hampir semua cewek mengenali siapa Shane. “Kamu terkenal banget ya,” ujar Keinan. “Ada apaan?” tanya Shane. “Kamu mau gabung ke OSIS? Kalo mau, tanpa seleksi udah bisa langsung jadi anggota, khusus kamu.” “Gue kagak minat,” jawab Shane. “Kenapa?” “Males ngurusin hal aneh di sekolah.” “Aneh? Apanya yang aneh?” “Semua, gue bukan tipe orang yang suka ikutan organisasi yang cuma buat tenarin diri.” Keinan terlihat tidak menyukai ucapan Shane, tetapi ia menahan diri dan tidak begitu menanggapinya. “Kamu belum ikut ekstra kan? Mau ikutan apa?” tanya Keinan. “Belum tahu.” “Oke. Kamu bisa pergi.” Shane berdiri dari tempatnya dan berjalan keluar dari ruangan itu. Wajah Shane menunjukkan jika dia sedang kesal saat ini. Benar saja, bukan kembali ke dalam kelas, Shane justru memilih untuk duduk di kantin dan menikmati hidangan di sana. “Macaroni schotel yang daging satu, steak wagyu a lima satu, minumnya … air mineral pake es batu,” ujar Shane memesan makanan. “Siap, Mas.” Shane berjalan menuju ke tempat duduk yang selalu ditempati selama ini. Sendirian … ya, Shane memang tidak terlalu suka jika terganggu saat makan. Sampai beberapa menit kemudian hidangan yang dipesan datang. Shane menikmatinya dengan santai, tanpa peduli jika bel tanda pelajaran dimulai berbunyi. “Makanannya enak?” tanya seseorang. “Enak dong, makanan mahal,” jawab Shane. “Kenapa sendirian?” “Karena lagi gak sama temen.” “Boleh saya temani?” “Silakan duduk,Pak! Saya enggak melarang Bapak buat temenin saya makan, bahkan kalau mau, Bapak bisa pesan, nanti saya yang bayar,” ujar Shane. “Beneran? Kamu mau bayarin makan siang saya?” “Iya dong, kan Bapak guru BK yang baik hati, suka menolong, rajin melepaskan murid seperti saya,” ujar Shane dengan tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi. “Gimana kalau makannya di ruangan saya? Biar nggak ada guru yang iri nanti,” ujar guru BK itu. “Bapak aja, saya kan sudah selesai. Tuh … kan habis, nah … sekarang Bapak mau pesan sendiri atau saya pesanin?” tanya Shane merayu. “Wah … keterlaluan kamu! Masih kecil mau main suap sama saya!” omel guru itu. “Gimana sih, Pak. Udah tua masak masih minta suap. Nggak malu apa ama orang yang liatin entar?” “Masih berani jawab kamu!” “Pak, peraturan dibuat untuk di ?” “Patuhi!” “Salah! Bapak kan gurunya, kenapa nggak bisa jawab? Peraturan dibuat jelas untuk dilanggar, karena kalau semua dipatuhi, Bapak pasti nganggur di ruangan BK. Makan gaji buta dong.” Shane menjabarkan isi pikirannya dan membuat kepala guru BK itu berasap. “Anak siapa sih kamu ini! bandelnya minta ampun!” “Anak Emak sama Bapak saya dong.” Guru itu meraih tangan shane dan mengajaknya menuju ruang BK. Tidak melawan, Shane justru mengikuti langkah kaki guru itu hingga sampai di dalam ruangannya. Shane duduk dan mendengarkan ceramahan sang guru, hingga kaliamt terakhir yang sedikit menakutkan terucap dari bibir guru itu. “Kalau kamu enggak mau berubah, nanti saya panggil orang tua datang ke sini!” ancam guru BK. “Bapak yakin mau panggil Mama saya ke sini? Udah tahu belum siapa Mama saya?” tanya Shane. “Maksud kamu apa!” “Mama saya itu orang paling sibuk, kalau Papa orang yang nggak ada waktu buat ngurusin hal beginian, ujung-ujungnya yang datang bakalan pengacara keluarga,” ungkap Shane. “Sampai segitunya? Emang orang tua kamu nggak ada yang di rumah?” “Bapak sesekali main gih ke lapangan bola yang ada di rumah saya,” ujar Shane. “Ha? Rumah kamu ada lapangan bolanya?” “Enggak, tapi rumah saya itu lapangan bola tanpa pemain dan penonton.” “Haish! Pusing saya lama-lama bicara sama kamu! Sudah sana! balik ke kelas!” Shane tersenyum kecil dan berdiri dari posisinya. Dia melanjutkan langkah kakinya menuju ke kelas. *** Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, Shane sudah berada di area parkir mobil untuk kembali ke rumah. Sedangkan dari gedung sekolah, Kaito dan Ben berlari menyusulnya untuk mengajak pergi ke café. “Kagak ikutan?” tanya Ben. “Males.” “Kenapa?” “Gue yakin, Emak gue udah nungguin di rumah sambil pegang rotan,” ujar Shane. “lah kenapa?” “Kemana aja lu, Parjo?” sahut Ben sembari memukul kepala Kaito. “Apaan sih? Kan gue emang kagak tahu.” “Shane dari pagi ada di ruangan BK.” “Serius? Ngapain lu ngapelin Pak Yaman?” Shane tidak menanggapi temannya dan memilih untuk masuk ke dalam mobil. Shane menghidupkan mesin mobilnya dan melaju tanpa peduli dengan kalimat luar biasa dari mulut teman-temannya. Selama perjalanan, Shane hanya fokus pada jalanan di hadapannya. Sampai ia melihat ada penjual dimsum, dan memutuskan untuk menepikan mobil. “Mbak, dimsum lengkap yang porsi special, satu. Terus yang porsi biasa dua, satu lagi tanpa ceker.” “Tunggu ya, Kak.” “Oke.” Shane duduk di kursi yang tersedia di sana. Dia menyiapkan senjata sebelum menghadapi omelan sang ibu di rumah. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN