Pewaris Terakhir
“Saya Harpa Kayana Kariswana pada hari ini, di depan media, pimpinan perusahaan dan karyawan yang hadir mengumumkan tentang kehamilan saya,” ungkap Harpa di ballroom gedung Callir Entertaiment.
Tentu semua orang di sana kebingungan. Mereka mempertanyakan tentang status ayah dari bayi yang tengah dikandung pimpinan tertinggi perusahaan tersebut. “Saya dan sekretaris saya, Adrasha Panca Adiswara telah memiliki hubungan selama satu tahun. Dan bayi yang kini saya kandung adalah hasil hubungan kami,” tambah Harpa.
Adras sampai menjatuhkan berkas di tangannya ke lantai. “Bagaimana bisa anda mengumumkan ini pada publik?” tanya Adras sambil berbisik ke telinga Harpa. Wanita itu masih tampak tenang. Dia melingkarkan lengannya ke lengan Adras.
“Kami berencana akan menikah dalam waktu dekat agar bayi kami memiliki status hukum yang jelas.”
Pernyataan Harpa itu tentu mengundang reaksi luar biasa dari publik. Callir Entertaiment akan memiliki pewaris baru. Dan itu sangat merugikan bagi Gera Ryanold akibat posisinya sebagai pewaris kedua setelah Harpa digeser oleh bayi itu.
Lima tahun sebelumnya ….
“Berikan aku lightstick kamu!” tegas Harpa pada salah satu temannya sesama fans, Narvi.
“Enggak mau! Terus aku pakai apa?” tolak Narvi.
“Bateraiku habis. Aku butuh lightstick untuk proyekku kali ini! Ah, kamu gimana, sih?” Harpa masih berusaha menarik lightstick milik Narvi.
“Kamu beli, dong! Aku juga butuh!”
Akibat tak juga mendapat apa yang dia mau, Harpa berdiri. “Kamu tunggu di sini! Jangan ke mana-mana. Pokoknya kamu jaga tempatku. Aku mau nyari toko buat beli baterai!” tegas Harpa.
Wanita itu lekas berlari. Dia harus bergegas sebelum konser dimulai. Begitu cepat langkah kakinya di atas lantai halaman sebuah stadium hingga tak melihat banyak orang yang kakinya dia injak. “Hei! Matamu pakai, dong!” umpat salah satu orang yang menjadi korban Harpa hari itu.
“Maaf, aku lagi buru-buru!” jawab Harpa. Wanita itu menurunkan hoodie. Tiba di depan gerbang, Harpa malah ditarik satpam agar bergeser ke pinggir jalan. Wanita itu berdiri untuk melihat rombongan mobil yang masuk. Matanya terbelalak saat kaca mobil diturunkan, sosok Dios, idolanya ada di sana.
Harpa masih mematung seakan tak percaya bisa melihat Dios secara langsung. Bahkan setelah mobil itu melewati, Harpa masih diam mematung di sana. “Mau ke mana, Mbak? Gerbangnya mau ditutup,” ucap Satpam.
Barulah Harpa sadar. Dia menggelengkan kepala. “Harpa! Itu Dios! Dios! Ngapain kamu malah diem? Ah, ngeselin!” keluh Harpa lalu merengek hingga satpam merasa aneh dan meninggalkan dia di sana.
Harpa menggaruk kepala. Dia menegok ke sisi kanan dan kiri. Tak ada siapa pun di sana. Hanya ada plastik yang tertiup angin dan terbang ke sana ke sini. “Tadi aku mau ngapain, sih?” tanya Harpa pada diri sendiri. Tak lama dia tepuk kening. “Astaga! Aku mau beli baterai!”
Harpa lekas keluar dari gerbang. Dia terus berlari hingga rambutnya yang terkucir rapi jatuh terurai akibat ikatannya lepas. Harpa mencoba mencari toko yang menjual baterai. Sayangnya sepanjang jalan hanya dia temui lahan kosong dan pagar pembatas stadium.
“Yah! Ke mana aku cari baterai? Harpa! Ini karena kamu, sih! Kenapa enggak cek baterai lightstick dulu sebelum pergi?” Harpa duduk sambil memeluk lututnya. Dia tak bisa pergi terlalu jauh.
Akhirnya Harpa punya cara yang lebih efektif. Dia ambil ponsel dan menekan nomor sepuluh pada keypad. Tak lama seseorang mengangkat. “Pak, tolong! Aku mau diculik. Ada orang aneh ngikutin aku terus,” teriak Harpa dengan suara lantang agar meyakinkan.
“Apa yang Nona butuhkan?” tanya manusia di seberang sana.
“Aku ‘kan mau diculik!” tegas Harpa.
“Saya tahu anda membutuhkan sesuatu sekarang juga dan saya harus membelikannya. Hanya karena Nona sudah melarang saya tidak ikut campur urusan Nona hari ini, jadi saya tidak bisa datang ke sana. Saya sudah janji.”
“Pak Prapto gimana, sih? Nonanya lagi dalam bahaya, malah enggak mau datang. Apa gunanya janji kalau aku akan celaka begini! Harusnya Pak Prapto gerak cepat,” omel Harpa.
“Saya ada di seberang anda dan saya tidak melihat ada orang mencurigakan di sekitar anda,” kilah Pak Prapto.
Harpa nyengir kuda. Tak lama dia ingat sesuatu. “Tunggu! Pak Prapto sudah aku suruh jangan ikutin aku, ‘kan? Itu masih ikutin! Pokoknya Pak Prapto salah! Bapak harus beliin aku baterai A3! Titik!” Harpa langsung mematikan telpon. Dia melihat ke arah seberang dan memeletkan lidah.
Tak butuh waktu lama untuk Prapto membelikan baterai itu. Dia langsung menepikan mobil di samping Harpa dan memberikan baterai ponsel. “Ini sesuai permintaan Nona.”
“Makasih. Lain kali jangan diulang!” tegas Harpa.
“Baik, Nona. Mau saya antar sampai stadium?” tawar Prapto.
Harpa melihat jauhnya jalan yang harus dia lalui. Gadis itu mengangguk dan lekas naik di kursi belakang mobil. Namun, bukannya masuk ke dalam stadium, mobil itu malah memutar menjauh.
“Tunggu! Ini mau ke mana? Aku mau nonton konser, woy! Pak Prapto!” protes Harpa. Gadis itu memukul kaca pembatas antara kursi depan dan belakang.
“Maaf, Nona. Tuan besar sudah melarang anda untuk melihat konser dan saya diperintahkan membawa anda pulang,” tegas Prapto.
“Enggak bisa gini, dong! Aku mau lihat Diosku! Pak Prapto!” keluh Harpa.
Dan hari itu Harpa benar-benar tak bisa menonton konser. Dia dikurung di dalam kamar oleh orang tuanya. “Renungkan perbuatan kamu! Bikin malu orang tua saja! Bukannya kuliah, malah bolos untuk menonton sesuatu yang tidak berguna!” tegas Chaldan.
“Tidak berguna apanya? Jupiter grup yang memberi banyak pemasukan ke agensi Papa! Harusnya Papa malu bilang mereka tak berguna! Papa!” teriak Harpa. Sayang, pintunya keburu dikunci.
Harpa duduk memeluk lutut di depan pintu. Dia meneteskan air mata dan tak lama menangis hingga meraung. “Dios! Aku mau lihat Diosku! Papa! Jangan pisahkan aku dengan Dios!” pinta Harpa seperti biasa mendramatisasi.
Wanita itu berdiri dan lari ke atas tempat tidur. Dia ambil bantal lalu digigit dengan gemas. “Ini karena Papa! Aku benci Papa!” tangisnya.
Tangan Harpa meraih ponsel di atas meja. Dia menelpon seorang pria yang sangat berarti untuknya selain Dios.
“Kamu ke mana? Kenapa enggak kuliah? Aku dari tadi nyari kamu!” omel pria itu.
“Aku tadi mau nonton konser, Adras. Tapi karena tertipu bujuk rayu Pak Prapto, aku malah dipaksa pulang dan dikunci di kamar. Aku jadi enggak bisa nonton Dios,” keluh Harpa.
Adras menarik napas dengan berat. “Harpa, gimana Papa kamu enggak marah coba? Mereka maunya kamu itu belajar dengan rajin supaya bisa menerusakan usaha mereka. Apalagi kamu anak mereka satu-satunya,” nasihat Adras.
Harpa menyipitkan mata. “Adras, aku pikir kamu pacar aku. Aku pikir kamu sayang sama aku! Ternyata kamu lebih sayang sama Papa! Aku enggak mau ngomong sama kamu lagi!” omel Harpa lalu mematikan telpon.
“Harpa? Dengarkan aku dulu! Harpa!” panggil Adras.