"Hati-hati di jalan, Nona. Saya harap Anda tidur dengan nyenyak," ucap Dios kemudian menunduk di depan Harpa. Gadis di depannya balas menunduk hormat.
"Kamu juga hati-hati. Sampaikan salamku pada member lainnya. Nanti aku hubungi kamu lagi," ucap Harpa kemudian masuk ke dalam mobil.
Adras tutup pintu mobil itu. Selama pesta, Adras terus merasa terganggu akibat sering melihat kedua orang itu saling mencuri pandang. Duduk di kursi depan, Adras memandang teguh ke depan. Sesekali terdengar suara kekehan Harpa yang berkirim chat dengan teman satu fandom. Karena masalah dua tahun lalu, dia harus menggunakan akun palsu setiap kali berinteraksi dengan fans lainnya.
Beberapa kali suara klakson terdengar membuat emosi Adras terasa ingin membludak ke luar. "Pak, bisa berhenti di depan. Aku rasanya lapar, tadi tak sempat makan," pinta Adras. Harpa mendengar hal itu. Mobil menepi di sebuah mini market.
"Aku ikut!" pinta Harpa.
"Biar saya yang belikan. Anda tetap di mobil. Suhunya dingin. Apa yang ingin Anda beli?" tawar Adras.
Harpa mendelik. Dia menarik rok gaunnya sehingga hanya tersisa bagian yang pendek. Kemudian membuka pintu mobil. "Nona!" panggil Adras berusaha menghentikan Harpa.
"Berapa kali aku bilang, ingin ikut!" tegas Harpa keras kepala. Dia berkacak pinggang di luar mobil. Terpaksa Adras ikut turun. Dia lepas jas dan menyampirkan di bahu Harpa. "Pakai ini, dingin. Anda bisa sakit," saran Adras.
Harpa berbalik dan melangkah menuju mini market. Dia membuka pintu dengan mendorong sekuat tenaga. "Kenapa gak kebuka?" tanyanya bingung.
"Tulisannya pull," ungkap Adras.
Harpa menunduk dan menemukan seberapa konyol hidupnya. Adras tarik pintu dan membiarkan Harpa masuk lebih dulu. "Makanan di pesta kecil-kecil, tak cukup di perutku," keluhnya. Dia mencari lemari pendingin di mana ada beberapa makanan berat yang dikemas dalam kotak plastik. Biasanya makanan itu dibawa ke kasir untuk dihangatkan dan bisa dimakan sambil duduk di kursi yang tersedia di teras mini market.
"Aku mau empal sambel penyet, kamu?" tanya Harpa. Adras tak menjawab. Dia hanya mengambil nasi cakalang dan langsung berjalan ke kasir. "Dia balas dendam padaku apa gimana?" pikir Harpa dengan wajah kesal. Tangan Harpa mengulur mengambil kotak makanan.
"Mbak, dia yang bayar, ya?" ucap Harpa sambil menunjuk Adras.
"Dihangatkan nasinya, Mbak?" tanya kasir.
"Iya. Aku mau makan di sini. Tapi mau cari minum dulu." Harpa berkeliling melihat minuman di lemari lainnya. Dia membawa teh s**u kemudian camilan keripik tempe. Semua itu dikumpulkan di atas meja kasir.
"Sudah?" tanya Adras. Harpa mengangguk. Menunggu sekitar lima menit di depan mesin kasir, akhirnya makanan mereka hangat juga. Keduanya melangkah ke meja yang ada di teras. Adras sempatkan memberikan satu kotak nasi pada sopir.
Sedang Harpa sudah sibuk membuka tutup botol minuman. Dia merogoh saku untuk mengambil ikatan rambut dan mengucir rambutnya. "Aku lapar banget," seru Harpa. Dia membuka kotak makanan dan mengaduh karena masih terasa panas.
"Pelan-pelan, Nona." Adras ambil tissue yang sempat dia beli. Dengan melapisi tangan dengan lembaran putih itu, perlahan dia buka bungkus makanannya. "Ini. Dimakan," tawarnya.
Harpa mengangguk. Dia mengambil sendok serta garpu. "Harga segini murah banget, ya? Dapat kotak makanannya, nasi dan dagingnya gede banget. Kotaknya ini bisa dipakai lagi buat bekal nanti," ucap Harpa.
Adras mengangguk. Hal yang membuat dia merasa kagum dengan Harpa adalah pikirannya yang selalu sederhana. Tak seperti yang orang katakan tentang sifatnya yang manja, justru Harpa sering hidup biasa saja. Dia makan di kaki lima, jajan layaknya orang biasa, bahkan tak suka membeli barang mewah. Dia dekat dengan siapa saja tanpa memandang kasta. Hanya saja memang, malas belajar, tak sabaran dan suka menghamburkan uang hanya demi fangirling.
Harpa memotong daging dan melahapnya, kemudian baru menyusul memasukkan nasi dan sambal dalam mulut. "Enak banget!" serunya.
"Syukur Anda suka. Padahal saya sudah memesankan makanan dari restoran langganan Anda," timpal Adras.
"Sudah. Ini saja. Lumayan uang perusahaan bisa dihemat," komentar Harpa.
Bintang berkelip di atas langit sana, terlihat tenang meski di jalanan sepanjang mini market terdengar kegaduhan khas jalan raya. Orang-orang yang mengobrol, pengamen jalanan hingga angin yang menggerakkan daun pepohonan.
"Kapan terakhir kali kita makan di teras mini market gini?" tanya Harpa.
Adras mengawang. "Sepertinya sudah sangat lama. Kita masih kuliah dan," Adras tak melanjutkan kalimatnya.
"Masih pacaran?" terka Harpa. Adras hanya membalas dengan anggukkan kepala. Harpa mengambil minuman dan meneguk isinya. "Waktu masih kuliah dulu, kita gak pernah punya banyak pikiran, ya? Jam segini belum tidur karena masih chattan sama teman, ngerjain tugas dan nonton atau nongkrong. Sekarang kerja terus. Dulu kesal, sih. Tapi sekarang rasanya mendingan tugas kuliah daripada kerja."
Harpa sempat melirik ke area pintu mini market. Terlihat seorang ibu menuntun anaknya keluar dari tempat itu. "Papa dan mama kamu apa kabar?" tanya Harpa.
"Baik. Mama sempat bertanya tentang Anda. Beliau minta maaf belum sempat melayat," jawab Adras.
Harpa kembali menyuapkan makanan ke mulut dan mengunyah. "Syukurlah. Aku kangen masakan Mama kamu. Kapan-kapan bisa minta dia bikinin aku bekal? Nanti aku ganti pakai kain songket yang aku beli dari London," ucap Harpa.
Adras menaikkan sebelah alis. "Kenapa beli kain songket di London?"
Terdengar suara kekehan Harpa. Gadis itu merapikan anak rambutnya ke bagian belakang telinga. "Soalnya mumpung lagi diskon. Aku pikir kalau ke Sumatera langsung jauh. Pas waktu itu aku masih kuliah di sana, kan? Aku memang beli itu untuk mamanya Narvi dan mama kamu, sih. Soalnya hanya kalian yang mamanya dekat denganku."
Adras menarik napas panjang. "Terima kasih banyak," ucapnya.
Keduanya terdiam lumayan lama. Adras sempat melirik ke arah Harpa. "Saya harap Dios pria yang baik dan bisa menjaga Anda. Tentang hubungan kalian, untuk sementara mungkin bisa ditutupi dulu. Saya yakin kalian sama-sama mengerti," imbuh Adras tiba-tiba.
Harpa mengedipkan matanya. "Kenapa kamu jadi mendadak bahas Dios?"
"Kelihatannya kalian berdua sudah sangat saling mencintai," jawab Adras. Mendengar itu rasanya Harpa ingin tertawa. Hanya saja dia tahan dan membiarkan Adras berpikiran seperti itu. "Karir Dios masih sangat pesat. Sayang kalau harus hancur karena skandal."
"Aku tahu soal itu. Karenanya kami sangat hati-hati," jawab Harpa membuat kesalahpahaman semakin membesar di benak Adras.
"Narvi kemarin ke ruangan saya. Dia bertanya tentang jajaran direksi Anda," ungkap Adras.
"Kamu jelaskan pada dia? Narvi butuh itu karena dia akan berhadapan langsung dengan para petinggi. Aku ingin jadikan dia staf ahliku," jelas Harpa.
"Baiklah."
Harpa menarik sendok dan garpu plastiknya untuk memotong empal, tapi malah patah. Dia terdiam sejenak. "Yah, gimana aku makan ini? Padahal masih banyak," keluhnya.
"Tunggu." Adras berdiri dan masuk kembali ke dalam mini market. Dia periksa makanan Harpa takut ada plastik yang tersangkut di sana. Barulah pria itu bantu memotong daging. "Ini."
"Makasih, Adras. Kamu emang sekretaris paling keren!" Harpa memberikan pria itu jempol. Keduanya melanjutkan acara makan. Sesekali bibir Harpa kotor karena noda sambal
Adras ambil selembar tissue dan membersihkannya. Gadis itu sama sekali tak terlihat risi. Dia masih berkonsentrasi pada makanan di depannya.
"Kelihatannya Anda benar-benar lapar," komentar Adras.
"Kamu tahu pecel lele yang ada di dekat asrama tentara?" Harpa malah bertanya pada hal lainnya.
"Iya. Kenapa?"
"Apa yang punya masih jualan? Aku mau beli ayam gorengnya. Soalnya aku takut sama lele," ungkap Harpa.
"Masih. Terakhir saya makan di sana." Adras merapikan cangkang makanan di atas meja.
"Iyakah? Sama Okna?" Harpa menggaruk lututnya. Adras hanya menggelengkan kepala. "Kenapa Okna gak diajak? Padahal makan di sana enak. Aku saja ketagihan. Cuman gak sempat saja beli. Baru datang ke sini langsung kena mental aku karena masalah Papa dan perusahaan."
Adras bingung bagaimana harus menjawab. Okna tak pernah mau diajak makan di pinggir jalan dan lebih dari itu, kadang ada tempat di mana kenangan tercipta dan tak ingin hilang karena kedatangan yang lainnya. "Hanya Anda yang saya bawa ke sana," ucap Adras kemudian membersihkan tangannya dengan tissue basah.
Harpa hanya berdeham. Gadis itu ikut merapikan bekas makanan. "Biar saya yang buang," tawar Adras.
"Kamu itu sekretarisku, bukan pembantu. Kalau urusan kayak gini, biar aku sendiri yang urus." Harpa berjalan ke tempat sampah. Adras ikut berdiri. "Kita pulang sekarang? Aku sudah ngantuk banget. Besok masih bisa selesaikan sisanya, kan?"
Adras balas dengan anggukan. Keduanya masuk ke dalam mobil. Karena lelah, Harpa bersandar ke kaca mobil. Dia perlahan tertidur di sana. Adras mengintip dari spion depan. "Dia pasti kelelahan," batin Adras.
Tiba di rumah, Adras turun lebih dulu. Dia buka perlahan pintu mobil di samping Harpa. "Nona, sudah tiba di rumah." Pria itu mencoba membangunkan bosnya. Namun, Harpa malah berbalik ke sisi lain. "Nona, bangun."
"Papa! Aku ngantuk! Izin dulu saja kuliahnya," ucap Harpa melantur sambil menggerak-gerakkan tangan.
Adras mengatur napas. Dia kembali mengguncangkan tubuh Harpa. "Aku gak mau kuliah!" tegas Harpa kemudian kembali tertidur.
"Pak, sebaiknya dipindahkan saja langsung ke kamar," saran sopir.
Dalam posisi ini rasanya Adras bingung. Akhirnya dia gendong Harpa dengan kedua tangan dan dibawa ke kamar gadis itu. Pelayan bantu membukakan pintu. Namanya orang tidur dan tak sadar, Harpa memeluk leher Adras dan menyandarkan kepala di bagian depan tubuh pria itu.
Wajah keduanya begitu dekat. Adras bisa merasakan jantungnya berdebar. Mereka tiba di kamar. Dia baringkan Harpa di atas tempat tidur dan menyelimuti tubuh gadis itu. Hendak berdiri, tangan Adras dipegang erat oleh Harpa. "Papa! Jangan pergi, aku sendirian," keluh gadis itu.
Adras sedikit menunduk. Diusap rambut Harpa dengan lembut. "Semua pasti akan baik-baik saja. Anda wanita yang kuat. Di sana Tuan Kariswana akan merasa bangga pada Anda," ucap Adras. Dilepaskan lengannya dari tangan Harpa, kemudian pria itu pergi meninggalkan tempat.