20. Pekerjaan sulit

1016 Kata
Adras masih duduk di kursinya. Tadi dia sempat pamit menuju ruangan karena semua hal yang harus dia laporkan telah dilakukan. Tugas Adras hari ini hanya tinggal menyusun informasi, jadwal dan tata kelola untuk kegiatan esok hari. Namun, Harpa masih menahannya di sana. "Kamu tahu tiga label ini?" tanya Harpa setelah lama membaca presentasi yang diberikan Adras. "Tidak," jawab Adrasha apa adanya. Harpa mengeluarkan suara decakan dari mulutnya. "Lalu gimana caranya Tuan Adrasha membuat ini semua?" Harpa menujuk layar tablet PCnya. "Begini, Nona Kariswana. Dalam sebuah perusahaan ada tim yang disebut perencanaan. Dan mereka yang melakukan riset untuk membuat semua itu. Hasilnya diberikan pada saya untuk diteruskan kepada Anda," jelas Adras. Harpa mengangguk-angguk. "Ganti semua tim," titahnya. Jelas Adras merasa bingung akan keputusan yang diambil CEO baru itu. "Apa tidak terlalu gegabah? Ini awal jabatan Anda dan sudah melakukan perombakan besar dalam tim." Jelas Adras merasa keputusan ini kurang tepat. Sebagai pimpinan baru, harusnya Harpa menarik perhatian dari bawahannya untuk mendapatkan dukungan. Dengan apa yang diinginkan Harpa sekarang, malah membuat timbulnya rasa tidak suka bahkan kekecewaan yang berujung pada tindakan mogok kerja. "Pengalaman adalah aset dari segalanya. Meski orang-orang dalam tim berpendidikan tinggi seperti kamu, kalau tidak tahu medan, tiada guna. Termasuk orang-orang dalam tim ini. Semua yang mereka tuliskan di sini sampah? Apa riset hanya didasarkan pada artikel internet saja? Buktinya banyak sekarang media membahas musik hanya sekadar ingin ikut rame saja," jelas Harpa. Adras menyiapkan pulpen dan buku catatan kecil untuk menuliskan poin penting yang Harpa maksud. "Untuk survey masyarakat pun tentu harus orang yang tepat sebagai koresponden. Bukan sembarang tetangga sebelah asal kenal. Mereka digaji dan harusnya kerja lebih niat sedikit. Aku sudah lama jadi fans artis, di mana letak pasar terbesar saja aku tahu," tegas Harpa. Apa yang Harpa katakan tidak bisa Adras kepinggirkan. Dia tahu benar betapa gilanya wanita itu dulu dengan boyband dan musik. Dunia fangirling sudah ditekuni hingga mengoleksi banyak merchandise berharga mahal. "Ketiga label ini memiliki cacat yang hanya fans yang tahu." Harpa ungkapkan apa kelebihan dan kekurangan label-label itu dan semuanya hampir tak tertulis di lembar presentasi. "Aku di sini yang tidak riset, jauh mendapat lebih banyak daripada mereka. Makanya aku bilang, rombak besar-besaran. Bagaimana perusahaan ini bisa maju kalau baru rencana saja sudah tidak masuk akal." Harpa menyimpan tablet PCnya. "Lalu bagaimana caranya Anda merekrut pegawai? Saya akan ajukan pada bagian talent," tanya Adras. "Aku akan rekrut sendiri. Jadwalkan Minggu depan untukku. Syaratkan pada mereka minimal memiliki lima tahun riwayat sebagai fans. Kedua, terdaftar sebagai anggota fandom tertentu. Tentang pendidikan lainnya, itu hanya formalitas saja. Meski dia S2, tapi tak tahu dunia idol sama sekali tidak aku perlukan dalam tim," tegas Harpa. "Baik. Saya pamit dulu untuk menuntaskan pekerjaan saya. Semua yang Anda butuhkan sudah saya siapkan di atas meja. Untuk menemui Tuan Perdana, saya akan datang ke mari lima belas menit sebelumnya," pamit Adras. Dia berdiri dan meninggalkan ruangan. Pria itu menutup pintu ruangan Harpa. "Dia sudah dewasa sekarang. Walau tetap saja tukang mengeluh," batinnya. Senyum kecil terhias di bibir Adras. Harpa melihat mejanya. Ada banyak tumpukan dokumen yang harus dia periksa dan anulir di sana. "Lihat saja sudah males, apalagi ngerjain." Harpa menendang-nendang kaki ke kolong meja. "Harusnya aku masih liburan pasca lulus. Sudah masih sedih, harus banyak beban tugas lagi. Siapa bilang jadi orang kaya enak? Mulut orang itu harus banyak dikuliahi! Kenapa di drama kerjaan CEO kayaknya senang saja? Naik mobil, makan malam, godain cewek." Harpa akhirnya mulai mengambil salah satu dokumen. Melihat tulisan kecil-kecil di sana saja dia sudah pusing. "Aku waktu kuliah ngapain saja, sih? Kenapa gak ada satu kalimat pun di sini yang aku ngerti?" keluhnya. Harpa sampai berkaca-kaca matanya. Sementara Dios hari itu tengah berada di ruang latihan. Dia mengecek media sosial dengan akun palsu. Pria itu terdiam lama. "Dia sudah pulang?" tanya Dios. Pria itu berjalan ke sisi ruang latihan. Dia duduk. Tangannya merayap mengambil handuk di sisi ruangan. "Siapa yang pulang?" tanya Niel. "Wanita itu. Dia baru lulus kuliah. Apa aku harus berikan hadiah? Tapi gawat kalau dia tahu itu dariku," jelas Dios. Dia sampai memijiti kepala. "Dios, kamu harus tinggalkan perasaan pribadimu." Niel menepuk bahu pria itu. Dia mengambil dua botol minuman kemasan dan memberikannya. "Aku tahu. Aku hanya senang dia berhasil dengan kuliahnya. Sebelum ini dia mengeluh di media sosial, takut tidak akan lulus. Akhirnya dia bisa melakukan semuanya dengan baik." Dios membuka tutup botol dan meminum isinya. Perasaan memang bukan sesuatu yang mudah dikendalikan. Dia bisa begitu liar pergi ke mana saja. Hanya satu yang bisa dilakukan, menahan untuk tidak terlihat ke dunia nyata. "Wajar kalau aku ikut senang untuknya, kan? Aku ingin kebahagiaan dia semakin lengkap, meski tanpa aku." Dios masih memandangi foto wanita yang berpose dengan teman-temannya di depan salah satu universitas. Niel mengangguk. "Kamu sudah dengar kalau kita punya CEO baru? Dia akan menemui semua artis minggu ini. Katanya kita akan bergabung dengan label yang sama kayak agensi sebelah. Aku gak sabar. Kalau kita bergabung dengan Hipe, tentu aku akan sering bertemu dengan artis cantik itu." Jelas sekali Niel begitu sumringah. "Kamu bilang harus tinggalkan perasan pribadimu. Apalagi wanita itu artis. Kamu bisa bikin dua fandom war, bestie!" ledek Dios sambil mengacak rambut Niel. "Hei, Dios! Kamu kenapa ngeselim banget, sih? Kalau bukan karena fans kamu paling banyak, sudah aku tukar kamu dengan idol boyband sebelah!" Niel memperlihatkan tinju ke arah Dios. Sedang pelaku langsung berlari ke tengah ruangan latihan. "Teman-teman! Kumpul!" Regal menepukan kedua tangannya. Semua anggota lekas duduk membuat lingkaran di tengah ruangan. "Karena hari Kamis ini kita akan bertemu CEO baru, kita sepakat menggunakan pakaian serba hitam sebagai tanda belas sungkawa. Nanti manager akan memberikan kita bunga untuk disimpan sebagai tanda penghormatan di makam CEO terdahulu. Jadi Kamis ini kita tak punya jadwal selain prosesi ini," jelas Regal. "Kak, apa benar CEO kali ini cantik banget?" tanya Neo membuat dia ditoyor teman lainnya. "Meskipun dia cantik, kamu bukan tipenya. Kita sadar diri saja," tegas Regal. "Lagian kamu kenapa urusan wanita cantik selalu paling cepat, sih?" Reid menaikkan sebelah alisnya. "Karena aku pria normal, Teman. Kalau aku lebih peduli padamu, barulah khawatir sana," timpal Neo. Wajahnya terlihat sangat sewot.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN