Chapter 10 - Husbu! [1]

1171 Kata
**** “Sudahlah, Shel. Emang takdirnya harus kayak gitu. Relain aja.” Gadis berambut ikat satu itu berusaha menenangkan temannya yang tengah bersedih. “Iya, Shel. Berarti emang udah takdir kamu tiap punya husbu mati semua—” “Tiiidaaaaaaak! GILKUU!!!” Ami memincing tajam pada Rahma. Perempuan pendek dengan rambut coklat tua kucir dua refleks menutup mulut saat sadar ia telah salah bicara. Shella semakin merengek, membuat suasana pagi yang hampir dipenuhi makhluk-makhluk penghuni kelas gadis itu terasa begitu ricuh. Pasalnya, tak hanya ia yang membuat rebut, tapi juga teman-temannya lain, terutama para lelaki yang—seperti biasa—membuat gaduh dalam berbagai hal. “Lagian, Shel. Kenapa sih kamu ngelirik terus cowok yang endingnya mati?” tanya Ami. “Ya mana kutahulah, Am! Namanya jatuh cinta mah nggak pandang kayak gimana-gimana. Lagian aku mana tahu ‘kan kalau husbuku bakal mati!” protes Shella degan mulut moncong ke depan. Ami, dan Rahma menghela napas. Benar-benar…. Kecintaan Shella pada karakter dua dimensi sudah layaknya cinta pada makhluk sejenisnya. Gadis berambut moca itu baru saja menamatkan anime Fate/Stay Night semalam. Awalnya ia begitu antusias. Bersemangat melihat embali pertarungan antar Master dengan para roh pahlawan yang menjadi Servant-nya. Shella bahkan sampai spam chat pada Ami dengan segala kehebohannya setiap kali melihat sosok Gilgamesh yang muncul di adegannya. “AAAAARGGH!! AMI!! SUMPAH! GIL GANTENG BANGET NGGAK KUAT!!!!” katanya dengan stiker perempuan mimisan dan emoticon love yang mengudara.  Ami sampai sakit mata melihat semua capslock yang jebol di roomchat-nya. “Nggeus atuh, Shel. Berarti da emang lain takdirna kamu jeung si cogan eta.” Perempuan yang diam-diam menghampiri meja Shella berkata. Asti, dengan logat Sunda khasnya, berusaha meredakan emosi tak stabil Shella pada sesuatu yang benar-benar-benar tak penting. Baginya, tentu. Bagi Shella itu hal yang penting. “Pagi-pagi dah berisik kalian,” kata orang di samping Shella. “Berisik. Nggak usah ikut-ikuan kamu.” Shella terbawa emosi mendengar suara menyebalkan dari si lelaki. Taka da komen lain yang keluar dari mulut Rama. Pemuda itu kembali fokus pada buku yang tengah di bacanya. Entah itu buku apa, yang jelas, Shella yang melihatnya seketika muak dan merasakan mual di perutnya yang baru saja diisi sarapan dua centong nasi dengan telor kecap dari rumah. “Kapan husbuku nggak mati, Ya Allah….” “Eeng….” Ketiga teman Shella berpikir serempak. “Mungkin kalau kamu udah punya husbu nyata?” ucap Rahma kemudian. Diikuti anggukan Ami dan Asi yang masih dalam mode berpikir. Entah ini perasaannya saja atau apa, tapi perkataan temannya itu seperti menusuk telak ke jantungnya. Husbu nyata…. Husbu nyata…. “Dipikir nyari yang nyata itu segampang nyari yang dua dimensi apa? Skeli lirik, jatuh hati, terus langsung diaku, “Punyaku!” gitu?” kata Shella “Enggak lah! Nyari yang nyata itu susah Rahmaaa.” Shella mencengkram tangan Rahma hingga membuatnya sedikit meringis. “Apalagi kalau orangnya cuek bin nyebelin kayak—” Shella menahan napas. Dilepasnya tangan Rahma dan kembali duduk dengan tenang. Asti dan Rahma saling bertukar pandang kebingungan, sedangkan Ami menatapnya dengan manik mata yang berusaha mencari sesuatu dari perkataan Shella yang tak terselesaikan. Tak menemukan apapun, Ami memutuskan untuk kembali ke tempat duduknya “Ya udah atuh. Ayo, Rahma, Asti. Bentar lagi masuk,” ajaknya. Kedua perempuan yang diajakpun mengangguk dan mengekor perempuan yang jalan lebih dulu darinya. Akhirnya. Hampir saja Shella mengatakan sesuatu yang seharusnya orang lain tak pelu tahu. Akhir-akhir ini mulutnya semakin tak terkontrol saat ia emosi. Mengatakan sesuatu yang tak penting, yang bisa saja merugikan dirinya senidri. Ia menghela napas. Ditelungkupkannya wajah di kedua lengannya. Menyembunyikan wajah yang rasanya sudah mulai panas. Suara ricuh terdengar tak lama kemudian. Gesekan antara kayu dan lantai menghasilkan suara yang khas. Shella merasakan mejanya berseger. Deva yang baru datang entah dari mana sudah duduk di sampingnya, diikuti oleh guru yang membuat kelas hening seketika. “Siap! Berdoa!” Keheningan hinggap dalam ruangan itu. Semua orang khusyuk memanjatkan doa untuk satu hari pembelajaran mereka hari ini. Setelah dirasa cukup, sang Ketua Murid memerintahkan untuk memberi salam. Setelahnya, pelajaran Biologi dimulai. Sang guru mengabsen satu persatu muridnya, lantas mengawali pembelajaran dengan mengumumkan hasil quiz yang dilakukan beberapa minggu yang lalu. Wanita itu bilang, nama akan disebutkan beserta nilainya, dimulai dari yang paling besar. “Shella 98, Deva 98, Rama 100.” Satu kelas langsung berseru hebh saat ketiga nama tersebut dipanggil. Terutama nama dan nilai seseorang yang paling akhir. “Anggeur  da. Si Rama deui nu pang gede na. (Pasti. Rama lagi yang paling besar.)” “Moal salah deui eta mah. (Nggak salah lagi kalau itu.)” Pemuda bernama Rama itu maju ke meja guru setelah Shella dan Deva sudah lebih dulu mengambil kertas ulangan harian. Rama berjalan dengan lunglai. Di wajahnya, tak tampak senyum atau tanda-tanda bahwa ia bahagia mendapat nilai paling besar. Ekspresinya terlalu datar untuk seseorang yang baru saja mendapat peringkat pertama di ulangan harian fisika kali ini. Ia terlihat seperti enggan melakukan sesuatu selain duduk di mejanya dengan kepala di atas meja, atau bisa dibilang, tidur. “Rama, senyum dikit napa? Mukamu itu kelempengan tahu,” ucap Shella yang duduk di meja sebelahnya.  “Berisik. Aku ngantuk,” jawab si pemuda singkta, lantas kembali melangkah gontai ke mejanya. “Dih.” Shella memperhatikan gerak-gerik cowok yang belum terkumpul energinya itu sesaat, sebelum mengalihkan pandangan ke papan tulis di mana sang gru mulai menerangkan materi yang baru. Dasar anak aneh. “Eh. Materinya apa ini, Dev?” tanya Shella linglung.  “Tentang…organ ekresi? Ceklah sendiri di buku paket, nih!” Deva menyodorkan buku paket yang membuka halaman delapan puluh dua. Bab mengenai organ-organ ekskresi seperti kulit, ginjal, dan xxx. Gadis itu mulai menyimak penjelasan gurunya. Tiga puluh menit berlalu, orang yang berceloteh di depan kelas sedari tadi lantas memberi siswa-siswanya tugas kelompok—salah satu hal yang paling tidak disukai Shella di kurikulum baru ini. Kelompok telah ditetapkan. Shella berada dalam tim yang hanya berisikan dua perempuan, sisanya tujuh orang laki-laki. Tugasnya adalah untuk membuat sebuah replica organ ekskresi sesuai undian yang nanti akan diambil oleh perwakilan tiap kelompoknya. Oke. It’s time to gacha. That means it’s time for a girl that addicted to that—Shella. Beruntung, teman-teman Shella menunjuknya untuk menjadi perwakilan. Gadis itu tentu saja tak menolak. Ia bergegas berdiri dan menuju ke meja guru di mana undian akan diambil. Deva, dan Rama ternyata menjadi perwakilan juga. Saat wanita dua puluh lima tahunan itu memberi aba-aba untuk mengambil gulungan kertas di atas meja, Shella langsung mengambil secara acak. Berharap cemas dirinya tidak mendapat sesuatu yang bisa menambah beban hidup—walau sebenarnya yang namanya tugas pastilah menjadi beban hidup. Dibukanya gulungan ditangannya itu bersama dengan perwakilan yang lain. Kulit. “Ouch—“ Shella tidak tahu apakah ini tulisan pembawa keberuntungan atau kesialan. Replika kulit? Shella belum bis amenemukan gambaran dari tugas seperti apa yang akan dibuatnya. Tapi, ya sudahlah, bagaimana nanti aja. Kelima orang kembali ke tempatnya. Mendengarkan kembali instruksi guru, sambil mendiskusikan tugas mereka. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN