****
Shella menghembus napas panjang di sela perjalanan pulang sore itu. Mengenang memori lama benar-benar melelahkan, tapi sekaligus menyenangkan. Seulas senyum tipis terlukis di bibir gadis itu, diiringi kekehan kecil.
“Wah. Bahaya. Bisa-bisa aku dikira gila gara-gara ketawa sendiri.”
Shella melangkahkan kakinya dengan perasaan bungah di hati. Tak disangkal, dirinya memang senang saat mengingat lagi hari di mana ia dan Rama mulai dekat. Selepas menenangkan diri dengan segala kalimat motivasi Riki, Shella mendapatkan notifikasi LINE pada HP-nya.
“Gimana lombanya?”
Satu pertanyaan yang cukup membuat kedua bola mata Shella melebar sekaligus bebinar-binar. Tiada angin tiada hujan, tanpa pancingan apa-apa, Rama tiba-tiba mengiriminya pesan untuk menanyai kabar kawannya yang tengah ada di medan perang.
Sang gadis tanpa sadar menggigit bibir bawah. Pertanyaan itu memancing emosinya lagi. Shella berusaha keras untuk tidak meneteskan air amtanya.
“Game over.” Begitulah tulisan dari stiker yang dikirimkan kepadanya. Diiringi karakter kucing yang menyembunyikan wajah di atas genangan air mata.
“Kalah?”
“Hooh”
Notifikasi yang terdengar selanjutnya, berisi pesan yang hampir membuat Shella menjerit. Kalimat “cup cup cup” dengan stiker beruang yang menenangka beruang lain yang tengah menangis.
“Emang belum rejeki berarti, Shel. Otsukaresama.”
Shella mengucapkan terima kasih melalui stiker lagi. Dia tidak tahu apa sebenarnya niat Rama mengirimi dia pesan LINE. Paling-paling juga akan mengejeknya setelah ini, tidak mungkin ia akan mengerimkan kalimat-kalimat penyemangat seperti yang dilakukan oleh ka kak Riki.
Walau begitu, ini sudah merpukaan keajaiban, Rama mengirimnya pesan duluan. Sungguh, kesambet apa anak itu di rumahnya?
“Nangis, ya?” tanya Rama dengan emoticon pacman-nya.
“Sok tahu banget, Lu.”
“Saia bukannya sotoy. Saia hanya menduga.”
“Cih.” Shella mengirim stiker jengkel pada lelaki itu. Balasan-balasan lain mulai bermunculan. Chat dengan Rama berlangsung lama kala itu bahkan diperjalananpun notifikasi Line menemani perjalanannya.
Shella terus me-scroll riwayat chat tersebut. Alau dilihat-lihat, frekuensi Rama membalas terbilang lama—sangat lama. Sekitar setengah jam baru Rama membalas. Bahkan, anak itu bisa membalas sampai berhari-hari lamanya.
Menguji kesabaran Shella, memang. Walau begitu, setidaknya Rama masih membalas—
Ah, tidak juga, anak itu sering tidak membalas LINE-nya, entah karena alasan apa. Di-spam pun percuma, yang ada Shella terkantung-kantung menunggu jawaban, yang beberapa hari kemudian hanya tulican baca tanpa balasan di handphone-nya.
Frekuensi Shella chat dengan Rama semakin meningkat sejak hari itu. Perlahan, tapi pasti, walau tetap dengan kebiasaannya yang lama membalas, tidak dibalas, dan hanya dibaca.
“Hmm…rata-rata ngomongin pelajaran, sih, sama anak itu mah. Atau cuman sekedar berbagi informasi dari grup chat w******p, di mana Rama tidak bergabung dalam grup itu. Namun, di setiap informasi yang dibagikan Shella pada pemuda berfoto-profil anak ayam warna kuning itu, jawabannya selalu membuat Shella memunculkan perempatan di keningnya.
Bukan ucapan terimakasih atau sejenisnya yang dilontarkan oleh pemuda itu, melainkan stiker-stiker yang menggambarkan ekspresi tak peduli atau mengacuhkan.
“Dasar anak-anakkan….”
Shella tersentak kala suara khas LINE yang berbunyi, diiringi getaran di tangannya. Layarnya yang masih menampakkan roomchat Rama menunjukkan pesan baru yang diterimanya dari orang yang sama. Shella lantas menekan tombol yang langsung membawanya ke pesan yang paling baru.
“Halo, manusya?”
Shella membalas, “Iya. Gua manusya, kenapa?” Gadis itu memasang tampang flatface pada kalimatnya.
“Minta tolong. Kirimin foto fotocopy-an IPS yang tadi. Aku belum fotocopy soalnya.
“Ya terus kenapa tadi langsung pulang, Pak’e!? Udah jelas-jelas tadi ketemu di tempat fotocopy. Malah nyeleneng.” Sekali lagi, Shella mengirim dengan emoticon flat-face.
Rama mengirim stiker bertuliskan “Te-He!” dengan karakternya yang memasang gesture memukul kepala sambil menjulurkan lidah. Tch. Stiker yang paing dibenci Shella saat ia kesal pada anak ini.
“Ya udah, nanti. Gua masih di jalan.”
“OK” Kata yang tercantum dalam stiker Umaru-chan diterima oleh Shella. Shella kembali fokus pada jalanan. Sudah hampir setengah enam, seharusnya masih ada angkutan umum saat ini. Tapi, sudah hampir lima ratus meter—atau mungkin lebih—Shella berjalan, belum ada satupun yang melintas di sisinya.
“Mana nggak ada yang bisa jempput pula orang rumah.” Gadis itu menghela napas. “Emang harus jalan kaki ini mah pulangnya,” keluhnya. Lampu-lampu jalan sudah menyala, langit mulai sedikit kehilangan cahayanya, tapi jalanan tak kunjung lenggang dari para penggunanya. Roda tiga, roda empat, bahkan yang lebih dari itu pun masih lalu-lalang di sepanjang jalan yang disusuri Shella melalui trotoar.
Beberapa kali Shella terpanggil oleh pengendara yang lewat. Teman-temannya berlalu sambil melambaikan tangan dan berseru, “Duluan!” padanya. Gadis itu membalas lambaian tangan sambil berseru, “Ya! Hati-hati!”
Sang gadis kembali menikmati suasana sore menuju malamnya. Langkah kaki diiringi senandung-senandung kecil yang keluar dari multnya. Kepalanya memutar lagu-lagu favorit dan mmebuat Shella tak dapat menahan keinginan untuk membuka mulutnya.
~ ~
ima koetakute ima koetakute
mada michi ga tsukiru made wa
kuzurezu ni norikireru to ieru kara
kono boku ni kono bokutachi ni
mada ikigakakaru made wa
kowarezu ni tachi tsudzukeru no
~ ~
Shella menyenandungkan sekutip lagu berjudul Home dari band Jepang bernama My First Story. Band yang tidak terlalu terkenal, walau vokalisnya adalah adik dari salah satu band internasional, One OK Rock. Terkadang Shella memang memilii seleras berbeda dari kebanyakan orang. Itulah alasan kenapa dia sulit menemukan teman yang berada di satu jalur dengannya.
Rasa penasaran tiba-tiba datang. Shella merogoh saku dan mengambil ponselnya. Dibukanya fitur pencarian sejuta umat dan mengetik sesuatu di sana.
“Arti lirik lagu home MFS”
Tak menunggu lama, bejibun situs bermunculan. Shella memilih yang paling atas—yang juga merupakan situs yang biasa ia kunjungi. Apa yang ia butuhkan langsung terpampang di layar. Shella membacanya dalam hati.
~ ~
Sekarang aku ingin melampauinya, aku ingin melampauinya
Meski aku kehabisan tenaga di jalan
Bisa dibilang aku tak akan jatuh sampai perjalanan berakhir
Aku masih mengambil nafas
demi diriku dan demi kita
Terus berdiri dan tak akan hancur
~ ~
Shella membacanya dengan penuh penghayatan dari awal hingga akhir. Gadis itu tersenyum lebar. Memang band favoritnya memang paling best. Shella suka hampir semua lagunya, lirik-liriknya memang banyak juga yang sulit dimengerti maknanya, tapi genre-nya yang rock, cukup membuat Shella jatuh hati padanya.
Tanpa sadar, sudah hampir setengah jalan lebih Shella melangkah dari sekolah. Sayup-sayup lantunan ayat al-quran yang biasa dibawakan sebelum azan, mulai terdengar di masjid-masjid terdekat. Gadis itu mempercepat langkah. Ia tak mau sampai maghrib di jalan. Ia harus sudah sampai di rumah, atau ia bisa mendapat semburan di depan pintu rumah.
*****
Menunggu memang satu hal yang dibenci banyak orang.
Membuang waktu, menumbuhkan rasa baru yang disebut penasaran. Begitulah rasanya saat mengirim pesan pada lelaki itu.
Kalau dipikir-pikir memang tak ada guna menunggunya. Ada apa denganku dua tahun yang lalu? Dengan perasaan tak tentu, yang seketika punya kemampuan macam flash kala mendengar notifikasi masuk.
Tak sampai lima—sepuluh detik aku sudah membalasnya.
Dasar. Namun, memang harus kuakui. Membalas cepat adalah caraku untuk mempertahankan anak itu dalam obrolan agar tak tiba-tiba lenyap tanpa kabar.
Padahal akhirnya, sama saja
*****