Part 20

1199 Kata
Fanya dan Drean sedang duduk didalam ruangan yang didesain begitu sederhana dengan beberapa piala besar yang bertengger di salah satu meja ruangan tersebut. "Jadi maksud bapak memanggil kalian berdua keruangan saya adalah untuk memberitahu bahwa saya sudah mencalonkan kalian berdua menjadi Ketua OSIS pada saat serah terima jabatan tahun 2018 ini." Ucap Pak Ahmad membuka pembicaraan. "HAH!?" Fanya terkejut bukan main mendengar namanya dicalonkan sebagai ketua OSIS. Lain halnya dengan Drean, lelaki itu tampak biasa saja bahkan dia tersenyum miring tanpa diketahui Fanya, mendengar ucapan pak Ahmad. "Kenapa bapak mencalonkan saya sebagai ketua OSIS? Saya bahkan tidak aktif sama sekali di organisasi tersebut." Sanggah Fanya. Pak Ahmad tersenyum, ia mengambil selembar kertas didalam map yang bertuliskan nama Indira Fanya Azahra lalu membaca. "Menurut informasi yang saya dapatkan, kamu adalah salah satu siswi yang tidak banyak bicara namun pandai" "Lalu?" "Saya butuh orang seperti kamu. Tak banyak bicara namun hasil nyata." "Mungkin masih banyak lagi siswa lain pak yang lebih pandai dari saya. Bapak seharusnya melihat data bahwa saya adalah murid homeschooling, jadi mana mungkin saya bisa mengambil tanggungjawab besar seperti ini?" "Tetapi saya sudah mencalonkan kamu dan Drean sebagai ketua OSIS." "Saya tidak mau pak."  "Saya tidak menerima penolakan dari mulut kamu. " Nada bicara pak Ahmad terdengar sinis. "Dan saya juga tidak menerima paksaan dari bapak!" Fanya berdiri dari tempat duduknya. " Saya permisi." Fanya pun pamit dan dengan segera keluar dari ruangan tersebut. Saat punggung Fanya sudah tak nampak, Drean mengalihkan pandangannya kepada pak Ahmad yang menjambak rambutnya frustasi.  "Bapak harus bisa jadikan Fanya sebagai pendamping ketua OSIS. Apapun itu alasannya, saya tidak mau dengar lagi penolakan dari Fanya. Jika bapak gagal terpaksa saya harus melangkah lebih jauh untuk menghancurkan hidup bapak." Drean mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum sinis. "Ingat itu baik-baik." Ia menepuk pundak pria yang lebih tua darinya, dan berlalu pergi dari ruangan tersebut. Fanya berjalan menuju kelasnya, tangannya sedari tadi memegangi kepalanya yang sudah sangat pening. Koridor sekolah pun sudah sangat sepi karena sekitar 10 menit yang lalu bel masuk sudah berbunyi. "Aww." Fanya meringis saat kepalanya terasa semakin berat. Ia mempercepat jalannya agar cepat sampai kekelasnya, namun nasib buruk menghampirinya tubuhnya ambruk tergulai lemas dilantai, pada saat itu juga pengelihatannya mengabur sampai akhirnya ia tak bisa bangkit lagi dan merasakan kehilangan kesadarannya. ***** "Fan, bangun dong. Gue paling gabisa liat lo kayak gini." Ucap seorang lelaki yang sedang memegangi tangan Fanya erat. "Gak! Saya gak mau jadi ketua OSIS lagi!" Devan tersentak saat Fanya meracau tak jelas dalam tidurnya. Keringat dingin Fanya mulai membanjiri seluruh wajah sampai baju seragam nya. OSIS Mungkin kata itu yang sedang bermain difikiran Devan saat ini. Devan teringat sesuatu tentang kata itu, yaa Devan masih ingat jelas dengan kata  yang sangat ia benci  sampai saat ini. "Devan?" Ucap Fanya dengan suara serak khas bangun tidur. "Fan, akhirnya lo sadar juga." Ujar Devan seraya membantu Fanya bangun. Setelah itu Fanya langsung menyambar tubuh Devan dan memeluknya dengan erat seolah-olah tubuh Devan adalah sebuah boneka beruang besar. "Devan gue takut. Hiks." Isak Fanya dalam dekapan Devan. "Lo ga perlu takut, gue selalu ada disamping lo." Devan membalas pelukan Fanya. Dia juga mengelus lembut punggung Fanya. "Dev, hiks, gue takut." Isaknya lagi. "Stop for say it Fan! I'll be there for you." Devan kembali menenangkan Fanya dengan mengelus puncak kepala Fanya, yang masih terisak didalam dekapannya. Fanya kini sudah sedikit tenang dan mengurangi pelukannya. "Dev, gue mau ke kelas." Ucapnya dengan suara lirih. "lo gaboleh kemana-mana. Lagipula sekarang lo udah dirumah." Fanya melepaskan pelukannya, lalu melihat sekelilingnya. Fanya baru sadar memang benar dia sudah ada dikamarnya. Tapi kapan Devan mengantarkan nya pulang? Ah... memikirkan itu saja membuatnya semakin pusing. "Lo makan dulu ya, gue udah siapin ko.". Fanya mengangguk pelan. "Fan, gue keluar dulu ya. Kalo ada apa-apa langsung telpon gue. Bye" Ucap Devan seraya mengacak pelan rambut Fanya. ***** Melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 14.30  Devan yakin murid di SMA Harapan Bangsa sudah pasti pulang. Ia pun melajukan motornya ke sekolah untuk mengambil tas nya yang ia tinggal dikelas. Saat berkendara pun, tak hentinya ia memikirkan Fanya, walaupun kini Fanya sudah dirumah tapi hatinya tetap belum tenang setelah kejadian pingsan tadi kembali terulang. Sebenarnya apa yang terjadi pada diri Fanya? Drean, apa yang diperbuat oleh lelaki b******k itu pada Fanya. Apa Drean ingin menghancurkan Fanya dengan  memaksa Fanya untuk mengingat kejadian 3 tahun silam? Devan tak terima perempuan yang sejak dulu ia sukai secara diam-diam dan ia jaga dengan sepenuh hatinya kembali dipisahkan oleh si b******k tak tahu diri itu. Tidak! Devan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai sekolah. Tak butuh waktu lama bagi Devan menempuh perjalanan kesekolah dengan jalanan ibukota yang begitu macet. Ia sangat handal dijalanan, maka dari itu bukan masalah baginya meskipun macet sekalipun, ia cukup menyalip saja dengan santai. Dengan langkah terburu, ia melewati koridor sekolah untuk menuju kelasnya yang berada dilantai satu. Saat melewati ruangan yang pintunya  bertuliskan "Sedang Dalam Perbaikan" Devan seperti mendengar suara orang meminta ampun. Meskipun terdengar samar-samar tapi Devan masih bisa menangkap suara itu. Karena penasaran, ia pun melangkah dengan hati-hati dan melihat dari luar jendela yang gordennya terbuka sedikit. "Bapak tau kan kalau bapak tidak bisa memaksa Fanya untuk bersedia menjadi pendamping Ketua OSIS bukan hanya bapak saja yang akan saya hancurkan tapi seluruh keluar bapak!" Lelaki itu mengucapkan perkataan tersebut dengan intonasi yang tinggi. "Sa-ya akan usa-ha-kan. Tapi be-ri saya waktu." Ucapnya dengan terbata dan bergemetar. "Baiklah saya akan beri bapak waktu." Tanpa sadar Devan sudah mengepalkan tangan kanannya, lelaki itu benar-benar murka melihat kejadian ini. Ia kembali berjalan menuju kelasnya dengan nafasnya yang naik turun. Emosi. Setelah mengambil tasnya, Devan melajukan motornya kembali. Ia memilih untuk mengecek keadaan Fanya, karena ia tahu orangtua Fanya sangat jarang sekali berada dirumah. Sekalipun ada itupun hanya beberapa hari saja. Suara handphone yang bergetar membuat Devan menghentikan laju motornya. Sweety Fanya's Calling. Dengan cepat Devan mengangkat telepon dari Fanya. Halo Fan? Dev lo dimana? Gue takut, hiks. Farel gaada dirumah, mamah juga gaada, Nada gabisa dihubungin. Lo jangan nangis ya, gue kerumah lo secepatnya. Gue takut, hikss, hikss Lo ga perlu takut Fan, ada gue. Kalo lo takut lo jangan tutup telepon ini sampai gue sampai rumah lo ya. I-iya Dev. Hiks, Lo cepet kesini. Iya, Lo ngomong aja lewat telepon kalo lo takut.      ...... Dengan kecepatan diatas rata-rata Devan melajukan motornya. Meskipun sambil berteleponan dengan Fanya, Devan masih bisa fokus pada jalanan. Setelah sampai, Devan pun berlari menuju kamar Fanya. Ceklek Devan membuang napasnya lega, saat melihat kondisi Fanya yang membaik. Meskipun dengan mata yang membengkak karena menangis tadi, setidaknya Fanya sudah baikan. Devan berjalan mendekat kearah Fanya, lalu duduk disamping tempat tidur Fanya. "Dev..." Lirihnya. "Fan, sebenarnya apa yang terjadi sama lo?" Tanya Devan dengan hati-hati. "Gue gatau, tiba-tiba kepala gue memaksa mengingat sesuatu pas pak Ahmad bilang kalo gue dicalonkan sebagai ketua OSIS." Jelasnya. Kemudian Fanya kembali menceritakan kejadian yang ia alami tadi, kepada Devan dengan sangat rinci. "Dan sampai sekarang gue gatau, setiap ada lo gue ngerasa tenang. Dan gue inget sama sesuatu..." "Aww... kepala gue." Fanya kembali meringis sambil memegangi kepalanya. Devan pun dengan Segera mendekap tubuh Fanya dan menjadikan dadanya sebagai bantalan untuk kepala Fanya. "Lo jangan maksain inget sama sesuatu yang buat lo sakit Fan. Biarpun lama untuk lo mengingatnya, gue selalu sabar nunggu lo ingat tanpa membuat lo sakit." Cicitnya saat Fanya sudah mulai terlelap dalam dekapannya, ia lalu mencium puncak kepala Fanya. Aroma rambut yang dari dulu tak berubah di indera penciumannya sangat menyejukkan hatinya. Ia berharap untuk kesempatan kedua ini dirinya bisa selalu ada disamping Fanya setelah bertahun-tahun berpisah darinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN