Sebuah Tujuan

1539 Kata
“Aku akan menanami tempatmu dengan bunga,” kata Ben. “Tapi karena aku mulai dari bibit, aku harus menanamnya di petak-petak kecil dulu sebelum memindahkannya ke sini. Mereka mesti terlindung dari sinar matahari dulu, di tempat agak tertutup dan lembap, sebelum mereka bisa tumbuh kuat dan bisa bertahan di sini menemanimu.” Usai mengucapkan hal itu, Ben mengeluarkan kain lap dan menggosok batu nisan itu –menyingkirkan debu yang melekat akibat panas dan hujan. Menggosok nisan itu hanya butuh waktu beberapa detik, karena setiap pagi dia sudah melakukan hal itu, sejak nisan itu tertanam di sana beberapa hari yang lalu. Sisanya? Ben menghabiskan waktunya menatapi makam itu begitu lama, hingga alarm ponselnya berbunyi menandakan sudah waktunya untuk berangkat ke kantor. Namun hari ini kejadiannya agak berbeda. Ketika Ben menyelesaikan ritual ‘ngomong sendiri’ dan membersihkan nisan, ia mendengar bunyi langkah kaki menuju tempatnya berada. Ben menoleh, mendapati seorang pria bertubuh besar berdiri di belakangnya. Ah, aku ingat, gumam Ben dalam hati. Ini adalah salah seorang Inspektur polisi. Dia tidak terlibat dalam pengusutan kasus Jackie, namun Ben sering berpapasan dengannya kala mengunjungi Jackie sewaktu wanita itu masih dalam tahanan. “Kau tidak merasa bosan?” tanya lelaki bertubuh besar itu tiba-tiba. Ben berdiri, lalu menggeleng. “Banyak hal yang bisa saya lakukan di sini.” Lelaki besar itu mengulurkan tangannya. “Reginald Ross.” “Benedict Loski, Sir,” Ben menjabat tangan Inspektur Ross. Inspektur itu lalu berjongkok dekat makam Jackie, sehingga Ben pun kembali berjongkok. “Jika putriku, Dana, masih hidup, aku yakin dia akan seumuran dengan Jacqueline,” ungkap Ross tanpa basa-basi. “Setidaknya sebagai bapak, aku paham bagaimana rasanya ketika orang yang kau cintai meninggal tanpa keadilan yang nyata.” Ben penasaran. “Putri Anda… meninggal dalam keadaan, seperti… Jackie?” “Tidak,” sahut Inspektur itu ringan. “Dana bunuh diri karena perlakuan buruk suaminya. Dia tidak mengatakannya padaku, melainkan menahan semuanya sendirian. Aku tidak punya dasar hukum apapun untuk menahan lelaki sialan itu, tapi aku tahu dialah yang membuat Dana menderita.” Ben menoleh sesaat, menatap Ross lamat-lamat. “Jackie… Dia juga menderita selama bersama suaminya. Selama ini saya bahkan menduga semua kemalangan ini didalangi suaminya.” “Mengapa kau berpikir demikian?” “Karena aku tahu betul bahwa Jackie tidak akan sampai hati membunúh anaknya sendiri, sesulit apapun keadaan,” jawab Ben teguh. “Dia wanita penyayang dan perasa. Dia juga tidak ingin membebani orang lain, mungkin mirip seperti putri Anda. Selalu begitu sejak dulu.” “Kau sudah lama mengenalnya?” “Ya, sejak kami di SMA. Sejak itu kami selalu berteman dekat. Sebenarnya malah… saya memiliki perasaan terhadapnya.” “Yah, aku sudah bisa menduga itu sejak Jacqueline ditahan di sini.” Wajah Ben memerah, tersipu. “Namun saya tidak bisa berbuat apa-apa untuknya. “Seorang nenek yang saya temui di bus menyarankan saya untuk menanami kuburan Jackie dengan bunga, namun saya masih menanamnya dalam petakan kecil. Tunas pertamanya saja belum muncul.” Inspektur Ross mengangguk-angguk. “Itu ide bagus. Kau memang harus menunggu sampai tanamanmu cukup besar, tapi saat mereka nanti berbunga dan bunganya bermekaran, pasti akan indah sekali.” Ben ikut-ikutan mengangguk penuh semangat. “Sebenarnya saya ingin melakukan hal lebih banyak untuk Jackie.” “Kau bisa.” Ben menolehkan kepalanya sekali lagi pada Inspektur Ross. “Maaf?” “Kubilang, sebenarnya kau bisa melakukan hal lebih untuk Jacqueline Chase.” Ross memandang kening Ben yang berkerut tak mengerti itu untuk beberapa detik, lalu melanjutkan. “Pikiranku sama denganmu. Ada banyak yang harus ditelusuri lagi dalam kasus Jacqueline, namun sayangnya ini bukan ranahku. Aku tidak bisa seenaknya ikut campur urusan Divisi Investigasi Kriminal. Tahu-tahu kasusnya sudah selesai saja. Sudah ditutup.” “Tapi… apa yang bisa saya lakukan?” Ross berbicara dengan serius. “Aku berniat melakukan investigasi sendiri terhadap kasus Jacqueline. Jadi penyelidikanku bukan atas nama kesatuan polisi, hanya atas nama diriku sendiri saja. Aku sudah meminta izin pada Superintenden, dan beliau mengizinkan. Kau,” Ross menekankan, “Kau, Benedict Loski, bisa membantuku melakukan penyelidikan itu.” Mata Ben berbinar-binar. “Benarkah, Sir? Saya dilibatkan?” “Tentu.” “Tapi, saya hanya warga sipil biasa. Saya tidak punya sumber daya seperti Anda yang notabene seorang polisi untuk terlibat penyelidikan.” “Tidak masalah. Kadang sudut pandang warga sipil sangat membantu. Bisa jadi, seorang warga sipil dapat menggali informasi lebih banyak daripada seorang polisi.” Ben termangu mendengar penjelasan tersebut, nampaknya ia menimbang-nimbang. “Bagaimana, kau ikut?” Ross memastikan sekali lagi. Ben mengulurkan tangan, yang disambut Ross dengan senang. “Baguslah. Mari bertukar nomor, kalau begitu. Oh, iya, aku akan memulainya di akhir pekan ini. Sabtu. Aku akan menghubungimu di hari Jumatnya agar kita bisa membuat janji tempat dan waktu pertemuan.” *** Anna Ruskin tengah sibuk mengaduk-aduk sup di dalam panci ketika ia melihat suaminya, Tom, tampak baru pulang dari rumah sakit malam itu. Sudah beberapa hari berlalu sejak Leona Seymour siuman, dan sejak itu pula Anna dan Tom bergantian menjaga Leona. “Aku pulang.” “Selamat datang! Ayo, ganti pakaianmu. Kita makan sup bersama-sama.” Tom merespon sambutan istrinya dengan wajah senang. Dalam waktu beberapa menit, ia sudah berganti pakaian dan duduk di meja makan bersama Anna Di meja sudah terhidang cawan besar, serta dua mangkuk kecil. “Sayang?” panggil Anna seraya menyenduk sup ke mangkuk suaminya. “Ya?” “Bagaimana keadaan Nona?” “Sudah jauh lebih baik. Meskipun akhir-akhir ini beliau jauh lebih pendiam daripada saat hari pertama siuman.” Anna manggut-manggut, menyerahkan mangkuk ke Tom. “Aku baru ingat sesuatu. Kau sudah memberitahu soal ini pada Mr. Branson dan Mr. Gaudin?” Mr. Branson adalah tangan kanan keluarga Seymour terutama sebelum Leona memimpin perusahaan, sementara Mr. Gaudin adalah pengacara keluarga tersebut. Tom menyesap kuah supnya yang kental dan hangat dengan ber’Ahh’ puas, lalu menjawab. “Aku sudah memberi tahu beliau berdua tentang kecelakaan Nona Leona sejak awal, sekaligus perkembangannya. Aku juga sudah meminta mereka menangani urusan perusahaan terlebih dulu selama Nona Leona dirawat.” “Oh, mungkin itu sebabnya mereka belum berkunjung ke rumah sakit.” “Aku memang meminta mereka berdua, terutama Mr. Branson, untuk memprioritaskan pekerjaan Nona Leona dulu, Sayang. Soal keadaan kita, kubilang bahwa mereka bisa mengandalkan kita. Mungkin dalam satu dua hari lagi, mereka akan datang berkunjung.” Wajah Anna berubah ceria. “Lagipula dalam beberapa hari sepertinya Nona sudah diizinkan untuk bangun dan berbincang-bincang tanpa membuat Nona berpikir terlalu keras. Jahitan di kepalanya sudah makin pulih. Oh, iya, bagaimana dengan –?” “Siapa?” “Kau tahu, Sayang, Mr. Wright itu.” Keduanya jelas nampak tak suka dengan topik pembicaraan mereka. “Kita bisa tunggu beberapa hari lagi sampai menginfokan keadaan sebenarnya. Lebih baik tidak memberi Nona beban pikiran untuk saat ini. Setidaknya, aku ingin Nona sudah agak lebih sehat sebelum bercakap-cakap dengannya.” “Apa dia sempat menghubungi?” “Menelepon ke telepon rumah ini, maksudmu? Ya, pernah beberapa kali.” “Lalu kaubilang apa, Sayang.” “Kubilang saja Nona Leona masih belum bisa dikunjungi karena dokter ingin Nona istirahat total,” Tom terkekeh. Sup dalam mangkuknya ludes dalam sekejap, lantas ia pun bersandar kekenyangan dengan santai. Sesuatu yang memantik otaknya membuat Tom meluruskan duduknya kembali. “Hm? Ada apa, Tom?” tanya Anna menaikkan alis bingung. “Aku baru ingat hendak bertanya sesuatu padamu. Biasanya koran-koran yang selesai dibaca Nona Leona kau simpan dimana, Sayang?” “Di rak bawah konter dapur,” jawab Anna, hendak menyuap supnya, “Paling kiri.” Tom langsung bergerak ke tempat yang dituju, menemukan setumpuk koran langganan dalam satu bulan terakhir. “Omong-omong, kenapa kau ingin koran itu, Tom? Biarkan saja nanti Leslie, pekerja kebersihan, yang membereskan semuanya.” “Hmm… bukan sedang membereskan,” sahut Tom tak fokus. Tangannya dengan telaten memilah-milah dan memisahkan beberapa koran. “Lalu apa?” “Tidak apa-apa. Hanya teringat aku pernah baca tentang sesuatu di koran.” Anna yang semakin bingung memutuskan tidak bertanya apa-apa lagi dan memilih menghabiskan makan malamnya. *** Malam itu, sepeninggal Tom, Jackie membuka matanya nyalang hingga hampir larut malam. Jackie belum terbiasa dengan tubuh Leona, sebab gadis itu mungil dan ramping –berbeda dengan Jackie yang bertubuh cukup tinggi. Dia juga merasa masih lemah –mungkin karena efek kecelakaan yang dirasakan tubuh gadis itu. Sejak menyadari apa yang terjadi padanya, Jackie tidak lagi berteriak-teriak bersikeras agar dipanggil Jackie. Ia hanya diam, menerima begitu saja ketika pasangan Ruskin yang bekerja pada keluarga Seymour, memperlakukannya dengan penuh sayang. Tanpa protes. Malahan, Jackie berusaha berpura-pura seakan ia adalah Leona asli yang mengalami amnesia sungguhan. Jackie tidak punya pilihan. Lagipula, jika Leona sudah mempercayakan kesempatan hidupnya pada Jackie, apalagi yang bisa Jackie lakukan selain mengabulkan permintaan gadis itu? Benar, permintaan untuk menyelesaikan apa yang belum Jackie selesaikan. Dan satu-satunya yang terpikirkan oleh Jackie adalah membalas setiap ketidakadilan yang sudah ia terima selama ini. Aku harus berusaha yang terbaik agar tubuh gadis ini cepat sembuh, tekad Jackie. Sebuah ide muncul di kepalanya, lantas jarinya memencet bel perawat. “Ya, Miss Seymour?” tanya suster begitu masuk ruangan. “Bolehkah saya menelepon rumah saya? Pada Ruskin?” “Bisa. Kami akan bawakan telepon kabel. Tapi… apa Anda ingat nomor telepon yang dituju?” Jackie mengerang. Betul juga, ia tidak tahu nomor telepon rumah Seymour.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN