Percakapan Ringan

1250 Kata
Setelah Jackie mendapatkan pulpen dan kertas, Jackie segera menuangkan isi kepalanya. Ia sudah memikirkan beberapa hal saat kunjungan Roger sebelumnya, dan kali ini ia tergerak untuk memikirkannya lagi, seakan Roger adalah pemicu agar ia segera mencapai tujuan secepat mungkin. Tapi pertama-tama, ia membuat daftar orang-orang yang berurusan dengannya dulu: 1. Roger Wright 2. Louisa 3. Lance Kline 4. Franklin Greystone 5. Crystal Vane 6. Martha Kipp 7. Reginald Ross 8. Bryce Jackie menyipitkan matanya memandangi daftar nama itu. Rasanya urutannya sudah sama dengan daftar yang kutulis saat di tahanan, pikir Jackie. Mengapa? Karena bagi Jackie daftar ini nomor terkecil menunjukkan siapa yang paling ia sesali pernah ia temui. Roger? Sudah jelas ia pangkal semua masalah: licik, manipulatif. Louisa? Pengkhianatannya tidak bisa dimaafkan. Lance Kline dan Franklin Greystone adalah orang-orang yang terlibat dalam pengadilan kasusnya, mengabaikan semua kata-katanya. Dua wanita selanjutnya adalah manusia yang suka mencari sensasi atas penderitaan orang. Reginald Ross? Ah, bukankah dia Inspektur Kepala Senior itu? Dan Bryce? Jackie sebenarnya ragu untuk meletakkan lelaki itu dalam daftarnya, tapi jika Bryce memang tidak bersalah, semua ini tidak akan terjadi. Yang jelas, Jackie akan memastikan mulai dari teman terdekatnya itu apakah dia benar-benar terlibat atau tidak. *** Entah mengapa, suasana hati Roger mudah memburuk akhir-akhir ini. Semesta juga sama sekali tidak mendukungnya. Tadi dia sudah bergegas agar sampai di Queen Mary Hospital pukul tujuh dengan harapan dapat berbincang normal dengan Leona. Dia ingin Leona kembali mengingatnya agar ia bisa membujuk gadis itu lagi agar membolehkannya kembali tinggal di salah satu bagian kediaman Seymour. Satu minggu terlalu singkat, gerutu Roger, dan tiba-tiba kecelakaan sialan itu terjadi. Dibandingkan itu, ia sebenarnya hanya berharap Leona masih bersikap selembut dulu padanya. Leona yang ia kenal adalah gadis dua puluh lima tahun berpembawaan halus, elegan, dan penyayang –ekspektasinya adalah walaupun gadis itu masih hilang ingatan, dia masih bersikap sehalus dulu, mudah dibujuk dan diluluhkan –sehingga ia bisa kembali menikmati fasilitas mewah Seymour secara cuma-cuma. Namun tampaknya, ekspektasi itu terlalu jauh, bahkan sikap Leona seakan berubah seratus delapan puluh derajat –gadis itu menjadi detil, tajam, dan blak-blakan, tanpa sedikit pun sisa keanggunan. Roger berdiri di depan gerbang rumah sakit, bingung hendak kemana. Dipikir-pikir sekarang Senin, dan terlalu cepat untuk pergi ke bar di hari pertama dalam suatu pekan. Angin berhembus melewati Roger yang masih dalam keraguan, namun rasa menggigil akhirnya membuatnya memutuskan untuk pergi ke bar saja. Dalam perjalanan singkat menggunakan mobil, Roger sudah sampai di bar langganannya dan memesan minuman favoritnya. Sedikit sesap minuman menghangatkan tubuh dan menenangkan pikirannya yang kusut. Obrolan dengan bartender terasa kering dan penuh basa-basi, karena setelah topik basa-basi itu habis, Roger hanya duduk terdiam di depan konter seraya menonton sang bartender mengelap gelas-gelas. Dalam lamunan kosongnya, terdengar bunyi langkah kaki mendekat dan suara merdu “Tolong jus jeruknya satu”. Roger menoleh tepat ketika si pemilik suara duduk di bangku di sampingnya, dan mendapati dirinya terpukau. Wanita itu berambut panjang yang digelung ketat di atas kepala, dengan beberapa untai rambut halus di dekat pelipis. Wanita itu cukup muda, mungkin seusia Leona. Dia mengenakan gaun sutra charmeuse elegan berwarna cokelat pasir dengan belahan samping. Di atasnya jaket velvet kualitas bagus menutupi bahu mungilnya. “Dingin, ya?” wanita itu menyapa Roger. Suara merdunya yang bagai nyanyian lirih itu seakan menyentuh seluruh saraf sensori di kulit Roger, menggelitiknya dengan cara memikat. “Ya,” sahut Roger sembarangan, sebab matanya tak bisa ia alihkan dari si wanita yang kini menyilangkan kakinya dengan cara menggoda, sehingga belahan samping gaun si wanita dengan lantang menyajikan kulit halus kakinya yang jenjang. Roger menatap wanita itu penuh keinginan memiliki, tapi ia masih memiliki kesadaran. “Orang macam apa yang memesan jus di bar?” tanya Roger setengah mengejek. “Kalau hanya jus, kau bisa beli di mesin otomatis minuman.” Wanita itu tidak berkomentar apapun, melainkan hanya melempar senyum. “Kau terlihat sangat cantik dan begitu muda. Kukira kau masih berusia dua puluh lima?” tebak Roger. Wanita itu tertawa kecil, dan sekali lagi tubuh Roger seakan tergelitik karenanya. “Tega sekali. Aku masih dua puluh tiga tahun, lho.” “Pantas saja. Kulitmu sungguh indah.” “Tapi banyak wanita yang melebihi usiaku dengan kulit masih indah.” Roger mengangguk-angguk tanpa berpikir. “Kau benar.” Si bartender menyodorkan gelas jusnya, yang lantas diambil gadis itu dan dengan cepat dia pasangi penutup gelas (glass cover) sebelum ia menikmati jus. “Kau waspada sekali. Apa aku terlihat seperti orang jahat menurutmu?” tukas Roger. Gadis itu mengangkat bahu dengan manja. “Jaga-jaga. Kau menganggapku cantik, ‘kan? Lagi pula aku tidak kenal denganmu.” “Kalau begitu mari berkenalan. Aku Roger, Roger Wright,” kata Roger hendak menjabat tangan. Wanita itu menyambut tangan Roger. “Emily. Panggil aku Emma saja.” “Baiklah, kalau begitu… kita teman?” Emma hanya tersenyum –sekali lagi dengan manja –pada Roger. “Panas, ya? Tadi saat di luar rasanya dingin sekali.” Emma pun lalu melepas jaket velvet tadi, menampakkan kecantikan sempurnanya dalam gaun indah itu. Bagian punggungnya terbuka sepenuhnya hingga batas pinggul, begitu putih –menawan hati Roger. Belum lagi saat gadis itu mengeluarkan lengannya dari jaket dengan membusungkan dadá, membuatnya tak hanya terpetak begitu jelas dan besar di dalam gaun sutra itu, tapi juga di mata Roger. Ini mengingatkannya selentingan pada asisten rumah tangganya dulu, tapi gadis bernama Emma ini jauh, jauh lebih memikat dan indah. Definisi kesempurnaan. Ketika tubuh Emma benar-benar tak lagi diselubungi jaket, Roger tak bisa menampik bahwa dirinya jadi begitu berhasrat pada gadis itu. Ia menginginkan gadis itu malam ini juga. Hanya untuk dirinya. “Kenapa? Terpesona?” tanya Emma terkekeh kecil. Roger menangkap ini sebagai sinyal penerimaan dari Emma, sehingga ia menggeser bangkunya lebih dekat. Pria berambut coklat itu mencondongkan wajahnya ke wajah Emma, sementara tangannya menjamah pinggang yang halus itu. “Tahukah kau apa lagi yang kurasakan saat melihatmu? Selain terpesona?” Emma tertawa lagi –bahkan giginya begitu rapi. “Hei, aku sudah punya pacar. Dan dia galak.” “Semua gadis cantik selalu berkata seperti itu sebagai alasan.” “Tidak, Roger, aku serius.” “Aku tidak percay—” BRAKK!! Pintu bar dihantam dengan keras dan begitu Roger menoleh, ia melihat seorang pria besar berjalan ke arahnya dengan mata melotot, penuh amarah. “Apa yang kau lakukan pada pacarku??” Berani sekali kau sentuh dia!” Emma masih sempat mengedip Roger seakan menyatakan ‘Kubilang juga apa’, tapi sebuah tinju dengan cepat melesat ke rahang Roger. Roger yang setengah sadar, masih sempat menghindar dengan refleks, meski tak sepenuhnya. Sisi rahangnya terkena sedikit, dan dia pun tumbang, jatuh ke lantai seraya memegangi pipi. Dua pengunjung bar lain menengok ke arah kehebohan itu. “Sayang!” jerit Emma. “Dia tidak berbuat apa-apa padaku! Jangan kasar begitu!” Si pacar sepertinya agak sulit diyakinkan, lantas ia menarik Emma angkat kaki dari bar itu, meninggalkan Roger yang masih di lantai, meringis kesakitan. Kelemahanku memang wanita, sesalnya meski dengan senyum. Namun aku suka kelemahan itu. Ketika Roger tengah bersusah payah untuk berdiri, ia mendengar langkah tergesa-gesa memasuki bar itu lagi. Rupanya Emma kembali ke dalam untuk mengambil jaketnya yang tertinggal. Emma tak berkomentar apa-apa, melainkan mengeluarkan sebuah kertas. Ia mengecup kertas itu sehingga pulasan lipstiknya berbekas di sana. Gadis itu berlutut dekat Roger, lalu memberikannya pada pria itu. Sebelum Roger benar-benar menyadari apa yang dilakukan Emma, Emma sudah menghilang di balik pintu. Lelaki berambut cokelat itu pun menurunkan pandangan ke arah kertas. Sebaris nomor ponsel. Roger terkekeh senang. “Kau memang pintar ya, menggodaku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN