Bab 1: Awal yang Keliru
MOHON UNTUK TIDAK MENYALIN CERITA INI KARENA AKAN ADA SANKSI HUKUM !
Pagi itu, Arga duduk sendirian di ruang makan rumah barunya, tatapannya kosong, seolah dunia ini hanya berputar tanpa arah. Pikirannya masih terperangkap pada masa lalu yang sulit ia lupakan. Tiga bulan sudah berlalu sejak ia putus dengan tunangannya, Rania, setelah lima tahun bersama. Meskipun waktu terus berjalan, luka itu seolah tak kunjung sembuh. Rania pergi begitu saja, meninggalkan Arga dalam kebingungannya. Ia merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya, dan bahkan sekarang, ia tak tahu harus kemana.
Lampu-lampu neon yang menyinari ruang makan kecil itu semakin menambah kesan sepi dalam ruangan. Terkadang, hanya suara detakan jam dinding yang menemani pagi-pagi hampa itu. Arga menatap sarapan yang terhidang di depannya, tapi selera makannya hilang begitu saja.
"Apa yang harus kulakukan?" gumam Arga pelan, matanya tertuju pada secangkir kopi yang sudah dingin. Ia merasa seperti terperangkap dalam lingkaran kesedihan yang tak pernah berakhir.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Arga menatap layar, melihat nama Reno muncul. Teman lamanya itu sudah beberapa kali menanyakan kabarnya setelah perpisahan dengan Rania.
"Hei, bro. Aku ada seseorang yang ingin aku kenalkan denganmu. Siapa tahu bisa jadi teman baru atau bahkan lebih. Dia baik banget, sederhana. Namanya Naya," kata Reno lewat pesan singkat.
Arga menatap pesan itu dengan bingung. Ia belum siap untuk membuka hatinya lagi, apalagi kepada wanita baru. Namun, rasa kesepian yang mencekam akhirnya membuatnya berpikir dua kali. Ia ingin keluar dari lingkaran ini. Ia ingin mencoba melupakan Rania. "Kenapa tidak?" gumamnya pada diri sendiri.
Beberapa hari kemudian, mereka bertemu di sebuah kafe kecil. Arga datang lebih awal, duduk di sudut sambil menunggu kedatangan Naya. Ketika Naya muncul, senyum hangatnya langsung menyapa, dan Arga merasa ada sesuatu yang menarik perhatian. Tapi itu bukan cinta, hanya ketertarikan yang cukup dangkal. Naya mengenakan gaun sederhana, dan matanya berbinar penuh harapan, seolah dunia ini penuh kemungkinan baru.
"Hei, Arga, kan?" suara Naya terdengar lembut. Arga tersenyum tipis dan mengangguk. Mereka duduk dan mulai berbincang ringan.
"Terima kasih sudah datang," kata Arga. "Aku senang kita bisa ngobrol."
"Aku juga, Arga. Aku tahu ini mungkin canggung, tapi aku yakin kita bisa saling mengenal lebih baik," jawab Naya, senyumnya tidak pernah pudar.
"Ya, kita lihat saja nanti," Arga menjawab, meski hatinya tidak sepenuhnya terbuka. Ia hanya berusaha bertahan dalam percakapan ini, berharap bisa menemukan sedikit pelarian dari rasa sakit yang ia rasakan.
Waktu berlalu, dan pertemuan mereka menjadi lebih sering. Naya selalu tampak ceria, berbeda dengan Arga yang semakin merasa terjebak dalam masa lalu. Naya tidak tahu, dan Arga tidak pernah memberitahunya, bahwa ia hanya melihat Naya sebagai cara untuk melupakan Rania, bukan sebagai wanita yang ia cintai.
Suatu malam, Reno menelepon Arga lagi, menawarkan sebuah ide yang tak bisa ditolak.
"Kenapa nggak langsung nikah aja, bro?" kata Reno saat itu. "Naya itu wanita yang tepat buat kamu. Aku lihat kalian cocok banget. Ini kesempatanmu untuk move on, jangan sia-siakan."
Arga terdiam sejenak, merenung. Tiga bulan tanpa Rania, dan meskipun hatinya masih kosong, perasaan bahwa pernikahan ini bisa menjadi jalan keluar dari kesedihan itu mulai merasuk ke dalam pikirannya. "Kenapa tidak," pikir Arga. "Aku butuh cara untuk melupakan semuanya."
Tanpa pikir panjang, ia melamar Naya setelah beberapa minggu berkenalan. Naya, yang penuh harapan dan optimis, tentu saja menerimanya. "Aku nggak sabar untuk memulai hidup baru bersamamu, Arga. Aku yakin kita bisa bahagia," kata Naya dengan mata berbinar.
Namun, meskipun Arga menerima Naya dengan senyum, ia tahu di dalam hatinya, ini bukan cinta. Ini hanya pelarian. Ia menikahi Naya bukan karena rasa cinta, tapi untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Rania. Pernikahan itu hanya sekadar formalitas—sebuah pelarian dari kenyataan yang harus ia hadapi.
Namun, semakin lama, Naya mulai merasa ada yang aneh dalam pernikahan mereka. Arga yang dulu tampak penuh perhatian, kini lebih sering diam. Ketika mereka berbicara, suasana terasa canggung. Naya merasa Arga tidak benar-benar ada di sana—baik fisik maupun emosional.
Pada suatu malam, saat mereka makan malam bersama di rumah baru mereka, Naya memberanikan diri untuk bertanya, meskipun hatinya berdebar-debar.
"Arga, aku merasa ada yang berbeda dari dirimu. Kamu... tidak seperti dulu," kata Naya, matanya penuh dengan keraguan.
Arga menunduk, mengaduk makanannya tanpa menjawab. Beberapa detik kemudian, ia akhirnya membuka mulut, suaranya terdengar lebih berat. "Aku... maaf, Naya. Aku belum bisa sepenuhnya terbuka padamu. Ada banyak hal yang masih menggangguku."
"Arga, aku merasa seperti ada tembok besar di antara kita," kata Naya dengan lembut. "Kenapa kamu tidak bisa jujur denganku? Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Arga terdiam, menatap Naya dengan rasa bersalah yang menghantui. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus berpura-pura. Namun, ada sesuatu yang menghalanginya untuk mengungkapkan kebenaran.
"Naya," Arga mulai dengan suara pelan, "aku menikahimu karena aku... masih merasa kosong. Aku belum bisa melupakan Rania. Kamu hanya... pelarian bagiku. Aku minta maaf."
Naya terkejut, wajahnya pucat seketika. "Jadi, selama ini aku hanya pelampiasanmu?" suaranya pecah, matanya berkilat-kilat menahan tangis.
Arga menunduk, menyesal, tapi tidak tahu apa yang harus ia lakukan. "Aku... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku benar-benar salah, Naya."
Naya menatapnya dengan mata yang penuh air mata. "Aku tidak ingin menjadi pelampiasan, Arga. Aku ingin menjadi istrimu, yang benar-benar kamu cintai."
Dengan hati yang hancur, Naya berdiri dan meninggalkan meja makan. Arga hanya bisa menatapnya pergi, tanpa bisa berkata-kata. Ia merasa terjebak dalam kesalahannya sendiri.