An ultimate nerd

3066 Kata
Gue bangun tidur sedikit lebih pagi dari biasanya. Setelah sholat subuh dan gerak-gerakin badan sebentar, gue langsung mandi dan siap-siap untuk berangkat ke sekolah. Gak banyak perlengkapan sekolah yang gue bawa. Cuma sebuah buku dan alat tulis di dalam tas. Hari ini hari pertama tahun ajaran baru di mulai. Gue gak perlu bawa buku-buku berjubel seperti hari-hari biasanya karena gue tahu guru-guru yang akan masuk kelas gue nanti hanya akan mengabsen dan memperkenalkan kurikulum yang akan diajarkan selama setahun ke depan serta kasih petuah-petuah panjang supaya anak-anak kelas dua belas makin giat belajar untuk menghadapi UN tahun depan. Ya, gue sudah kelas dua belas sekarang. Sudah hampir 18 tahun. Ini artinya tahun depan gue akan menjadi seorang mahasiswa. Gak akan ada lagi yang namanya sikap kekanakan apalagi gerutuan ala-ala anak sekolahan. Gue sudah cukup dibuat pusing dengan sekeliling gue yang dipenuhi oleh berbagai jenis anak ABG yang begini begitu. Terlalu banyak drama ala-ala sinetron kejar tayang yang setiap hari ada di televisi. Gue ingin tahun ini bisa gue lewati dalam aman dan damai. Sebagai siswa yang cukup berprestasi di sekolah dalam bidang akademik, gue sudah dapat beberapa tawaran beasiswa dari universitas negeri. Gue tinggal memilih universitas mana nantinya yang akan gue masuki. Mungkin kalian banyak bertanya-tanya prestasi akademik apa yang gue raih sampai universitas-universitas itu dengan senang hati memberikan gue beasiswa. Pertama, gue bisa bicara dalam tiga bahasa yaitu bahasa Indonesia, Inggris dan Jepang. Itu gak termasuk bahasa daerah. Karena kemampuan gue itu, gue sering ikut berbagai lomba bahasa asing. Kedua, kemampuan berhitung gue cukup baik. Baik di bidang matematika, fisika maupun kimia. Gue sangat berbakat di bidang ilmu-ilmu eksak seperti itu. Jika ada lomba cerdas cermat dan olimpiade, biasanya pihak sekolah selalu menunjuk gue untuk di ikut sertakan. Ketiga, gue punya hobi mengenai anime, manga, tokusatsu dan segala hal yang berbau Jepang. Jika ada kegiatan-kegiatan seperti cosplayer, Japan night, atau visit Japan yang sering diselenggarakan dengan kerjasama dari pihak kedutaan Jepang, gue sering di ajak untuk ikut berpartisipasi. Nama gue cukup dikenal oleh para otaku di Jakarta. Setelah mengetahui bahwa gue menguasai ketiga hal di atas, kalian pasti mengira jika gue seorang geek, nerd, freak atau apapun sebutan yang biasanya orang lain berikan untuk seorang penggila pelajaran dan otaku seperti gue. Gue memang kutu buku, berkacamata, dan biasa aja. Jadi, gue memang pantas mendapat julukan seperti itu. I'm an ultimate nerd. Gue gak pernah merasa risih apalagi kesal di panggil seperti itu oleh teman-teman satu sekolahan. Setidaknya panggilan itu lebih baik dibandingkan dengan sebutan banci, homo, melambai, gay, letoy dan sejenisnya. Ya, gue memang punya wajah yang biasa aja. Tapi meskipun biasa, wajah yang gue punya sedikit unik dan berbeda dengan wajah cowok-cowok kebanyakan. Jika para cowok punya wajah yang cenderung tegas, macho, flamboyan atau maskulin, wajah gue justru terlihat manis seperti perempuan. Pipi gue tembam, bibir sedikit kemerahan dengan bentuk wajah yang bulat. Suara gue juga walaupun pretty deep dan husky, lebih terdengar seperti suara cewek yang punya suara dalam dan bulat daripada terdengar seperti suara cowok yang dalam dan rendah. Tinggi gue standar, cuma 171. Badan gue kurus dan kecil. Kesimpulannya, gue lebih mirip seorang cewek daripada cowok. Setiap kali gue berada di tempat-tempat umum, seringkali gue dikira sebagai perempuan. Bahkan gue pernah punya pengalaman tidak mengenakkan saat ke toilet umum. Gue sempat di usir karena di kira salah masuk toilet cowok. Saat pertama kali masuk di sekolah juga, banyak teman-teman sekelas yang awalnya mengira gue cewek yang berseragam cowok. Baru setelah mereka lihat badan topless gue saat ganti baju untuk olahraga, mereka percaya kalau gue cowok. Demi langit dan bumi, gue 100% berjenis kelamin laki-laki. Gue punya sesuatu bernama batang kemaluan di bawah sini. Gue langsung mendapat predikat cowok cantik di tahun pertama gue di sekolah. Tapi predikat itu gak berlangsung lama. Teman-teman sekelas lebih suka memanggil gue dengan ultimate nerd atau otaku daripada cowok cantik. Mungkin mereka merasa panggilan cowok cantik terlalu bagus untuk gue. Selama sekolah, gue tipikal pelajar yang selalu mengikuti aturan. Gak pernah neko-neko. Gue selalu mengerjakan tugas dengan baik. Gue juga gak pernah berbuat keributan apalagi memancing kemarahan para guru. Intinya, gue adalah murid teladan yang semua guru inginkan. Menurut gue, menjadi pintar dan baik di waktu yang bersamaan bukanlah suatu tindak kriminalitas. Gue hanya menyiapkan diri gue sejak dini untuk menghadapi realitas kehidupan. Sekolah itu ibarat sebuah lapangan bermain. Gue menjelajah dan bermain di dalamnya sampai akhirnya gue bisa menemukan apa yang gue inginkan dan yang terbaik untuk diri gue sendiri. Sekolah itu bukan tempat tujuan yang harus gue capai. Cepat atau lambat gue harus meninggalkannya dan mencari makna hidup gue yang sebenarnya. Gue berdiri di depan cermin sambil memperhatikan rambut gue yang sedikit panjang dan berantakan. Untungnya, di sekolah gue, SMA Global Persada, gak melarang pelajar laki-laki untuk punya rambut gondrong. Bagaimana mau di larang kalau isi sekolah gue kebanyakan para model, pemain film, penyanyi yang kalau rambutnya harus pendek sedikit aja akan berpengaruh ke penampilan mereka. Gue sendiri nyaman dengan potongan rambut gue yang melebihi telinga. Lebih terlihat seperti seniman dan otaku. Setelah mengenakan kacamata berbingkai hitam ke atas hidung, gue menutupi sebagian wajah gue dengan masker. Gue ambil jaket sweater abu-abu yang berada di atas tas sekolah. Meskipun terlihat lusuh, jaket ini adalah jaket kesayangan gue. Terdapat penutup kepala atau hoodie di bagian belakangnya. Jika gue ingin tidak terlihat atau invisible selama di sekolah, jaket ini adalah senjata yang pas. Setelah mengenakan jaket, gue raih tas punggung gue lalu keluar dari kamar. "Kamu gak sarapan dulu Rish?" tanya Mama begitu dilihatnya gue sudah muncul di ruang tengah. Mama gue seorang ibu rumah tangga. Waktunya lebih banyak di rumah mengurus keperluan Papa, gue dan Firash. Dia seorang Mama yang sangat mendukung kegiatan gue dan gak terlalu ketat dalam mengurus dan mendidik anak-anaknya. Gue sangat beruntung punya Mama seperti beliau. Sedangkan Papa gue seorang pegawai negeri yang bekerja di kantor pemerintah. Papa biasanya berada di rumah dari sore hingga keesokan paginya sebelum dia berangkat ke kantor. Papa lebih mirip dengan gue. Dia gak banyak bicara dan selalu serius setiap kali melakukan sesuatu. Firash adalah adik perempuan gue. Usianya baru 15 tahun. Tahun ini Firash memasuki masa SMA nya. Dia juga satu SMA dengan gue, di SMA Global Persada. Untuk mendeskripsikan seorang Firash, gue hanya butuh satu kalimat. Firash adalah apa yang tidak ada di dalam diri gue. Firash seorang cewek yang ceria, mudah bergaul dengan siapa saja, disukai banyak orang dan sangat menarik. "Enggak Ma, aku takut telat." Gue salami tangan Mama dengan buru-buru setelah itu langsung berjalan ke teras, ke arah motor vespa kesayangan yang sudah setahun belakangan ini menemani kemanapun gue pergi. Karena hari ini adalah hari dimana Masa Orientasi Siswa dilaksanakan, Firash sudah berangkat lebih dulu bersama dengan teman-temannya. Anak-anak baru memang diwajibkan untuk berkumpul di sekolah satu jam lebih awal sebelum lonceng sekolah. Menurut sahabat gue yang ketua OSIS, Jordan, akan ada pembekalan bagi anak-anak baru pagi ini. "Hati-hati di jalan Rish. Jangan ngebut-ngebut," nasehat Mama begitu gue sudah mengenakan helm. "Iya Ma. Assalamualaikum." "Walaikumsalam," jawab Mama lalu melambaikan tangannya ke arah gue ketika vespa kesayangan sudah gue pacu sampai pintu pagar. Gue tidak pernah se-excited ini di hari pertama masuk sekolah. Mungkin karena banyaknya hal yang sudah gue raih dan berada di genggaman gue tahun ini. Berbagai tawaran beasiswa, nilai-nilai yang memuaskan, dan prestasi akademik yang terbilang sudah cukup banyak. Di tambah lagi dengan kehadiran Firash yang satu sekolah dengan gue. Gue pikir, tahun ini akan menjadi tahun keberuntungan gue. Sama seperti tahun sebelumnya, tahun ini gue juga berencana untuk se-invisible mungkin. Jauh dari masalah dan menjalani sisa waktu di SMA dengan tenang. Lulus dengan nilai sempurna lalu diterima kuliah di Universitas yang gue idamkan. Gak neko-neko. Gue tiba di sekolah tepat waktu. Kurang 5 menit dari lonceng dibunyikan. Gue cepat-cepat masuk ke dalam kelas untuk mencari tempat duduk yang masih kosong. Seperti biasa, gue selalu mendapat barisan depan. Gue sempat melihat tas Jordan di atas salah satu meja di deretan depan. Jordan adalah satu-satunya teman yang gue punya. Sejak kelas sebelas, gue dan Jordan selalu duduk bersebelahan. Setelah meletakkan tas sekolah gue di atas meja, gue lalu mengeluarkan topi untuk upacara pertama di tahun ajaran baru. Masih ada waktu beberapa menit sebelum upacara di mulai, tapi beberapa anak sudah bersiap dan berdiri di tengah lapangan. Gue juga gak mau ketinggalan untuk berbaris rapi disana. Beberapa anak yang wajahnya sudah gak asing berlalu lalang begitu gue keluar dari dalam kelas. Dari kelompok nerds, ekskul olahraga, klub debat, cheerleaders, anak politikus, rich-kids, gank anak-anak populer dan tentu saja The Queen Bee and her Minions. Sebutan itu gue rasa sangat pantas untuk sekumpulan gadis remaja tersebut. Setiap siswa bahkan guru akan selalu menyadari kapanpun mereka datang. Seolah ada bel tidak kasat telinga yang berdentang saat kemunculan mereka. Semuanya mendadak berjalan menjadi slow motion. Seperti saat ini. Semua orang perlahan menyingkir ketika Sang Ratu menginjakkan kakinya memasuki sekolah. Koridor yang biasanya penuh akan terbagi menjadi dua sehingga dia dan Minions nya bisa bebas berjalan layaknya di atas catwalk. Anak-anak satu sekolah mendadak memperhatikan kedatangan mereka dengan wajah penuh kekaguman dan memuja seolah mereka adalah keturunan bangsawan atau selebritis Hollywood. Menurut gue, pada kenyataannya mereka hanyalah kw super, replika atau tiruan dari beberapa cerita di film remaja dimana terdapat cewek populer sebagai tokoh utamanya dan beberapa teman-temannya yang menjadi pengikut si tokoh utama dengan segudang masalah dan konflik remaja. Seperti Bring it On, Pretty Little Liars, The Mean Girls, Gossip Girls. Beberapa anak banyak yang memberikan julukan untuk mereka. The Slut girl Claressa, The Mean Girl Rossie, The Crybaby Girl Kimberly dan terakhir tentu saja The Queen Bee, Jessica Veranda. Gak ada seorang pun yang berani memberikan julukan jelek pada Sang Ratu. Kebanyakan dari penggemar fanatiknya justru menyebutnya Badai. Itu karena apapun yang dia lakukan, yang dia kenakan selalu membuat orang lain merasa terguncang layaknya ada badai besar yang datang. Menurut mereka, Jessica Veranda adalah satu-satunya pelajar cewek yang paling sempurna di SMA Global Persada. Semua orang mengaku mencintainya dan mengagung-agungkannya. Menurut gue, anak-anak itu hanya gak berani menunjukkan kebenciannya pada Jessica Veranda. Jika mereka melakukannya, kemungkinan besar mereka akan mendapat hukuman dari para pengawal Sang Ratu. Jessica Veranda sudah menguasai SMA Global Persada sejak hari pertamanya menginjakkan kaki disini. Namanya selalu terdengar dimana-mana di setiap sudut sekolah. Mulai dari Kepala Sekolah hingga penjaga kantin. Gue bahkan pernah menemukan sebuah artikel mengenai dia di mading sekolah. Judulnya The Amazing Life of Miss Popular 'badai' Jessica Veranda, di tulis oleh seorang 'obsessed fan'. Menurut gue, itu sangat berlebihan sekali. C'mon! Otak orang-orang ini pasti gak waras. Siapa yang tertarik dengan cewek seperti itu? Gue sama sekali gak mengerti kenapa mereka merasa terobsesi apalagi tergila-gila dengannya. Dia pikir dia sangat sempurna sehingga bisa bertindak semaunya? Dia pikir dia bisa menguasai seisi sekolah dan berlagak layaknya seorang ratu sungguhan. Ini sekolah. Bukan kerajaan yang singgasananya bisa dia duduki dengan mudah. Gue sama sekali gak tertarik dengan tipe cewek itu. Kenapa? Tentu aja karena sikap sok berkuasanya di sekolah. Gue sengaja menyimpan kebencian gue ini di dalam hati daripada harus mengeksposnya keluar. Kebencian yang berlebihan adalah senjata yang bisa membunuh diri sendiri. Jadi gue lebih memilih diam dan membiarkan saja si Ratu Sekolah bertindak sesukanya. Selama dia gak menganggu, oke, dia bahkan memang gak pernah menganggu gue. Gue bahkan sangsi apakah dia menyadari keberadaan gue. Hanya orang-orang tertentu aja yang disadari keberadaannya oleh The Queen Bee. Itu gak masalah buat gue. Dia bukan tipe cewek yang bisa buat gue tertarik. Dan gue sangat mengenal seperti apa cewek-cewek semacam dia. They are nothing, but big trouble. Lebih baik menjaga jarak dari perempuan macam itu sehingga kehidupan sekolah gue akan tetap aman dan damai tanpa banyak konflik apalagi drama. Menjalani masa SMA dengan tenang adalah salah satu keinginan gue saat ini. Gue berjalan ke tengah lapangan dan melihat Jordan sudah berada di samping Kepala Sekolah dan beberapa guru untuk memberikan sambutan selamat datang kepada anak-anak baru kelas sepuluh. Jordan sempat melihat ke arah gue dan nyengir lebar begitu gue mengangkat salah satu tangan untuk menyapanya dari kejauhan. Tidak lama, Jordan mengalihkan perhatiannya ke arah Queen dan memandangi perempuan itu dengan mata yang dipenuhi oleh cinta dan air liur yang hampir berjatuhan. Seriously, apa hanya gue satu-satunya orang di sekolah ini yang gak menyukai The Queen Bee dan Minions nya? Ada apa dengan orang-orang ini? Apakah mereka gak sadar bahwa seorang cewek berusia sekitar 16-17 tahun tengah mengontrol otak mereka? Untungnya The Fashion Show itu akhirnya berakhir dan orang-orang mulai melanjutkan aktivitasnya begitu The Queen Bee and her Minions menghilang ke dalam kelas. Mereka seolah kembali ke dunia nyata dan kembali sibuk berlomba lari-lari ke lapangan untuk mengikuti upacara. Gue sempat melihat wajah-wajah baru di barisan kelas sepuluh. Mata gue sempat berkeliling mencari sosok Firash di antara ratusan anak-anak baru yang masih mengenakan seragam putih biru. Gak terlalu sulit untuk menemukan Firash mengingat tubuhnya yang mungil membuat dia selalu berdiri paling depan setiap kali upacara. Hal ini sudah berlangsung semenjak kami SMP. Firash memeletkan lidahnya begitu dia menyadari gue memperhatikannya. Bibirnya kemudian bergerak seolah mengatakan sesuatu tanpa bersuara. Gue kurang jelas mencerna apa yang dikatakannya dan lebih memilih mengabaikan kelakuannya yang masih seperti anak SMP. Tidak lama, The Queen Bee and her Minions kembali muncul dan berjalan ke tengah lapangan. Orang-orang tanpa di komando langsung memberikan ruang pada mereka menuju barisan. Seperti yang terjadi beberapa menit yang lalu, perhatian semua orang kembali tertuju pada ke empat gadis itu. "Jessica Veranda bener-bener cantik dan hot hari ini! Badai! Gak ngeliat dia selama beberapa minggu ternyata makin kece aja," celetuk salah seorang teman sekelas gue, Dani, dari barisan depan. "Gue rela ngelakuin apa aja supaya bisa jadi pacarnya." "Sayang banget kita bukan cowok populer, jago olahraga atau anak orang terkenal. Ve gak akan pernah ngelirik orang biasa seperti kita," timpal seseorang yang berdiri di sebelahnya. "Lo bener. Inget gak waktu tahun kemarin Erick nyatain cinta ke Ve di depan seluruh penjuru sekolah? Ve nolak anak cupu itu dengan gaya anggunnya," balas Dani sambil terus memperhatikan Queen. "Ve nolak Erick dengan sangat sopan. Mungkin tahun ini Ve udah mau untuk punya pacar. Teman-teman cowok di sekolah kita pasti akan kembali berlomba-lomba untuk ngedapetin hatinya." "Jangan mimpi." Dani mengibaskan tangannya ke depan wajah teman disebelahnya. "Lo lupa kalau masih ada Jody? Tahun kemarin Jody sempet deket sama si Badai. Tapi dia langsung mundur begitu tau Ve belum mau pacaran dulu. Tahun ini Jody pasti coba untuk deketin Ve lagi." Gue mengerutkan kening mendengar pembicaraan kedua orang teman sekelas gue ini. Gak masuk akal. Apa mereka gak bisa melihat kalau Erick di tolak karena penampilannya yang jauh dari kriteria Ve? Gue ingat dengan jelas peristiwa itu sebab Erick adalah salah satu teman sharing gue mengenai hal yang berbau Jepang. Gue dan Erick memiliki hobi yang sama, anime. Jadi, ketika Ve hari itu menolaknya, Erick datang ke gue dengan mata berkaca-kaca layaknya seorang yang sedang patah hati. Pada akhirnya Erick memutuskan untuk pindah sekolah hanya karena gak kuat terus-terusan melihat Ve setiap harinya. Alasan yang menurut gue sangat konyol. Upacara akan segera di mulai. Aba-aba dari pemimpin upacara membuat keriuhan pelajar SMA Global Persada yang kini sudah berbaris rapi mendadak terdiam. Setelah proses pengibaran bendera, Kepala Sekolah SMA Global Persada yang bernama Pak Wardian itu mulai memberikan pidato penyambutannya kemudian di susul oleh Jordan, si Ketua OSIS. Jordan adalah sahabat gue semenjak kecil. Kami selalu bersama. Berbeda dengan Ketua OSIS di cerita-cerita remaja yang biasanya di gambarkan sebagai sosok yang keren, penampilan Jordan sangat biasa. Gak ada anak di SMA Global Persada yang ingin menjadi Ketua OSIS dan memikul tanggung jawab yang besar dengan mengatasnamakan sekolah. Karena itu, akhirnya Pak Wardian sendiri lah yang menunjuk Jordan untuk mengisi posisi itu. Selain karena Jordan pernah memiliki pengalaman menjadi Ketua OSIS di SMP, bakat Jordan yang bisa memimpin membuat Pak Wardian semakin yakin untuk memberikan tanggung jawab dan posisi ketua OSIS itu padanya. Anak-anak mulai sibuk berbisik-bisik di barisan ketika pidato ini di mulai. Gue tahu. Sangat menyebalkan mendengarkan seseorang berbicara panjang lebar padamu dengan nada menggurui yang sok tahu. Semua anak pasti merasakannya. Jadi, daripada mendengarkan celotehan tidak jelas, mereka justru asik mengobrol sendiri dengan teman-teman di barisannya. Tipikal anak sekolahan pada umumnya. Hal ini juga berlaku bagi The Queen Bee and her Minions. Gue sempat melirik ke barisan kelas sebelas dimana Ve dan ketiga temannya sedang sibuk berbicara hal yang kelihatannya menyenangkan. Mereka tertawa-tawa tanpa mempedulikan keadaan sekitar. Tanpa mempedulikan ratusan pasang mata yang masih sibuk mengagumi mereka. Upacara berakhir dengan aba-aba dari pemimpin upacara untuk membubarkan barisan. Barisan kelas dua belas dan sebelas kompak keluar dari barisan dan berjalan menuju kelasnya masing-masing. Sama hal nya dengan The Queen Bee and her Minions, lagi-lagi seolah tanpa di komando, anak-anak yang tadinya memenuhi lapangan langsung memberikan jalan bagi Queen untuk menuju kelasnya. Anak-anak baru kelas sepuluh yang belum terbiasa melihat hal ini hanya bisa memperhatikan dan mencoba untuk mempelajari apa yang terjadi. Gue yakin gak lama lagi anak-anak baru itu juga akan jatuh ke lubang yang sama seperti kakak-kakak kelas mereka. Sibuk mengagumi dan memuja Jessica Veranda. "Damn! Jessica Veranda hari ini kelihatan makin cantik aja meen." Tanpa gue sadari, Jordan sudah berdiri di samping gue sambil sibuk memandangi The Queen Bee and her Minions. "She's fake man..," jawab gue padanya. "Jessica Veranda is not fake!" bela Jordan cepat. "Lo punya empat mata untuk ngeliatnya meeen." Jordan menjentikkan ujung jarinya ke frame kacamata yang gue pake. "Sampe kapan lo mau bertahan dengan kacamata ini? Lo terlihat semakin mirip nerdy meen." Jordan selalu seperti ini. Setiap kali gue berbicara yang tidak baik mengenai cewek itu, Jordan selalu mati-matian membelanya. Gue heran seberapa banyak Sang Ratu itu membayarnya untuk hal-hal semacam ini. "Got it. She's genuine. Your highness. Happy?" sindir gue padanya sehingga membuat Jordan terlihat semakin jengkel. Jordan hendak kembali membela gadis pujaannya itu ketika bunyi lonceng tanda pelajaran akan segera di mulai berbunyi. Bagus. Setidaknya gue gak akan kembali mendengar ocehannya mengenai betapa hebatnya The Queen Bee. "Hey homo! Sehat?!" Baru aja gue mau memasuki kelas, salah seorang teman sekelas gue menyapa dan dengan sengaja menyenggol bahu gue sambil memberi senyum mengejek. "Karma!" bisik Jordan di dekat telinga gue. Gue hanya bisa menatap jengkel teman sekelas tersebut kemudian menoleh ke arah Jordan. "Elo benar-benar sahabat sejati," sindir gue padanya. "Bukannya belain gue." Jordan menyeringai layaknya seorang iblis yang menemukan mangsa. "I know." Jordan menepuk punggung gue kemudian berjalan meninggalkan gue menuju lapangan ke barisan kelas sepuluh dengan perasaan riang. Even the universe is conspiring with Jessica Veranda. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN