The Queen is ready to reign

3180 Kata
Namaku Jessica Veranda Tanumihardja. 16 tahun. Pelajar kelas XI SMA Global Persada atau biasa di singkat Gloper. Cantik? Checked. Banyak teman? Checked. Mapan? Checked. Populer? Double checked. Menyenangkan? Sure, checked. Siapa yang tidak mengenal diriku? Meskipun bukan seorang aktris dan model yang sangat terkenal, setidaknya wajahku cukup sering muncul di iklan-iklan televisi. Aku kadang juga berpose untuk beberapa majalah remaja. Jika sedang liburan, aku pernah menyempatkan diri untuk syuting beberapa ftv. Followers ku di twitter dan i********: mencapai puluhan ribu meskipun tidak sebanyak Agnes Monica atau Raisa. Aku berdarah Indonesia-Portugis. Pop, maksudku ayahku, Gabriell Tanumihardja memiliki bisnis restoran di Bali. Di sana juga lah ia bertemu dengan Mom yang saat itu tengah liburan disana. Mereka berkenalan kemudian menikah sehingga memiliki dua orang anak, kakakku dan aku. Kakak perempuan ku bernama Judith Vieira Tanumihardja. Sama sepertiku, dia juga cantik dan memiliki kepribadian yang menarik. Karena usia kami hanya terpaut tiga tahun, aku sering menghabiskan waktu bersamanya. Mulai dari berbelanja, ikut kelas kecantikan hingga liburan bersama. Karena sangat dekat, aku dan Judith tidak sungkan untuk menceritakan apapun yang terjadi dalam kehidupan kami. Mulai dari teman yang menyebalkan, crush, pacar, guru killer hingga masalah datang bulan. Kami sesekali bertengkar. Ya, hanya sesekali dan menurutku masih dalam batas yang wajar. Pagi ini, seperti pagi-pagi anak remaja lainnya yang bersiap untuk hari pertama di tahun ajaran baru, aku kembali menjalani ritual pagiku di dalam kamar. Ya, ritual. Aku berdiri di depan cermin cukup lama. Ku pandangi diriku di depan cermin sambil memperhatikan penampilanku sekali lagi. Baju seragamku sudah rapi, jam tangan pemberian Pop di hari ulang tahunku sudah kukenakan, sepatu hitamku yang masih baru juga cukup eye catching. Ku majukan wajahku sedikit untuk memeriksa bagian mata dan bibirku yang sudah aku hias dengan pensil alis, sedikit maskara dan lipbalm. Oke, perfect! I'm ready to go! Kuraih tas sekolah ku yang terletak di atas tempat tidur lalu keluar dari kamarku dengan tidak lupa menutup pintunya terlebih dahulu. Dengan langkah-langkah ringan, aku berjalan menyusuri lorong yang memisahkan kamarku dan kamar orangtua ku lalu berhenti di mulut tangga. Aku melongokkan kepalaku sedikit ke bawah dan melihat Judith sudah duduk menonton televisi di ruang tengah. Wajah Judith sangat mirip denganku. Yang membuat kami berbeda adalah bentuk wajah Judith yang sedikit bulat sementara wajahku cenderung lonjong. Judith mewarisi bentuk wajah Mom sementara aku lebih banyak mewarisi gen-gen dari Pop. Aku juga memiliki bibir yang tipis dan menurutku sangat manis sementara bibir Judith sedikit lebih tebal sehingga membuat wajahnya terlihat semakin seksi. Tinggi tubuh kami sama, 168. Kurasa aku masih akan bertambah tinggi beberapa centimeter lagi mengingat usiaku yang masih 16 tahun. Satu hal yang membuat kami terlihat seperti adik-kakak adalah kami memiliki pipi yang sama-sama bulat seperti bakpao. Tubuh Judith sedikit lebih berisi dibandingkan tubuhku yang kurus. Judith seringkali mengungkapkan kecemburuannya melihat aku bisa menikmati makanan apapun tanpa takut kelebihan berat badan sementara dirinya harus bersusah payah olahraga setiap pagi demi menjaga berat badannya agar tidak membengkak. "Judith!" sapaku padanya lalu berjalan tergesa-gesa menuruni tangga. Judith menoleh dari layar televisi lalu berdiri menyambutku. "You look adorable, Sissy!" pujinya setelah memandangi penampilanku sejenak. "I am!" Aku selalu senang setiap kali Judith memujiku. Sebagai seorang kakak, dia memerankan perannya dengan sangat baik. Dan aku tahu ia sangat menyayangiku. Judith mengusap rambutku sambil tersenyum geli. Hal ini sudah menjadi kebiasaannya sejak kami kecil. Selalu memanjakan aku, adik satu-satunya. Aku pernah menangis pada Mom untuk meminta seorang kakak laki-laki setiap kali melihat teman di sebelah rumahku selalu bermain sepeda mini ditemani oleh kakaknya. Kakaknya bahkan membantunya menghalau anjing yang hampir setiap sore mengejarnya. Judith yang saat itu berusia 6 tahun, keesokan harinya langsung mengajakku untuk bersepeda bersama dan melakukan hal-hal kecil yang biasanya dilakukan oleh seorang kakak laki-laki pada adiknya. Ia mengajakku bermain ayunan, menggendongku, mengajariku bersepeda, bahkan ia nekat memanjat pohon demi mengambilkan buah mangga untukku meskipun ia tahu bahwa ia sama sekali tidak bisa memanjat "Mom sama Pop udah berangkat?" tanyaku padanya meskipun aku sudah bisa menebak jawabannya. Orangtua kami jarang berada di rumah. Karena bisnis restorannya, Pop lebih sering berada di Bali dan mengajak Mom untuk ikut serta. Mereka hanya pulang ke rumah satu hingga dua kali dalam sebulan. "Mereka udah pergi dari subuh tadi. Kamu masih tidur waktu mereka berangkat," beritahu Judith lalu kembali duduk menatap layar televisi yang sedang menampilkan film Spongebob. Meskipun sudah menginjak usia 19 tahun, Judith masih suka menonton acara kartun anak-anak. "Bibi udah siapin sarapan buat kamu di atas meja." "Pancake?" tanyaku lalu berjalan menuju meja makan. Ku buka kotak bekal sarapanku itu untuk melihat isinya. Benar tebakanku, Bi Murni sudah menyiapkan makanan favoritku itu dengan tampilan yang sangat menggiurkan. Bi Murni sudah bekerja sebagai pembantu di keluargaku sejak usiaku 5 tahun. Dia sudah ku anggap seperti pengganti orangtua ku yang memang jarang berada di rumah. Aku dan Judith sudah menganggap Bi Murni bagian dari keluarga kami. Begitu pun Mom dan Pop. Semenjak ditinggal meninggal oleh mendiang suaminya di usia yang masih sangat muda, Bi Murni menetap di rumahku bersama seorang anak laki-lakinya. Namun, begitu menginjak usia 15 tahun, anak laki-lakinya itu mendadak pulang kampung ke rumah kakek dan neneknya di Magetan. "Pagi Bi," kusapa wanita paruh baya itu sambil tersenyum. Bi Murni yang tengah membereskan meja makan balas tersenyum lalu menjawab, "pagi Nona Jessie yang cantik. Besok pagi mau Bibi bikinin sarapan apa?" "Uhm.." Aku berpikir sejenak. "Aku mau sandwich isi keju dan telur." "Beres." Bi Murni mengacungkan kedua jempolnya ke arahku. "Pasti Bibi bikinin." Aku mengangguk kecil padanya. Setelah menutup kembali bekal sarapanku dan memasukkannya ke dalam tas, aku kembali berjalan mendekati Judith yang masih asik menonton. "Judith." "Ya?" jawabnya tanpa menoleh kearahku. "Aku berangkat." "Shoo shoo." Judith mengibas-ngibaskan tangannya seolah mengusirku. "Jangan pulang kemaleman Jessie!" teriaknya begitu aku sudah sampai di teras. Judith memang suka mengomel jika aku pulang terlalu malam tanpa memberitahunya atau tanpa pulang ke rumah lebih dulu. Udah sampe mana? Ku buka smartphone ku dan membaca sekilas pesan di grup w******p. Dari Claressa, salah satu sahabat terbaikku. Aku terkikik geli membaca jawaban dari kedua sahabatku yang lainnya. Pengkolan bakso Mang Jamal. Dari Rossie. Cewek itu memang suka menjawab chat dari kami dengan seenaknya. Perempatan yang ada polisi gantengnya. Kimmy ikut-ikutan membalas dengan asal. Please deh, jawab yang bener. Gue udah stand by di tempat biasa. Ve, lo dimana? Tak lama muncul lagi pesan dari Claressa. Aku berhenti di depan pintu mobil untuk mengetik sebentar membalas chat Cla yang sepertinya terlihat jengkel. Ah, forgive me. Selain orang rumah, tidak ada yang memanggilku dengan panggilan Jessie. Teman-temanku, penggemar dan pengagum rahasiaku lebih suka memanggilku dengan nickname Ve atau Veranda. Udah di lampu merah. Lampu merah banyak Ve Aku tertawa terbahak membaca jawabannya yang tidak sampai sedetik itu. Setelah memasukkan kembali smartphoneku ke dalam tas, aku masuk ke dalam Mercedes Benz E 250 berwarna putih yang sudah terparkir manis di halaman. Karena masih di bawah umur, Pop melarang keras diriku untuk menyetir sendiri ke sekolah. Ia sengaja menggaji seorang supir pribadi untukku. Aku sendiri tidak keberatan karena toh tidak lama lagi usia ku akan menginjak 17 tahun sehingga aku bisa memiliki SIM dan menyimpannya dengan manis di dompetku. Oke, tidak hanya SIM. Tapi juga KTP. Hanya dengan selembar kartu ini, aku bisa merasakan nikmatnya dunia. Yah, setidaknya aku akan diijinkan untuk masuk klub malam hanya dengan menunjukkan selembar KTP. Hanya dengan selembar kartu! Bisa kalian bayangkan apa yang bisa kulakukan dengan selembar kartu berwarna biru bernama KTP tersebut? Aku bisa membuka rekening pribadi di bank, kartu kredit atas nama ku pribadi, keluar masuk klub malam sesuka hati, mengendarai Mercedez Benz ku di jalanan kota Jakarta, bepergian dengan pesawat kemanapun aku mau. Menyenangkan? Tentu saja! Aku duduk di kursi penumpang sambil menikmati pancake yang dibuat Bi Murni untukku. Perjalanan dari rumah ke sekolah sebenarnya tidak cukup jauh. Namun terkadang aku harus terjebak di lampu merah yang panjang sehingga membuat waktu tempuh menjadi sedikit lebih lama. Sambil menunggu tiba di sekolah, aku menyempatkan untuk sarapan di mobil. Aku memang termasuk jarang sarapan di meja makan. Selain karena tidak akan ada yang menemani, aku juga lebih suka menggunakan waktu sarapanku agar lebih efisien. Hari ini adalah hari pertama aku kembali ke sekolah setelah libur panjang kenaikan kelas. Setelah satu tahun yang menyenangkan menjadi junior yang diperebutkan oleh para senior cowok termasuk satu tahun yang menyenangkan karena menjadi perhatian utama para guru dan penghuni sekolah, aku akhirnya kembali ke sekolah dengan harapan tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Ya meskipun aku tidak perlu terlalu khawatir karena aku sudah menjadi pentolan sekolah sejak tahun pertamaku di sana. Aku yakin tahun ini aku masih mendapat predikat Queen Bee seperti tahun lalu. Well, tidak ada gunanya menjadi penguasa sekolah jika tidak mendapat gelar Queen Bee bukan? Aku yakin siswa-siswi baru kelas X nanti tidak akan ada yang bisa menyaingi kharisma dan pesona yang aku miliki. Setidaknya aku harus tetap menjaga agar predikat itu tidak lepas dari tanganku tahun ini. Tahun pertamaku di SMA berjalan dengan sangat mulus. Meskipun tidak terlalu pintar, tapi otakku masih mampu mengikuti pelajaran yang diberikan meskipun hanya dengan nilai yang rata-rata. Setidaknya aku masih memiliki otak dan tidak seperti gadis-gadis populer yang selalu di anggap berotak tumpul oleh orang-orang. Not every chicks are dumb. Itulah mottoku. Meskipun tidak ada masalah dalam pelajaran, bukan berarti tidak ada kerikil kecil dalam masa sekolahku. Aku ingat benar tahun lalu ada seorang cowok kutu buku menyatakan rasa cintanya padaku di depan seluruh sekolah. Sungguh kejadian yang memalukan. Cowok berkacamata tebal itu memintaku untuk menjadi pacarnya. As if! Tidak mungkin seorang Jessica Veranda bisa hang out apalagi berpacaran bersama cowok kutu buku, berkacamata, culun, dan rendahan seperti dirinya. Itu sama saja dengan menjatuhkan status sosialku. Mereka bisa melihatku dan mengagumiku dari jauh, tapi mereka tidak akan pernah bisa untuk mendekatiku. Tidak akan! Saat itu, aku terpaksa mengaku pada si culun bahwa aku sedang ingin fokus dalam belajar dan tidak memikirkan masalah pacaran. The heck! Padahal saat itu aku jelas-jelas tengah dekat dengan salah satu kakak kelas yang menjadi the most wanted boy di sekolah. Karena kejadian itu, cowok yang ku incar itu akhirnya mundur dan tidak lagi mendekatiku. Mungkin ia berpikir bahwa aku memang sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun. Padahal semua orang mengira bahwa kami akan berpacaran dan menjadi pasangan yang sangat sempurna. Golden couple. Tidak ada pasangan manapun di sekolah yang pantas mendapatkan predikat tersebut selain kami. What do you expect? I'm in fact, Jessica Veranda. Namun perkiraan ku itu justru tidak pernah terjadi. Semua karena cowok culun itu! Aku terpaksa memasang wajah manis dan menolak cowok culun itu dengan cara sehalus mungkin. Well, itu karena anak-anak di sekolah memperhatikan setiap tingkah laku ku dan semua gerakan ku. Mulai dari baju yang ku kenakan sampai makanan yang ku makan. Tidak menutup kemungkinan juga parfum, jam tangan sampai merk tissue toilet yang selalu ku bawa di dalam tas. Mereka menganggapku sebagai trendsetter. Seolah aku bisa menciptakan tren yang baru. Mereka menyanjung tinggi diriku. Mereka ingin menjadi aku. Aku cantik. Aku bisa mendapatkan apapun yang aku mau hanya dengan sekali jentikan jari. Siapa yang tidak ingin seperti aku? Dan sebagai seorang influencer bagi mereka, sudah seharusnya aku menunjukkan image yang baik bukan? Tidak terasa mobil ku sudah tiba di depan gerbang SMA Global Persada. Aku keluar dari dalam mobil dan melihat ketiga sahabatku sudah menunggu di dekat gerbang sekolah. Ini sudah menjadi tradisi kami sejak kelas X. Siapapun yang datang lebih dulu di sekolah harus menunggu yang lainnya baru bisa masuk ke kelas secara bersama. Sepertinya kali ini aku mendapat giliran tiba paling akhir. Seperti di film-film remaja yang sering ku tonton, tokoh utama selalu datang paling akhir. Dan aku adalah tokoh utama dari kisah ini. Again, I'm in fact, Jessica Veranda. Ketiga sahabatku, Claressa, Rossie dan Kimberly. Aku berteman dengan ketiganya semenjak SMP. Kami termasuk anak-anak populer di SMP. Dan seolah sudah menjadi tradisi tak tertulis bahwa gadis-gadis cantik harus selalu berkumpul, bergerombol dan membentuk geng tersendiri. Ini seperti sebuah keharusan meskipun aku merasa pertemananku dengan ketiganya tidaklah sesederhana itu. Aku menyayangi ketiganya. Sangat. Kami sahabat sejati. Claressa atau Cla berwajah amat cantik. Mungkin setelah aku, dia lah yang tercantik. Kami memiliki tinggi dan postur tubuh yang hampir serupa. Berbeda denganku yang berambut hitam panjang dan jatuh hingga hampir mencapai pinggang, rambut Claressa ikal dan sedikit kecoklatan. Matanya bulat dan dihiasi dengan bulu mata yang panjang dan lentik. Hidungnya mancung dan ramping. Bibirnya mungil dan tipis. Aku yakin banyak laki-laki yang menyatakan cinta padanya jika saja Claressa tidak memiliki pacar. Pacar Claressa termasuk salah satu senior tampan di sekolah kami. Namanya Vinno. Claressa beruntung memiliki Vinno yang merupakan bintang basket di sekolah. Hubungan mereka hampir berjalan satu tahun dan baik-baik saja hingga sekarang. Mereka bahkan masih sering mengumbar kemesraan di depan umum. Menurut Cla, Vinno sudah menyukainya semenjak hari pertama melihatnya di masa orientasi siswa baru. Rossie bertubuh tinggi dan memiliki bentuk badan yang sangat ideal. Banyak yang mengatakan bahwa Rossie sangat seksi. Namun itu semua tidak lantas membuat Rossie senang. Ia justru merasa berat badannya sedikit berlebihan. Wajah Rossie tidak terlalu cantik, namun menarik dan sangat manis. Kulitnya yang sawo matang membuat Rossie terlihat semakin seksi. Rossie juga memiliki rambut hitam panjang sepertiku. Namun ia selalu mencepol rambutnya dan membiarkan lehernya yang jenjang selalu terbuka dan bebas dinikmati oleh mata anak-anak laki-laki di sekolah kami. Di antara kami bertiga, Rossie sedikit lebih kasar. Mungkin inilah alasannya kenapa hingga sekarang ia masih menjomblo. Sahabatku yang terakhir Kimberly. Aku dan kedua sahabatku lainnya sering memanggilnya dengan sebutan Kimmy. Panggilan ini sangat cocok untuknya. Kimmy berperawakan lucu dan menggemaskan. Sama sepertiku yang berdarah campuran, Kimmy juga kelahiran Indonesia-Inggris. Di antara kami berempat, tubuhnya lebih pendek. Kimmy memiliki kulit putih pucat yang menurutku sangat indah. Namun jika terkena panas yang menyengat, kulitnya bisa menjadi agak kemerahan dalam sekejap. Selain kulit yang indah, Kimmy juga memiliki warna mata yang sangat unik. Keabuan. Ini salah satu daya tariknya yang menurutku sangat luar biasa. Aku selalu teringat aktris yang bernama Kimberly Rider setiap kali melihat Kimmy. Selain karena nama yang sama, wajah mereka juga sangat mirip. Banyak yang beranggapan bahwa Kimmy adalah Kimberly Rider versi girls zaman now. Kimmy juga memiliki seorang pacar bernama Bradnan. Aku dan yang lainnya sering mengolok-olok nama kekasihnya itu dengan nama Bradd Pitt. Well, selain karena Bradd 100% bule, ia juga memiliki bentuk tubuh yang seksi seperti Bradd Pitt. Meskipun hanya pernah sekali bertemu dengan cowok itu, aku bisa melihat kalau ia sangat mencintai Kimmy. "Hey Ve!" Claressa menyapaku terlebih dulu begitu aku mendekati ketiganya. Ia buru-buru memelukku lalu tersenyum memperhatikan penampilanku. Rossie dan Kimmy ikut tersenyum lalu bergantian memberikan pelukan hangat untukku. Aku sungguh merindukan ketiga sahabatku. Selama liburan kenaikan kelas, kami berempat memiliki rencana masing-masing dan tidak bisa bertemu. Aku dan Judith sengaja berkunjung ke Bali bertemu Mom dan Pop sekaligus menghabiskan liburan disana. Claressa ikut orangtuanya mengunjungi kakak laki-lakinya yang kuliah di Singapura. Rossie liburan di rumah neneknya di Padang, sementara Kimmy pulang kampung ke negara asal ibunya, Inggris. Kami hanya saling memberi kabar lewat telpon dan sms. Sesekali video call. "Gimana Bali? Mana oleh-oleh bule kece buat gue?" Rossie nyengir lebar menatapku. "Nah, seharusnya lo minta oleh-oleh sama Cla dan Kimmy. Kan mereka berdua yang abis keluar negeri." Aku melirik Claressa dan Kimmy bergantian. "Oh iya! Gue sama Cla punya oleh-oleh yang lain buat kalian para jomblo," beritahu Kimmy sambil menaikturunkan kedua alisnya. "Ugh, jangan bilang kalau blind date lagi. Gue gak mau," gerutuku sambil mendelik jengkel padanya. "Terakhir kali gue dateng di acara blind date yang lo siapin, cowoknya justru om-om tua yang tiap ngomong ludahnya selalu muncrat kena muka gue. Iyuwwhh," timpal Rossie. Aku jadi ingat keesokan harinya Rossie langsung mencak-mencak tidak karuan pada Kimmy. Hampir saja terjadi perang saudara di antara kami jika saja aku dan Claressa tidak segera menengahi. Kimmy tertawa pelan sambil menatap Rossie yang kini wajahnya mulai terlihat jengkel. "Yang waktu itu kan gue salah orang. Gue kira anaknya yang mau cari pacar. Eh ternyata bapaknya," jawab Kimmy sambil cekikikan. "Ayolah, selera kalian berdua tuh terlalu tinggi. Pokoknya tahun ini kalian harus punya pacar. Tahun ini kita udah bisa ikut prom kalau punya pacar anak kelas XII," beritahu Claressa dengan suara tenang. "Gak harus pacaran kan? Yang penting di ajak. Gue bisa pilih salah satu dari penggemar gue itu untuk ngajak gue ke prom night," balas Rossie cuek. "Gue gak mau datang ke prom dengan seseorang yang gak gue cinta. Cowok-cowok itu cuma manfaatin kita. Merasa bangga karena udah bisa bawa kita.." Ketiga temanku kompak menaikkan alisnya menatapku. Seolah memberitahu bahwa apa yang baru saja kukatakan itu adalah sesuatu yang sangat tidak masuk akal. Seolah bertanya ada apa dengan isi otakku. Cinta?? Aku langsung tersadar dan teringat pada kenyataan bahwa orang-orang ini mengharapkan dan berekspektasi sangat tinggi padaku. Yang benar saja! Ada apa dengan para authors di cerita-cerita remaja? Apakah semua para Queen Bee harus menjadi sosok yang sangat sempurna, cantik, penggila pria tampan serta penikmat pesta di waktu yang bersamaan? Aku cepat-cepat mengangguk pura-pura setuju mendengar ucapan Rossie. "Maksud gue, prom masih lama girls. Kita masih punya waktu sampe tahun depan. Gue yakin bakal dapet pacar keren sebelum prom. Jadi gue gak mau menghabiskan waktu gue dengan berpikir cowok mana yang nantinya gue pilih untuk ke prom sama gue. Itu terlalu merendahkan harga diri gue." Meskipun aku sendiri merasa tidak yakin dengan apa yang kuucapkan. Tapi setidaknya aku harus menyenangkan ketiga sahabatku dengan memberikan jawaban yang sangat diharapkan dari seorang Jessica Veranda. "Terus gimana dengan gue? Bradd kan tinggal di Londooon." Kimmy terlihat mulai menyadari posisinya yang menjadi paling tidak menguntungkan. Ia memang mengenal Bradd sejak kecil. Kebetulan Bradd tinggal tidak jauh dari rumah neneknya. "Ckk..," decak Rossie pelan. "Elo kan juga bisa tunjuk salah satu dari Kimmiers untuk ngajak lo ke prom. Tinggal pilih aja yang cakep. Gampang." "Bradd bisa marah kalau gue ke prom sama cowok lain." "Eh itu Bradd Pitt gak akan tau kalau elo ke prom sama cowok lain. Please deh.." omel Rossie sambil menjitak kepala Kimmy perlahan. "Tapi tetap aja itu namanya bohong. Bradd gak akan suka kalau gue nutup-nutupin." Kimmy kembali membantah. Ia memang selalu tidak bisa mengkhianati Bradnan. Temtu saja sebagai sahabatnya aku cukup bangga dengan sifat Kimmy yang sangat setia. "Ah udah ah udah.. Masuk yuk, udah hampir bell." Aku cepat-cepat menengahi keributan kecil di antara keduanya. Jika bawelnya sudah kumat, Kimmy akan sulit untuk dihentikan. "Ah.. Iya. Yuk. Gue juga penasaran mau liat seperti apa muka-muka anak baru." Rossie mengangguk setuju. Menjadi kelas XI itu artinya ia bisa mem-bully adik kelas. Aku tahu Rossie sudah lama ingin melakukannya mengingat selama kelas X tidak ada yang bisa kami lakukan meskipun kami adalah penguasa Global Persada. Rasanya tidak etis jika harus mem-bully senior sendiri tanpa ada alasan yang jelas meskipun banyak di antara senior itu yang jelas-jelas terlihat tidak menyukai kami. Tapi, selama mereka tidak memulai, kami tentu saja tidak akan beraksi. "So girls, ready for the little fashion show?" tanya Claressa sambil memandangi aku, Rossie dan Kimmy bergantian. Berusaha untuk menilai penampilan kami satu persatu. Ketika dirasanya tidak ada cela, ia lalu mengangguk memberi aba-aba untuk segera masuk. Aku tersenyum lebar kepada ketiga sahabatku lalu mulai melangkahkan kakiku memasuki SMA Global Persada. The queen is ready to reign. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN