XI IPS 2. My class.
Pada pergantian jam pelajaran seperti ini, biasanya ada jeda sekitar 5 menit bagi guru lain untuk datang ke kelas. Pada waktu-waktu seperti ini biasanya aku pergunakan untuk mengobrol dengan ketiga sahabatku. Saling bertukar cerita atau bahan ledekan. Kami sengaja meminta Kepala Sekolah untuk membiarkan kami berada di satu kelas yang sama. Tentu saja Pak Wardian, si Kepala Sekolah tersebut tidak bisa menolak permintaan khusus dari 'ku'. Selain karena kami memang tidak pernah membuat keributan berarti selama di kelas. In fact, I'm Jessica Veranda. Tidak ada yang bisa menolak semua keinginanku jika aku sudah memintanya.
"Lo masih inget Jody kan Ve?" Untuk kali ini Kimmy lah orang pertama yang membuka obrolan di antara kami. Ia dan Rossie duduk tepat di belakangku dan Claressa.
Aku tentu saja langsung menoleh ke belakang begitu mendengar pertanyaannya. Bukan karena aku masih menyukai Jody, tapi tentu saja karena aku tidak ingin melewatkan apapun berita yang keluar dari mulut sahabatku itu.
"Ya. Kenapa dengan Jody?" Terakhir kali aku berbicara dengan cowok itu sekitar satu bulan yang lalu. Hari dimana aku melihat presentasinya di ruang serba guna atau biasa kami sebut dengan aula.
Kimmy tersenyum samar begitu melihat reaksiku. Tentu saja ia tahu bagaimana kisahku dengan Jody. Well, semua orang tahu. Teman-temanku mengira bahwa aku masih ada perasaan khusus padanya. Nyatanya, tidak sama sekali. Aku bukanlah perempuan rendahan yang tetap bertahan pada satu laki-laki meskipun laki-laki itu sudah pergi meninggalkanku begitu saja bahkan sebelum kami memulainya. Ini bukan drama seperti yang kalian lihat di televisi. Dan aku bukanlah perempuan sabar berhati lembut seperti di drama-drama tersebut.
"Jody akhirnya dapet mangsa lagi tahun ini. Gue denger semenjak hari pertama tahun ajaran baru, dia udah nge bully target barunya ini."
"So?" tanyaku pada Kimmy dengan nada malas. Bukan hal baru jika Jody melakukan aksinya lagi tahun ini. Semua orang tahu bahwa cowok itu terkenal dengan sifat suka mem-bully-nya. Dia bahkan di kenal dengan sebutan Nerd Hunter.
"Kata Nathan, mangsa Jody kali ini agak berat," beritahu Kimmy. Nathan adalah salah satu teman dekat Jody. Selain Nathan, Vinno, pacar Claressa juga cukup dekat dengan Jody.
"Sejak kapan lo sama Nathan jadi suka tukar berita?" Claressa yang baru saja merapikan buku-bukunya kini ikut bergabung mendengarkan pembicaraan kami.
"Lo mulai mau selingkuh dari Bradd?" Rossie ikut bertanya.
Kimmy cepat menggeleng sambil memasang wajah jengkel. "Enggak. Brads still my one and only!" elak Kimmy berapi-api. "Semalem waktu nemenin nyokap belanja, gue gak sengaja ketemu Nathan sama kakaknya."
"Oh, gak sengajaaaa..," gumam Claressa dengan nada menyindir.
"Cla, gue lagi serius."
Claressa tersenyum memamerkan gigi-giginya yang putih dan rata. "Oke, lanjuuut deh."
"Jadi, korban bully Jody tahun ini anak kelas XII. Dia.."
"Pasti dari kelompok nerdy lagi. Gue bosen dengernya," komentar Rossie tanpa menunggu Kimmy menyelesaikan ceritanya. "Nerdy tuh gak ada tantangannya. Gue lebih pilih nge bully cewek-cewek nakal daripada cewek nerd."
"Rossie, tiap pem-bully kan punya taste nya masing-masing." Aku hampir lupa jika salah satu sahabatku ini juga suka mem-bully. Baru satu bulan kami di kelas XII, Rossie sudah memiliki 5 target untuk jadi bahan pelampiasan kekesalannya selama di sekolah.
Claressa ikut mengangguk menyetujui ucapanku. "Setidaknya Jody gak kelewat batas. Selama aksinya masih dalam taraf.."
"Siapa bilang? Justru ini yang mau gue bahas ke kalian bertiga. Soalnya kali ini Jody.."
Aku, Claressa dan Rossie baru saja mendekatkan wajah kami ke arah Kimmy ketika tiba-tiba saja kelas mendadak hening dan guru Ekonomi kami berjalan menuju mejanya. Kimmy terlihat berusaha menahan dirinya untuk tidak kembali berbicara. Sudah jadi komitmen kami untuk tidak mengobrol selama pelajaran berlangsung. Itu juga salah satu peraturan ketat yang harus ditaati oleh semua murid di SMA Global Persada. Hal ini juga lah yang membuat sekolah ini mendapat apreasiasi yang baik dari menteri pendidikan. Peraturan yang sangat ketat serta mengikat dan uniknya tidak ada satu pun pelajar yang ingin melanggarnya.
Aku sendiri heran bagaimana murid-murid seperti Jody dan Rossie yang suka mem-bully murid lain yang lebih lemah tidak pernah tertangkap tangan ketika sedang melakukan aksinya. Mungkin anak-anak lain terlalu takut untuk melaporkan aksi keduanya. Jika pihak sekolah mengetahuinya, aku yakin kedua orang itu akan langsung dikeluarkan dari sekolah.
Karena bosan terus-terusan berada di kelas dan memperhatikan Ibu Eko, aku akhirnya pamit untuk ke toilet sebentar. Nama sebenarnya bukan Bu Eko, tapi karena ia mengajar mata pelajaran Ekonomi, anak-anak di kelas kompak untuk memanggilnya seperti itu. Ketika aku berdiri lalu menuju meja Bu Eko, ketiga temanku sempat melihatku dengan heran sebelum akhirnya aku memberikan isyarat dengan mataku jika aku sedang bosan.
Setelah Bu Eko memberikanku izin, aku berjalan keluar kelas diikuti oleh pandangan anak-anak sekelas. Sudah satu bulan semenjak hari pertama sekolah dan mereka masih belum bisa membiasakan diri mereka untuk berada di sekitarku. Apapun yang kulakukan, apapun yang bicarakan, teman-teman sekelas ku ini seolah memasang mata dan telinga mereka dengan tajam. Sungguh mengganggu.
Aku baru saja hendak masuk ke dalam toilet cewek ketika tiba-tiba saja Vinno sudah berdiri menghadangku sambil tersenyum. Sebagai atlet basket di sekolah, tubuh Vinno cukup tinggi dengan bahu yang lebar. Dengan tubuhnya, ia dapat dengan mudah menghalangi jalanku. Jika Vinno bukan pacar Claressa, aku pasti sudah mendorong tubuhnya untuk segera menyingkir dari hadapanku.
"Move!" kataku pada bintang basket sekolah itu dengan nada memerintah.
Vinno nyengir lebar lalu mengangkat kedua tangannya ke depan d**a, masih berusaha untuk menahanku. "Woah.. Sabaar. Gue bukannya mau ngehalangin elo untuk masuk ke dalam sini. Tapi.."
Ucapan Vinno mendadak terhenti begitu terdengar suara benturan keras dari dalam toilet. Suara benturan itu kemudian di susul oleh suara tawa dari seseorang yang cukup ku kenal, Jody. Selain suara tawa Jody, aku juga mendengar samar-samar suara lainnya. Seperti suara orang tersedak atau mungkin terbatuk-batuk.
"Mind to tell me, what's going on there?" Kusilangkan kedua tanganku ke depan d**a sambil menatap Vinno dengan salah satu alis terangkat.
Vinno yang tadi menolehkan kepalanya ke arah toilet kembali berbalik menatapku. Cengirannya yang tadi merekah lebar mendadak berganti dengan ekspresi bingung dan ragu. Ia terlihat enggan untuk memberitahuku. Tapi aku, Jessica Veranda, selalu mendapatkan apa yang aku inginkan meskipun itu hanya sebuah informasi kecil. Hanya karena dirinya waktuku untuk ke toilet terpaksa mundur beberapa menit. Jadi aku merasa pantas mendapatkan penjelasan darinya.
"Jody.. Dia buat ulah lagi. Seperti biasa," jawab Vinno akhirnya.
"Bukan urusan gue dia mau buat ulah apapun di sekolah ini. Tapi jangan sampai kelakuan dia mengganggu aktivitas gue!"
"Cuma sebentar. Dia cuma kasih sedikit pelajaran sama si ultimate nerd. Sebentar lagi juga selesai." Vinno buru-buru menjelaskan padaku. "Gue akan kasih tau Jody untuk segera keluar." Vinno lalu masuk ke dalam toilet dengan cepat.
"Ve?" Suara Jody bergema nyaring dan terdengar hingga di tempatku berdiri. Tidak lama kemudian, cowok itu keluar dari dalam toilet sambil menarik rambut seorang cowok berkacamata dengan tangannya.
Cowok berkacamata itu hanya menundukkan wajahnya tanpa memberikan reaksi apapun. Tidak ada suara apalagi sikap ketakutan dari dirinya. Sungguh aneh. Yang membuatku semakin heran, aku merasa pernah melihat cowok ini di suatu tempat. Tapi, dimana?
***
Empat minggu sudah berlalu semenjak kejadian di aula hari itu. Jody Agustav benar-benar melancarkan aksinya untuk buat hidup gue seperti di neraka. Dia bahkan meminta teman-temannya untuk ikut mengeroyok gue. Stupid jocks.
Talk about total desperation, what's his problem?
Daripada membuang-buang waktunya untuk melakukan hal-hal bodoh seperti ini, dia seharusnya fokus pada otaknya untuk memikirkan bagaimana caranya supaya bisa masuk ke fakultas kedokteran universitas Global Persada. Hanya karena gue memintanya untuk gak mengganggu Queen hari itu, hanya karena Queen akhirnya lebih memilih beasiswa itu diserahkan kepada gue, Jody akhirnya melampiaskan kekesalannya dengan nge-bully gue.
Seriously. Apakah bullying bisa membuat hidupnya menjadi lebih menarik? Apakah bullying bisa membuat kekecewaannya mereda? Apakah bullying bisa membuatnya kuliah di fakultas kedokteran? Gue gak bisa mengerti bagaimana para pem-bully itu bisa mendapatkan kesenangan dari penderitaan orang lain. That's totally barbaric!
Semenjak Jody memasang targetnya ke gue, anak-anak di sekolah yang pada mulanya gak mengenal siapa gue jadi ikut membicarakan gue setiap kali gue berjalan di koridor atau makan siang di kantin. Gue bahkan terpaksa harus jaga jarak dari Jordan dan Firash supaya mereka gak ikut terkena getahnya.
Pada awalnya gue cukup heran kenapa Queen lebih memilih gue daripada Jody untuk mendapatkan beasiswa itu. Tapi keheranan gue itu gak berlangsung lama sebab Jody sendiri yang pada akhirnya menceritakan ke gue alasan sebenarnya di sela-sela aksinya mem-bully gue. Alasan kenapa Queen kini menghindarinya. Mereka pernah dekat bahkan hampir berpacaran, namun tanpa alasan yang jelas Jody tiba-tiba menjauh dari Queen. Cewek mana yang mau diperlakukan seperti itu?
Semuanya bermula setelah kepergian Queen dari aula. Jody yang saat itu emosi langsung mengurung gue di dalam aula dan mengunci pintunya dari luar. Gue terpaksa harus berada disana hingga hampir menjelang malam. Saat penjaga sekolah, Pak Gito mulai memeriksa ruangan demi ruangan. Untung aja hari itu Pak Gito menyempatkan waktunya untuk memeriksa gedung serba guna. Gue gak tahu bakal jadi apa gue nantinya jika gue harus bermalam disana. Mama dan Papa pasti akan cemas dan menunggu-nunggu kedatangan gue di rumah.
Ketika keesokan harinya Pak Wardian memberitahu keputusan dari Queen, mendadak beberapa anak dari klub baseball dan basket selalu mendorong atau menabrak gue setiap kali kami papasan di koridor sekolah. Aksi mereka terlihat seperti gak di sengaja. Tapi gue tahu. Anak-anak yang lain tahu. Bukan sebuah kebetulan jika hanya anggota dari kedua klub tersebut yang selalu buat gue terjatuh.
Gue gak mengira Jody akan bertindak seperti itu. Gue justru mengira-ngira aksi yang lebih kreatif dari sekedar mendorong, menabrak atau menjegal kaki gue. Benar-benar aksi yang konyol dan terlalu biasa. Anak-anak lain yang melihat kejadian itu sepanjang hari mulai menyebarkan berita kalau ternyata sudah ada target baru dari Nerd Hunter sekaligus The Most Wanted Boy, Jody Agustav. That's me.
Gue sendiri gak terlalu kaget mendapati Jody mulai memasang targetnya ke gue. Gue memang sudah mengira bahwa hal ini akan terjadi mengingat hari sebelumnya Jody mengunci gue di dalam aula. Gue sangat menyadari bahwa The Most Wanted Boy sudah mengirim para tentara terbaiknya untuk memulai perang dengan gue.
Setelah aksi dorong mendorong, tabrak menabrak dan jegal menjegal gak jelas itu, Jody dan tentaranya mulai melakukan aksi selanjutnya. Mereka menyembunyikan baju olahraga gue di suatu tempat sehingga gue terpaksa berbohong ke guru olahraga gue dengan mengatakan kalau gue lagi sakit dan gak bisa mengikuti pelajaran olahraga. Pada akhirnya gue menemukan baju olahraga gue itu tergantung di atas dahan pohon beringin belakang sekolah. Baju itu penuh dengan coretan dan bau kotoran. Mungkin setelah puas mencoret-coret baju gue, Jody dan teman-temannya memasukkan baju gue ke dalam tempat pembuangan sampah di dekat situ.
Di hari berikutnya mereka kembali berbuat ulah dengan merusak buku pelajaran gue yang berisi tugas matematika yang harus di kumpulkan hari itu juga. Soal hitungan 50 soal yang sudah gue kerjakan semalaman. Gue terpaksa melewatkan jam makan siang dengan membuat kembali tugas itu di buku baru.
Di hari lainnya, mereka melakukan hal yang paling umum untuk mem-bully seseorang. The all time favorited of all teen bullying movies. Momen dimana mereka menyeret gue masuk ke dalam toilet cowok, gue sudah bisa menebak apa yang akan mereka lakukan ke gue. Hal yang paling lucunya adalah, mereka bahkan gak ada yang punya keberanian untuk melakukannya. Mereka bahkan berdebat siapa yang mendapat kehormatan untuk memasukkan kepala gue dan menjejalkannya ke dalam kloset. Karena gue gak punya banyak waktu sebab mata pelajaran selanjutnya akan segera di mulai, gue akhirnya mengajukan diri untuk melakukannya sendiri. Gue gak akan bisa lupa ekspresi tercengang di wajah mereka saat itu.
Belum merasa puas, keesokan harinya mereka kembali membawa gue ke dalam toilet yang sudah penuh dengan kotoran manusia. Sepertinya sebelum membawa gue masuk, mereka sudah lebih dulu membuat penuh isi kloset dengan sesuatu yang berwarna kuning kecoklatan itu. Mereka mengunci gue disana seharian. Gue terpaksa harus berendam lebih dari satu jam di kamar mandi untuk menghilangkan bau gak sedap di badan gue. Gue bahkan gak bisa makan malam dengan nyaman karena masih terbayang isi kloset tersebut.
Tidak selesai sampai di situ, pernah di hari yang lain mereka beramai-ramai mendandani wajah gue dengan spidol warna warni yang gak bisa hilang walaupun gue udah mencuci muka gue berkali-kali. Gue harus bersabar menerima tertawaan dari anak-anak seisi sekolah setiap kali mereka ngelihat wajah gue yang penuh dengan tulisan, alis tebal ala Shinchan, bibir merah bergincu dan tahi lalat besar di pipi.
Belum juga hilang coretan di wajah gue, mereka kembali beraksi dengan mengurung gue di dalam gudang gelap yang sempit, pengap tanpa ventilasi udara yang baik. Mereka melakukannya seharian. What a bunch of grade schoolers! Mungkin mereka mengharapkan gue menangis atau berteriak meminta tolong. Ha! Tentu aja gue gak akan pernah melakukannya. Mereka akan semakin senang jika melihat gue seperti itu. Untung aja saat itu gue membawa smartphone dan earphone di dalam saku celana sehingga gue akhirnya menghabiskan waktu di gudang sambil mendengarkan lagu-lagu favorit gue ditemani beberapa tikus yang selalu mondar mandir di dekat kaki. Gue bahkan lupa sudah berapa lama gue disana sampai Pak Gito membuka pintu gudang karena mendengar nyanyian gue.
Tapi lama kelamaan gue mulai merasa jengkel dengan semua tingkah kekanakan mereka. Bukan karena apa yang sudah mereka lakukan ke gue, tapi karena beberapa hal yang terpaksa harus gue tinggalkan karena semuanya. Gue sudah beberapa kali bolos mata pelajaran, pulang larut malam, bahkan melewatkan jam makan siang. Untungnya guru-guru percaya kalau gue sedang sakit dan gak banyak bertanya. Gue juga gak tahu apa mereka tahu yang sebenarnya dengan apa yang terjadi pada gue selama beberapa minggu ini. Gue juga gak berniat untuk memberitahu siapa pun apalagi melaporkan hal ini ke pihak sekolah. Gue masih bisa mengatasinya. Selain itu, bullying sangat umum terjadi dalam lingkungan sekolah.
Seperti hari ini, Jody dan teman-temannya kembali membawa gue ke dalam toilet. Mungkin karena sudah kehabisan ide, mereka kembali melakukan hal yang sama seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Membuat gue meminum air di dalam wastafel. Membiarkan kepala gue berada di dalam wastafel yang penuh air sampai gue kehabisan nafas dan melakukannya berulang-ulang. Yang berbeda adalah, kali ini mereka membawa gue ke dalam toilet cewek. Sungguh gak kreatif.
Jody masih ingin menyuruh gue untuk memasukkan kembali kepala gue ke dalam wastafel ketika Vinno tiba-tiba masuk dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Gue gak begitu jelas mendengar reaksi Jody. Mulut, hidung dan telinga gue terus berdengung karena kemasukan air. Yang gue tahu, detik berikutnya Jody sudah menarik rambut gue yang sedikit gondrong dan membawa gue keluar.
"Kamu mau pake toiletnya?" Suara Jody yang biasanya kasar mendadak lembut ketika berbicara.
Gue mengangkat wajah gue sedikit untuk melihat siapa sosok yang bisa membuat Jody mendadak menghentikan aksinya. Of course. The Queen Bee, Jessica Veranda. Siapa lagi?
Bukannya menjawab pertanyaan Jody, Jessica Veranda justru memandangi gue. Dia mencermati wajah gue sejenak kemudian matanya langsung terbelalak kaget. "Ghada Farisha?"
"Kamu masih inget dia? Dia yang waktu itu di tunjuk Pak Wardian untuk presentasi di depan kamu." Sambil berbicara, Jody semakin memperkuat cengkeramannya di rambut gue. Namun detik berikutnya dia cepat-cepat melepaskannya karena ada seorang guru yang kebetulan lewat di dekat kami.
Begitu Jody melepaskan cengkramannya, gue langsung bergegas menjauh dari mereka dan berjalan kembali ke kelas. Gue sudah terlambat lebih dari 30 menit untuk kembali ke pelajaran Bahasa Inggris. Sambil berjalan, gue menoleh ke belakangan mencoba melihat apa yang terjadi dengan Jody dan The Queen Bee.
What is it? Jessica Veranda masih berdiri disana menatap gue. Di sampingnya, Jody tersenyum sambil mengatakan sesuatu yang mungkin dilakukannya untuk menarik perhatian The Queen Bee. Queen memandangi gue dengan alis berkerut. Wajahnya menunjukkan ekspresi seperti sedang terganggu. Sedangkan Vinno dan Nathan hanya berdiri di belakang Jody dengan menyeringai seperti orang bodoh.
Gue kembali menatap Jessica Veranda. Ia terlihat mengambil nafas panjang kemudian balik menatap gue lurus-lurus seolah ingin memberi pesan ke gue lewat matanya supaya cepat menyingkir dari pandangan Jody. Ia bahkan sengaja mengacuhkan Jody.
Sejak kapan Queen menjadi begitu memperhatikan gue? What was that all about?
***
"Anak itu bener-bener.. nothing!" Vinno mulai berbicara begitu Jody melepaskan cengkramannya dari Ghada Farisha.
"Apa maksud lo dengan nothing? Vin, dia itu cuma salah satu nerdy! Dan elo tau kalau gue sudah terkenal dengan predikat Nerd Hunter di sekolah ini. Semua orang takut sama gue." Jody memukul lengan Vinno dengan jengkel. "Sejauh ini kita berhasil ngerjain dia dengan sukses. Kalau aja dia bukan saingan gue untuk beasiswa itu dia gak akan berakhir seperti ini. Dia sendiri yang memulainya."
"Buka mata lo lebar-lebar Jody Agustav! Kita memang selalu ngerjain anak itu setiap hari. Tapi.. Tapi apa yang kita dapetin? Dia bahkan gak pernah memohon ampun apalagi mengeluarkan air mata penyesalan di depan kita! Jangankan air mata, mukanya bahkan tetap tenang. Seperti tanpa ekspresi! Berteriak pun enggak! Gue ngerasa kalau gue sedang main-main sama boneka! Ini sama sekali gak menyenangkan! Anak itu aneh! Kita gak dapet reaksi apapun dari dia! Siksaan kita bahkan lebih brutal dari biasanya."
Lebih brutal? Tidak ada reaksi? Apakah itu mungkin? Aku benar-benar bingung mendengar ucapan Vinno. Aku tidak pernah melihat Vinno mengeluh seperti ini setiap kali ia membahas korban-korbannya Jody.
Empat minggu yang lalu aku memang telah memberikan penilaianku mengenai siapa yang pantas menerima beasiswa fakultas kedokteran di Universitas Global Persada. Tentu saja aku menunjuk si ultimate nerd, Ghada Farisha. Aku tidak pernah mengira keputusanku ini akan membuat Ghada Farisha menjadi bulan-bulanan Jody. Aku pikir Jody tidak akan menjadi sepengecut itu dengan melampiaskan kekesalannya pada Ghada Farisha.
"Simpen aja gerutuan lo di dalam pikiran lo sendiri Vinno. Sekarang, kasih tau gue secara mendetail apa aja yang udah kalian lakuin ke cowok itu sejak hari pertama hingga hari ini. Semuanya! Jangan sampai ada yang terlewat."
Mendengar ucapanku, Jody yang tadi terlihat jengkel pada Vinno bergerak mendekatiku. Dia sepertinya tidak bisa membaca raut kejengkelan dari wajahku. "Kenapa harus Vinno? Aku bisa ceritain semuanya ke kamu secara terperinci. Hari pertama.."
Jody mulai memberitahuku apa saja yang sudah dilakukannya pada cowok berkacamata itu. Sambil mendengarkan ucapannya, mataku masih memperhatikan kepergian Ghada Farisha dengan perasaan bersalah. Bersalah? Sejak kapan seorang Jessica Veranda merasa bersalah pada seorang cowok kutu buku seperti dia?
Ghada Farisha mendadak menoleh menatapku. Wajahnya yang masih basah terlihat seperti sosok Peter Parker di mataku. Apakah dia memang sekuat itu? Setahuku tidak ada yang bisa tahan jika sudah berurusan dengan Jody.
Aku sering mendengar bahwa korban-korban Jody kebanyakan lebih memilih untuk pindah sekolah daripada harus terus menerus menerima perlakuan tidak mengenakkan darinya. Tidak mungkin Ghada Farisha yang terlihat seperti perempuan itu sanggup menerima semua tindakan kasar Jody. Seharusnya dia sudah menyerah di hari pertama!
Jody masih terus bercerita. Dia terdengar bangga menceritakan semua yang sudah dilakukannya pada Ghada Farisha. Sesekali Vinno dan Nathan menimpalinya dengan menceritakan reaksi yang diberikan oleh Ghada Farisha. Reaksi yang di luar dugaanku dan tentu saja membuat otakku semakin bingung.
"Sebenarnya apa maksud semua tindakan lo ini, Jo? Apa karena dia ngedorong lo di aula waktu itu sehingga lo ngelakuin ini ke dia?" tanyaku begitu Jody selesai memberitahuku secara terperinci. "Dia cuma nolongin gue karena saat itu lo hampir aja ngelakuin hal kurang ajar ke gue!"
"Calm Ve.." Jody berusaha menenangkanku. "Aku cuma melakukan apa yang seharusnya aku lakukan ke dia sejak dulu."
"Kalau waktu itu dia gak berbuat seperti itu dan kalau gue memilih lo sebagai penerima beasiswa gak jelas itu, apa lo akan tetap nge bully dia seperti ini?"
Jody berpikir sejenak kemudian menjawab, "enggak."
"Jadi, alasan lo nge bully dia karena GUE?" Aku mulai kehilangan kesabaranku.
"Mungkin." Jody terlihat acuh tak acuh menjawab.
Perasaanku mendadak terasa berat. Aku mulai merasa tidak tenang. Ingin sekali aku bergerak menyusul Ghada Farisha dan menyuruh Jody untuk meminta maaf padanya. Jika saja saat berada di aula itu aku tidak langsung pergi, mungkin aku masih bisa mencegah semuanya.
Maybe this is what guilt dan regret was all about. And it was the time I felt it. This was definitely the first.
***