Let's the game begin

3199 Kata
Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Aku baru saja selesai membereskan buku-buku ku ketika Jody muncul di ambang pintu kelas dan memintaku untuk segera menemuinya di ruang klub baseball sekolah. Ketiga sahabatku sempat melihatku dengan tatapan penuh tanya ketika aku akhirnya berjalan mengikuti Jody di koridor sekolah. Sudah satu minggu semenjak aku mendapati Jody dan teman-temannya mem-bully Ghada Farisha di toilet perempuan. Selama satu minggu itu juga perasaan bersalah terus menghantuiku. Hati kecilku terus berdebat, meminta Jody untuk segera menghentikan aksinya pada nerdy tersebut atau tetap membiarkannya dan pura-pura tidak tahu apa-apa. Sebagai seorang Jessica Veranda, biasanya aku akan lebih memilih opsi yang kedua, membiarkannya dan tidak ikut campur. Namun perasaan bersalah itu terus menghantuiku. Pada awalnya aku merasa bahwa aku akan baik-baik saja dan mengabaikan perasaan aneh yang baru pertama kali kurasakan selama aku hidup. Tapi rasa bersalah itu seolah tidak mau pergi dan terus mengusikku. Bukan berarti aku tidak berusaha menghilangkannya. Aku mencoba untuk menyibukkan diriku dengan berbagai kegiatan yang menyenangkan seperti shopping, hangout hingga mengadakan pesta hingga larut malam di rumah salah satu sahabatku. Kesenangan yang kunikmati hanya berlangsung sementara. Begitu aku sendirian di kamarku, aku kembali memikirkan Ghada Farisha. Mungkin ada yang tidak beres dengan otakku. Aku tidak pernah merasa bersalah kepada siapa pun. Apalagi terhadap seorang ultimate nerd yang bahkan namanya saja baru kuketahui akhir-akhir ini. Jessica Veranda tidak pernah mau tahu akan apa pun. Aku selalu menjalani kehidupan remaja ku dengan menyenangkan tanpa mengkhawatirkan orang lain. It's so nice to be pretty, rich and popular. It's so nice to be Jessica Veranda. Tanpa terasa, Jody dan aku sudah berdiri di depan pintu klub baseball. Jody merogoh kunci di dalam saku celananya kemudian membukakan pintu untukku. Dia mempersilahkan aku masuk ketika melihatku masih berdiri di ambang pintu. "Jadi, apa lo udah mikirin permintaan gue kemarin?" Aku bertanya sambil melangkahkan kaki ku masuk ke dalam ruangan berukuran 4x5 meter tersebut. Aku memang sudah menyuruh Jody untuk segera menghentikan aksinya terhadap Ghada Farisha. Aku tidak sanggup lagi berdiam diri memikirkan perasaan bersalahku yang semakin menggunung. Biar bagaimanapun, aku lah yang memicu perang antara Jody dan nerdy tersebut. Jika bukan karena aku yang memintanya, Ghada Farisha tidak akan mungkin menolongku hari itu. Well, siapa yang bisa menolak permintaan dari Jessica Veranda? No one. "Soal Farish?" Jody balik bertanya sambil menarik sebuah kursi kemudian duduk disana. "Farish?" Jody mengangguk tanpa menyadari keherananku. "Iya, Ghada Farisha. Si ultimate nerd. Siapa lagi?" "Oh ya. Farish." Aku cepat mengubah ekspresi wajahku menjadi setenang mungkin. "Jadi, lo setuju untuk berhenti nge-bully dia?" tanyaku lalu ikut duduk di kursi tak jauh darinya dengan menyilangkan kaki. Jody langsung tergelak. "Kapan aku pernah bilang kalau aku setuju dengan permintaan kamu?" "Jadi, untuk apa lo minta gue kesini kalau lo gak setuju?" Aku menyipitkan mataku memandang Jody dengan jengkel. Dia sungguh hanya membuang-buang waktuku. "Aku juga gak bilang kalau aku gak setuju." Jody tersenyum kemudian menggeser kursinya mendekatiku. Aku memalingkan wajahku ke arah jendela begitu Jody mendekat. Aku dan Jody hampir menjalin hubungan dan Jody pernah berusaha untuk menciumku saat berada di ruang serba guna beberapa waktu yang lalu. Aku yakin Jody akan mengulangi perbuatannya jika aku tidak membangun benteng pertahanan yang kokoh setiap kali berada di dekatnya. Aku sedikit menyesal mengapa begitu saja menuruti permintaannya untuk menemuinya di klub baseball. Aku bisa saja menolaknya tadi. Aku bahkan sengaja tidak ikut sahabat-sahabatku berbelanja pakaian di butik langganan kami hari ini. Aku terlalu sibuk berselancar dengan pikiranku sendiri dan membayangkan bagaimana bahagianya Claressa, Rose dan Kimmy saat ini sehingga aku tidak menyadari Jody sedang menatapku dan mengatakan sesuatu. Aku tidak mendengar apa yang baru saja dikatakannya sehingga aku memutuskan untuk bertanya lagi padanya. "Sorry, lo bilang apa barusan? Lo ngomong terlalu cepet." Aku sengaja membuat sedikit alasan sehingga ia tidak menyadari bahwa aku baru saja tidak memperhatikannya. "Aku tadi bilang kalau aku bisa aja setujuin permintaan kamu tapi dengan satu syarat." Syarat? Apa lagi sekarang? Aku harap syarat yang diajukannya bukanlah sesuatu yang mustahil. Aku sudah cukup berkorban banyak untuk Ghada Farisha. Aku tidak ingin mengorbankan banyak waktuku lagi dengan memikirkan perasaan bersalahku padanya. Aku berpikir sejenak mencoba menerka-nerka syarat apa yang akan diajukan Jody. Uang? Sudah pasti bukan itu. Aku tahu dengan jelas bahwa orangtua Jody cukup mampu memberikan apapun yang diminta oleh anaknya. Beasiswa? Rasanya tidak. Aku sudah merekomendasikan Ghada Farisha kepada kepala sekolah untuk menerima beasiswa dari Universitas Global Persada. Lalu apa? Apa yang diinginkan Jody dariku? "Apa syaratnya?" tanyaku akhirnya. "Seperti yang kamu tau. Aku gak mungkin bisa nolak permintaan kamu. Tapi aku juga gak mungkin menerimanya begitu aja tanpa ada imbalan khusus dari kamu." Aku mengangguk mendengar ucapannya. "Tapi, sebelum aku bicara lebih jauh mengenai imbalan apa yang aku minta dari kamu, boleh aku tanya satu hal?" "Apa itu?" Aku sedikit ragu dengan pertemuan yang mendadak ini. Jody bisa saja menanyakan hal yang aneh atau memintaku melakukan sesuatu yang tidak-tidak. "Aku gak ngerti kenapa kamu begitu peduli sama Farish." Jody mulai berbicara. Ia menatap lurus padaku seolah menungguku untuk mengatakan sesuatu. Tapi aku tetap diam sehingga membuat Jody kembali melanjutkan bicaranya. "Apa kamu punya perasaan khusus ke cowok-" sebelum Jody bisa menyelesaikan kalimatnya, aku langsung memotong ucapannya. Aku berdiri dari dudukku dengan marah. "Gue? Punya perasaan khusus ke nerdy? Lo kira gue udah gak punya akal sehat?!" "Calm down, Ve. Aku cuma tanya." Jody berusaha menenangkanku. Ia menarik tanganku untuk kembali duduk. "Kenapa lo tanya seperti itu?" Meskipun masih kesal, aku berusaha meredam emosiku dihadapannya. "Seperti yang aku bilang tadi. Kamu begitu peduli sama Farish. Kamu minta aku untuk gak nge-bully si ultimate nerd itu lagi. Apa namanya kalau bukan peduli? Kasihan?" Aku akui, ucapan Jody ada benarnya. Baru kali ini dalam sejarah hidupku aku melakukan hal semacam ini demi seseorang. Dan orang itu adalah Ghada Farisha. Seorang cowok berwajah seperti perempuan, tipikal kutu buku, berkaca mata, tidak keren apalagi tampan. "Lebih dari satu tahun aku kenal sama kamu, baru kali ini kamu bertingkah seperti ini. Kamu biasanya gak pernah peduli apalagi sampai minta aku untuk berhenti nge-bully seseorang." Aku mengangguk mendengarkan ucapan Jody. Apa yang dikatakan oleh Jody memang masuk di akal. Baru kali ini aku melewati batas yang sejak dulu tidak pernah aku langgar, yaitu ikut campur pada urusannya. Biasanya aku hanya melihat dan tidak akan mengatakan apa-apa setiap kali mendapati Jody dan teman-temannya bersenang-senang dengan nerdy-nerdy itu. "Jadi, ada apa sebenarnya? Apa Farish ngelakuin sesuatu ke kamu? Apa dia mengancam kamu karena tahu kalau kita pernah deket?" Wajah Jody mendadak mengeras menatapku. Aku menghembuskan nafas sejenak kemudian kembali memandang ke luar jendela. Anak-anak klub baseball sedang berlatih di lapangan ditemani oleh pelatih mereka. Lapangan ini biasanya digunakan untuk anak-anak dari klub basket dan futsal latihan. Namun karena klub basket tidak ada latihan hari ini dan klub futsal sedang ada pertandingan persahabatan, anak-anak dari klub baseball yang kini menggunakannya. "Lo gak ikut latihan bareng temen-temen lo?" Jody ikut memandang keluar jendela. "Enggak. Percuma latihan kalau gak di lapangan yang sesungguhnya." Jody memang sejak dulu mengeluh mengenai sarana dan prasarana untuk klub baseball nya. Ia seringkali mengatakan bahwa baseball yang sesungguhnya dimainkan di lapangan berpasir atau bertanah. Bukan lapangan licin yang selalu berdecit setiap kali sepatu mereka bergerak kesana kemari. "Jadi.." Jody berpaling menatapku. "Apa Farish yang minta kamu untuk nyuruh aku mengakhiri penyiksaan terhadapnya?" "Lo lupa gue siapa? Gue Jessica Veranda Tanumihardja. Siapa orang yang berani mengatur gue?" Kunaikkan alisku dan balas menatapnya dengan jengkel. "Oke.. Oke.." Jody mengangkat kedua telapak tangannya hingga sebatas d**a. "Jadi, kalau bukan ultimate nerd itu yang minta kamu ngelakuin hal ini, lantas kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba peduli sama dia?" "Lo gak perlu tau." Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada Jody. Jika ia tahu bahwa Jessica Veranda merasa bersalah atas apa yang terjadi pada seorang nerdy, ia akan membeberkan berita ini ke seluruh penghuni sekolah. Status sosialku sebagai The Queen Bee bisa hancur total hanya karena aku memiliki belas kasihan yang berlebihan pada seorang ultimate nerd. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. "Atau.. Jangan-jangan Farish adalah bahan taruhan kalian kali ini?" "Taruhan? Apa yang sebenarnya lo bicarain?" Jody manatapku dengan mata berkilat seolah baru saja menemukan sesuatu yang sangat menarik. "Gak usah pura-pura gak tau, Ve. Kamu dan temen-temen kamu itu terkenal suka bertaruh apa pun. Dari pakaian, nilai ulangan, tas bahkan jumlah penggemar. Jadi, apa kali ini Farish jadi bahan taruhan kalian? Taruhan seperti apa kali ini?" "Apa?" "Ayolah.. Jessica Veranda. Gak usah pura-pura gak tau. Apa ini ada hubungannya dengan prom night?" tebak Jody dengan penuh keyakinan. "Prom night? Ada apa dengan prom dan si nerdy?" tanyaku sambil memicingkan mata menatapnya. Aku tidak ingin mengelak namun juga tidak ingin mengiyakan. Lebih baik membiarkan Jody mengira-ngira sesukanya daripada aku harus memberitahunya alasan yang sebenarnya. Jody tertawa senang seakan baru saja mendapatkan jackpot. "Jelas aja ada. Temen-temen kamu pasti bertaruh kalau kamu gak akan bisa ngebawa Farish ke acara prom night sekolah. Cuma si ultimate nerd itu yang sama sekali kebal sama pesona dan kecantikan kamu. Cuma dia satu-satunya anak laki-laki di sekolah kita yang gak tertarik sama kamu." "Dia gak tertarik sama gue? Lo tau dari mana soal itu?" Aku berjengit kaget mendengar perkataan Jody barusan. Mana mungkin ada seseorang yang tidak tertarik padaku! Pada Jessica Veranda! Sama sekali tidak mungkin. Hanya laki-laki buta yang tidak bisa melihat betapa mengagumkannya diriku. What do you expect? In fact, I'm Jessica Veranda. The most popular girl in this school. "Semua orang tau soal itu." "GUE sama sekali gak tau soal itu." Kupandangi Jody dengan wajah gusar. "Everybody loves me, Jessica Veranda." "Itu karena kamu gak pernah memperhatikan sekeliling kamu. Awalnya aku juga sama sekali gak tau sampai Farish sendiri yang bilang seperti it-" "Dia sendiri yang bilang begitu? Kapan?" potongku cepat. "Waktu di aula. Toh sekarang kamu udah tau. Gak ada gunanya kita bahas itu. Temen-temen kamu gak akan berani bertaruh kalau mereka gak yakin akan menang. Ghada Farisha memang sama sekali gak tertarik sama kamu. Terima kenyataan. Taruhan kali ini, kamu gak mungkin menang." "Mungkin.. Mungkin dia gay!" Jody tertawa singkat. "Awalnya semua orang berpikir begitu. Tapi kenyataannya enggak. Dia normal. Seratus persen normal. Yah.. Walaupun tampangnya seperti perempuan." "Darimana lo yakin kalau dia normal? Ada buktinya? Pernah liat dia punya pacar cewek? Tertarik sama lawan jenis?" "Anak-anak yang pernah satu SMP sama dia yang bilang saat di kelas 9 dia pernah punya pacar," jawab Jody acuh tak acuh. "Si nerdy pernah punya pacar?" Mendengar informasi ini, aku langsung berdiri dari dudukku. Kukira karena ia seorang nerd, tidak ada perempuan yang tertarik padanya. "Pasti mantan pacarnya itu sama-sama aneh dan nerdy seperti dia." "Entahlah." Jody mengangkat bahu. "Jadi, apa kamu mau penuhi syarat dari aku? Aku akan lepasin Farish kalau kamu setuju dengan syarat yang aku kasih." "Apa syaratnya?" Aku berdiri sambil menatap Jody dengan angkuh. Jody menggeser kursinya menuju meja di pojok ruangan. Ia mengeluarkan sesuatu dari laci meja lalu menyerahkannya padaku. "Aku mau kamu ngebuat aku bisa ngedapetin beasiswa itu lagi. Bagaimana pun caranya. Orangtua aku sangat berharap aku bisa kuliah di fakultas kedokteran Gloper. Kalau aku gagal, maka mereka gak akan mau kuliahin aku di tempat lain. Kamu sendiri tau kan, gimana kerasnya sikap mereka." Aku pernah bertemu orangtua Jody sekali. Itu saat aku dan Jody pernah dekat. Aku tidak sengaja bertemu denggan keduanya saat aku mengunjungi rumahnya. Orangtua Jody memang terlihat seperti tipikal orangtua yang tegas dan suka memaksakan kehendak mereka pada anaknya. Aku perhatikan lembaran-lembaran kertas yang diberikan Jody padaku. Kertas-kertas itu berisi data diri pribadiku, orangtuaku hingga kakek nenekku. Mulai dari pekerjaan Pop, berbagai bisnis yang ia geluti, kegiatan kedua orangtua ku sebelum menikah hingga memiliki anak, Judith dan aku. Pekerjaan memalukan yang pernah Mom lakukan sebelum akhirnya menikah dengan Pop juga tercantum disana. Ya, Mom pernah bekerja sebagai penyanyi kafe dan pelayan di sebuah kios pakaian karena tuntutan ekonomi. Kakek dan nenek ku dari pihak Mom bukanlah dari keluarga yang berkecukupan. Mom terpaksa harus bekerja demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Semuanya lengkap tercantum disana. Where the hell did these all came from? How did he get all of these? Ku kumpulkan setiap inchi kontrol diri yang kumiliki agar tetap tenang dan fokus. Aku harus bisa menguasai diriku sendiri untuk bisa mempelajari situasi yang sedang terjadi saat ini. Satu yang aku tahu, Jody sedang berusaha untuk memerasku. "Aku gak punya pilihan selain ngebeberin ke seluruh sekolah seperti apa pekerjaan orang tua kamu dulu. Kalau kamu bisa ngebuat aku kuliah di universitas Gloper tanpa harus melalui tes, aku rasa informasi di kertas-kertas ini bisa terjaga rapat sampai aku mati. Kamu bisa bayangin kan bagaimana reaksi anak-anak satu sekolah jika tau The Queen Bee kebanggaan mereka ternyata anak dari seorang mantan penyanyi kafe dan pelayan toko baju murahan. Mereka gak akan senang denger berita ini. Aku yakin, jika berita ini sampai menyebar, posisi kamu sebagai The Queen Bee akan langsung digeser oleh anak kelas dua belas yang bernama Melody. Cewek itu sempat populer sebelum kemunculan kamu di sekolah ini." Nada bicara Jody penuh dengan penekanan. Dia pernah mengharapkan terlalu banyak dariku. Dan kini dia mencoba untuk menekan diriku dengan ancaman murahan seperti ini. "Bagaimana bisa gue bisa ngebuat lo kuliah di Gloper sementara rekomendasi beasiswanya aja udah gue serahin ke Pak Wardian sejak lama. Itu gak mungkin." Aku beritahu dia dengan penuh keyakinan. Aku mencoba untuk menyelamatkan diriku dan berusaha terlihat kuat di depannya padahal di dalam hati aku merasa luar biasa gugup. Aku tidak akan membiarkan Jody mengira bahwa ia berhasil untuk menyudutkanku. Tidak akan bahkan jika hanya untuk satu detik. Mulai hari ini, aku harus hati-hati padanya. Who knows how much this guy knew about my family, especially my Mom. "Karena itulah aku butuh kamu untuk bantu aku. Kamu bertaruh dengan temen-temen kamu untuk bisa ke prom night dengan sang ultimate nerd. Sambil coba deketin dia, kenapa kamu gak sekaligus membujuk dia untuk ngelepasin beasiswanya. Dengan begitu pihak sekolah akan nyerahin beasiswa itu ke aku. Sekali merengkuh dayung, tiga pulau bisa kamu lewatin. Kamu menang taruhan, rahasia keluarga kamu tetap aman dan kamu bisa bantu aku untuk dapatin beasiswa. Selain itu, kamu juga akan dapet dukungan dan bantuan penuh dari aku untuk bisa sukses deketin Farish." Aku mendelikkan mataku mendengar kalimatnya. Siapa dia yang dengan penuh percaya dirinya mengajariku mengenai apa yang harus kulakukan? Ayahku sendiri bahkan tidak sanggup melakukan hal itu padaku. Jody menarik nafas panjang kemudian kembali melanjutkan bicaranya, "kamu mau aku untuk gak nge-bully Farish lagi kan? Baik, aku lakukan. Aku gak akan sentuh dia lagi. Aku cuma minta satu syarat dari kamu. Apa itu begitu sulit?" "Of course, it is!" seruku hampir tak tertahan. "Gue gak mungkin bisa nyuruh dia untuk ngelepasin beasiswanya begitu aja. Bagi seorang ultimate nerd seperti dia, beasiswa itu adalah kebanggaannya. Jika gue merampasnya, itu sama aja dengan menghancurkan cita-cita dan masa depannya!" "Sejak kapan seorang Jessica Veranda menjadi begitu peduli dengan masa depan dan cita-cita seorang nerdy?" Jody menatapku tak percaya sambil menggelengkan kepalanya. "Lo juga yang bilang kalau Ghada Farisha sama sekali gak tertarik sama gue. Apapun yang gue lakukan, gak akan berdampak apapun sama keputusannya. Jadi bagaimana caranya gue bisa ngebuat dia menyerahkan beasiswanya dengan mudah?" Aku lipat kedua tanganku di depan d**a sambil menatapnya dengan sorot yang sama ketika pertama kali masuk ke ruangan ini. Jody mendengus pelan. "Ya aku memang bilang begitu. Tapi aku juga gak bilang kalau rumor itu sepenuhnya benar. Aku seratus persen gak percaya dengan apa yang diucapkannya. Gak ada buktinya. Farish bisa aja membual dengan mengatakan ke semua orang kalau dia gak tertarik sama kamu namun pada kenyataannya, jauh di dalam hatinya, dia begitu memuja kamu. Kamu Jessica Veranda! Laki-laki mana yang gak akan jatuh dengan pesona kamu. Kamu cantik, pintar, menarik. Kamu.. Sempurna." Sambil berbicara, Jody merentangkan kedua tangannya kearahku, seolah menunjukkan betapa mengesankan dan hebatnya diriku. Aku mengangkat daguku sedikit mendengar pujiannya. Aku bisa dengan mudah membuat nerdy itu mau mengakui pesonaku. Aku juga tidak mungkin bisa menolak syarat yang diajukan Jody. Tapi aku juga tidak ingin menunjukkan padanya bahwa aku begitu lemah dan mau menuruti saja permintaan bodohnya. Namun jika aku tidak mengabulkan keinginannya, Jody bisa menyebarkan berita mengenai Mom ke seluruh sekolah. Memikirkan bagaimana reaksi anak-anak sekolah mengetahui masa lalu Mom membuat urat sarafku langsung menegang. What would the others think about me? Am I the only one experiencing this kind of problem? "Farish gak akan bisa nolak keinginan kamu. Kamu hanya perlu sedikit usaha untuk ngebuat nerdy itu menyadari kalau dia memang sepenuhnya tertarik sama kamu. Jadi, apa kamu mau penuhi syarat dari aku? Jika kamu setuju, aku akan langsung lepasin nerdy itu dan sepenuhnya bantu kamu untuk bisa deketin dia." Aku menundukkan kepalaku dan mulai berpikir. Semua yang dikatakan Jody memang benar. Tidak ada seorang pun yang bisa menolak keinginanku. Apalagi hanya seorang cowok nerdy yang berwajah cantik. Aku bisa dengan mudah membuatnya bertekuk lutut dihadapanku. Tapi ada satu hal yang masih mengganjal di benakku. Bagaimana caranya aku mendekati nerdy dan berpura-pura tengah bertaruh dengan teman-temanku? Jika Jody mengetahui bahwa taruhan itu tidak pernah ada, maka citraku sebagai The Queen Bee akan semakin hancur. Teman-temanku juga pasti akan curiga. Satu-satunya cara adalah membuat taruhan itu menjadi kenyataan. But, how? Think. Think. Think. Pada awalnya aku tidak mengira keinginanku agar Jody menghentikan bullying nya pada si nerdy akan berakhir seperti ini. Berawal dari perasaan bersalahku, aku justru balik di serang tanpa bisa ku duga sebelumnya. Jody pasti sudah merencanakan hal ini dari jauh-jauh hari sebelumnya. Dia menjebakku! Dia sengaja memanfaatkan rasa bersalahku dan membuatku terpaksa harus mengikuti keinginannya. Licik sekali. Aku masih berdebat dengan pikiranku sendiri ketika Jody kembali bicara. "Aku ingin kamu memikirkan syarat yang aku ajukan ini dengan baik. Sebenarnya aku gak mau melakukan cara kotor seperti ini ke kamu. Kamu tau kan kalau aku terpaksa? Aku gak punya pilihan. Aku berharap penilaian kamu ke aku setelah ini gak akan berubah. Aku masih berharap kita bisa seperti dulu. Aku juga tau kamu pasti bisa dengan mudah melakukannya. Ini sama sekali gak sulit." Aku mencoba memberikan Jody senyum hangat dan berkata, "you're right. Gue pasti bisa membuat Ghada Farisha menyerahkan beasiswanya dan memberikannya kepada seorang pecundang yang hanya berani memaksa seorang cewek untuk mendapatkannya. Bukannya berusaha untuk belajar dan memperbaiki nilai-nilainya, pecundang itu justru melampiaskan emosinya dengan mem-bully saingannya sendiri. Wow. Sebagai seorang atlet baseball, dia benar-benar sangat sportif dalam bertindak." Ku akhiri kalimatku dengan menyunggingkan seringai lebar. "Ucapan kamu benar-benar sangat mengesankan, Jessica Veranda," geram Jody dengan wajah berang. Tanpa mempedulikan reaksinya, ku putar tubuhku dan berjalan menuju pintu keluar. You want something smart, Jody Agustav? I'll give you something better, a genius. Don't worry. Just wait and see so that you can finally know how dangerous The Queen Bee is. Menundukkan seorang Ghada Farisha tidak akan sulit selama kalian se-charming diriku. Membalas dendam kepada Jody Agustav tidak mustahil selama kalian se-gorgeous diriku. Ketika aku keluar dari ruang klub, aku menyadari latihan klub baseball sudah berakhir dan langit mulai menyemburatkan warna jingga. Tidak ada lagi siswa yang berlalu lalang di koridor. Kuperiksa smartphone ku dan mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari Claressa, Rose dan Kimmy. Aku juga mendapat tujuh pesan singkat dari Judith yang menanyakan keberadaanku dan memintaku untuk tidak pulang larut malam. Well, setidaknya sekarang aku tahu apa yang akan aku lakukan pada Ghada Farisha dan Jody Agustav. It's time to end these stupid things. Let's the game begin. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN