Nerdy Boy

3480 Kata
Aku tidak percaya hal ini terjadi padaku! Bagaimana mungkin seorang Jessica Veranda, The Queen Bee of Global Persada High School harus mendapat ancaman murahan seperti ini! Aku seharusnya sadar sejak awal jika Jody memang tidak berniat untuk bekerja sama denganku. Dia laki-laki yang sangat licik. Aku jadi menyesal karena dulu pernah tertarik padanya. Rupanya Tuhan masih berbaik hati padaku dengan menjauhkanku darinya. Hampir saja laki-laki seperti itu menjadi pacar pertamaku. Aku rasa aku harus segera menyelesaikan masalah ini dengan segera. Lebih cepat aku bertemu dan berbicara dengan The Nerdy Boy aka The Ultimate Nerd, maka akan lebih cepat pula masalah ini terselesaikan. Hanya dialah satu-satunya kunci bagiku untuk menyelesaikan semua kekacauan ini. Begitu bel istirahat siang ini berbunyi, aku langsung keluar dari kelas tanpa mempedulikan ajakan ketiga sahabatku untuk makan siang di kantin. Makan siang masih bisa menunggu, tapi masalahku tidak bisa dibiarkan berlama-lama. Aku tidak suka jika ada cela sedikit saja dalam kehidupan sempurnaku sebagai The Queen Bee. This is it. Kelas XII IPA 1. Dan dimana si ultimate nerd, Ghada Farisha itu berada? Aku sudah sengaja mengejar waktu agar bisa mencegatnya di depan pintu sebelum nerdy itu keluar dari kelasnya untuk makan siang. Cowok itu seharusnya merasa tersanjung karena aku bisa mengingat namanya. Biasanya aku tidak pernah peduli apalagi mengingat nama anak-anak di sekolah yang tidak populer apalagi sangat biasa-biasa saja seperti dirinya. Aku hampir saja melupakan satu hal penting disini. Setelah bertemu Ghada Farisha, apa yang harus kukatakan padanya? Haruskah aku langsung saja memintanya untuk melepaskan beasiswa itu? Sudah pasti dia akan menolak! Apakah aku harus merayunya? Ugh, that's not really me! Nah, Jessica Veranda tidak pernah mencabut kata-katanya sendiri. Aku sudah memilih Ghada Farisha sebagai penerima beasiswa sumber masalah itu. Aku tidak mungkin memintanya untuk melepaskannya kembali. Sepertinya aku harus berbohong bahwa telah terjadi kesalahan dalam penyerahan berkas hasil seleksi beasiswa tersebut, mengatakan padanya bahwa seharusnya Jody lah yang menerimanya dan memintanya dengan baik-baik agar mau memberikan beasiswa itu kepada Jody. Jika tidak berhasil, aku terpaksa menggunakan cara yang dianjurkan Jody. Membuatnya tertarik padaku sehingga ia rela melakukan apapun yang aku minta termasuk melepaskan beasiswa sialan itu. Bicara soal Jody, apa yang harus kulakukan untuk melawannya? Sebuah ide tiba-tiba melintas di kepalaku. Kenapa aku tidak mengajak Ghada Farisha untuk bekerja sama? Bukankah dia juga membenci Jody? Jody selalu mem-bully nya. Cowok nerdy itu pasti tidak bisa menolak jika ku ajak bekerja sama. I'm so smart. I know, right? Ketika aku baru saja hendak masuk ke dalam kelas XII IPA 1, seorang cewek dengan bentuk tubuh yang menurutku cukup bagus, keluar dari dalam kelas kemudian menatapku dengan ekspresi yang kaget sekaligus tidak senang melihat keberadaanku di depan kelasnya. Tapi aku sudah tidak begitu peduli. Aku punya misi yang lebih penting daripada sekedar membalasnya dengan ekspresi dan tatapan yang sama. Kubasahi tenggorokanku dengan menelan ludah kemudian menanyakan sebuah pertanyaan padanya. "Sorry. Lo tau dimana si nerdy?" "Si nerdy?" tanyanya dengan mengerutkan kening. "Yap. Apa harus gue ulang?" "Gak ada anak yang namanya nerdy disini," jawabnya dengan ketus. Aku bisa merasakan sedikit kejengkelan dari suaranya. "Oh really? How about Ghada Farisha? He is a student of this class, right?" "Yang lo maksud Farish? Namanya bukan nerdy." Dia membenarkan ucapanku masih dengan kejengkelan yang sama. "Ya. Whatever you call him. Dimana dia? Apa dia udah keluar untuk makan siang?" Aku bertanya dengan tidak sabar. Cewek ini pikir dia bisa berlagak di depanku hanya karena dia seorang senior. "Farish masih di dalem." Cewek itu mengarahkan ujung dagunya ke dalam kelas. "Tuh yang duduk pas di depan meja guru." Setelah memberitahuku demikian, cewek itu langsung berlalu dari hadapanku. Mungkin menuju kantin. Setelah menarik nafas lalu menghembuskannya kembali, aku berjalan menghampiri si ultimate nerd yang tengah duduk dengan sebagian wajah hampir tertutup buku yang dibacanya. Nerdy itu tidak menyadari kehadiranku. Teman-teman sekelasnya bahkan mendadak terdiam begitu melihat kedatanganku. Tapi nerdy ini justru masih konsentrasi dengan buku yang dibacanya. Aku berdeham untuk menarik perhatiannya. Nerdy itu menurunkan buku yang dibacanya lalu menatapku yang sudah berdiri tepat di seberang mejanya. Wajahnya terlihat terkejut sekaligus bingung. Namun detik berikutnya dia kembali mengangkat buku ditangannya dan mengacuhkan diriku. What was that? How could this nerd ignored me like that? I'm Jessica Veranda! The Queen Bee! "Ehheemm!" Aku berdeham sekali lagi. Cowok nerdy itu kembali menurunkan bukunya. Aku sempat membaca sekilas judul buku tersebut, Sparkling Cyanide by Agatha Christie. Penggemar cerita misteri rupanya. "Lo ada perlu sama gue?" tanyanya dingin. "Lo suka baca buku-buku thriller? Gue pernah baca yang ini. Pembunuh sebenarnya itu ternyata si asisten rumah tangganya sendiri. Lo juga pasti gak akan mengira kan?" Nada bicaraku penuh dengan rasa antusias. Bukan berarti aku sangat tertarik dengan topik semacam ini. Aku hanya mencoba menemukan sesuatu yang bisa membuat cowok nerdy ini mau mendengar dan menanggapiku. "Sebenarnya gue akan lebih appreciated kalau lo gak ngebongkar gimana endingnya." Cowok itu lantas melempar bukunya secara asal-asalan ke atas meja. Wajahnya yang semula penuh minat pada bacaannya mendadak berubah lesu dan malas. "Oh, sorry." Aku mengangkat bahu tak peduli. Wrong move Jessica Veranda. "Bukannya akan lebih baik kalau lo tau endingnya? Jadi selama lo baca, lo gak akan bertanya-tanya penasaran siapa pembunuh sebenarnya." "Ya." Dia menjawab singkat. Aku menatapnya lebih dekat dan bertanya-tanya sendiri. Bagaimana mungkin wajah bulat dengan bibir kemerahan ini berjenis kelamin laki-laki. Dia terlalu cute untuk menjadi seorang laki-laki! "Apa lo bener-bener cowok?" Aku bertanya penasaran. "Apa lo operasi kelamin? Ganti gender? Lo bakal populer kalau lo jadi cewek." "Apa?" ulangnya terdengar tidak suka. "Sebenernya.." Dia mulai bicara. "Gue tau kalau lo cowok. Gue cuma bercanda!" Aku tidak membiarkannya melanjutkan bicara. Aku tahu apa yang akan diucapkannya. Tentu saja dia laki-laki. "Lo seharusnya baca seri yang lainnya. Coba baca serinya Hercule Poirot. Itu ditulis oleh pengarang yang sama. Agatha Christie. Serinya yang Miss Marple juga gak kalah bagus." "Sebentar..," tahannya cepat sambil mengangkat salah satu telapak tangannya sedikit ke atas. "Actually, I'm really a boy. Gue gak pernah operasi kelamin apalagi ganti gender! Dan kedua, gue bukan penggemar buku misteri. Gue hanya baca ini demi tugas resume novel Bahasa Indonesia gue yang tadi pagi dengan sengaja di buang ke dalam kloset oleh pacar lo dan temen-temennya! Lo gak tau betapa susahnya gue nyelesaiin resume itu! Ketiga, for your information, setiap orang punya caranya masing-masing untuk menikmati bacaan, Jessica Veranda. Dan gue bukanlah salah satu dari pembaca yang suka menutup rasa penasaran gue dengan tau endingnya lebih dulu! And last, thanks for your recommendation!" serunya tanpa jeda. Kutatap cowok nerdy di depanku ini dengan kaget. Apa dia baru saja berteriak padaku? This pathethic, ultimate nerd, beauty-weirdo face, four eyed, old fashioned geek shouted at Jessica Veranda! How dare him!! He actually did! Tidak ada seorang pun yang berani berbicara seperti itu kepadaku. Benar-benar tidak ada satu pun yang pernah melakukannya padaku! No one! Setial kali aku berbicara dengan orang disekelilingku, mereka selalu menanggapi semua ucapanku dengan manis dan lembut. Bisa-bisanya cowok nerd ini memandang rendah diriku melalu ucapannya! Unbelievable!! Baik. Jessica Veranda tahan emosi dirimu. Jika kamu merusaknya, maka kesempatan kamu untuk menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai harus berakhir berantakan. Tarik nafas, buang perlahan. Tarik nafas, buang perlahan. Calm your nerve. "Pertama-tama, seperti yang gue bilang tadi. Gue cuma bercanda. Gue gak menganggap serius pertanyaan gue mengenai operasi kelamin dan ganti gender tadi. Apa lo gak punya selera humor? Itu cuma olokan supaya kita bisa ngobrol lebih nyaman. Lo terlalu sensitif." "Begitukah? Tapi becandaan lo itu menghina gue. Lo bertanya di depan seisi kelas!" jawabnya masih dengan intonasi yang sama seperti tadi. "Apa yang salah dengan itu? Mereka juga pasti tau kalau gue cuma bercanda." Aku rentangkan lenganku ke arah teman-teman sekelasnya yang masih berada di dalam kelas dan dengan diam-diam berusaha menguping pembicaraan kami. "Apa yang salah?" katanya mengulang pertanyaanku. "Kalau lo memang berniat bercanda, lo gak akan melakukannya seperti itu. Lo mengejek gue dengan bilang kalau gue akan lebih populer kalau jadi cewek. Gue gak pernah berniat untuk jadi populer seperti lo, Veranda." "Denger, gue cuma bilang kalau lo terlahir sebagai cewek, lo bakal jadi cewek yang populer. Lo punya wajah yang cantik. Gue gak mengejek lo. Gue justru memuji. See? Kedua, Jody bukan pacar gue. Apapun yang dia lakukan ke elo selama beberapa minggu ini di luar sepengetahuan gue. Gue baru tau beberapa hari yang lalu. Kemarin gue udah minta Jody untuk segera berhenti nge-bully lo. Dan perlu lo inget, semua yang lo alami itu bukan kemauan gue. Bukan gue yang melakukannya meskipun gue sadar kalau gue lah salah satu penyebab kenapa Jody ngelakuin bullying ke elo. Tapi, alasan besar Jody ngelakuin itu karena elo yang akhirnya nerima beasiswa kedokteran itu. Ketiga, gue gak dengan sengaja ngebocorin ending dari buku yang lo baca. Gue cuma excited karena gue pikir lo punya selera bacaan yang sama dengan gue dan gue mau share sesuatu yang gue suka dengan orang yang punya hobi yang sama. Apa itu salah?" Kuangkat salah satu alisku sambil menunggu reaksinya atas pembelaanku. Ia menatapku untuk beberapa detik. "Terserah. Gue mau ke perpus." Cowok nerdy itu akhirnya bangkit dari kursi lalu mulai berjalan menuju pintu kelas. What?! Terserah bahkan bukan kata yang terdapat di dalam kamusku. Cowok nerdy ini benar-benar mulai menjengkelkanku. "Tunggu!" Bukannya berhenti, Ghada Farisha justru terus berjalan tanpa mempedulikan panggilanku. Akhirnya aku berlari kecil menuju ke arahnya dan menghadang jalannya. "Gue bilang, tunggu!" "Apa?" tanyanya dengan wajah malas. "Lo nanya 'apa'? Lo harusnya minta maaf sama gue." "Minta maaf untuk apa?" Aku hampir saja kehilangan kesabaranku. Mungkin dalam beberapa menit lagi emosiku akan muncul tanpa bisa kutahan. Aku sudah berusaha bersikap semanis mungkin pada cowok nerdy ini tapi dia terus membuatku semakin jengkel. "Minta maaf untuk semua yang lo tuduhin ke gue. Lo menyalahkan semuanya ke gue padahal gue gak ngelakuin apa-apa ke lo." Cowok nerdy itu mengerang keberatan kemudian menatap mataku lurus-lurus. "Kalau saat di aula itu lo gak minta bantuan gue untuk nolongin lo dari Jody, semuanya gak akan menjadi seperti sekarang ini. Gue masih bisa ngikutin pelajaran dengan tenang, makan di kantin dengan nyaman tanpa di usik oleh Jody dan temen-temennya. Gue gak masalah jika harus kehilangan beasiswa itu. Lebih baik lo kasih beasiswa itu dari awal ke dia. Itu kan yang mau dia minta sama lo saat di aula? Jadi, bukannya elo yang seharusnya minta maaf ke gue?" "Gak ada yang perlu gue mintain maaf. Gue sama sekali gak ngelakuin sesuatu yang salah! Gue punya hak untuk kasih beasiswa itu ke orang yang menurut gue tepat. Dan gue sudah memilih dengan adil disini." Aku tetap bersikeras sekaligus menerangkan padanya. Dia harus tahu siapa yang berkuasa disini. Persetan dengan rencana awal. Mulutku sudah terlanjur mengatakan bahwa aku yang telah memilihnya sebagai penerima beasiswa. "Baik. Kalau lo gak mau minta maaf, gue juga gak akan minta maaf. Masalah selesai. Goodbye, Veranda." Selesai berkata demikian ia menepis bahuku untuk membuka jalan baginya. Ghada Farisha benar-benar membuatku kesal. Dari mana dia punya keberanian untuk melawanku, Jessica Veranda Tanumihardja! Dari mana dia mendapat keberanian itu? Apa dia tidak tahu apa yang mampu aku lakukan? I'm The Queen Bee! Cowok nerdy itu kembali pergi, lagi. Tidak pernah ada satu laki-laki pun yang pernah pergi dariku. Biasanya aku lah yang selalu pergi meninggalkan mereka. *** "Baik. Kalau lo gak mau minta maaf, gue juga gak akan minta maaf. Masalah selesai. Goodbye, Veranda." Setelah berkata demikian ke Jessica Veranda, gue tepis bahunya dan pergi. Gue sadar semua hal yang gue ucapkan ke dia sedikit berlebihan dan kasar. Gue berteriak kepadanya. Gue meneriaki seorang cewek. Gue meneriakinya di depan teman-teman sekelas. Wajar kalau dia gak terima diperlakukan seperti itu. Meskipun gue membencinya, tapi gue harus mengakui kalau apa yang diucapkannya ada benarnya. Alasan gue gak berniat untuk meminta maaf mungkin dikarenakan gue gak mau harga diri gue di injak-injak oleh seorang cewek seperti dia. Alasan gue juga gak sepenuhnya salah. Gue gak akan meminta maaf lebih dulu. Jika gue melakukannya, dia akan berpikir kalau dia berhasil menguasai gue. Cukup sudah dia merasa berkuasa atas seisi sekolah. Gue gak mau menambah kepercayaan dirinya dengan membuatnya berpikir kalau gue bisa tunduk dan takluk di bawah kakinya. Gue mau buat dia sadar kalau dia gak bisa mengontrol semua orang. Setelah gue berjalan beberapa langkah, gue langsung merasakan tangannya menggenggam tangan gue. The Queen Bee Jessica Veranda sedang menggenggam tangan gue. Apa lagi yang diinginkannya kali ini? "Ok, fine. Gue minta maaf. Gue minta maaf karena udah ngebuat lo jadi bulan-bulanan Jody dan gank-nya. Gue minta maaf karena kesoktahuan gue ngebuat lo jadi gak semangat untuk lanjutin buku yang lagi lo baca. Gue minta maaf karena pertanyaan gue menyinggung perasaan lo. I'm sorry." Gue berdiri diam gak bergerak mendengar ucapannya. Gue terkesan. Benar-benar terkesan. Apa gue gak salah dengar? The Queen Bee! Jessica Veranda Tanumihardja! Miss Badai meminta maaf? Apa dia sedang kerasukan sesuatu? Rasanya mustahil melihatnya seperti ini. Gue berbalik memandanginya. Sekedar memeriksa apakah yang baru saja berbicara adalah Jessica Veranda sendiri. And it's definitely, without a doubt, in fact, Jessica Veranda. Dia mengerucutkan bibirnya dan melihat ke arah lain untuk menghindari tatapan gue. God, she's cute. Gue mencoba sebisa mungkin untuk gak tertawa. Dia terlihat sangat lucu. Gue gak bisa menahan bibir gue untuk tersenyum. "Gue juga minta maaf. Gue minta maaf karena udah nyalahin lo. Udah menuduh lo melakukan sesuatu yang gak lo lakukan. Gue minta maaf udah langsung narik kesimpulan begitu aja tanpa denger penjelasan dari lo. Gue gak seharusnya seperti itu." Setelah gue selesai meminta maaf, Jessica Veranda menatap gue dan melempar senyum. Senyum tulus. Wow. Dia kelihatan sangat berbeda jika tersenyum seperti itu. She looks like a goddes. Gue memang gak seharusnya men-judge The Queen Bee tanpa mencoba mengenalnya lebih dulu. She's actually nice. Farish, you're starting to sound like an i***t. "Jadi, kita gak ada masalah lagi kan sekarang?" tanyanya. Gue mengangguk. "Ya. Kita baik-baik aja." "Jadi, karena kita udah peace, boleh gue minta tolong sesuatu dari lo?" Matanya menatap penuh harap ke gue. "Apa itu?" Veranda menatap sekeliling sebelum mendekatkan dirinya ke gue. Seolah gak ingin ada seorang pun yang mendengar apa yang akan dikatakannya nanti. Setelah memastikan gak ada seorang pun yang sedang mencuri dengar, dia berkata, "uhm.. Pembicaraan ini cuma di antara kita berdua aja. Jangan sampai ada orang lain yang tau. Ok?" Gue mengangguk. "Ehm.. How should I say this.." Veranda mulai bicara. Dia menggigit bibir bawahnya kemudian melanjutkan, "you see.." Situasi macam apa ini? Gue merasa pernah berada di situasi seperti ini sebelumnya. Saat mantan pacar gue yang bernama Melody menyatakan rasa cintanya ke gue. Ekspresinya persis sama seperti Veranda saat ini. Gak mungkin Jessica Veranda mau.. "Lo tau kan mengenai Jody? Jadi, sepulang sekolah kemarin gue ketemu sama Jody dan dia ngebahas sesuatu mengenai beasiswa sumber masalah itu. Dia minta gue supaya beasiswa itu bisa dia dapetin gimana pun caranya. Dia maksa gue. Lo tau kan kalau Jody udah mau sesuatu, dia harus bisa dapet yang dia inginkan itu. Dia gak segan-segan ngelakuin semua cara untuk bisa dapetin apa pun yang dia mau. Dia.." Veranda berbicara dengan sangat cepat. Tapi gue sudah bisa menangkap ke arah mana pembicaraan ini bermuara. Gue kira dia mau menyatakan cinta ke gue. Farish, you're thinking too much. She is pretty but she doesn't like you. "Jadi, lo mau gue nyerahin beasiswa itu ke Jody?" Veranda menatap gue seolah gue baru saja bertelurkan emas. "No way! Silly. Gue gak akan rela kalau Jody bisa dapetin apa yang dia mau dengan mudah. Gue cuma mau ngajak lo untuk kerja sama membuat Jody jera. Dengan begitu Jody gak akan ganggu gue dan ganggu lo lagi. Kita buat dia dikeluarin dari sekolah ini." Kali ini gantian gue yang menatapnya dengan tercengang. Gue kira dia lebih membela dan berpihak ke Jody daripada gue."Elo.. Mau kita berdua.. Kerja sama?" Jari gue bergerak menunjuk Veranda kemudian menunjuk diri gue sendiri bergantian. "Gue punya rencana untuk buat Jody gak betah di sekolah ini dan beasiswa lo tetap aman. Kita cari bukti kalau Jody nge-bully lo." "Bukti? How do you do that? You want me.. To do what? Kenapa harus gue? Kenapa lo justru lebih memihak ke gue? Lo bisa aja turutin kemauan Jody dan masalah selesai. Kenapa harus berbelit-belit seperti ini?" "Lo lupa siapa gue?" Jessica Veranda memutar matanya ketika menjawab pertanyaan gue. "Gue Queen Bee sekolah ini. I'm Jessica Veranda. Gue bisa ngelakuin apa pun yang gue mau. Dan gue bukan tipe cewek yang suka tunduk sama perintah siapa pun. Apalagi Jody. Kita punya musuh yang sama. Selain nge-bully lo, Jody juga nge-blackmail gue. Dan selama ini, gue dan elo gak pernah punya masalah. Kita baik-baik aja. Seperti yang lo bilang tadi. Hubungan kita kedepannya mengenai kerja sama ini seperti simbiosis mutualisme. Sama-sama saling menguntungkan. Yah, seperti hubungan bisnis. Gue untung. Lo juga untung." Un-freakin-believeable! "Jadi, karena itu lo tadi minta maaf sama gue? Karena mau ngajak gue kerja sama untuk ngusir Jody dari sekolah ini? Apa lo udah gak waras?" Gue bertanya dengan sangsi. "Cuma itu satu-satunya cara yang terpikir di otak gue! Lo juga pasti akan ngelakuin hal yang sama kalau lo berada di posisi gue. Gue di blackmail!" elaknya. Gue berdecak jengkel. What's with this girl? Mengusir Jody dari sekolah? Ha! Meskipun gue gak pernah menyukai Jody, bukan berarti gue berniat jahat untuk membalas perlakuannya ke gue. Gue bukan pendendam. "Kalau gue yang ada di posisi elo, gue justru akan ngelapor ke pihak sekolah atau menuruti apa yang diminta Jody! Permintaannya sederhana. Dia cuma mau beasiswa itu. Dan gue sudah bilang kalau gue rela ngelepas beasiswa itu untuk diserahin ke dia! Jadi lo gak perlu ngehabisin waktu lo di sekolah dengan bermain-main dengan ide konyol lo itu." "Easy for you to say nerdy boy! Lo gak punya kehidupan sosial yang harus lo pertahankan. Hidup lo hanya lo isi untuk belajar! Lo gak akan pernah mengerti! Lo bahkan gak pernah merasa menjadi populer seperti gue! Gue ngejaga reputasi gue susah payah dan gue gak mau Jody Agustav merusaknya begitu aja hanya dengan sekejap mata!" What did she say? Gue memang gak pernah tahu seperti apa rasanya menjadi populer. Tapi jika menjadi populer membuat gue harus membuang rasa kemanusiaan gue, gue lebih memilih untuk menjadi nerd selamanya. "So, Ghada Farisha. Apa yang lo minta sebagai imbalan agar lo mau kerja sama dengan gue untuk ngehancurin Jody? Uang? Ketenaran? Pekerjaan sampingan?" "Nothing, Jessica Veranda." Gue menggeleng berkali-kali. "Nothing." Gue sebaiknya mengganti julukannya dari Queen Bee menjadi Drama Queen. Jessica Veranda Tanumihardja benar-benar berbakat penjadi seorang aktris. Tentu saja! Dia pernah bermain dalam beberapa ftv. Harusnya gue tahu dari awal bahwa dia tidak benar-benar tulus meminta maaf. "Lo mau nge-date sama gue? Atau jadi pasangan lo saat prom? Gue bisa penuhin semuanya asal lo mau bekerja sama dengan gue." "No. Gue gak tertarik untuk nge-date apalagi ngajak lo ke prom bareng. Nyatanya, gue sama sekali gak tertarik sama lo, Jessica Veranda. Gue gak tertarik dengan cewek seperti lo." Veranda mengeluarkan tawa mengejek. "Impossible. Semua cowok memohon untuk bisa menjadikan gue pacar mereka. Dan barusan lo bilang kalau lo gak mau ke prom sama gue? Gak tertarik sama gue? Foolish! Apa lo gak tau ada berapa banyak cowok yang ngantri untuk bisa ngajak gue ke prom? Atau mungkin.. Lo gay!" Seriously, this girl has some serious issue. Seperti terjangkit penyakit dengan harapan hidup yang kecil. Penyakit kanker narsis. Gue tertawa mendengar ucapannya. Jessica Veranda terlalu buta akan dunianya sehingga ia lupa bahwa masih ada orang-orang normal yang tidak begitu peduli akan kehidupannya. Matanya terlalu dipenuhi oleh gemerlapnya silau pujian dari para laki-laki bodoh yang hanya menilai dirinya dari penampilan. Sayangnya, gue bukanlah salah satu dari laki-laki bodoh seperti itu yang bisa lo kurung dalam kandang lo yang dingin, Jessica Veranda. "Gue bukan gay, Veranda. Ga tertarik sama lo bukan berarti gue penyuka sejenis. Gue gak suka sama cewek yang gak punya respect sama dirinya sendiri. Oh ya, gue akui lo punya harga diri yang sangat tinggi. Tapi nawarin seseorang untuk bisa ke prom sama lo sebagai imbalan untuk kerja sama ngejatuhin orang lain.." gue berdecak sambil menggelengkan kepala. "Lo berharap gue tertarik sama cewek seperti itu? Think again Veranda! Ada banyak hal di dunia ini yang gak bisa lo dapetin dengan mudah!" Setelah gue berkata demikian, wajah Veranda langsung berubah pucat. "Lo nolak tawaran gue? That's fine. Tapi lo gak punya hak untuk menggurui gue Ghada Farisha! Lo gak tau apa pun mengenai gue!" Dia maju selangkah untuk semakin mendekati gue. "Lo gak suka sama gue juga gak masalah. Gue sudah mencoba untuk bersikap manis sama lo. Gue gak mengira lo justru bersikap seperti ini ke gue, nerdy boy! Menarik. Benar-benar menarik." Veranda maju mendekat kemudian menjulurkan tangannya menepuk bahu gue. What is she doing? Dia mendadak berubah jadi agresif. Wajahnya yang tadi pucat kembali bersinar. Dia kembali melemparkan senyum simpul ke gue. Kali ini senyumnya lebih hangat dari biasanya. Namun yang terlihat di mata gue justru senyum iblis. Melihat senyumnya, pikiran buruk langsung melintas di otak gue. Apa lagi yang sedang direncanakannya kali ini? I should prepare myself from her unexpected plan. God. What's wrong with this girl? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN