Love would never be a promise of a rose garden unless it is showered with light of faith.
Gue baca sekali lagi sebaris kalimat yang tercetak di lembaran kertas file milik Firash yang ketinggalan di dalam tas sekolah gue. Layaknya kertas file ala-ala anak SD yang penuh dengan gambar kartun berwarna-warni, kertas di hadapan gue juga gak kalah ramai dengan warna-warna mencolok bergambar seorang perempuan muda berambut kuning yang sedang duduk di kursi mengenakan dress panjang berwarna merah muda.
Kertas yang tadi pagi masih terlihat baru itu sudah penuh dengan coretan tangan dan bercak noda di sana-sini. Gue berniat untuk mengembalikannya ke Firash sepulang sekolah. Tapi sialnya, Jody dan gank-nya sudah lebih dulu menemukan kertas tersebut dan membuat lelucon dengannya. Jody dan teman-temannya mengira kertas konyol itu milik gue dan menunjukkannya ke seisi sekolah kalau gue punya hobi mengoleksi kertas berwarna-warni seperti itu layaknya anak perempuan kecil yang baru menginjak bangku sekolah dasar.
Gue sapu kedua telapak tangan gue ke atas kertas tersebut, mencoba untuk merapihkannya kembali. Mencoba untuk menghilangkan bekas lipatan yang membuat kertas tersebut tampak kumal dan tidak terurus.
"Damn it!" Gue memaki seorang diri.
Bagaimanapun gue coba, kertas milik Firash ini gak akan bisa kembali seperti baru. Apa yang harus gue katakan pada adik gue satu-satunya itu nanti? Meskipun hampir berusia 16 tahun, Firash memang masih suka mengoleksi kertas-kertas bergambar unik seperti ini. Dia gak akan senang melihat salah satu koleksinya harus berubah mengenaskan di tangan gue.
Akhirnya gue selipkan kertas file tersebut ke dalam lembaran buku tulis milik gue lalu memasukkannya ke dalam tas. Setelah menutup retsleting tas punggung berwarna hitam yang sudah lebih dari dua tahun gue pakai dan menyampirkannya ke balik punggung, gue berdiri dari kursi dan mendongak ke arah pintu.
Gue sedikit kaget begitu menyadari bahwa gue gak sendirian di kelas sejak tadi. Jordan sudah berdiri di ambang pintu sambil menyandarkan bahunya. Matanya mengawasi gue dengan pandangan khawatir.
"Lo yakin mau kasih itu ke adek lo?" Jordan menggelengkan kepalanya gak percaya. Dia lalu melemparkan sesuatu ke arah gue yang segera gue tangkap dengan sedikit kesulitan.
"Kenapa lo masih disini? Bel pulang sekolah udah bunyi dari tadi, man. Gue udah peringatin lo untuk gak deket-deket sama gue. Jody dan gank-nya gak akan diam aja kalau tau lo deket sama gue."
"Aw meeen.. Mereka gak akan berani ganggu gue. Gue ketua osis. Gue bisa laporin mereka ke kepsek kalau lo mau. Kepsek pasti akan percaya sama gue dan mereka gak akan ganggu lo lagi, meeen."
Gue menggeleng sambil memperhatikan benda yang tadi dilempar Jordan. Selembar kertas file baru dengan corak yang sama persis seperti milik Firash yang di rusak oleh Jody.
"Dari mana lo dapet ini? Lo gak perlu susah payah bantu gue."
"Gue sahabat lo meeen. Setelah semua yang udah lo lalui, lo masih berharap gue cuma nonton dan diem aja ngeliat lo diperlakukan semena-mena sama mereka? What kind of best friend does that?" Jordan memukul pelan bahu gue dengan tinjunya.
"Gue juga udah peringatin lo untuk gak ngelaporin hal ini ke Pak Wardian. Gue masih bisa handle ulah mereka. Easy man." Gue balas memukul bahunya sambil melemparkan senyum tipis.
"Gue masih gak percaya Jody nge bully lo hanya karena Veranda lebih memilih lo untuk nerima beasiswa itu daripada dia. Terlalu klise. Lo yakin cuma itu alasannya? Lo gak pernah ngelakuin sesuatu yang buat dia marah kan?" Jordan memicingkan matanya sambil menatap gue.
Gue memang sengaja gak memberitahu Jordan mengenai keterlibatan Jessica Veranda, The Queen Bee. Jordan tergila-gila sama cewek itu dan gue yakin dia akan membela Queen mati-matian jika gue beritahu Queen lah penyebab semua kekacauan yang terjadi di hidup gue akhir-akhir ini. Gue bahkan gak memberitahu Jordan kalau kemarin siang gadis pujaannya itu dengan sengaja mampir ke kelas untuk menemui gue.
"Gue denger kabar kalau Miss Badai sengaja minta Jody untuk berhenti nge bully lo. See, Jessica Veranda is a kind of goddess meeeen. Dia bahkan membela orang biasa seperti kita."
Gue baru saja memasukkan kertas file darinya ke dalam tas begitu mendengar Jordan memuji cewek itu. Gue hanya bisa tertawa sinis menanggapinya. Andai saja Jordan tahu seperti apa sebenarnya sosok The Queen Bee kebanggaannya, dia pasti sudah menyesal memuji Veranda secara berlebihan.
"Kabarnya sudah beredar di kalangan sekolah. Banyak yang bilang kalau Jessica Veranda tertarik sama lo meeen. Itu sebabnya dia minta Jody untuk berhenti ganggu lo. Kebaikan The Queen Bee bahkan sudah sampai di telinga anak-anak kelas sepuluh. Jessica Veranda benar-benar berhati malaikat." Jordan kembali berbicara setelah melihat gak ada reaksi yang berarti dari gue. "Gue sebagai penggemar Veranda gak akan ragu untuk mendukung kalian berdua jadi pasangan meeen."
"Jordan my buddy, listen.." Gue berbalik menatapnya sebelum berjalan keluar dari kelas. "Coba lo pikir. Apakah itu mungkin? Seorang Queen Bee, Miss Popular, Badai, It Girl, Princess of School tertarik sama seorang ultimate nerd seperti gue?"
Jordan mengangkat bahu kemudian menjawab, "it just happens in every fairytales and romance novels. Tapi.."
"See?" Gue cepat memotong ucapannya. "Kemungkinannya cuma satu berbanding sejuta!"
"Farish ma meeeen.." Jordan merangkul pundak gue kemudian ikut berjalan mengiringi gue di koridor sekolah. "Meskipun kemungkinannya cuma satu berbanding sejuta, setidaknya kesempatan itu masih ada."
Gue mendesah menyerah. "Siapa yang nyebarin berita bohong seperti itu? Gue yakin seratus persen kalau Veranda.."
"Gue denger berita itu dari Sisil yang sebangku sama Vinny yang punya adek yang pacarnya anak klub baseball yang kebetulan junior nya Jody. Dia dengar sendiri waktu Jessica Veranda dan Jody ngobrol di dalam ruang klub."
"Wait, lo denger berita itu bukan dari sumber terpercaya. Man, berita yang keluar dari mulut ke mulut biasanya suka di tambah-tambahin dan faktanya akan semakin kabur sehingga yang beredar justru berbanding terbalik dengan kenyataan sebenarnya."
Jordan terdiam sesaat dan sibuk berpikir. "Bener yang lo bilang barusan. Fakta kalau Miss Badai ketemu Jody supaya gak ganggu lo lagi jelas-jelas bukan cuma isapan jempol. Kalau Veranda gak tertarik sama lo, untuk apa dia susah payah ngelakuin hal itu? Dia cantik, kaya, populer dan yang lebih penting dia punya hati yang baik untuk orang-orang yang membutuhkan. Yaah, dilihat dari sisi manapun dia memang punya hati selembut kapas."
Un-freakin'-believable. Jessica Veranda Tanumihardja is really deceiving!
Gak bisakah Jordan melihat alasan satu-satunya cewek itu menolong gue hanya karena dia merasa bersalah karena menjadi penyebab Jody melancarkan aksinya ke gue? Dan alasan kenapa Jessica Veranda berpihak pada gue hanyalah karena Jody mengancam kepopulerannya! Gak bisakah orang-orang seperti Jordan melihat alasan yang sebenarnya di balik ini semua? Jessica Veranda yang terlihat di mata mereka adalah seorang malaikat tanpa sayap yang seolah turun dari surga untuk menyelamatkan ultimate nerd seperti gue.
Yeah, un-freakin'-believable!
Gue singkirkan lengan Jordan yang masih merangkul bahu gue dan memutar langkah gue ke arah lain.
"Farish, mau kemana lo?"
"Ke perpustakaan. Gue lupa balikin buku. Lo bisa pulang duluan."
"What's the matter with you meen? Sesekali berhenti pacaran dengan buku-buku itu. Pantes aja Melody pu-"
Ucapan Jordan langsung berhenti begitu gue menatapnya dengan sorot tajam. "Jadi lo mau gue ngelakuin apa? Nangis? Atau memohon dia untuk balikan sama gue?" geram gue dengan ekspresi serius.
Jordan tahu kalau gue gak suka dia mengungkit kembali Melody ke dalam hidup gue. Bagi gue, Melody hanyalah masa lalu. Salah satu dari sekelompok orang yang pernah berpengaruh bagi diri gue.
Jordan menggeleng kepalanya dengan wajah menyesal sekaligus kecewa. "Lo memang gak pernah ngerti meeen. Kenapa gak mencoba jadi diri lo sendiri dan kembali jadi diri lo yang dulu."
"Jordan.."
"Dulu lo gak seperti ini. Lo mendadak berubah jadi sosok yang hampir gak gue kenal semenjak Melody da-"
"Jordan!" Gue berseru sambil menatap matanya dengan tajam.
Jordan balas menatap gue untuk beberapa detik. Dia kemudian mengangkat bahu kemudian berbalik hendak pergi. Namun belum selangkah, Jordan kembali berbalik menatap gue.
"Gue kenal sama lo udah lama meeen. Lo sahabat terbaik gue. Gue bahkan sengaja memilih sekolah ini supaya kita bisa bareng-bareng lagi seperti dulu." Jordan meninju bahu gue perlahan. "Kalau masalah ini udah selesai dan Jody gak ganggu lo lagi, lo tau kemana harus cari gue. Deketin Veranda. Dia pasti bisa bantu lo."
Gue hanya mengangguk mengiyakan sarannya. Andai saja Jordan tahu kalau Jessica Veranda justru mengajak gue untuk melakukan sesuatu yang bisa membuat Jody dikeluarkan dari sekolah, Jordan pasti akan langsung menyesal kasih saran seperti itu untuk sahabat terbaiknya ini.
Setelah berpisah dengan Jordan di koridor, gue duduk di salah satu kursi di pojok perpustakaan. Gue sengaja memilih kursi yang dekat dengan jendela sehingga gue bisa membaca sambil sesekali melihat taman belakang sekolah yang penuh dengan pepohonan dan rumput hijau berlama-lama. Untungnya, gue cukup kenal baik dengan penjaga perpustakaan sehingga dia mempercayakan kunci perpustakaan untuk gue pegang sementara dia pulang lebih dulu.
Perpustakaan seolah menjadi tempat favorit kedua gue setelah kelas. Gue suka menghabiskan waktu gue membaca buku disini daripada di rumah. Firash gak pernah bisa membiarkan gue membaca dengan nyaman jika dia berada di rumah.
Jika murid-murid lain lebih suka menghabiskan waktu santai mereka dengan nongkrong di mall atau kafe-kafe mewah, gue lebih suka menikmati waktu santai gue dengan meregangkan otot-otot gue sambil membaca buku. Kadang gue hanya tidur jika lelah membaca. Kadang juga gue duduk melamun sambil memandang keluar jendela dan menikmati angin yang berhembus.
Gue sedang membaca buku sambil mendengarkan musik melalui smartphone dan sesekali mengetuk-ngetukkan jari-jari gue di atas meja ketika diganggu oleh suara pintu perpustakaan yang di dorong dari luar. Awalnya gue mengira itu adalah penjaga perpustakaan yang datang kembali karena ketinggalan sesuatu. Namun, begitu mendengar suara langkah kaki itu mendekat dan menyadari bahwa suara sepatunya sedikit berbeda dengan yang biasa gue dengar, gue langsung berbalik untuk melihat siapa gerangan sosok ini.
You've got to be kidding me! Gue berbicara sendiri di dalam hati begitu melihat siapa yang datang.
"Hey, nerdy boy!"
***
Jam pulang sudah lewat hampir setengah jam dan aku masih disibukkan dengan ulah iseng Jody yang kini kembali mencoba untuk mendekatiku. Aku meminta Claressa, Rose dan Kimberly untuk membantuku membawa Jody pergi sebelum dia sempat menghampiriku. Ketiga sahabatku itu tidak banyak bertanya mengenai alasannya. Mereka bahkan tidak mengungkit rumor yang beredar mengenai ketertarikanku pada si ultimate nerd, Ghada Farisha. Aku hanya mengatakan pada ketiganya bahwa aku akan menceritakan semuanya pada mereka. Tapi tidak untuk hari ini.
Ketiga sahabatku sepertinya menyadari bahwa ada yang sedang kusembunyikan dari mereka. Hal ini dapat aku lihat dari sorot mata ketiganya yang penuh tanya meskipun mereka tidak berkata apa-apa. Mereka memang sahabat terbaikku. Mereka tahu kapan harus menutup rapat mulutnya dan menunggu dengan sabar kapan saatnya aku akan bercerita. Mereka cukup mengerti akan sifatku yang lebih suka menceritakan masalahku di saat aku benar-benar tidak bisa lagi untuk menahannya.
Selain beredar kabar bahwa aku tertarik pada Ghada Farisha, beredar juga rumor bahwa aku adalah sosok Queen Bee yang berhati malaikat. Sebagian besar penghuni sekolah yang tidak percaya jika seorang Jessica Veranda tertarik pada seorang nerd berasumsi bahwa aku membantu seorang ultimate nerd hanya karena aku memiliki kebaikan hati dan sifat menolong tanpa pandang bulu layaknya malaikat surga.
Sesungguhnya aku merasa tidak nyaman dengan kabar atau desas desus yang mulai beredar. Aku mulai merasa seperti perempuan b******n. Seperti layaknya melempar kotoran dan membuat seseorang menginjaknya tapi setelah itu berusaha menolongnya lalu di anggap pahlawan bagi orang lain yang melihatnya.
Were they mocking me? Aku tidak bisa mendapatkan penghargaan atas apa yang sebenarnya terjadi karena pada kenyataannya akulah penyebab semua kesialan yang menimpa Ghada Farisha. Akulah alasan yang menyebabkan Jody mem-bully Ghada Farisha. Aku justru mencoba memanfaatkan Ghada Farisha untuk bersama-sama menentang Jody dan membuat Jody dikeluarkan dari sekolah.
Aku merasa malu. Aku bahkan tidak sanggup memandang bayanganku sendiri di depan cermin. Aku bahkan merasa kecewa pada diriku sendiri. Tidak seharusnya aku bersikap seperti ini. I knew. I'm really mean.
Setelah pembicaraan singkat dengan Farish kemarin, tidak ada kesimpulan berarti yang kami dapat selain hanya adu mulut. Farish bersikeras tidak ingin bekerja sama denganku untuk memberikan Jody counter attack. Aku tidak pernah memaksa seseorang hingga sejauh itu karena aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan. But not this time. Ghada Farisha dengan terang-terangan menolak keinginanku.
Di film-film, ketika anak-anak populer membuat ulah dan menyudutkan anak-anak yang normal, terlebih seorang nerd, seperti yang Jody lakukan pada Ghada Farisha, mereka terlihat senang dan menikmatinya. Tapi ada apa denganku? Perasaan lain justru muncul di hatiku begitu Ghada Farisha menolak keinginanku. Ghada Farisha tidak hanya membuatku jengkel. Keberadaannya yang semula tidak pernah ku sadari mendadak semakin menggelitik rasa penasaranku.
Baru kali ini ada seseorang yang menolak keinginanku. Hanya Ghada Farisha yang tidak terpengaruh dengan kecantikan dan pesona yang ku miliki. Hanya dia yang dengan berani menentang dan menolak keinginanku. Interesting.
Aku keluar dari kelas begitu suasana sudah sepi. Aku tidak ingin mengambil risiko bertemu dengan Jody dan salah satu dari gank-nya. Jody sudah masuk dalam daftar hitam ku. Jenis orang yang harus aku hindari sebisa mungkin.
Ketika tengah berjalan di koridor seorang diri, aku melihat sosok Ghada Farisha yang melangkah memasuki ruang perpustakan. Apa yang dilakukannya? Aku ingin segera mendatanginya tapi tidak lama setelah Farish masuk, seorang penjaga perpustakaan keluar dengan tergesa-gesa. Aku dengan cepat menghampiri perempuan berusia hampir 30-an tersebut dan memberikan senyum terbaikku.
"Mau pulang, Mbak Tantri?"
Penjaga perpustakaan itu menoleh kaget menatapku. "Eh iya." Matanya mengawasiku dengan bingung.
Aku memang tidak pernah sekali pun berbicara padanya. Seperti yang diketahui, aku Jessica Veranda Tanumihardja. Satu-satunya tempat di sekolah yang tidak pernah terjamah olehku hanyalah ruang perpustakaan. Tentu saja Mbak Tantri akan sedikit heran melihat aku mendadak menyapanya. For the first time in her life!
"Ada apa Veranda?" tanyanya masih dengan wajah keheranan yang sama. Aku tidak akan heran jika ia mengetahui namaku. Well, siapa yang tidak kenal aku?
"Bukannya masih ada siswa yang berada di dalam perpus, Mbak?" Jariku menunjuk ke arah pintu dimana Ghada Farisha memasukinya beberapa menit yang lalu.
"Oh!" Mbak Tantri mengangguk mengerti. "Kalau Farish udah biasa kesini. Dia siswa khusus," beritahunya sambil tersenyum.
"Siswa khusus?"
"Ya," angguknya lalu memutar tubuhnya hendak pergi.
Aku masih hendak bertanya apa yang ia maksud dengan siswa khusus ketika Mbak Tantri sudah berjalan jauh meninggalkanku. Mungkinkah ada affair antara Mbak Tantri dan Farish? Mereka terlihat akrab. Ini bisa jadi senjataku untuk kembali mencoba memaksa Ghada Farisha menuruti keinginanku. Perfect!
Aku baru saja hendak mendorong pintu lebar yang menghubungkan koridor dan perpustakaan ketika tiba-tiba saja telingaku menangkap sayup-sayup suara musik dan gumaman kecil seperti sebuah nyanyian dari dalam ruangan.
Aku menunggu beberapa menit hingga gumaman tersebut berhenti. Namun setelah cukup lama tidak ada tanda-tanda akan berhenti, aku akhirnya membuka pintu perpustakaan lebar-lebar.
Aku berjalan menyusuri beberapa rak buku dan mulai mencari sumber suara. Di pojok ruangan, aku melihat Farish tengah duduk membelakangiku sambil memandang ke luar jendela. Begitu mendengar langkah kakiku mendekat, ia langsung menoleh kemudian menatapku dengan wajah kaget. Tangannya yang berada di atas meja langsung berhenti bergerak.
"Hey, nerdy boy!" sapaku begitu melihat ekspresinya yang seolah seperti melihat hantu.
"You really don't know when to give up, do you?" Matanya menyipit menatapku.
"Ya.. Uhm.. Itu.. Gue.." Tunggu, mengapa aku mendadak tergagap seperti ini?
Dia meraih smartphone nya lalu mematikan suara musik yang ternyata keluar dari gadgetnya tersebut. Setelah memasukkan smartphone nya ke dalam saku celana seragam, ia lalu menarik sebuah kursi untukku. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan pria lain terhadapku, ya, kecuali Ghada Farisha.
"Apa yang lo mau Jessica Veranda? Masih punya rencana licik di kepala lo huh?" tanyanya begitu aku duduk di sampingnya.
"What? Lo berpikiran negatif mengenai gue, nerdy boy! Dengar, gue sama sekali gak-"
"Sama sekali gak mengajak gue untuk mengeluarkan Jody dari sekolah?" potongnya cepat. "Apa belum cukup pujian yang lo terima dari seisi sekolah karena sudah di anggap sebagai Dewi Penyelamat bagi seorang ultimate nerd? Atau lo mau buat aksi lainnya supaya kebaikan hati lo yang tulus itu semakin tercium oleh seisi sekolahan?"
"Look, it's not what you think. Gue sama sekali gak merasa senang dengan apa yang anak-anak itu pikirkan. Bukan gue yang menyebarkan gossip murahan seperti itu. Mereka yang berasumsi seperti itu. Dan itu di luar kuasa gue." Aku berusaha membela diri.
"Terserah. It's your fault, anyway."
Aku memutar kedua bola mataku mendengar pernyataannya. Cowok ini benar-benar menimpakan semua kejengkelannya padaku. "Bagaimana bisa itu jadi kesalahan gue? Gue gak melakukan apapun. Gue gak nge-bully lo. Bukan gue yang masukin kepala lo ke dalam kloset. Bukan gue yang hilangin buku tugas lo. Bukan gue yang taruh baju olahraga lo di atas pohon belakang sekolah. Bukan gue yang ngunci lo di dalem gudang. Bukan gue yang coret-coret muka lo sampe diketawain seisi sekolah. Gue gak menyebarkan gossip mengenai apa pun. Gue justru berusaha menyelamatkan elo dari Jody!"
"Unbelievable Veranda." Farish menyibak lembaran buku di salah satu tangannya kemudian kembali berbicara. "Lo masih berusaha untuk mengelak huh? Jika bukan karena elo di ganggu oleh Jody di gedung serba guna-"
"Fine." Aku menghempaskan kedua tanganku ke udara. Aku tidak percaya dia kembali mengungkit masalah itu. "Damn it nerdy boy! Kejadian itu sudah lebih dari sebulan yang lalu. Move on! Lo menyesal udah ikut campur saat itu? Kalau saat itu lo gak berusaha ngehalangin Jody, lo gak akan berakhir seperti sekarang."
Farish mengangguk. "Dan kalau saat itu gue gak ikut campur masalah kalian, lo juga gak akan berakhir seperti sekarang. Siapa yang tau apa yang akan Jody lakukan ke lo, Jessica Veranda," balasnya dengan dingin. "You want me to move on? Then, leave me alone Queen."
"Lo mungkin berpikir bahwa semua ini terjadi karena gue. Kesalahan gue. Tapi gue sudah berusaha untuk nolong lo. Lo mungkin gak percaya sama gue. Gue menemui Jody dan nyuruh dia untuk mengakhiri semua bullying nya ke elo. Tapi yang gue dapat justru Jody yang berbalik mengancam gue. What do you expect? Of course, pada akhirnya gue mengajak lo untuk bekerja sama mengusir dia dari sekolah ini."
"Oh ya, gue lupa. Lo mungkin sengaja ngelakuin hal itu supaya dikira tertarik sama gue. Mungkin juga supaya lo di anggap berhati malaikat. Usaha lo itu justru membuat Jody semakin semangat untuk bully gue. Lo sengaja membuat mereka menciptakan rumor itu supaya pamor lo semakin naik. Apa belum puas lo membuat anak-anak satu sekolah memandang rendah gue karena kabar ketertarikan lo ke gue? Atau lo senang karena pada akhirnya anak-anak akan berpikir bahwa The Queen Bee of Global Persada High School bukanlah sosok yang pemilih seperti yang mereka bayangkan? Nice act Veranda. You might fool them, but not me."
"Kenapa lo berpikir seperti itu terhadap gue, Ghada Farisha? Gue disini cuma untuk menjernihkan situasinya. Gue gak sedang berakting dan bukan salah gue kalau anak-anak itu menganggap gue adalah malaikat atau apapun julukannya."
Cowok nerdy itu tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia hanya membaca bukunya dan tidak mengindahkan semua yang telah aku katakan padanya. Aku mulai kehilangan kesabaranku disini.
"Kenapa lo bersikap seperti ini ke gue? Maksud gue, kenapa lo benci banget sama gue?" Aku bertanya dengan intonasi yang terdengar jengkel.
"Gue gak benci sama lo Veranda. Gue cuma gak suka," jawabnya enteng.
Aku ingin sekali tertawa mendengarnya. "Impossible. Semua orang suka sama gue. Semua orang cinta sama Jessica Veranda Tanumihardja."
"I told you before that I'm not."
Aku tertawa mengejek mendengar jawabannya. Aku cantik, pintar, kaya, populer. Semua orang ingin menjadi seperti aku. Semua orang ingin bersamaku. Is this nerdy boy blind?
"Itu benar-benar gak mungkin Farish. Gue yakin kalau sebenernya lo diam-diam suka sama gue, lo tertarik sama gue. Lo cuma menyangkalnya," kataku dengan penuh percaya diri sambil menaikkan kedua alisku.
"What's so matter about it?" Pada akhirnya Farish mengalihkan perhatiannya padaku.
"Of course it is! Lo jelas-jelas berusaha menyangkal ketertarikan lo sama gue."
"Think whatever you want Jessica Veranda. Toh kenyataannya gue sama sekali gak tertarik sama lo." Kali ini gantian dia yang tertawa.
Ada apa dengan cowok ini? Dia mengatakan kalau dia tidak tertarik padaku sambil tertawa. Apakah dia sedang mengejekku? Apa dia sengaja membuatku merasa bahwa aku benar-benar tidak menarik? Paling tidak, seharusnya dia punya pikiran bahwa aku cukup cantik atau manis.
You'll pay for this, Ghada Farisha.
Tidak mungkin bagi seorang cowok nerdy seperti dia, yang tidak pernah punya standar tinggi terhadap perempuan, untuk tidak jatuh cinta atau tertarik pada seorang gadis sepertiku, good-looking, rich and charming.
Tiba-tiba saja sebuah ide langsung melintas dibenakku. Ide yang sebenarnya sejak kemarin sudah mengusik pikiranku ketika berbicara dengannya saat jam istirahat.
"Oke nerdy boy, lo bilang kalau lo gak tertarik sama gue. Gue sendiri yang akan mematahkan perkataan lo itu. Gue akan buat lo jatuh cinta sama gue. Gue akan buat lo tergila-gila dan mengemis cinta gue! Kalau gue berhasil, lo harus turuti keinginan gue untuk membuat Jody dikeluarin dari sekolah ini."
Begitu aku menyelesaikan kalimatku, dia langsung berpaling dari buku yang dibacanya. "Apa lo sedang gak waras? Seriously?"
"Totally serious! Jangan bilang lo takut sama tantangan gue karena diam-diam lo memang sudah jatuh cinta sama gue." Kudekatkan wajahku sambil menatap matanya dalam-dalam.
Farish mengalihkan pandangannya ke arah lain mencoba terbebas dari pandanganku. "Lo pasti bercanda."
"Kenapa? Lo takut kalau apa yang gue bilang tadi bener pretty-girl-hater Ghada Farisha? Kalau sebenarnya lo memang sudah tertarik sama gue dan berusaha untuk menyangkalnya." Aku kembali mendekatkan wajahku padanya sambil tersenyum penuh kemenangan.
Aku sangat yakin bisa membuat cowok nerdy di depanku ini bertekuk lutut hanya dalam jentikan jari. Aku bisa membuat semua cowok jatuh cinta padaku hanya dalam hitungan detik. Semuanya akan jadi lebih mudah bagiku jika Ghada Farisha takluk di bawah kakiku. Dia tidak akan bisa berkutik. Dia tidak akan bisa menolak pesonaku.
"Baik. Kita buktiin siapa yang takut disini Jessica Veranda."
Senyumku langsung menghilang begitu Farish ganti mendekatkan wajahnya padaku. Sangat dekat hingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang mengenai kulit wajahku. Aku bahkan bisa mencium aroma parfum yang dikenakannya dengan sangat jelas. Is he going to kiss me?
"Gimana kalau lo gak berhasil? Gimana kalau sampe gue lulus sekolah, elo tetap gak bisa buat gue jatuh cinta sama lo?" tanyanya dengan suara lembut. Damn it. Kenapa hatiku mendadak berdetak sangat cepat kali ini?
"Gak mungkin sampai selama itu!" Aku memundurkan wajahku dan langsung berpaling darinya. Kenapa aku tiba-tiba gugup tidak jelas seperti ini?
"Baik. Dua bulan. Gue kasih lo waktu selama dua bulan. Jika selama dua bulan lo gak berhasil buat gue jatuh cinta sama lo, berhenti ganggu gue dan minta gue untuk kerjasama dengan lo. Lo harus cari orang lain yang cukup bodoh untuk lo manfaatin buat mengusir Jody. Lo harus mengakui kalau lo gak cukup menarik untuk memikat gue." Dia berbicara sambil memperhatikanku lewat kacamatanya
Damn it nerdy boy! Stop staring at me!
"Dua bulan?"
"Iya. Kenapa? Lo takut karena apa yang gue bilang tadi bener nerd-hater Jessica Veranda?"
What was that? Is he imitating me? Dia mengulang kembali kalimat sama yang aku katakan padanya beberapa saat yang lalu. This nerd!
"Oke!" Aku memutar kedua mataku dan mengumpulkan seluruh keberanianku untuk balas menatapnya. "Gimana gue bisa tau kalau lo jatuh cinta atau enggak sama gue. Gimana gue bisa tau gue menang atau enggak? Lo mungkin berusaha nyembunyiin perasaan lo nantinya."
"Good question Jessica Veranda." Farish tersenyum sambil terus menatapku.
Aku berpaling ke arah lain untuk menghindari tatapan matanya yang penuh intimidasi. Aku tidak percaya ini. Aku kalah dalam pertarungan adu tatap dengan seorang ultimate nerd! Berbicara dengannya benar-benar ide yang buruk. Seharusnya sejak dari awal aku abaikan saja perasaan bersalahku padanya. Kini aku terpaksa harus berurusan dengannya dan Jody. Wrong move Jessica Veranda.
"Gue bukanlah orang yang gak berperasaan Veranda. Jika gue jatuh cinta sama seseorang, bagaimana mungkin gue bisa menyimpannya terus menerus di dalam hati. Jika gue menahannya, lama kelamaan gue pasti akan kelepasan ngomong kalau gue suka sama cewek itu. Apalagi kalau cewek itu terus menerus muncul di pikiran gue. Jadi, gue akan pastikan lo akan tau kalau gue jatuh cinta sama lo atau enggak. Andaikata gue nantinya tertarik sama lo, gue sendiri pasti gak akan tahan ngeliat lo selalu dikelilingin oleh penggemar lo itu. Bukankah seseorang yang sedang jatuh cinta akan rela melakukan apa saja untuk orang yang dicintainya? Perasaan yang dipendam justru akan terus menghantui, membuat gue gak nyaman dan sulit tidur."
"Jadi, saat lo bilang tiga kata sakti itu ke gue, saat itulah gue menang?"
"Of course. Tapi ingat, waktu lo dua bulan untuk mendapatkan hati gue Jessica Veranda." Dia lalu mengulurkan tangannya padaku. "Deal?"
Kusambut uluran tangannya untuk bersalaman dengan penuh percaya diri dan keyakinan yang matang.
"Deal!"
Dia tersenyum lalu menutup buku ditangannya kemudian bangkit berdiri. Namun sebelum beranjak pergi, dia kembali berbalik dan menatapku sambil tersenyum dan mengatakan kalimat yang justru membuatku sangat jengkel.
"Gue punya dugaan yang kuat kalau nantinya justru lo yang akan bilang tiga kata sakti itu untuk gue, Jessica Veranda."
Aku terpana tidak percaya menatapnya ketika dia berjalan ke arah deretan rak buku dengan santai. Apa dia serius? Seharusnya dia yang mengatakan tiga kata itu padaku!
I'm not going to fall in love with you Ghada Farisha! I'm not going to fall in love with a nerd!
***