See you again, Queen

4331 Kata
Aku tidak percaya ini. Pertarunganku dan Farish sudah ditentukan dan di mulai. Namun aku lupa dua hal yang sangat penting. Bagaimana aku membuat Farish menyukaiku sementara aku tidak ingin terlihat oleh seisi sekolah bahwa aku tengah berusaha membuat seorang nerd jatuh cinta padaku. Itu hanya akan membuat harga diriku ternoda! Di tambah lagi, bagaimana dengan Jody? Ini sama saja membuat Jody berpikir bahwa aku menyetujui sarannya untuk mendekati Ghada Farisha. Cowok itu akan semakin besar kepala nantinya. This is going to be harder than I thought. Bukannya aku tidak pernah terlibat pada pertaruhan sebelumnya. Namun taruhan kali ini berbeda dengan taruhan yang sering aku lakukan bersama sahabat-sahabatku. Aku tidak pernah bertaruh untuk mendapatkan hati seorang nerd sebelumnya. Aku harus membuat Farish jatuh cinta padaku. Tidak hanya itu, dia harus mengucapkan tiga kata sakti padaku agar aku bisa memenangkan pertarungan ini. I'm not the flirt type. Para laki-laki biasanya langsung menyukai ku begitu saja tanpa aku perlu bersusah payah untuk mendekati mereka. Ketika pertama kali mereka melihatku, mereka akan langsung jatuh cinta. Hal ini juga yang pernah di alami oleh Jody. Namun aku masih tidak mengerti bagaimana Ghada Farisha, seorang kutu buku yang tidak tampan dengan penampilan biasa-biasa saja tidak tertarik padaku. He should be honored that Jessica Veranda is even talking to him! "Ve, apa lo baik-baik aja? Lo melamun lagi kali ini. Ini sudah kelima kalinya gue ngeliat lo seperti ini seharian." Cla berbicara padaku sambil menepuk pundakku. Saat ini kami tengah duduk santai di Starbucks sambil menikmati espresso setelah seharian lelah berbelanja. "Apa lo punya masalah dengan Jody? Akhir-akhir ini dia berusaha untuk terus bisa nemuin elo," tanya Rossie dengan wajah khawatir. Aku tidak bisa memberitahu sahabat-sahabatku jika aku sedang memiliki masalah dengan seorang nerd. Mereka bahkan belum mengetahui bahwa aku punya taruhan penting dengan the most ultimate nerd in school. Aku hanya tidak ingin terlalu banyak orang yang terlibat dalam masalahku. Selama aku masih bisa mengatasinya, kurasa teman-temanku tidak perlu mengetahuinya. "Don't mind me." Aku mengibaskan tanganku pada ketiganya kemudian meneguk cangkir espresso ku yang sedari tadi belum terjamah. "Ada berita baru apa di sekolah?" tanyaku mencoba mengganti pembicaraan. Tanpa menunggu lebih lama, Kimmy lantas berbicara memberitahu mengenai senior kami di kelas XII yang diberitakan putus dengan pacarnya. Cara berceritanya sungguh berisik sekali. Selesai dari satu berita, ia kembali mulai dengan berita baru lainnya mengenai salah seorang anak baru di kelas sebelah yang membuat setengah dari populasi anak laki-laki di sekolah mengejar-ngejarnya. Well, selama popularitas anak baru tersebut masih jauh di bawahku, tidak ada alasan bagiku untuk merasa terancam sebagai Queen Bee sekolah. Awalnya aku hanya mendengar dengan setengah hati hingga cerita Kimmy akhirnya tiba pada rumor yang beredar mengenai aku dan Farish. "Apa lo bilang? Coba di ulang." Aku langsung menginterupsi ucapannya. "Yang mana?" tanyanya. "Yang barusan aja lo bilang." "Soal Farish?" Kimmy mengangguk. "Lo tau kan dengan gossip di sekolah yang bilang kalau lo tertarik sama Farish? Oh ya, lo tenang aja Ve. Kita dan sebagian besar anak yang lain gak percaya dengan rumor itu. Itu cuma gossip murahan hasil karangan anak-anak satu sekolah." Kimmy tersenyum kecil menatapku diiringi anggukan yang lainnya. "Ya, lanjut." "Jadi, cowok cupu itu pernah punya pacar saat SMP. Dia diputusin pacarnya dan mendadak berubah 180 derajat. Gak jelas seperti apa dia saat SMP dulu, tapi begitu masuk SMA dia menjadi sosok yang anti sosial dan dingin sama semua orang. Dia gak punya banyak teman. Dia bahkan gak pernah terlihat tertawa atau tersenyum. Selalu dingin. Yang selalu dilakukannya setiap di sekolah hanyalah belajar dan belajar. Dia bahkan gak pernah menginjakkan kakinya di kantin." Ya, Kimmy benar. Ghada Farisha adalah seseorang yang mudah tersinggung dan sulit untuk di terka. Aku heran dari mana Kimmy mengetahui semua informasi ini. Mungkin aku bisa memanfaatkannya untuk mengetahui informasi lain mengenai Farish. Misalnya saja apa yang ia sukai, hobinya, olahraga yang digemarinya atau lainnya. Dengan mengetahui hal-hal seperti itu, setidaknya peluangku untuk membuatnya tertarik padaku semakin meningkat. Saat aku tengah memikirkan mengenai berbagai macam cara di kepalaku, aku melihat sosok Jody berjalan mendekati meja kami. Sial. Sudah berhari-hari aku berusaha menghindar darinya tapi kini aku justru mudah ditangkap dengan mudah olehnya. Jangan-jangan Jody memang sudah membuntuti aku sejak keluar dari rumah pagi tadi. "Sepertinya kali ini kita gak bisa bantu lo lagi untuk menghindar darinya." Rossie berbicara begitu matanya turut menangkap sosok Jody yang semakin mendekat. Aku hanya mengangguk memberi tanda pada Rossie untuk tidak berbicara lebih lanjut sebab Jody kini sudah berdiri di samping meja kami dengan mengenakan t-shirt putih dibalut jaket denim dan jeans hitam. Jika saja aku tidak tahu bagaimana tabiat aslinya, hatiku pasti sudah berlompatan melihat penampilannya seperti ketika aku masih tertarik padanya tahun lalu. "Hey girls, bisa gue ngomong sama Veranda sebentar?" Tanpa menunggu dipersilahkan, Jody langsung duduk di sebuah kursi yang berada tepat di samping ku yang kebetulan memang kosong. Ketiga sahabatku tampak saling berpandangan kemudian menatapku memberi isyarat bahwa mereka tidak bisa banyak membantu. "Kalian bisa pulang duluan. Gue tinggal disini bentaran sama Jody," kataku meminta ketiganya untuk segera pergi. Aku harap mereka mengerti akan maksudku bahwa aku tidak ingin siapa pun mendengar pembicaraan ku dengan Jody nantinya. "Oke, sampai ketemu besok di sekolah Ve." Cla lebih dulu bangkit berdiri kemudian mencium kedua pipiku di susul oleh Kimmy lalu Rossie. Wajah Rossie terlihat tampak enggan untuk meninggalkan aku berdua saja dengan Jody. "Kalau ada apa-apa, hubungin gue Ve," peringatnya lalu melangkah pergi menyusul Claressa dan Kimmy yang sudah lebih dulu berlalu. "Jadi, kamu belum cerita apa pun sama temen-temen kamu?" tanya Jody setelah memandang kepergian ketiganya. "Gak ada yang perlu gue ceritain," jawabku sesingkat mungkin. Jody terkekeh pelan sambil menatapku dengan wajah terkesan. "Jessica Veranda, santai. Aku kesini bukan untuk cari masalah. Oke? Rileks." Setelah berkata demikian, tangannya lalu berpindah menyentuh punggung tanganku yang berada di atas meja. Aku dengan cepat menepis tangannya dengan ekspresi jijik. "Jangan coba-coba untuk sentuh gue," peringatku dengan nada tajam. "Atau gue akan teriak biar orang-orang disini ngeroyokin lo." "Oke.. Oke.. Santai," ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya ke depan d**a. Aku hanya melengos darinya mencoba memperhatikan pengunjung lain di sekitar kami. Memandang wajah Jody lama-lama membuat emosiku bisa terpancing. Aku tidak ingin terjadi keributan di tempat seramai ini. Aku bisa merasakan Jody memperhatikan wajahku cukup lama sebelum akhirnya menghembuskan nafas menyerah. "Farish udah nyerahin beasiswa kedokterannya untuk aku," beritahunya yang langsung membuat diriku berpaling menatapnya. "What?" Jody lantas mengeluarkan sesuatu dari balik jaket denimnya. Amplop tebal berwarna putih yang aku yakin adalah data-data lengkap mengenai diriku, terlebih Mom. "Sesuai janji, semuanya aku kasih ke kamu. Aku gak akan ngusik kamu lagi dengan ini," tunjuknya ke arah amplop tersebut. Aku tatap amplop di atas meja itu kemudian ganti memandanginya. "Farish nyerahin beasiswanya buat elo? Kapan?" Aku tidak percaya Farish telah melakukan semua ini untukku setelah apa yang sudah aku perbuat padanya. "Sabtu kemarin. Dia bilang dia akan kasih beasiswa itu ke aku asal aku berhenti ganggu kamu. Aku heran kenapa kamu justru memilih untuk kasih tau dia mengenai keluarga kamu daripada kasih tau temen-temen kamu. Apa rumor itu memang-" "Gue gak menceritakan apa-apa ke Farish. Sesuai yang lo mau, gue hanya menyuruh dia untuk ngelepas beasiswa itu." Well, aku tidak berniat untuk berbohong. Setengah ucapanku memang benar bahwa aku memang tidak mengatakan secara rinci pada cowok nerd itu mengenai Mom. Wajah Jody terlihat tidak puas dengan jawabanku. Dia menatapku dengan sorot keraguan. Cukup lama kami saling terdiam hingga ia akhirnya memutuskan untuk bangkit berdiri. "Urusan kita selesai disini. Sayang sekali aku udah janji sama Farish untuk ngejauhin kamu. Kalau enggak, mungkin aku akan mulai untuk deketin kamu lagi, Jessica Veranda," katanya sambil tersenyum tipis. What?! What did that nerdy boy say to him? Tampaknya aku dan Farish semakin terlihat seperti sepasang kekasih di mata Jody. Jika apa yang dikatakan Jody benar, dan sepertinya memang 100% benar mengenai Farish yang dengan sukarela memberikan beasiswa itu padanya, ini berarti sudah dua kali cowok itu menolongku. Jessica Veranda tidak pernah berhutang budi pada siapa pun. Terlebih lagi pada seorang ultimate nerd! *** Gue sudah berdiri selama 3 jam 24 menit di teras rumah Jessica Veranda ketika Queen Bee itu akhirnya muncul dengan kendaraan pribadinya. Seorang supir yang mengantarnya pulang sempat tersenyum melihat gue sebelum membukakan pintu mobil untuk Queen. Sekitar 4 jam yang lalu, Queen mendadak menghubungi dan menyuruh gue untuk segera ke rumahnya. Dia terdengar terburu-buru. Gue bahkan gak sempat menanyakan bagaimana dia mengetahui nomor telpon rumah gue. Tapi begitu gue sudah berada di rumahnya, salah seorang gadis yang sepertinya adalah kakaknya, justru memberitahu bahwa sang Queen Bee gak berada di rumah dan meminta gue untuk menunggu sampai dia pulang. Great! Bahkan ketika berada di rumah pun sikapnya masih seperti seorang Queen, your highness! Begitu turun dari mobilnya, Jessica Veranda terlihat sibuk dengan smartphonenya lalu berjalan hingga menabrak gue. Klise. Gue tahu dia sengaja. Dia pasti sudah tahu gue menunggunya sejak tadi dan membuat gue semakin emosi dengan pura-pura gak menyadari kehadiran gue disini, di teras rumahnya. "Oh, sorry!" serunya kemudian mendongak ke arahku sambil memasang wajah kaget. Aktingnya payah sekali. Benar-benar payah. "Hey, Jessica Veranda," desis gue gemas sambil balas menatapnya. Sepertinya ia menyadari raut kecurigaan di wajah gue. Tapi bukan Jessica Veranda namanya jika ia menyerah begitu saja. "Nerdy boy?" Wajahnya semakin dibuat terkejut begitu melihat sosok gue. "Lo ngebuat gue menunggu cukup lama disini, Queen," kata gue dingin. "Really?" tanyanya tanpa merasa bersalah sama sekali. "Lo berdiri disini dari tadi?" Wajahnya seakan menunjukkan dia tidak tahu sama sekali. "Apa gue kelihatan berdiri disini gak sedari tadi?" Gue balas pertanyaannya dengan nada sarkartis. Veranda langsung tertawa melihat reaksi gue. Ia memperhatikan penampilan gue sejenak kemudian lanjut bicara, "nerdy boy.. Sampai kapan lo gak mau mengakui perasaan lo ke gue? Lo gak akan se-antusias ini dan langsung datang ke rumah gue hanya karena gue nelpon lo sekali kan? Cuma cowok pathethic yang seperti itu. Sudah jelas kalau lo memang ada perasaan sama gue." Double great! Jadi alasan Jessica Veranda menghubungi gue tiba-tiba hanya karena dia ingin tahu seperti apa reaksi gue ketika dia minta gue untuk datang mendadak ke rumahnya? What is this girl think about? Do I look that i***t to her? Un-freakin-believable! "Listen, The Queen Bee of Global Persada High School, your highness, your majesty." Gue berbicara sambil mengepalkan tinju gue erat-erat mencoba untuk menahan diri agar emosi gue gak keluar. "Gue bukan seseorang yang punya banyak waktu luang untuk ikut bermain dalam permainan konyol lo ini. Lo membuat gue menunggu hanya karena lo ingin menyakinkan diri lo kalau gue akan langsung datang dan sabar nunggu lo disini hanya karena gue suka sama lo? Sorry to say, but I'm not that kind of boy. In fact, I'm that pathetic. Happy now?" Ekspresi wajah Queen masih tidak berubah ketika melihat gue yang seperti mau meledak. Ia justru tersenyum seolah mengejek. "Wrong move nerdy boy. Wrong move. I just teased you a bit." "Whatever. I'm go." Gue baru mau berjalan keluar dari teras rumahnya ketika Jessica Veranda langsung menghentikan gue. "Wait." Gue langsung berbalik dan kembali menatapnya. "Come in," ajaknya. "Apa?" "Haruskah gue ulang? Masuk." Kali ini nadanya terdengar memaksa. Ia lalu berjalan memasuki rumahnya tanpa menunggu reaksi dari gue. Tanpa menunggu sampai diberitahukan 3 kali, gue akhirnya masuk dan berjalan mengekorinya hingga ke ruang tamu. Seperti ruang tamu di rumah orang-orang berada yang sering gue lihat di tv, ruang tamu rumahnya gak jauh berbeda. Luas, elegan, dan penuh dengan perabotan mahal. "Duduk," perintahnya lagi setelah menghempaskan tubuhnya di kursi yang ada di seberang meja. Baru saja gue duduk, Queen kembali berbicara, "tadi siang gue ketemu Jody." "Terus?" Gadis di hadapan gue ini memejamkan matanya sejenak sebelum menjawab pertanyaan gue barusan. "Gak usah pura-pura bodoh Ghada Farisha. Lo tau dengan jelas apa yang akan gue omongin. Pertanyaan gue adalah.. Kenapa lo menyerahkan beasiswa itu ke Jody?" "Karena gue gak membutuhkannya," jawab gue sambil mengangkat bahu. Gue gak mengira berita itu akan terdengar sampai di telinga Queen secepat ini. Jody benar-benar gak bisa menjaga mulutnya lebih lama. Gue memang sengaja menemui Jody tempo hari supaya dia berhenti untuk nge-bully gue. Bukan karena gue menyerah, tapi gue lelah dengan semua kekonyolan Jody dan gank-nya. Gue terpaksa harus bolos beberapa mata pelajaran, harus jaga jarak dari sahabat gue sendiri dan pura-pura gak kenal dengan Firash selama di sekolah. Belum lagi gue harus selalu menyalin setiap catatan atau tugas sekolah hampir setiap hari karena ulahnya. Harus berapa lusin buku lagi yang terpaksa gue buang hanya karena keisengannya? Mama bahkan mulai curiga karena terkadang gue pulang telat dengan baju seragam yang kotor. "Stop kidding me! Gue tau lo sangat menginginkan beasiswa itu." Jessica Veranda menatap gue dengan jengkel. "Kalau lo ngelakuin itu demi gue, seharusnya itu gak perlu. Karena gue bisa nyelesaiin masalah gue dengan Jody sendiri tanpa bantuan dari lo." "Sepertinya lo udah salah paham disini Veranda. Gue gak melakukan itu karena lo. Tapi buat diri gue sendiri." "Oh I know." Jessica Veranda mendadak mengangguk mengerti seolah menemukan sebuah gagasan di kepalanya. "Lo begitu karena gak mau taruhan kita lanjut kan? Lo takut kalah! Lo takut kalau gue bisa buat lo tertarik sama gue dan mengemis cinta gue di depan seluruh sekolah," tebaknya dengan wajah yakin dan penuh percaya diri. This is nonsense! This girl really think high about herself. I should teach her some manners. But first, I need to make her fall in love with me. "Jessica Veranda Tanumihardja," kata gue memulai bicara. "Gue gak pernah lupa sama apa yang udah kita sepakati. The deal is deal. Don't worry." "What's deal?" Tiba-tiba saja gadis yang beberapa jam lalu menemui gue dan menyuruh gue untuk menunggu Queen kembali muncul sambil tersenyum penasaran. "Judith! You surprised me!" seru Veranda begitu menengok ke arah si gadis manis itu. "Gue lagi ngomong serius sama Farish. Elo sana dulu gih!" Gadis bernama Judith itu semakin melebarkan senyumnya. "Jessie, ini pertama kalinya seorang cowok ke rumah untuk ketemu sama lo. Haruskah gue cuma duduk diam di kamar?" godanya. For the first time? Really? Gue kira Jessica Veranda selalu mengundang semua laki-laki yang mendekatinya untuk berkunjung ke rumahnya. And.. Jessie? Nama panggilan itu terdengar tidak cocok untuknya. "Jessie, does he likes you?" goda Judith lagi. Wajah Queen seketika panik mendengar pertanyaan Judith barusan. Sebelum Veranda sempat menjawab, gue lebih dulu bereaksi. "I'm not. But, she will." Wajah Queen terlihat ingin berteriak kencang di hadapan gue. That's refreshing to see. Jika Jessica Veranda bisa sangat yakin dan percaya diri, mengapa gue gak bisa melakukan hal yang sama terhadapnya? *** Ghada Farisha benar-benar membuat emosiku naik pitam. Bagaimana tidak? Dengan kepercayaan diri yang tinggi ia mengatakan kalimat yang tidak masuk akal kepada Judith. What did he think? Me, The Queen Bee, Jessica Veranda, akan jatuh cinta padanya? Hah! As if! I will not lose this deal Farish! I have many boys falling over head at me. And they are way hotter and cooler than you. Senin pagi, seperti biasa aku dan sahabat-sahabatku muncul di sekolah bersama-sama. Sambil menunggu jam masuk, kami menghabiskan waktu kami mengobrol di koridor. Sudah menjadi ritual bagi kami muncul di sekolah bersama-sama, do a little fashion walk kemudian mendengarkan berita dari Kimmy mengenai hal-hal yang terjadi di sekolah. Tapi mendadak obrolan kami terhenti begitu Farish muncul bersama seorang perempuan. Mata teman-temanku langsung mengikuti setiap gerak gerik Farish ketika cowok nerdy itu berjalan melewati kami bersama si 'seorang perempuan' ini. Dia berhenti beberapa langkah di dekat kami kemudian mengatakan hal yang serius kepada cewek yang kupikir masih kelas 10 itu. "Itu Ghada Farisha kan?" Rossie mulai berbicara. Suaranya cukup keras terdengar, mungkin hingga sampai di telinga Farish. "Dia yang lo tolong dari korban bully nya Jody?" Cla ikut bersuara. "Dia seharusnya bangga karena lo udah nolongin dia dari Jody. Apa dia udah berterima kasih sama lo?" "He better be. Berkat lo, dia gak di bully lagi sama Jody," timpal Kimmy ikut berkomentar. "Apa kalian tau kalau sekarang Jody udah ngebebasin dia?" Of course I know. Aku tidak ingin membahas hal itu lagi. Aku tidak ingin mengingat bahwa aku lah penyebab semua kejadian yang menimpa Farish. Di tambah lagi, aku seharusnya tidak menerima reward atas apa yang tidak aku lakukan. Jody berhenti mengganggu Farish bukan karena campur tangan diriku. Tapi karena Farish sendiri yang melakukannya. Farish bahkan membuat Jody untuk berhenti memberiku blackmail. "Bisa kan kita gak usah bahas hal ini lagi? Cuma buang-buang waktu hanya untuk bahas cowok gak berguna. Masalahnya gak penting." Sesuatu dalam diriku langsung merasa menyesal sudah mengeluarkan kalimat seperti itu. Ketiga sahabatku tertawa mendengar responku. Kulirik Farish yang hanya menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia lalu berbisik di telinga cewek kelas 10 itu kemudian kembali berjalan pergi. What the hell? What's with me and this stupid mouth? Sepulang sekolah, aku dan sahabat-sahabatku berencana untuk berbelanja di mall seperti biasa. Namun kali ini, aku sengaja untuk menunda rencana tersebut. Seharian ini pikiranku terus dipenuhi oleh Ghada Farisha. Dan aku sudah tidak sabar untuk mendiskusikan padanya mengenai beberapa hal. Aku merasa harus minta maaf padanya atas apa yang aku katakan pagi tadi di koridor. Aku juga harus bertanya padanya mengenai siapa perempuan yang tadi pagi bersamanya. Taruhanku dengannya akan lebih sulit jika Farish sudah punya pacar. "Uhm, girls.. Gue ada urusan mendadak. Kalian ke mall aja duluan. Nanti gue nyusul." Aku tersenyum pada ketiga sahabatku meminta pengertian. "Oke," sahut Rossie diiringi anggukan yang lainnya tanpa wajah curiga. Setelah berpisah dari ketiganya, aku langsung berjalan menuju perpustakaan. Tempat dimana aku yakin bisa menemukan Farish dengan mudah. Aku punya perasaan bahwa cowok itu akan berada disana. Benar dugaanku, begitu aku masuk ke perpustakaan, cowok nerdy itu sedang duduk membaca buku dengan serius. Di sebelahnya, cewek yang pagi tadi kulihat bersamanya ikut menemaninya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Farish. What is that? Are they on date right now? "Hey, nerdy boy!" panggilku setelah cukup lama berdiri memandangi punggungnya. Farish berbalik dan menatapku dari balik kacamatanya dengan wajah dingin. Cewek berambut panjang dengan tahi lalat di dekat bibir yang duduk di sampingnya ikut mengangkat kepalanya dari bahu Farish kemudian berbalik memandangku. "Rish, siapa dia?" tanya cewek itu. Tidakkah ia tahu bahwa aku adalah penguasa sekolah ini? I'm The Queen Bee! How dare she doesn't recognize me as The Queen Bee? And what is that? Rish? Jadi dia bahkan sudah punya panggilan sayang untuk cowok nerdy ini. "Jadi alasan lo gak tertarik sama gue adalah karena lo udah punya pacar, nerdy boy?" Farish mendengus mendengar pertanyaanku. "Apa gue kelihatan seperti seseorang yang akan macarin adik kandungnya sendiri, Queen? Ini adik gue, Firash." "Kak Rish, who's this pretty girl?" tanya gadis bernama Firash tersebut. Matanya tidak lepas memperhatikanku sedari tadi. Pertanyaan Firash membuat senyumku langsung mengembang. Bahkan adik nya sendiri pun mengakui bahwa aku cukup menarik. "Look, bahkan adik lo sendiri gak bisa memungkiri pesona gue, Ghada Farisha. Beda banget sama kakaknya yang sama sekali gak punya selera bagus." Aku lalu menoleh ke arah Firash. "I'm Jessica Veranda." "Jessica Veranda? That's odd. Nama Kakak mirip dengan karakter tokoh di dalam novel yang dibuat Kak Rish di rumah." Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak bangga mendengar hal barusan. Jadi aku dimasukkan dalam novel yang dibuatnya? Aku tidak tahu jika Farish bisa membuat novel. Mengetahui hal ini membuat aku jadi semakin yakin bahwa Farish memang menyukaiku. Aku bertaruh bahwa aku adalah sosok tuan putri dalam novel bodohnya dan dia adalah pangerannya. What kind of fantasies does this boy had? "Gue jadi karakter apa di dalam novelnya?" Aku bertanya penasaran. "Nenek sihir," jawab Firash sehingga membuatku langsung menatap tajam Farish. Kerianganku barusan langsung berubah menjadi redup. "Nenek sihir? Really? What kind of novel do you write, Ghada Farisha?" Aku memberengut marah menatapnya dan dia hanya menanggapi reaksiku dengan tertawa. "Gue berani bertaruh kalau lo mikir elo adalah tuan putri atau heroine di novel-novel fiksi gue." Farish berbicara di antara tawanya. You're so wrong Kimmy. Ghada Farisha knows how to laugh, especially if it involves me being humiliated. Aku melipat kedua lenganku di d**a sambil memandangnya dengan jengkel. "Are you done?" "Lo gak akan pernah berubah Veranda." "Whatever Farish." Aku lalu berbalik hendak meninggalkannya. "Tunggu," tahan Farish cepat. "Gue sama Firash akan makan siang bareng di JCO. Lo mau ikut?" tawarnya yang langsung membuatku terkejut dan menatapnya tak percaya. That was shocking. Is he asking me on a date? "Ini bukan nge date, oke?" ucapnya cepat mengklarifikasi. Bagaimana dia tahu apa yang baru saja aku pikirkan? Am I too transparant? "No, thanks. Temen-temen gue sudah nunggu gue," tolakku mencoba untuk bermain tarik ulur dengannya. "Oke." Dia mengangguk lalu menutup buku di tangannya kemudian menarik tangan adiknya untuk segera beranjak pergi. "Cuma itu? Lo gak berniat untuk mendesak gue?" Cowok ini benar-benar menyebalkan. "Lo bilang kalau lo gak mau ikut kan? Jadi kenapa gue harus ngedesak lo untuk ikut?" tanyanya dengan wajah polos. "Lo bener-bener gak tau bahasa dan isyarat cewek tapi lo dengan sombongnya bilang kalau gue bakal jatuh cinta sama lo? How are you going to make me fall in love with you?" Oh s**t. Aku mengatakan sesuatu yang membuatku ingin sekali menendang kepalaku karena terlalu berbicara gegabah. Why Veranda, why? Farish tersenyum menyeringai. Aku tahu apa yang tengah melintas dipikirannya saat ini. "Lo berharap gue bisa membuat lo jatuh cinta sama gue Veranda?" "Rish, apa cewek ini suka sama kamu?" tanya Firash sambil memegang erat lengan kemeja kakaknya. "I'm not. But, he will," kataku mengulang kalimat yang diucapkannya kemarin kepada Judith. Farish menggelengkan kepalanya lalu memandang adiknya. "She will." Kacamata tebal, pakaian yang lusuh, rambut panjang berantakan, penampilan yang di bawah standar. Come on! Fix yourself first before claiming that you'll make me fall for you Ghada Farisha! Sepertinya aku harus mencari cara untuk membuat Ghada Farisha cepat bertekuk lutut di hadapanku. Lebih cepat lebih baik. Aku tidak ingin berlama-lama dengan taruhan ini. Dia membuatku merasa bahwa aku lebih rendah dari dirinya. He's not even likeable! As for me, I don't get him. Cantik bukanlah kesukaannya. Haruskah aku menjadi seorang cewek yang dia suka? I have to be the female version of him for him to like me? Aku tidak akan merendahkan diriku hingga sejauh itu hanya untuk mendapatkan perhatiannya. Being nerd is not my thing. I have to learn his secret. Tipe perempuan yang disukainya atau seperti apa mantan pacarnya. Itu pun jika dia memang memiliki mantan pacar seperti yang diberitahu Kimmy. "Lo gak seharusnya ada disini Jessica Veranda." Farish kembali berbicara melihat aku hanya berdiri diam mematung. Lo gak seharusnya ngomong dengan cowok gak berguna seperti gue." Perkataan Farish langsung membuatku teringat alasan mengapa aku berada di sini. "Look, gue gak bermaksud ngomong seperti itu tadi pagi. Gue cuma berusaha untuk mengganti topik supaya temen-temen gue berhenti ngebahas soal lo." "Lo gak perlu menjelaskan apa-apa ke gue, Jessica Veranda. Kita bukan teman dan lo bahkan gak menyakiti gue." "Lo bener. Tapi gue gak mau lo berpikir kalau gue nenek sihir gak berperasaan." "Gue akan tetap berpikir seperti itu." Aku baru saja hendak melangkah mendekatinya untuk protes ketika kaki ku mendadak tersandung hingga tubuhku membentur matras empuk. "Ugh!" Aku mendengar Farish meringis. Aku mendongakkan wajahku dan langsung menyadari bahwa aku tidak membentur matras yang empuk. Aku membentur tubuh Ghada Farisha. Apa dia menangkap tubuhku begitu aku hampir terjerambab ke lantai? Aku menatap wajahnya. Matanya terpejam dan tanpa mengenakan kacamata. Namun moment ketika dia membuka matanya, aku melihat matanya dengan bulu mata yang panjang dan alis yang teduh. For seconds, I was lost in his rich brown eyes. "Apa lo baik-baik aja?" tanyanya khawatir. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku tertegun dan merasakan jantungku berdebar tidak teratur. What the hell was that? Aku tidak tahu apa yang kemudian terjadi tapi hal yang selanjutnya baru kusadari adalah aku sudah duduk di salah satu kursi dengan Farish yang tengah memeriksa lututku sementara Firash hanya memperhatikan dari balik punggungnya. "Hey, Queen. Apa lo baik-baik aja? Ada yang luka?" Dia terus bertanya padaku namun aku masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. "Hey!" Farish menjentikkan jarinya dan saat itulah akhirnya aku bisa menemukan kesadaranku. "I'm fine." Aku buru-buru berdiri dari kursi dan segera menjauhkan diriku darinya. "Elo bener-bener ceroboh," komentarnya sambil tertawa. Aku kembali menatapnya dan matanya tidak lepas memandangiku. Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku darinya. Jantungku yang bodoh ini mendadak memompa sangat keras dan tiba-tiba saja aku merasa sangat gugup karenanya. "Gue-gue.. Gue harus pergi sekarang." Aku mulai berbalik untuk pergi namun lagi-lagi aku kehilangan keseimbanganku. Farish kembali menolongku. Dia dengan cekatan menahan lenganku dan tangannya yang lain dengan cepat merangkul pinggangku. "Seharusnya Kakak gak menolak ditawarin bantuan sama Kak Rish," komentar Firash yang hanya menatap datar posisiku dan Farish yang ku yakin pasti terlihat cukup aneh saat ini. "I'm perfectly fine." Aku mencoba menyakinkan. "Nonsense. Gue anterin lo sampe depan. Gue tau jalan lain untuk keluar dari sekolah supaya anak-anak lain gak ngeliat lo jalan bareng sama gue." Sebelum aku sempat menolak, Farish sudah mengangkat tubuhku dan membawanya dalam gendongan lengannya. Firash yang melihat kakaknya berbuat demikian, segera berinisiatif untuk membawakan tas sekolahku dan berjalan mengekor di belakang kami. Bukan itu masalahnya. Ini bukan mengenai aku takut terlihat sedang bersama dengannya. Tapi ini mengenai fakta bahwa mungkin saja dia bisa mendengar degup jantungku yang berdetak kencang dalam rengkuhannya. Aku bahkan tidak mengerti kenapa aku merasa gugup mengenai hal ini. Aku bahkan merasa pipi ku menghangat karenanya. Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak mencuri pandang ke arahnya. Terlebih lagi ke arah wajahnya yang kini tanpa kacamata. Matanya sungguh menarik. Aku heran mengapa dia harus menyembunyikan mata indahnya itu. Kenapa dia tidak menggunakan kontak lens untuk membuat matanya bisa dinikmati oleh orang lain? Memang tidak ada perbedaan yang begitu berarti. Tapi wajahnya yang tanpa kacamata membuat Ghada Farisha terlihat seperti cowok normal. Ketika kami sampai di pintu keluar yang berada samping sekolah, Farish lantas menurunkan tubuhku. "Be carefull not to fall on me again, Queen." Dia menyampaikan salam perpisahannya dengan seringai kecil. "See you again, Kak Queen." Firash turut berpamitan setelah menyerahkan tas sekolahku. Ia lalu berlari kecil menyusul Farish yang sudah berlalu lebih dulu. Queen? Sejak kapan namaku berubah menjadi Queen? Dia pergi dengan membuatku speechless lagi. Kenapa harus selalu dia yang mengucapkan kalimat terakhir setiap kali kami berpisah? This is bad. Aku tidak bisa melakukan semua ini sendiri. I need back-ups. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN