Bapak Waras

1133 Kata
    Nuri baru saja menutup pintu ruang kerja Ganjar. Ia bermaksud untuk mencari Alea. Ia harus mengetahui siapa bapak yang dimaksud oleh Alea setelah ia melakukan kesalahan dengan menemui Ganjar.     Di mejanya, Alea sudah sibuk bekerja sementara tidak jauh darinya Ines, salah seorang rekan Nuri sedang berbicara melalui ponselnya.     "Alea, kalau aku boleh tahu siapa yang harus aku temui?" tanya Nuri dengan berdiri di depan mejanya.     "Kak Ines ga bilang bapak siapa Kak. Apa bukan Pak Ganjar?" tanya Alea balik bertanya.     "Bukan.Jadi siapa yang harus aku temui Nes?"     Ines yang ditanya Nuri tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Dia lebih memilih menghubungi nomor lain yang akan dia telepon.     Nuri tidak tahu mengapa Ines seperti tidak pernah menyukainya. Apa mungkin ia iri dengan prestasi yang ia capai selama ini. Siapa pun dapat melihat dengan jelas kalau Ines lebih sering berdandan daripada bekerja. Jadi apa salahnya kalau ia sering ditawarkan jabatan dan bonus yang lebih?     “Aku tidak tahu apa masalahmu Nes, tapi kalau sampai aku di marahai karena terlambat, aku tidak segan-segan mengatakan pada siapa pun yang harus aku temui kalau kau secara sengaja menghalanginya,” tegur Nuri tajam.     “Benarkah? Dengan cara apa?”     “Ingat pepatah ‘Banyak jalan menuju Roma’?” ucap Nuri sembari menunjukkan ponselnya.     Melihat Nuri sangat siap melawannya, Ines mengangkat dagunya tinggi, sikapnya begitu angkuh ketika menjawab pertanyaan Nuri.     "Pak Hans yang cari kamu. Aku ga ngerti kenapa bos harus mencari kamu," Jawab Ines ketus.  Ines tidak mengerti mengapa Nuri selalu memiliki banyak cara sehingga ia bisa selalu lolos dari perangkapnya.     Nuri tidak langsung bereaksi, Ia justru berpikir apakah bos nya bermaksud mengungkit masalah tadi ketika mereka bertemu di depan lift? Tapi apa masalahnya, seingatnya ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Jadi alasan apa yang membuatnya harus menghadap sekarang?     Nuri menatap Ines tajam sementara wanita itu memandang Nuri dengan sikap puas.     "Kau yakin yang memanggilku Pak Hans?" tanya Nuri memastikan.     Ines yang melihat perubahan pada wajah Nuri sangat puas. Ia sangat yakin kalau hari ini Nuri akan mendapat teguran dari bos nya.     "Untuk apa aku berbohong. Tapi terserah kau mau menemui nya atau tidak. Toh yang akan dimarahi dan mendapatkan teguran bukan aku," jawab Ines yang kini mulai merapikan mejanya.     Meladeni omongan Ines hanya membuat Nuri semakin terlambat. Sambil menghembuskan napas, Nuri meninggalkan meja Ines dan berjalan menuju lift yang akan membawanya ke ruang kerja Hans yang berada di lantai 11 gedung perkantoran Dwi Bagaskara Development Tbk     Nuri memandangi pintu ruang kerja Hans sementara Bu Desy yang merupakan sekretarisnya menatapnya geli. Nama Nuri di perusahaan Pengembang yang dipimpin oleh Hans Abyan Bagaskara sudah dikenal oleh hampir seluruh karyawan. Sikapnya yang ramah dan tidak segan mentraktir mereka setiap kali mendapatkan bonus adalah salah satunya.     Tidak banyak yang mengetahui kalau Nuri adalah putri tunggal dari seorang Tuan Tanah asal Betawi yang namanya sangat disegani oleh masyarakat di kampungnya. Desy mengetahui siapa Nuri ketika ia diminta untuk mencari informasi siapa sebenarnya Nuri oleh Presiden Direktur sebelumnya, yaitu ayahnya Hans.     "Kenapa belum masuk juga? Pak Hans sudah menunggu sejak tadi," tegur Desy yang membuat Nuri meringis.     "Menurut ibu ada apa ya beliau memanggil saya," tanya Nuri. Setidaknya dia mengetahui bocoran sebelum bertemu dengan pria yang menurutnya sangat menyebalkan.     "Saya tidak tahu. Masuklah sebelum beliau bersuara lagi!"     Keraguan masih mendera Nuri, tetapi seperti yang dikatakan oleh Desy, walaupun ragu, ia tetap harus menemuinya.     Dengan gerakan pelan, Nuri mengetuk pintu hingga terdengar suara yang menyuruhnya masuk. Suara yang membuat sebagian wanita berpikir macam-macam. Setidaknya bagi wanita yang berharap bisa menarik perhatian Presdir mereka.     "Darimana saja? Aku memanggilmu sudah setengah jam yang lalu," suara Hans lebih mirip hardikan karena sikapnya yang tidak tanggap daripada sebuah sapaan. Lagipula siapa yang mau menyapa bawahan...Nuri harus bisa mengendalikan pikirannya, terutama lidahnya.     “Maaf Pak. Saya tidak tahu kalau yang harus saya temui adalah Bapak,” jawab Nuri tidak berani menatap langsung mata Hans.     “Lalu siapa yang kau temui? Rohmat, Syafiih atau Okin?” tanya Hans dengan menyebutkan nama-nama yang tidak ada hubungannya sama sekali.     ‘Kalau mereka yang jadi presdir kenapa engga. Apa salah?’ ucap Nuri sekali lagi hanya dilakukan di dalam hati.     “Maaf Pak.”     Nuri hanya bisa menjawab mengikuti apa yang di inginkan oleh Hans, karena ia memang berada pada posisi bersalah. Andai saja ia lebih jelas bertanya pada Alea.     “Selama setahun ini sudah berapa lama kamu menolak promosi jabatan?” tanya Hans sambil meletakkan file yang dia pegang sebelumnya ke atas meja kerjanya.     “Menolak promosi? Dalam setahun ini hanya 2 kali Pak. Dan saya melakukannya karena saya kurang pantas mendapatkan tanggung jawab sebesar itu. Bapak adalah seorang Presiden Direktur yang pasti lebih tahu dan mengerti untuk menerima jabatan seperti itu memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Dan saya belum mampu untuk itu.”     “Benarkah? Bukan karena alasan yang lainnya?” tanya Hans tajam dengan mata menyelidik.     “Saya minta maaf. Terus terang saya tidak mempunyai alasan lain. Saya melakukannya hanya karena saya tidak sanggup memikul tanggung jawab yang sangat besar,” jawab Nuri menatap ke arah lain.     Hans mengamati wajah Nuri yang menurutnya sangat unik. Sepanjang ingatannya, Nuri memiliki cara bicara yang ceplas-ceplos terkadang dari ucapannya membuat beberapa orang yang mendengarnya merasa jengah. Tapi di depannya, wanita itu lebih memilih diam.     “Benarkah? Mengapa aku pernah mendengar kau berbicara pada bagian hrd kalau kau hanya menerima promosi untuk menjadi istri bos. Bisa jelaskan?”     Nuri, yang sejak tadi melihat ke arah lain dengan cepat berpaling dan menatap Hans dengan mata terbelalak. Ia sangat terkejut bagaimana bisa mendengar ucapan konyol seperti itu dari Hans. Berusaha menahan tawa, Nuri akhirnya menatap mata Hans dan ia baru mengetahui kalau bola mata Hans bukan berwarna hitam tetapi berwarna amber.     “Maaf, apa setelah mendengar perkataan seperti itu bapak percaya? Atau bapak mau mewujudkannya?” goda Nuri tanpa dapat menahan diri lagi.     “Jangan mengalihkan pembicaraan! Jadi kau selamanya tidak bersedia menerima promosi tetapi selalu siap menerima bonus?”     “Hanya orang yang tidak normal yang menolaknya Pak. Maaf kalau jawaban saya tidak sopan,” ucap Nuri dengan suara pelan.     “Jadi jelaskan alasan yang sebenarnya mengapa kau menolak promosi jabatan. Apa karena ekonomi keluargamu cukup mampu? Kalau ya kenapa kau masih bekerja di sini dan tidak berada di rumah saja? Menjadi juragan kontrakan atau juragan empang misalnya.”     Nuri tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya menatap Hans dengan pandangan melotot seperti menatap mahluk luar angkasa yang secara tiba-tiba bisa berbicara.     “Saya membutuhkan pekerjaan untuk membuktikan kalau saya mampu dan dapat memanfaatkan ilmu yang sudah saya capai sekaligus membuktikan kalau saya sebagai wanita mampu bekerja dan menghasilkan uang. Sementara usul bapak untuk menjadi juragan kontrakan atau juragan empang, saya pasti akan melakukannya kalau saya sudah mempunyai suami, tapi nanti bukan sekarang,” jawab Nuri yang mampu membuat Hans menatapnya galak.     Dalam hati Nuri tertawa puas, memangnya hanya dia saja yang bisa bicara.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN