DIRTY BABY - 03

2854 Kata
Rex menurunkan Litzi di dekat wastafel, posisi gadis itu duduk diatas keramik yang membentuk seperti meja. Pria berpakaian formal itu mengeluarkan sebuah sapu tangan berwarna putih dari saku jas bagian dalam. Kemudian Rex menyelipkan rambut Litzi ke belakang telinga, lalu tangannya bergerak menghapus coretan lipstik merah dikedua pipi dan kening Litzi. Litzi terbengong melihat wajah tampan itu. Ada kecemasan di wajah Rex, sangat jelas. "Aku tidak terima sikap mereka padamu," gumam Rex. Rex membasahi sapu tangan itu dengan air yang keluar dari keran, lalu mengelap sisa noda lipstik yang masih mengotori wajah cantik Litzi. Ketika tangan Rex menyapu pipi kiri Litzi, tangan mungil gadis itu mencekalnya. Kedua mata abu-abu Rex yang tajam, bertemu dengan kedua mata abu-abu Litzi yang teduh. "Kenapa kau ada disini?" tanya Litzi. "Bagaimana bisa aku meninggalkanmu ketika kau merasa takut?" timpal Rex dengan cepat. Litzi menggeleng, "Tidak. Seharusnya kau pergi, bagaimana dengan urusanmu yang lain?" "Kau prioritasku, Litzi!" balas Rex dalam satu tarikan nafas. Ucapan itu berhasil membuat nafas Litzi tercekat. Rex menangkup sisi wajah Litzi dan posisi Litzi masih mencekal lengan Rex yang menangkupnya. "Aku bisa lihat ada penderitaan dikedua matamu," gumam Rex, "Aku bisa merasakan kesakitan itu," tambahnya. Entah kenapa, perkataan Rex begitu mengena dihati Litzi. Setitik bening jatuh dari sudut matanya. Rex menghapusnya dengan ibu jarinya. Bibir pria seksi itu berkatup dan menggelengkan kepalanya, dia berkata kepada Litzi untuk tidak menangis. "Aku juga bisa melihatnya," gumam Litzi. Rex mengerutkan dahi. "Aku bisa lihat ada penderitaan dikedua matamu," ucap Litzi, "Namun aku tak mengerti. Mengapa? Sebelumnya aku melihat sesuatu terbesit disana, tapi aku tidak tahu apakah itu. Dan sekarang.. aku lihat disana terpatri jelas penderitaan," sambungnya. Rex menghela nafas berat, "Aku sedih melihat keadaanmu. Mereka membullymu dengan separah itu. Aku tidak terima, Litzi." Litzi tersenyum getir dan melepaskan cekalannya. "Mereka menyindirmu, menghinamu dan memfitnahmu! Tapi kenapa kau tidak berbuat apa-apa?" Rex menggenggam kedua bahunya, dia terlihat marah. "Karena aku lemah!" balas Litzi, "Aku tidak berdaya. Di dunia ini aku tidak memiliki apapun sebagai kekuatanku. Aku ini sebatang kara! Kepada siapa aku mengadu selain kepada Tuhan? Berulang kali ku lakukan itu, tetap saja kesialan ini terjadi. Jika keluargaku masih hidup, aku akan memeluk dan menangis pada mereka. Bahkan aku akan mengadu, sehingga orangtuaku datang kesini untuk mengatasinya. Tapi apa? Nasibku buruk!" pertegas Litzi yang tanpa sadar bersikap terbuka padanya. Tatapan Rex menajam, "Jangan berkata seperti itu, Litzi! Bagaimana jika Tuhan marah? Kau ingin merasakan karma? Tuhan selalu mendengarmu! Kau menunggu pengaduanmu padaNya terbalas bukan?" Kedua mata Litzi berkaca-kaca. Tiba-tiba saja Rex menggenggam tangan Litzi dan menariknya agar menyentuh d**a bidangnya. "Lihat aku! Aku ada di depanmu! Aku ada dalam hidupmu! Inilah garis takdir yang membawamu! Mungkin ini rencana Tuhan, dengan Dia menitipkanmu padaku, Litzi!" kata Rex tak kalah tegas. Litzi terdiam, perkataan Rex lagi-lagi menyentuh hatinya. "Litzi, kau tidak sendirian. Aku ada disini! Aku bersamamu! Okay?" ucap Rex dengan serius. Litzi sesaat menunduk lalu kembali menatapnya. Rex membantu Litzi turun, lalu membawanya pergi dengan menggandengnya. Sepanjang jalan Litzi melihat genggaman tangan Rex dan sosok Rex dari belakang yang tinggi dan gagah. Langkah kaki Rex begitu cepat, kemana pria itu akan membawanya? Sepanjang jalan, Rex dan Litzi menjadi pusat perhatian. Para murid yang tengah berada di dalam kelas, menoleh ke jendela untuk melihat mereka. "Woah! Sekolah kita kedatangan trillionaire!" kata salah satu murid laki-laki. "Mr. Rex terlihat dingin sekali. Bukankah dia di kenal pria yang ramah?" timpal murid perempuan. "Lihat, sexy dancer itu! Dia beruntung sekali di gandeng trillionaire tampan!" sambung murid perempuan yang lain dengan nada iri. Ternyata Rex membawa Litzi ke ruang guru. Di ruangan yang cukup luas itu di hadiri beberapa guru dan kepala sekolah, bahkan pemilik sekolah juga ada disana. Litzi terkejut bertemu Valerie, Diana dan anggota gang mereka yang lain. Litzi memalingkan pandangan ketika Valerie melempar tatapan tajam padanya. Tampak Valerie dan anggotanya dimarah-marahi oleh seorang guru atas perbuatan buruk mereka terhadap Litzi. "Kau duduklah disini. Aku ingin bicara dengan kepala sekolah," kata Rex kepada Litzi. Litzi menurut, ia duduk di sofa dan melihat Rex berjalan menghampiri kepala sekolah. Seorang wanita berusia 30-an menghampiri Litzi dengan cemas, beliau adalah wali kelasnya. "Litzi, bagaimana keadaanmu?" tanya Grace, si wali kelas. Litzi tersenyum, "Litzi baik-baik saja, Bu." "Kenapa kau tidak mengatakannya pada Ibu jika Valerie dan teman-temannya memperlakukanmu dengan buruk, Litzi?" tanya Grace. Litzi menghela nafas, "Litzi tidak berdaya. Valerie mengancamku, jika aku mengadu perbuatannya dan teman-temannya padaku kepada Ibu atau guru-guru yang lain, maka mereka akan memperlakukanku lebih buruk lagi." Rex duduk berhadapan dengan pria paruhbaya, kepala sekolah tersebut. Tatapannya yang dingin membuat kepala sekolah itu gugup dan menyapanya dengan hati-hati. "Bagaimana, Mr. Vives? Aku ingin orangtua anak-anak itu datang kemari," ucap Rex. "Aku sudah menghubungi mereka, Tuan. Mereka akan segera datang," jawab Mr. Vives. "Dan satu hal lagi... aku harap kau tegas dalam memberi tindakan atas kesalahan mereka." "Tentu, Tuan. Aku sudah memutuskan sesuatu untuk hukuman mereka." Rex menatap Valerie dan teman-temannya, tatapan menohoknya mempu membuat mereka ketakutan. Valerie tidak tahu jika ini akan terjadi, perbuatannya dan Diana diketahui oleh trillionaire itu. Ketika Valerie dan teman-temannya tergelak, mereka terkesiap saat melihat sosok Rex berdiri tak jauh dari lokasi lorong tempat dimana mereka melakukan kekerasan terhadap Litzi. Rex kala itu tidak sendirian, kemudian datanglah beberapa guru terutama Grace. Rex menatap Valerie dan teman-temannya dengan tajam, perbuatan mereka membuatnya benar-benar marah. Ia memalingkan wajahnya dan menggelengkan kepalanya heran ke arah kepala sekolah, tak lama pria paruhbaya lain yang mana adalah pemilik sekolah tersebut menghampiri Rex. "Tuan, maafkan atas kecerobohan kami," ucap Dilio, pemilik sekolah. Rex beranjak dan memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Menatap Vives dan Dilio dengan pandangan heran. Rex menyampaikan ungkapan kekecewaannya kepada mereka atas keamanan dan fasilitas sekolah tersebut. Rex heran, bagaimana bisa mereka ataupun para guru disana tidak mengetahui peristiwa buruk itu? Padahal bully-an kerap kali terjadi di sana yang menimpa Litzi. Fasilitas gedung sekolah itu dilengkapi CCTV tapi mengapa tindak pencemaran nama baik dan kekerasan yang terjadi disana tetap tidak mereka ketahui? "Sekolah macam apa ini heh? Tolong jelaskan kenapa itu bisa terjadi? Tugas kalian bukan hanya sebagai guru, tapi orangtua ke dua untuk para muridnya! Mengecewakan!" kata Rex membuat Vives, Dilio dan para guru merasa bersalah. "Sekolah ini dicap sebagai sekolah terbaik! Tapi apa-apaan ini? Pengawasan disini saja nol! Bagaimana jika ada Litzi yang lain?" tambah Rex. Jika Ayah masih hidup. Apakah dia akan bersikap sama seperti pria itu? Sikap Rex cenderung kasar, tetapi siapapun akan mengerti bila dia sedang berusaha melindungiku. Aku pernah mimpi apa sampai ada malaikat tak bersayap datang dalam hidupku? batin Litzi. Datanglah dua orang staf keamanan dengan seorang staf CCTV. Dilio memanggil staf CCTV itu untuk menghadapnya. Tampak pria berkumis tipis itu menunduk, seperti dia ketakutan. Valerie meremas jari jemarinya, tubuhnya panas dingin melihat keberadaan staf CCTV itu. Diana menyenggol Valerie, "Hey, Vale! Bagaimana ini?" bisik Diana. "Diam kau!" timpal Valerie dengan melototinya. "Kau yang mengawasi monitor CCTV bukan? Lalu kenapa kejadian pembullyan ini tidak kau laporkan padaku atau pihak guru lainnya?" tanya Dilio dengan geram. Vives mendengus, "Tugasmu bukan hanya mengawasi monitor! Setiap hari kau harus melaporkannya! Laporan yang kau berikan selama ini semua baik-baik saja, tapi apa ini? Ternyata ada pembullyan yang terjadi di sekolah ini!" Rex berdehem, "Jangan hanya salahkan staf CCTV. Kalian juga salah! Jangan selalu andalkan CCTV. Kalian punya mata kan? Itu bisa digunakan untuk mengawasi keadaan di sekolah!" Vives dan Dilio terdiam. Perdebatan cukup menegangkan disana, apalagi tampang Rex yang begitu dingin. Rex berjalan mendekati staf CCTV itu, tatapannya begitu skeptis. "Aku curiga. Sekolah ini dilengkapi CCTV dan pihak-pihak keamanan, tapi kenapa pembullyan ini tersembunyikan?" ucap Rex. Dilio melempar tatapan marah ke arah dua staf keamanan, "Dan kalian juga! Tugas kalian berkeliling sekolah untuk mengawasi, tapi apa ini?" Litzi menatap staf CCTV dan kedua staf keamanan itu, sebenarnya ia tahu sesuatu tapi ia tak bisa memberi tahunya kepada orang lain. Rex memperhatikan Litzi, ia merasa ada maksud lain dari cara gadis itu melihat kedua staf keamanan itu. Rex menghampirinya dan duduk disampingnya. "Kau ingin mengatakan sesuatu?" tanya Rex. "Em....," Litzi merasa takut saat melihat Valerie dan Diana melototinya sesaat. Rex mengikuti arah tatapan Litzi, Valerie dan Diana lantas memalingkan wajah mereka. "Ada apa, Litzi? Kenapa kau melihat mereka?" tanya Rex. Litzi menggeleng, "Tidak." Rex menghela nafas, "Aku tahu kau merasa takut. Aku tahu kau mengetahui sesuatu. Katakan saja, Litzi. Kau tidak usah takut. Takkan ada yang berani macam-macam padamu selama aku ada bersamamu." Selain perduli, dia begitu peka, memahami keadaan disekitarnya. Apapun yang ada pada diriku, dia mudah menebaknya, batin Litzi. "Litzi," panggil Grace. Litzi mengerjap dan terlihat kebingungan. Bagaimana ini? Litzi mengetahui sesuatu, tapi harus dari mana ia memulainya untuk bicara. Valerie, Diana dan kedua staf keamanan memberi tatapan peringatan. Litzi bimbang, namun hatinya berbicara untuk membeberkan rahasia yang selama ini ia simpan dari publik. Rex menggenggam erat tangan Litzi dan mengangguk, menandakan agar Litzi mau bicara. Berkat kekuatan yang Rex berikan padanya, ia pun menarik nafas dalam-dalam dan mengangguk. Tampak semua orang tak sabar menunggu Litzi bicara, kecuali Valerie, Diana, kedua staf keamanan dan juga staf CCTV yang merasa jantung mereka berdegup tak karuan karena takut. Akhirnya Litzi memberanikan diri untuk membongkar rahasia yang selama ini ia ketahui. Valerie mengepalkan tangannya ketika Litzi memboncorkan rahasianya, tentang tindak penyuapan yang ia lakukan kepada staf CCTV dan staf keamanan. Litzi tahu hal itu karena ia tak sengaja mendengar pembicaraan Valerie dengan mereka di ruang CCTV, saat itu Litzi kebetulan lewat lalu melihat langsung ketika para staf itu menerima uang dari Valerie. Litzi ketahuan dan Valerie mengancamnya, bahkan para staf juga ikut mengancamnya akan membunuhnya jika rahasia mereka terbongkar. Benar, para staf itu berkerjasama dengan Valerie untuk menyembunyikan pembullyan yang Valerie dan teman-temannya lakukan. Staf CCTV sengaja merusak rekaman bagian pembullyan itu terjadi sebelum melaporkan hasil rekamannya. "Kecurigaanku benar," kata Rex mengepalkan tangannya. "Bagus, nak! Kau melakukan hal yang benar dengan mengatakan semua itu pada kami. Ibu tidak menyangka Valerie selicik itu," kata Grace. Rex tersenyum sinis, "Kelicikan tidak memandang usia. Siapapun bisa melakukannya." Grace mengusap kepala Litzi, "Kau jangan takut lagi, Litzi. Tak perlu ada yang kau takuti, ada Tuan Rex dan kami yang kan melindungi--" "Tidak lagi. Cukup aku yang kan menjaganya. Mrs. Grace ataupun guru lainnya tidak perlu repot-repot menjaganya," potong Rex. Vives mengernyit, "Maksud Tuan? Kau masih marah pada kami? Maafkan kami." "Aku tidak marah pada kalian. Aku hanya merasa kecewa dengan keteledoran sekolah ini. Litzi tidak akan sekolah disini lagi," papar Rex. Litzi mengernyit, "Apa.. apa maksudmu?" "Kau akan pindah sekolah," Rex menatap tajam Litzi. Dilio terkejut, "Tuan! Jangan lakukan itu! Litzi tak perlu pindah sekolah. Kami, pihak sekolah akan mengeluarkan Valerie dan teman-temannya dari sini. Bahkan para staf itu akan kami beri sanksi dan pecat." Valerie, Diana, anggota mereka lainnya dan staf CCTV juga kedua staf keamanan terkejut begitu mendengar perkataan Dilio. Rex menggelengkan kepalanya dengan tangan yang masih mengepal. Ada amarah yang membara di dalam dirinya, ingin rasanya mengacaukan tempat itu dengan kedua tangannya, namun ia berusaha menahannya demi Litzi. Benar, demi... Litzi. Ketika Litzi ingin mengatakan sesuatu, datanglah para orangtua murid-murid yang telah melakukan tindakan pembullyan. Mereka menghampiri puteri-puteri mereka masing-masing, mereka tidak tahu mengapa Vives menghubungi mereka untuk cepat datang ke sekolah. Di tambah keberadaan Rex disisi Litzi membuat mereka kebingungan, bertanya-tanya dalam hati kenapa trillioniare itu ada disana, apalagi melihat raut wajah Rex yang begitu dingin. Valerie meremas jari-jarinya, keringat rasanya mengalir di seluruh tubuhnya ketika kedua orangtuanya ada disana. "Mr. Rexford!" kata Mario, seorang pengusaha yang ternyata adalah rekan bisnis Rex. Rex yang biasanya tersenyum ketika bertemu Mario, kini memandangnya dengan dingin. Mario merasa aneh dengannya. "Mr. Vives, sebenarnya ada apa ini? Kenapa kami dipanggil untuk datang kesini?" tanya Mario. "Tanyakan saja pada puterimu, Mr. Mario Giorgio. Mintalah jawaban itu pada puterimu," sambung Rex dengan nada dinginnya. Valerie meneguk salivanya. Mario menatapnya, bertanya kenapa kepala sekolah menghubunginya untuk datang ke sekolah. Teman-teman Valerie juga mendapat pertanyaan yang sama dari orangtua mereka, ada yang khawatir, ada juga yang kesal karena berpikir puteri mereka melakukan hal buruk di sekolah. Vives pun angkat bicara, ia menjelaskan alasannya memanggil mereka datang ke sekolah. Para orangtua itu menutup mulut mereka yang terkejut atas apa yang telah puteri mereka lakukan kepada Litzi. "Litzi memang kehilangan orangtua dan adik-adiknya. Tapi dia masih memilikiku," gumam Rex. Litzi lantas menatap pria tampan itu. Rex menghela nafas, "Aku sempat dengar penghinaan yang Litzi dapatkan pagi ini. Tak cukup menghinanya, tapi memfitnahnya dengan membawa namaku, sungguh aku tidak suka." Valerie dan Diana meneguk saliva mereka dengan susah payah. Merasa tersindir dengan perkataan Rex. "Litzi tidak berkencan denganku. Bahkan aku baru pertama kali bertemu dengannya tadi malam, itupun semata-mata urusan pekerjaanku. Aku datang ke rumahnya untuk menyita rumah itu. Benar, mendiang Ayahnya memiliki hutang pada perusahaanku. Litzi berusaha membayarnya dengan hasil jerih payahnya, dengan pekerjaan sedapatnya, tapi aku merasa kasihan padanya. Satu sisi aku bersikap profesional, namun disisi lain aku bersikap bijaksana padanya. Litzi gadis remaja yang hidup sebatang kara, memenuhi kebutuhan hidupnya di tengah kesulitan atas hutang-hutang Ayahnya pada perusahaanku. Aku mengembalikan uang-uang yang sebelumnya ia berikan kemarin sore, karena itu takkan cukup untuk melunasi hutang. Toleransi sudah terlampaui cukup jauh. Aku pun menyita rumahnya, tapi aku memutuskan untuk mengurus Litzi dengan penuh tanggung jawab," papar Rex. Semua orang menyimak dengan hati yang terenyuh atas sikap Rex. Valerie dan Diana menunduk, penjelasan Rex seperti menampar mereka. Aku merasa tidak enak padanya. Sempat aku mengatakan dia hanyalah orang asing, tapi ternyata apa yang dia lakukan semalam semata-mata untuk menolongku. Dia malaikat penolongku, batin Litzi. "Aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri," ucap Rex. Tanpa sadar, Litzi tersenyum mendengar ucapan Rex barusan. Tanpa orang-orang di dalam ruang guru itu sadari, seorang murid berkacamata menguping pembicaraan mereka. Murid laki-laki tersenyum, Litzi memang bukanlah perempuan yang buruk seperti apa yang Valerie katakan. Ia pun berlari pergi untuk menyebarkan hasil rekaman pembicaraan itu kepada murid-murid lainnya, ia merekamnya via ponsel. Ia berniat untuk mengembalikan nama baik Litzi lagi. "Vale...," geram Mario kepada puterinya. Mr. Vives pun memutuskan untuk mengeluarkan Valerie dan teman-temannya dari sekolah. Bahkan memberi sanksi sekaligus memecat staf CCTV dan kedua staf keamanan. Dilio mencoba menenangkan Rex agar menarik keputusan untuk memindahkan Litzi ke sekolah lain, namun Rex bersikukuh untuk menolak. "Ku mohon, aku tidak mau keluar dari sekolah ini," ucap Litzi. Rex menatapnya tajam, "Keputusanku sudah bulat! Jangan merengek seperti itu anak kecil!" Litzi tercengang, sudah dikatai gadis kecil, sekarang anak kecil. Dibalik sikap Rex yang baik hati bak malaikat bersayap putih, dia memang menyebalkan dimata Litzi. "Mr. Rexford, pikirkan lagi keputusanmu," kata Vives dengan penuh harap. "Maafkan kami, Tuan. Kami akan memperbaiki semuanya. Kejadian ini tidak akan terulang lagi," tambah Dilio. "Lakukan itu. Jangan sampai pembullyan terjadi lagi. Dengar, aku dapat dengan mudah menutup sekolah ini," ucapan Rex dibagian kalimat terakhir membuat Dilio terkesiap. "Tapi aku tidak melakukannya, karena aku tidak mau permasalahan ini semakin panjang," sambung Rex seraya beranjak. Vives dan Dilio terdiam, mereka menghormati keputusan Rex. Jika mereka berusaha lagi, itu percuma saja karena Rex sudah bersikukuh. Mario menghampiri Rex, ia meminta maaf kepadanya dan juga Litzi atas sikap Valerie. "Datanglah ke perusahaanku nanti," ucap Rex dengan nada dingin. Rex menggandeng tangan Litzi, pamit untuk pergi lalu ia pun melangkah pergi meninggalkan ruang guru itu. Mario berdiri dengan rasa kesal, kesal kepada Valerie yang bisa saja perbuatan puterinya itu mengacaukan hubungan bisnisnya dengan Rex. "Kau menggandengku seperti mau menyeberang saja," kata Litzi. Rex lantas menghentikan langkah kakinya, melepaskan cekalannya, lalu menatapnya dengan sorotan mata mematikan. Kemudian melenggang pergi tanpa berkata apapun pada Litzi. Gadis itu mengernyit, ada apa dengan Rex? Rex menghentikan langkah kakinya lagi lalu menoleh padanya. "Hey! Ayo!" kata Rex dengan nada tinggi. Litzi berjalan menghampiri pria dewasa itu, kemudian mensejajarkan langkah kakinya dengan Rex. "Apa kita akan pulang?" tanya Litzi. "Kemana?" Rex balik bertanya dan tetap menatap lurus ke depan. "Em.... mansion-mu," jawab Litzi. Tiba-tiba saja Rex tertawa pelan, "Jadi... kau sudah menganggap mansion-ku tempatmu untuk pulang?" Litzi tercekat dan sulit menjawabnya. Bagaimana ini? Ia merutuki dirinya sendiri karena melontarkan pertanyaan dan jawaban itu kepada Rex. Balasan pria itu berhasil membuat Litzi kebingungan. Tiba-tiba saja Rex kembali bersikap manis, tangan kekar pria itu mengacak puncak kepala Litzi dengan gemas dan tersenyum yang dapat melelehkan hati. Ya ampun, Litzi! Apa-apaan kau ini! Berhentilah untuk terkesima padanya, batin Litzi. "Itu bagus, belajarlah untuk menerima kenyataan bila kau akan tinggal... ber.sa.ma.ku," ucap Rex menekan tiap kata -bersamaku-. Litzi terdiam membisu, ia seperti terhipnotis tiap kali pria itu berada di sampingnya. Litzi berhenti, ia membalikan tubuhnya untuk melihat gedung sekolahnya. Jauh dari lubuk hatinya, ia merasa sedih akan pindah sekolah. Karena satu sisi ia merasakan banyak penderitaan disana, disisi lain sekolah itu meninggalkan kesan indah. Mulanya ia damai dalam dunia sekolah itu, namun semenjak ia sebatang kara, semua itu berganti dengan penderitaan yang disebabkan oleh kejahatan Valerie dan kelompoknya. "Kenapa kau masih melihat tempat yang buruk itu?" tanya Rex. Litzi kesal, "Tidak baik kau bicara seperti itu. Ini adalah sekolahku." Rex tersenyum sinis, "Tempat itu tak pantas untuk kau sebut sebagai sekolah. Lebih pantas disebut neraka." "Tolong...," Litzi menatapnya jengkel. "Heran, sampai zaman yang modern ini, bullyan masih tetap dibudayakan. Dimana akal sehat mereka?" balas Rex dengan tersenyum kecut. Litzi menghela nafas, "Apa kau benar-benar akan memindahkanku ke sekolah lain?" "Aku tidak terbiasa menarik keputusanku lagi," balas Rex dengan serius. "Apa hakmu dengan melakukan itu padaku? Aku kan tidak mau," balas Litzi belum bisa mengalah. "Mulai saat ini aku yang mengurusmu, Nona Litzi Euniciano!" tegas Rex dengan mata elangnya yang menajam. Entah kenapa tubuh Litzi membeku begitu melihat mata elang pria itu menunjukan kilatan yang mengintimidasinya. Rex menariknya dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil, sebelum pintu mobil sport-nya tertutup ia sejenak terdiam seraya menatap gadis remaja itu dengan sorot mata yang sama. Litzi sampai mendelik ketakutan dan keheranan, sikap Rexford Mackenzie selalu berubah-ubah. Bersikap dengan baik dan terkesan manis padanya, namun tiba-tiba berubah menyebalkan, mata elangnya menyorotkan kilatan yang tajam dan aura dingin begitu kental dalam dirinya. Aku melakukannya secara perlahan. Tunggulah saat dimana kau akan tahu apa hakku terhadapmu, ucap Rex dalam hati. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN