DIRTY BABY - 04

2521 Kata
"Seharusnya.. kau tidak sekasar itu bicara dengan mereka," suara Litzi memecahkan keheningan disana. "Mereka siapa yang kau maksud?" tanya Rex yang fokus menyetir. "Pemilik dan kepala sekolah, guru-guru dan Ayahnya Valerie," jawab Litzi. Pria itu diam dan keheningan kembali menyelimuti mereka. Sungguh, Litzi tidak mengerti dengan sikap trillionaire itu. Mungkin kasar dan dingin adalah sikapnya, pikir Litzi saat itu. Namun bagaimana dengan sisi manisnya? Ahhh..., aku belum terlalu mengenalnya. Butuh waktu untuk mengenal orang-orang yang berada disekelilingku, batin Litzi. "Aku benci tempat seperti itu," gumam Rex. Litzi menoleh, "Mengapa?" "Yang mereka andalkan hanyalah technological. Bahkan orang-orang yang dikerahkan untuk mengawasi keadaan sekolah terlibat dalam kasus suap yang didalangi oleh murid. What the f**k!" Rex tampak menenggenggam erat stir sampai otot-ototnya terlihat. Litzi memilih diam daripada terkena dampratan trillionaire yang sedang menggeram marah. "Semakin sulit untuk percaya," gumam Rex. Sorot mata pria itu melayang ke sesuatu yang lain. Benarkah atau hanya perasaanku saja? Ucap Litzi dalam hati. "Akan ku tebus kegagalan yang pernah ku lakukan," gumam Rex dengan suara pelan namun Litzi masih bisa mendengarnya. "Kegagalan?" Litzi mengernyit. Tiba-tiba saja eratan tangan Rex pada stir melemah dan kedua matanya mengerjap, Litzi melihat kedua hal itu dengan rasa yang sama... heran dan aneh. Sialan! Aku lupa untuk mengontrol amarah ini. Bayang-bayang itu datang dan kembali merasuki pikiranku, batin Rex. "Kegagalan apa yang kau maksud?" tanya Litzi, masih penasaran. Rex meliriknya sesaat, "Bukan apa-apa." "Ambigu..," umpat Litzi dengan suara pelan. "Kau bilang apa?" "Egh.. tidak. Oh ya, jangan melamun ketika menyetir. Kau bukan hanya membawa satu nyawa tapi dua nyawa, yaitu aku." Rex tersenyum, "Kau tenang saja. Sayapku yang kan selalu melindungimu." "Kenapa kau jadi puitis?" "Aku CEO, bukan puitis." "Maksudku kata-katamu barusan, Mr. CEO." "Kau sudah salah, ya mengaku saja. Dasar kecil!" Litzi mendengus dan menatap ke arah luar lalu membatin, Menyebalkan! Makhluk satu itu benar-benar susah untuk dimengerti. Sebenarnya maunya itu apa? Rex menatap gadis remaja yang duduk disampingnya, seutas senyum terukir diwajahnya. Dia suka ketika berhasil membuat Litzi tidak bisa melawannya dan jengkel padanya. Kata-kata Rex terkesan puitis, tapi itu terucap dengan ketulusan hatinya. Sayapnya yang telah rusak, kembali berbentuk sejak gadis itu ada disisinya. Sayap-sayapnya yang mengepak dengan begitu indah, siap untuk melindungi gadis itu dari serangan. Litzi melihat pantulan Rex dari kaca mobil, ia melihat ke belakang dengan sudut matanya lalu menoleh. Pria itu sudah menatap ke depan dan tidak ada lagi senyumannya. "Bagaimana jika kau ikut aku ke kantor?" tawar Rex. Litzi menggeleng dengan cepat, "Tidak! Un.. untuk apa aku berada disana? Itu hanya akan membuatku bosan." "Kau tidak akan bosan disana." "Tidak cocok gadis seusiaku berada disana. Apa yang akan ku lakukan?" "Kau akan menarik kata-katamu itu, begitu kau sampai disana." "Oh ya?" "Sudah ikut saja." "Tapi tebuslah janjimu. Kau akan menceritakan semuanya padaku kan?" "Iya. Setelah aku selesai meeting." Litzi dan Rex pun sepakat. Sebenarnya Litzi agak malas datang ke tempat yang asing lagi, apalagi itu sebuah perusahaan. Pasti ia menjadi pusat perhatian seluruh penghuni perusahaan, bisa saja ada yang mengoloknya karena ia adalah puteri dari seorang mendiang pengusaha yang memiliki hutang mencapai angka selangit pada perusahaan Rex. Namun jauh dari itu, ia ingin melihat secara langsung bagaimana perusahaan besar dan terkenal di dunia itu. Tidak membutuhkan waktu lama, mereka pun sampai. Rex memakirkan mobilnya di pelataran tepat di depan beberapa tangga yang terhubung dengan pintu utama gedung. Pria itu lebih dulu turun, selanjutnya disusul Litzi. Orang-orang yang baru tiba di perusahaan itu memusatkan perhatian mereka kepada Litzi, gadis yang berada di samping pimpinan tertinggi mereka. Rex pun mengajak Litzi untuk masuk ke dalam gedung. Pintu yang terbuat dari kaca itu akan terbuka secara otomatis. Namun harus berhati-hati dan fokus ketika akan keluar masuk, sebab pintu kaca itu sangat bening hingga nampak tak terlihat. Litzi menatap takjub ketika ia berada di dalam gedung, tepatnya lantai utama yang areanya sangat luas. Seketika Litzi merasa canggung saat sadar bahwa keberadaannya menarik perhatian banyak orang. Benar, sosok Litzi lebih menarik perhatian dibandingkan trillionaire itu sendiri. Ada yang bertanya-tanya dalam hati atau berbisik-bisik satu sama lain seraya melihat Litzi. Ada yang tersenyum, ada juga yang tidak perduli. Ada yang kenal gadis itu, ada juga yang tidak. "Bisakah kau lebih cepat lagi jalannya?" tanya Litzi. Rex menoleh, "Kenapa?" "Emmm...," Litzi bergumam. Rex menyorotkan mata elangnya ke arah mereka yang tengah menatap Litzi. Kemudian pria itu tersenyum, mengerti kenapa Litzi memintanya untuk lebih cepat. Rex tahu bila gadis remaja itu merasa tidak nyaman. "Katakan saja jika kau tidak nyaman dengan tatapan mereka. Ayo..," Rex menarik tangan Litzi dan langkah kakinya sedikit lebih cepat. "Mulai sekarang kau harus terbiasa menjadi pusat perhatian," ucap Rex. Tentu saja, siapapun orang yang bersamamu pasti menjadi pusat perhatian. Karena kau seorang triliuner yang cukup berpengaruh. Dan... ah, situasi ini seringkali ku dapati ketika aku menari erotis dan dibully. Jadi apakah aku perlu beradaptasi lagi? batin Litzi. Litzi menarik tangannya yang digenggam Rex, ia berpikir Rex seharusnya tidak menarik tangannya karena itu akan semakin menyita perhatian mereka. Rex tidak menerima atas sikap Litzi itu, tapi ia menahannya. Ketika mereka berdua melewati meja reseptionis, reseptionis itu menyapa pemilik utama perusahaan itu, Mr. Rexford Mackenzie tanpa menganggap adanya Litzi. Beberapa orang juga turut menyapanya, Rex membalas sapaan mereka dengan tersenyum. Rex membawanya ke lantai paling atas dengan lift, mereka berdua sama-sama diam dan hanya mereka berdualah di dalam lift itu. Rex berdiri dengan tegap seraya memasukan tangan kirinya ke dalam saku, sedangkan tangan kanannya memegang tas yang di dalamnya terdapat laptop. Litzi menatap pantulan dirinya dan Rex yang ada di dinding lift itu, ia memperhatikan tubuhnya dan tubug Rex. Kemudian mendongak agar bisa melihat kepala CEO itu. Kira-kira berapa tinggi badannya? Aku dan dia bagaikan jerapah juga keledai, hihi... batin Litzi yang tanpa sadar tersenyum geli. "Apa yang kau pikirkan?" suara bariton Rex sedikit mengejutkan Litzi. "Ingin tahu saja..," balas Litzi lalu memalingkan wajahnya. Rex menghela nafas dan tersenyum. Lalu pintu lift terbuka dan mereka sampai dilantai paling atas. Litzi mengekori trillionaire itu, kedua mata gadis itu melihat kesana kemari di sepanjang lorong. Interior di lantai paling atas terkesan modern nan megah. Rasa ingin tahu merayapi pikiran Litzi ketika disana tak begitu banyak pintu dan tampak sepi. Bahkan ada beberapa foto bangunan-bangunan megah yang terpajang di dinding lorong. Sebuah foto menarik perhatian Litzi, ia pun menghampiri foto berukuran cukup besar itu. Rex menyadari gadis itu tidak mengikutinya, kemudian ia berhenti dan menoleh. "Itu adalah salah satu proyek yang berhasil perusahaanku bangun," gumam Rex yang tiba-tiba sudah ada di samping Litzi. "Bukankah itu casino?" tanya Litzi. "Ya, bangunan itu ada di kota termaksiat." "Aku tahu kota itu. Las Vegas, benar kan?" "Pintar." Litzi menyimak Rex yang sedang menjelaskan bangunan megah itu. Litzi pernah dengar jika casino yang dibangun oleh perusahaan Rex adalah casino terkenal di dunia setelah casino yang dibangun oleh pemilik tertinggi Mkzie Group, yakni Allard Mackenzie, Ayahanda Rexford Mackenzie. Rex mengatakan bila casino-nya dan casino Ayahnya berdiri di kota yang sama namun berbeda letak daerahnya. Ada persaingan diantara keduanya, sama-sama terus berinovasi dalam menarik pengunjung, akan tetapi keduanya sama-sama menjadi destinasi favorit. "Bukan cuma casino saja. Ada beberapa property lainnya yang telah dibangun oleh Mkzie Group atas kepemimpinanku," kata Rex. "Aku dengar perusahaanmu membangun hotel, resort, mall dan tempat hiburan lainnya," gumam Litzi. "Sedari tadi kau hanya mengatakan dengar saja, apa kau tak pernah melihatnya?" tanya Rex. Litzi menggeleng, "Aku bukan orang yang mengetahui banyak hal diluar sana. Banyak yang mengatakan jika aku buta informasi atau kurang update," ia menertawai dirinya. "Kau punya ponsel kan?" "Iya. Tapi aku menggunakannya seperlunya saja. Untuk tugas sekolah atau mengirim pesan, telfon... atau... emm... lainnya. Kecuali berkecipung di dunia maya. Tidak, aku tidak suka dunia satu itu," Litzi mengulum senyum. "Kenapa? Aku pikir gadis seusiamu lebih banyak menghabiskan waktu di sosial media," ujar Rex. "Tidak semuanya seperti itu. Aku lebih suka menghabiskan waktu di dunia nyata, salah satunya bekerja...," Litzi melangkah pergi untuk melihat foto-foto lainnya. Rex mengernyit, tingkah Litzi terkesan menyembunyikan sesuatu. Litzi menghela nafas pelan, sebenarnya ada penyebab lain kenapa ia tidak berkecipung di dunia maya. Litzi sudah lama meninggalkan sosial media karena pengalaman buruk yang dulu pernah ia dapatkan. Bahkan membuatnya trauma, tiap ia membuka internet padahal hanya mencari tugas saja, ketakutan itu muncul dan menggetarkan tangannya. Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu. Aku akan menunggu saat dimana kau bersedia untuk bersikap terbuka padaku. Aku bisa melihat luka dikedua matamu, aku bisa merasakannya. Hati ini terasa sakit tiap kali melihatnya, batin Rex. Rex mengajak gadis itu untuk melanjutkan perjalanan. Litzi menatap pintu itu, yang sebelumnya dia kira adalah lift ternyata bukan setelah pintu itu terbuka secara otomatis memperlihatkan sebuah ruangan yang luas. "Ayo, masuk! Ini ruang kerjaku," kata Rex. Litzi kembali mengekori trillionaire itu dan seketika tercengang. Ruang kerja? Seluas itukah? Semegah itukah?, pertanyaan-pertanyaan itu muncul di dalam benak Litzi ketika melihat bagaimana rupanya ruangan tersebut. Ruangan tersebut dominan warna hitam, putih dan abu-abu, terkesan maskulin. Yang lebih menarik adalah sebagian dinding terbuat dari kaca, yang menyuguhkan pemandangan indah. Rex meletakan tasnya diatas meja lalu tersenyum memperhatikan Litzi. Rex berdiri di dekat dinding yang terbuat dari kaca itu. "Mendekatlah!" kata Rex. Litzi pun menghampirinya dan ia tersenyum lebar saat menyentuh dinding kaca itu. Luar biasa, pikirnya. Ketika ia mendekat, pemandangan itu semakin jelas. Litzi menatap gedung-gedung lainnya, sepertinya satu-satunya gedung tertinggi disana adalah Mkzie Group. "Kau bisa melihat kota Madrid dari atas sini," kata Rex. "Ya, luar biasa. Siapa arsitek yang merancang perusahaanmu ini? Ruang kerjamu juga bagus," balas Litzi. Litzi menatap sesuatu yang lain, ia baru sadar bila ruangan kerja trillionaire itu ternyata terdapat balkon. Tiba-tiba pria itu menarik tangannya dan mengajaknya ke sebuah pintu yang terbuat dari kayu, pintu itu terbuka secara otomatis menjadi dua bagian. Kedua bagian pintu itu bergeser masuk ke dalam dinding kaca. Dinding kaca itu memang tebal dan sebagian dirancang agar kedua pintu masuk ke dalamnya. Litzi lantas menahan kedua kakinya bahkan mencekal lengan Rex yang menarik tangannya, gadis itu menggeleng cepat dan tercetak jelas ada ketakutan diwajahnya. "Ada apa, Litzi? Ayo, aku ingin menunjukan sesuatu yang lebih padamu," Rex mengerutkan dahi. Litzi menggeleng, "Tidak, aku takut." "Takut apa?" tanya Rex. Litzi tak menjawab, namun Rex mengerti setelah mengikuti arah tatapan Litzi. Rex tersenyum, jadi gadis berusia 17 tahun itu takut dengan lantai balkon itu. Litzi jelas merasa takut lantaran lantai balkon juga turut terbuat dari kaca. Rex beberapa kali membujuk gadis itu bahkan menariknya paksa, tapi Litzi tetap tidak mau bahkan ketakutannya semakin jelas. "Aaaa!!" Litzi berteriak saat Rex mengangkat tubuhnya, "Tidak! Tidak! Turunkan aku! Ku mohon! Tidak!" pekiknya. Rex mengabaikannya, ia tetap membopong gadis itu sampai di balkon. Litzi melingkarkan kedua tangannya di tengkuk Rex dengan sangat erat, memejamkan kedua matanya dan merapatkan kedua kakinya. Bahkan ia menenggelamkan wajahnya dibahu Rex, gadis itu sangat takut. Rex bisa merasakan getaran tubuh Litzi, namun dengan merdekanya ia tertawa lepas. Menertawai gadis yang ketakutan itu. "Aku mohon, jangan turunkan aku..," kata Litzi. Rex tertawa, "Buka matamu, tidak ada yang harus kau takuti." "Tidak.. aku mohon. Jangan! Bawa aku masuk! Tolong..," Litzi masih memejamkan kedua matanya. "Kau harus lihat ini." Litzi berteriak histeris ketika Rex menurunkannya. Bahkan suara kerasnya itu mampu membuat telinga Rex memekik. Berkali-kali gadis itu berteriak. Rex yang menghadapi tingkah Litzi hanya bisa tersenyum dan sesekali tertawa, gadis itu berjinjit dan tetap melingkarkan kedua tangannya di tengkuk Rex. Litzi masih memejamkan matanya. Karena rasa takut itu, ia merasa seolah-olah kedua kakinya melayang dan tubuhnya siap jatuh, padahal Rex memeluk pinggangnya dan posisi Litzi seperti menggantung. "Jangan turunkan aku!!!! Gendong aku! Aku mohon!!!!" pekik Litzi yang mulai menangis. "Hey! Aku masih menggendongmu, Litzi. Kenapa kau berlebihan begini hem? Tidak apa-apa," kata Rex. Litzi menggeleng, "Aku takut jatuh!" "Itu tidak akan terjadi. Buktinya, aku masih berdiri disini kan? Lihat! Aku baik-baik saja," Rex mencoba menenangkannya. Tangisan Litzi semakin menjadi, Rex berusaha menenangkan gadis itu dengan susah payah. Membujuk gadis itu supaya mau mengikuti apa katanya. Akhirnya Litzi pelan-pelan mau melepaskan lingkaran tangannya. Rex menurunkan gadis itu dengan terus menenangkannya bahwa tidak akan terjadi apapun. Dengan kedua kaki yang bergetar, Litzi merasa berpijak diatas balkon kaca itu. "Aku.. takut...," ucap Litzi dengan susah payah. "Dengar, kau--" "Jangan lepaskan tanganmu dariku! Jangan! Jangan lepaskan aku!" potong Litzi. "Aku takkan pernah melepasmu," Rex tersenyum. Litzi mengernyit, namun ia berpikir bila yang dimaksud Rex sesuai dengan apa yang ia katakan barusan, tidak melepaskan tangannya karena ia takut jatuh. Padahal pikiran Litzi bertolak belakang dengan kenyataan yang ada pada trillionaire tampan itu. "Ayo, buka matamu!" suruh Rex. Litzi menggeleng, "Aku takut." "Ct! Tidak apa-apa. Begini, apa yang kau rasakan sekarang?" "Takut." "Hapus kata itu dalam pikiranmu." Litzi diam. "Sudah kau lakukan?" tanya Rex. Litzi mengangguk. "Sekarang.. tarik nafasmu dalam-dalam," pinta Rex. Litzi melakukannya. "Kemudian.. keluarkan secara perlahan melalui mulut," kata Rex. Litzi mengikutinya lagi. "Good and next... catatlah kata berani dalam benakmu. Berani.. berani dan berani, okay?" ucap Rex. Litzi sedikit mengerutkan dahinya, lalu mencoba untuk mengikuti intruksi Rex. "Cepat! Buka kedua matamu!" suara Rex terdengar tinggi. Lantas saja, respon Litzi begitu cepat. Kedua mata gadis itu langsung terbuka dan pertama yang dilihatnya adalah d**a bidang yang terbungkus oleh kemeja serta jas. "Bagus! Litzi, jangan lihat ke bawah! Fokuskan pandanganmu ke depan, kau mengerti?" kata Rex. Litzi mengangguk dan kedua tangannya semakin mencengkeram lengan Rex. Ia mencoba menepis rasa takut itu dengan meneriaki kata berani dalam hatinya berkali-kali. Kemudian kembali mengikuti arahan Rex dengan mendongak secara perlahan, tatapan mereka pun saling bertemu. Rex mengulas senyum dan sejenak Litzi larut dalam pesona pria itu. "Bagaimana? Apa kau merasa jatuh?" tanya Rex. Litzi mengerjap dan menggeleng. Dengan meredam rasa takut, ia memberanikan diri untuk melihat ke bawah. Nafas Litzi berhenti sesaat ketika melihat lantai yang tembus pandang. Cengkeraman tangannya semakin kuat dan menelan salivanya. "Jika kau merasa takut, jangan melihat ke bawah," kata Rex. "Aku takut akan ketinggian. Apalagi ini.. lantai kaca? Aku takut, bagaimana jika retak lalu pecah?" gumam Litzi sembari menatapnya. Rex tertawa, "Itu tidak akan terjadi." "Kau yakin?" "Aku bisa menjamin. Apa kaca ini begitu tipis? Aku pun perlu berpikir dua kali sebelum memiliki balkon yang lantainya terbuat dari kaca." "Kau sungguh-sungguh kan?" "Kau ini kenapa, heh? Percayalah! Tidak akan terjadi apa-apa. Aku sudah sering berdiri disini. Lihat! Aku baik-baik saja kan?" Litzi diam, ia terkesiap ketika tangan Rex bergerak. Ia mengira bila Rex akan melepaskan eratannya, tapi ternyata tidak. Kedua tangan Rex bergerak ke atas dan Litzi masih mencekal kuat kedua tangan pria itu. Ternyata Rex menggunakan kedua ibu jarinya untuk menyeka sisa air matanya. Gerakannya lembut sampai Litzi merasa terbuai. "Dasar cengeng!" Rasa jengkel itu langsung melandanya begitu mendengar Rex mengatainya cengeng. "Kau tahu? Aku phobia akan ketinggian. Jika letak balkon ini ada dilantai dua, aku masih sanggup," ketus Litzi. "Rasa takutmu itu akan hilang, selama kau menanamkan keberanian dalam pikiran dan hatimu," balas Rex. "Tapi itu butuh waktu." "Segalanya butuh waktu," sambar Rex dengan cepat, "Aku akan membantumu," tambahnya dengan tatapan intens. Rasa jengkel Litzi hilang begitu saja, entahlah! Sepertinya pria itu memang menghipnotisnya. Rex menuntun Litzi agar mendekat ke pagar balkon. Litzi melangkahkan kakinya dengan perlahan-lahan dan mencekal kencang tangan kiri Rex. Litzi fokus ke depan tanpa menghiraukan lantai kaca itu lagi. Rex menuntunnya agar beralih berpegangan pada pagar balkon. Lalu Rex berdiri disampingnya seraya memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Bagaimana?" tanya Rex. "Wow! Ini luar biasa...," jawab Litzi tersenyum lebar. "Inilah yang ingin ku tunjukan padamu. Disini kau lebih leluasa melihat pemandangan kota Madrid." Litzi mengedarkan pandangannya ke segala arah, bahkan ke bawah untuk melihat kendaraan, bangunan-bangunan dan orang-orang yang nampak kecil. Kecuali lantai kaca itu, Litzi belum sepenuhnya berani. Pegangannya saja kuat. Hembusan angin yang terasa cukup kencang dan sejuk menerpa mereka. Rex tersenyum, menikmati pemandangan indah yang ada di sisinya. Rambut panjang gadis itu melambai-lambai mengikuti arah angin, ditambah senyum gadis itu yang semakin mempercantiknya. Tiba-tiba saja Rex berdiri di belakang Litzi, menggengam tangan gadis itu yang masih berpegangan di pagar balkon. Posisi Rex seperti memeluk Litzi dari belakang. Apa yang Rex lakukan berhasil membuat tubuh Litzi membeku. Trillionaire itu berkata, "Tak perlu ada yang harus kau takutkan. Kau akan aman selama aku bersamamu." ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN