Violetta, seketaris trillionaire itu tersenyum menatap Tuannya sedang berduaan dengan seorang gadis dari ambang pintu utama. Siapa yang tidak heran? Untuk pertama kalinya CEO Mkzie Group di kota Madrid itu membawa gadis ke perusahaan. Violetta sudah tahu siapa gerangan gadis itu, Santos sudah memberitahunya soal Rex membawa gadis itu ke mansion-nya kemarin malam. Selain Santos, Violetta termasuk orang yang dekat dengan Rex meskipun sebatas pekerjaan. Violetta wanita berusia 25 tahun dan merupakan isteri Santos. Keduanya sama-sama bekerja pada Rex, suatu keberuntungan mereka menjadi bagian orang-orang yang bekerja pada trillionaire itu. Violetta berjalan ke arah balkon.
"Permisi, Tuan," ucap Violetta.
Litzi yang mendengarnya lantas membelalak matanya dan meneguk salivanya, ia terkejut dengan kedatangan seseorang apalagi dalam posisinya sedekat itu dengan Rex. Rex sendiri tidak masalah, ia menoleh dan masih menggenggam juga posisinya memeluk Litzi dari belakang.
"Ada apa, Violetta?" tanya Rex.
"Maaf, Tuan bila aku mengganggumu. Aku ingin memberitahumu jika mereka sudah hadir di ruang pertemuan," jelas Violetta dengan sikap hormat.
"Hush! Bisakah kau agak menjauh? Aku malu," bisik Litzi.
Rex kembali menatap Litzi, "Kau tidak usah malu."
"Bagaimana bisa? Aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya ketika melihat CEOnya dalam posisi seintim ini dengan seorang bocah!" balas Litzi.
"Akhirnya kau sadar diri juga kalau kau itu masih bocah," kata Rex tersenyum.
Litzi mendongak untuk menatap wajah pria itu, ia melemparkan tatapan jengkel padanya. Bibir gadis itu berkatup rapat, menahan kata kasar yang siap untuk keluar. Litzi hampir lupa dengan keberadaan Violetta, ia refleks mendorong Rex agar menjauh darinya. Rex memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana lalu mengangkat satu alisnya kepada Litzi.
"Jadi kau mulai berani," kata Rex.
"Apa yang harus aku takutkan?" balas Litzi.
"Baiklah," Rex tersenyum dan melenggang pergi.
Pergi? Litzi lantas menatap ke lantai kaca itu dan berpegangan kuat di pagar balkon. Ia meneguk salivanya dengan susah payah dan menyadari kekonyolannya yang membuat Rex melangkah pergi. Rex menghentikan langkah kakinya dan mengernyit, apakah gadis itu sungguh berani berdiri disana tanpanya? Ia mengira Litzi akan meneriaki namanya tapi tidak terdengar apapun. Triliuner itu membalikan badan dan seketika senyumnya melebar. Ia puas melihat Litzi berdiri disana dengan ekspresi ketakutan.
Uluran tangan terarah kepada Litzi, gadis itu mendongak dan bertemu dengan tatapan lembut Rex. Pria darah Amerika-Indonesia itu tanpa menunggu waktu lama dengan cepat menggenggam tangan Litzi dan menariknya. Litzi menatap genggaman tangan Rex, ia pikir Rex adalah pria jahil yang seringkali ia dapati. Ia pikir Rex benar-benar akan meninggalkannya dalam ketakutan.
"Belajarlah untuk tidak konyol," kata Rex.
Litzi diam, yang dikatakan Rex memang benar meskipun ia tidak suka karena mengatakannya di depan orang yang tidak ia kenal. Rex melepaskan genggaman tangannya lalu mengenalkan Violetta padanya.
"Dia Violetta, sekertarisku. Isterinya Santos, kau masih ingat dia kan?" kata Rex.
Litzi mengangguk, "Paman Santos, orang kepercayaanmu."
"Dan dia Litzi, puteri Mr. Euniciano," ucap Rex mengenalkan Litzi kepada Violetta.
Violetta tersenyum dan Litzi membalasnya dengan tulus. Kini Litzi sendirian di ruangan itu, Rex dan Violetta pergi ke ruang pertemuan untuk urusan bisnis yang harus di selesaikan. Litzi menatap secarik kertas yang dipegangnya, sebelum Rex pergi, pria itu memberi catatan beberapa nomor untuknya. Nomor resepsionis, office boy dan lainnya. Rex bilang, jika Litzi membutuhkan atau menginginkan sesuatu ia bisa menghubungi nomor sesuai tujuannya.
Gadis itu menatap seluruh ruangan Rex, ia baru tahu bila ada ruangan kerja semewah itu. Dan salah satu fasilitas disana terdapat sebuah mini bar yang elegan. Klub malam dimana ia bekerja terlintas dibenaknya, astaga! Bagaimana caranya ia kesana bila saat ini pria itu menggenggam kehidupannya?
Jika aku bilang padanya, apakah pria itu mengizinkanku pergi? Jika tidak bagaimana? Lalu bagaimana dengan kontrak itu? Kalau aku tidak datang maka.. Giorgio akan bertindak. Ya Tuhan, kenapa kau meletakkanku pada kondisi seperti ini? batin Litzi dengan pikiran membuncah.
Litzi menatap arlojinya, "Bahkan siang nanti aku harus ke restoran. Apa aku harus diam-diam pergi dari sini?"
Litzi memijat keningnya yang terasa pusing, bibirnya terasa kering dan ia merasa haus. Litzi menemukan telepon diatas meja kebesaran CEO itu, ia ingat kata-kata Rex bila ia bebas memesan minuman atau makanan kepada office boy. Lalu mendial nomor office boy untuk membawakannya jus dan snack.
"Hehe..., katanya bebas kan? Jadi aku tinggal menunggu pesananku datang," Litzi tersenyum geli.
Suara derapan sepatu terdengar memecahkan keheningan disana. Ternyata Rex yang datang, meeting-nya yang berjalan selama dua jam telah selesai dan berjalan dengan lancar. Rex tersenyum melihat tubuh gadis itu yang meringkuk di atas sofa. Ia menggelengkan kepalanya heran dan menghela nafas pelan melihat meja dekat sofanya yang nampak berantakan. Gelas dengan sisa jus alpukat dan bungkusan demi bungkusan kosong makanan ringan. Rex meraih salah buku yang tergeletak diatas meja tersebut, sepertinya Litzi membaca novel yang ia koleksi di perpustakaan kecilnya yang tersedia diruang kerjanya. Yang dibaca Litzi adalah novel bergenre romance. Rexford Mackenzie memang gemar membaca, salah satunya novel dalam berbagai genre. Ia membacanya ketika tidak sibuk.
Rex meletakan novel itu diatas meja, lalu bertekuk lutut agar dekat melihat Litzi yang tertidur itu. Ia mengulurkan tangan dan mengusap lembut pipi gadis itu yang agak chubby. Litzi menggeliat sesaat namun tidak bangun, nafasnya terdengar tenang dan wajah Litzi yang polos mengingatkan Rex kembali.
"You're mine," bisik Rex dengan berseringai.
Mendengar suara siulan beberapa kali, Rex sudah tahu siapa yang datang.
"Ya, Tuhan!"
Rex menoleh dan menatap adiknya itu dengan datar.
"Apa-apaan ini? Ada seorang gadis di ruang kerjamu? Wah.. wah..," kata Kharel dengan ekspresi terkejut.
Rex kembali menatap Litzi, "Tutup mulutmu. Dia bisa terbangun nanti."
"Jadi seperti ini kelakuanmu? Tak ku sangka ternyata kau... oh, astaga, Rex! Apa kau ingin namamu tercetak di koran dengan berita mengatakan bahwa, Rexford Mackenzie sang trillionaire Spanyol menculik seorang gadis dibawah umur," papar Kharel dengan suara dramatis.
Rex tersenyum, "Kau ini bicara apa?"
"Rex, sebaiknya kau kembalikan gadis itu ke asalnya. Kau bisa dipenjara dengan tuduhan penculikan anak sekolah," kata Kharel.
Rex berdiri dan melangkah ke meja kerjanya. Ia duduk di kursi kebesarannya dengan sikap gentleman. Kharel bersandar di rak buku seraya melipat kedua tangannya di depan d**a. Ia melihat Rex dan gadis remaja itu secara bergantian. Kemudian mengangkat satu alisnya ke arah kakak tertuanya. Kharel bisa melihat sorot tatapan Rex dan senyumannya yang berbeda teruntuk gadis remaja itu.
"Baiklah, jadi.. siapa gadis itu?" tanya Kharel.
Rex menatap Kharel, "Dia puteri mendiang Mr. Euniciano."
"Mr. Euniciano? Bukankah dia orang yang memiliki banyak hutang pada perusahaan ini?" Kharel mengernyit.
Rex mengangguk, "Ya. Untuk pelunasan hutang, rumahnya yang lumayan besar itu sudah tersita."
"Lalu?"
"Aku membawanya pulang. Dia sebatang kara, lalu aku memutuskan untuk mengurusnya."
"Apa mom and dad tahu soal ini?"
"Belum, saat mereka tiba nanti di Madrid. Aku akan menceritakannya."
"Kau pria yang baik, Rex."
"Memangnya kau? Awas saja jika gadis itu menjadi sasaranmu. Kau akan tewas ditanganku," tatapan Rex menajam.
Kharel berpura-pura mendelik ketakutan lalu tertawa, "Jika gadis berkenaan denganmu, aku tidak dapat berkutik."
"Itu harus."
"Ngomong-ngomong... gadis itu cantik juga. Tidakkah kau izinkan aku menyentuh tangannya?"
"Kharel...," Rex memberinya tatapan peringatan.
"Sorry.."
Rex beranjak lalu mengangkat tubuh Litzi dan membopongnya keluar. Violetta mengekorinya seraya menenteng tas Litzi dan Rex. Litzi begitu pulas sampai tidak bergeming ketika Rex membopongnya. Kharel masih diruang kerja sang kakak, saat Rex membopong Litzi tepat melewatinya, Kharel sempat intens melihat wajah gadis itu.
"Aku pernah melihatnya. Tapi dimana ya?" tanya Kharel sendirian.
◻◾◽❤◽◾◻
Litzi dengan susah payah mendapat izin dari Rex. Dengan segala daya upaya yaitu memanipulasinya, akhirnya trillionaire itu mengizinkannya untuk pergi. Namun ketika Litzi sampai di rumah sahabatnya, rasa cemas pun datang. Dari teras ia menatap mobil sport itu dan tersenyum ketika Rex melambaikan tangan dari dalam mobil. Kemudian melaju pergi. Rex ada urusan mendadak mengenai bisnis, ia pergi ke lokasi sembari mengantar Litzi.
Ini satu-satunya cara, batin Litzi.
Demi bisa keluar untuk bekerja sore ini, ia membohongi pria itu. Litzi berkata kepadanya bila sahabatnya membutuhkannya untuk membantunya membuat kue, padahal sebenarnya tidak. Sahabatnya itu laki-laki, bukan perempuan yang dikatakannya kepada Rex.
"Litzi."
Litzi menoleh dan menghampirinya, "Jeremy!"
Jeremy, remaja laki-laki yang lumayan tampan dan khas dengan kacamata yang selalu bertengger di hidungnya. Kesederhanaan keduanya telah mengikatkan tali persahabatan. Hidup Jeremy berada di kelas menengah, sama seperti Litzi. Namun juga ada perbedaan, Jeremy masih memiliki keluarga. Jeremy mengajak Litzi masuk ke dalam rumahnya. Tampak lenggang, Jeremy bilang jika kedua orangtuanya belum pulang kerja dan adik perempuannya yang berusia 16 tahun sedang tidur. Litzi menghempaskan bokongnya dengan mulus diatas sofa, lalu diikuti Jeremy.
"Kau tahu, Litzi? Baru kali ini ada mobil sport berhenti di depan rumahku. Jika para tetangga tahu di dalam sana ada Mr. Rex, mereka pasti memujiku," ujar Jeremy.
Litzi tertawa pelan, "Mengapa mereka memujimu cuma karena hal seperti itu?"
"Kau ini, Litzi. Itu suatu keberuntungan. Dia kan orang ternama di dunia," balas Jeremy.
Litzi menggeleng heran, "Cuma karena itu? Biasa saja."
Jeremy menghela nafas, "Huh, itukan menurutmu. Berbeda dengan pendapat orang lain. Litzi, apa kau tidak bersyukur tinggal bersamanya?"
Litzi mengangkat kedua bahunya dengan acuh, "Sudah nasibku."
"Kau itu terlalu cuek. Heran," Jeremy beranjak dan pergi ke dapur.
Tidak lama Jeremy datang membawakan segelas air mineral dengan ditambahkan batu es. Usai meletakan di depan Litzi, ia kembaki duduk.
"Aku mencarimu disekolah, kesana kemari. Lalu Ibu Grace bilang padaku jika kau sudah pulang. Menyebalkan!" gumam Jeremy.
Litzi menghela nafas, "Pria dewasa itu yang menarikku pulang."
"Oh ya, ku dengar kau akan pindah sekolah," Jeremy menatapnya serius.
Litzi menunduk dan menatap Jeremy seraya mengangguk, "Iya. Mr. Rex bersikukuh untuk memindahkanku ke sekolah lain."
Jeremy melemas, "Aku akan kesepian disana."
Litzi menggenggam tangan Jeremy dan menggeleng, "Sahabatmu bukan cuma aku."
"Tapi aku lebih dekat denganmu."
"Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, Jeremy. Triliuner itu keras kepala. Dia cukup seram ketika marah. Dia juga bilang bahwa mulai saat ini dia yang mengurusku."
"Baiklah. Mungkin itu yang terbaik untukmu."
"Ku pikir juga begitu," Litzi tersenyum dan melepaskan genggaman tangannya.
Jeremy berdehem, "Besok bisakah kau datang ke sekolah?"
"Emm.. entahlah. Memangnya ada apa?" tanya Litzi.
"Sudah, datang saja. Ada sesuatu yang harus kau lihat."
"Misterius sekali. Lagi-lagi aku harus meminta izin Mr. Rex. Semoga saja bisa."
"Litzi, alasan apa yang kau berikan padanya saat kau ingin kemari?"
"Aku katakan jika aku membantumu membuat kue."
Jeremy mengernyit seraya tersenyum geli, "Kue?"
"Sebenarnya aku membohonginya, " gumam Litzi.
Jeremy terkejut, "Apa kau sungguh-sungguh? Kau berani membohongi trillionaire itu? Litzi, dia sudah berbaik hati padamu."
Litzi mendesah, "Lalu aku harus bagaimana, Jeremy? Jika aku mengatakannya dengan jujur kalau aku sebenarnya mau bekerja, dia pasti tidak mengizinkanku."
"Litzi, berpikirlah secara luas. Jika Mr. Rex tidak mengizinkanmu bekerja lagi, pasti dia segera ke restoran untuk menemui pihak manager bila kau berhenti bekerja disana."
"Bagaimana dengan pekerjaanku sebagai sexy dancer? Joao memegang kuat kontrak itu, Jeremy!"
Jeremy menghela nafas, "Ya ampun, Litzi. Pikiranmu sempit sekali."
Litzi mengernyit, "Apa maksudmu? Apa aku salah lagi?"
"Ya, cara berpikirmu itulah yang salah. Litzi, sekarang kau memiliki kekuatan. Kekuatan besar! Di belakang, kanan kiri dan depanmu sudah berdiri tegap seorang Rexford Mackenzie. Kau tahu apa artinya itu? Masalah Joao bisa selesai dalam satu jentikan jari. Mr. Rex sosok yang berpengaruh. Kau bisa meminta bantuannya."
Litzi tercenung.
"Saat ini dia yang mengurusmu, pasti dia bertanggung jawab atas dirimu. Segala permasalahanmu akan mudah terselesaikan selama trillionaire itu ada bersamamu. Dia pria yang baik," ujar Jeremy.
Litzi menghela nafas, "Aku tidak mau membuatnya repot. Dia baik dengan menampungku di istananya. Tapi aku jadi tidak enak padanya, saat masalah pembullyan di sekolah itu."
"Maksudmu?"
"Mr. Rex cerita padaku, dia sudah merencanakan semuanya sebelum rumahku disita. Dia sudah ada niatan untuk mengurusku, termasuk pendidikanku. Dia sudah menyiapkan seragam-seragam dan peralatan sekolah yang baru hanya untukku. Tapi baru hari ini dia memulai tanggung jawabnya, urusan sekolahku bermasalah. Seragam-seragam yang masih tergantung baru, sia-sia saja. Aku jadi tidak enak, Jeremy."
Jeremy mengangguk, "Jika aku ada diposisimu, aku juga merasakan hal itu. Apalagi orang yang membantu kita bukanlah kerabat atau orang terdekat."
"Setelah ini, aku kembali membuatnya repot. Disela kesibukannya, dia mengurus sekolahku lagi."
"Kau beruntung, Litzi. Dipertemukan oleh orang bijak dan baik sepertinya. Kapan lagi ada orang seperti itu?"
Dia memang bijak dan baik. Tapi kau tidak tahu saja bagaimana dia? Mr. Rex, pria dewasa yang suka memutar otakku, batin Litzi.
"Jeremy, menurutmu.. jika dia tahu kebohonganku, apa dia akan marah?" tanya Litzi.
"Bisa jadi, salahmu sendiri memanipulasi tanpa memandang siapa dia," jawab Jeremy.
Litzi menatapnya kesal, "Jadi menurutmu aku ini salah?"
Jeremy memutar bola matanya, "Litzi, kau sudah merasa tidak enak kan padanya? Seharusnya kau membalas kebaikannya, setidaknya berkata jujur padanya. Karena kita tidak pernah tahu resiko apa yang akan terjadi nanti."
"Aku berbohong demi kebaikan kok. Aku tidak mau merepotkan. Aku akan tetap bekerja bagaimana pun caranya. Hasil kerjaku akan aku tabung dan ku gunakan untuk membiayai hidupku sendiri."
"Apa kau berencana untuk pergi dari sana?"
"Iya."
Meski aku tak yakin dengan satu itu, sambung Litzi dalam hati.
Litzi dan Jeremy sudah berada di restoran sejak tiga jam yang lalu. Seragam khas pelayan sudah melekat di tubuh mereka. Dua sahabat itu bekerja di tempat yang sama. Jeremy yang lebih dulu bekerja disana, kemudian menawarkan pekerjaan itu untuk Litzi. Jeremy bekerja untuk sampingan, semata-mata membantu orangtuanya. Berbeda dengan tujuan Litzi, sebelumnya untuk mencicil hutang mendiang sang Ayah, tapi tujuannya sekarang berubah yaitu menabung beberapa hari ke depan untuk dana menyewa apartemen kecil. Uang sebelumnya belum cukup. Ia tak mau terus menerus merepotkan Rex.
Litzi usai mencuci piring-piring kotor. Ia mengelap peluh keringat dikeningnya, lalu menatap jam dinding yang menunjukan pukul 8 malam. Litzi menatap ponselnya yang tergeletak diatas meja pantry, sejak tadi ponsel itu menyala. Beberapa kali pesan demi pesan masuk dan semua itu dari Rex, yang menanyakan apakah Litzi sudah selesai dengan urusannya? Litzi membalasnya tentu saja belum, karena jatahnya bekerja masih setengah jam lagi. Namun ia memberikan alasan palsu, dengan berkata bahwa ia membantu sahabatnya untuk mengantar beberapa pesanan kue.
"Litzi, ada apa?" tanya Jeremy yang meletakan piring kotor lagi.
"Tidak," jawab Litzi sekenanya.
Jeremy mengangkat satu alisnya, "Oh ya? Kau terlihat cemas."
Litzi mengernyit lalu melangkah sedikit jauh dari Jeremy. Ia berpura-pura santai dengan mengelap meja pantry.
"Menurutmu resiko apa yang akan kau dapat nanti? Kira-kira Mr. Rex akan memberi hukuman apa saat dia tahu kau berbohong?" tanya Jeremy.
Litzi menatapnya kesal, "Sstt! Jangan sebut nama dia dengan sembarangan, Jeremy! Bagaimana jika ada orang lain yang dengar? Dia kan orang paling berpengaruh."
Jeremy memutar bola matanya, "Baiklah... baiklah. Tapi ingat, Litzi. Berwaspadalah! Beruntung jika kebohonganmu tidak terbongkar. Sebab aku baca tentangnya di internet, dia berbahaya dalam dunia bisnis sebab dia terlalu jenius dalam berbisnis, selama ini tak ada yang berhasil menjebaknya apalagi memanipulasinya. Dia selalu berhati-hati dalam memberikan kepercayaan."
Litzi menetralisir rasa takutnya, "Ya.. ya itu kan di dunia bisnis. Buktinya aku tadi sore berhasil menipunya."
"Jangan meremehkan itu, Litzi. Di dunia bisnis saja dia seperti itu, bagaimana dengan dunia ini?"
"Aku tahu kau sedang mencoba menakut-nakutiku. Aku tidak takut."
"Aku hanya memperingatimu. Terkadang kebohongan bisa jadi boomerang. Kau ingat itu."
"Sudahlah, Jeremy! Kita hentikan perdebatan ini. Lebih baik lanjutkan pekerjaan kita."
"Huh, Litzi. Percuma bicara dengan gadis berotak keras sepertimu."
Jeremy melenggang pergi ke belakang gedung restoran seraya menenteng dua plastik berukuran besar dan berisi sampah-sampah. Peringatan-peringatan Jeremy terngiang-ngiang di telinga Litzi, gadis itu semakin cemas namun ia cepat menepisnya dengan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Semoga saja...
Litzi yang sedang meletakan piring-piring bersih pada tempatnya, di panggil oleh rekan kerjanya, seorang gadis kira-kira berusia 20 an. Temannya itu meminta tolong pada Litzi untuk mengantar pesanan ke meja pengunjung. Sejenak Litzi melihat pesanan keduanya diatas meja pantry, yang manakah yang harus ia ambil? Temannya lebih dulu mengambil nampan berisi makanan itu. Litzi pun mengambil sisanya untuk ia bawa ke meja pelanggan. Ketika Litzi keluar dari bagian dapur dan menghampiri meja sesuai nomor pesanan, ia berhenti secara tiba-tiba. Lantas saja ia meneguk salivanya.
"Rex...," gumam Litzi dengan pelan.
Oh, astaga! Dia ada disini, batin Litzi.
Tampak Rex berkutat pada laptop dan pandangannya fokus ke layar itu. Litzi menatap nampan itu dan kembali melihat pria itu, ia bingung harus melakukan apa.
"Litzi, kau--"
"Egh.. Jeremy, tolong antarkan ini," potong Litzi dengan suara pelan dan terburu-buru menyerahkan nampan itu.
Jeremy menerimanya dan mengernyit melihat Litzi melangkah cepat untuk kembali ke dalam dapur. Jeremy melihat nomor pesanan dan tak membutuhkan waktu lama, ia sudah menemukan meja sesuai nomor pesanan. Ia sama halnya seperti Litzi, terkejut melihat sosok Rex. Akan tetapi Jeremy tetap mengantar makanan itu.
"Tuan, ini pesanannya," kata Jeremy dengan sopan.
Rex mendongak dan tersenyum tipis, "Letakan disini. Terimakasih."
Jeremy tersenyum, "Em... Tuan, kau trillionaire itu kan? Mr. Rexford Mackenzie."
Rex mengangguk dan tersenyum, "Ya. Kenapa?"
Litzi yang mengintip di jendela yang terhubung dengan area meja-meja pengunjung, mengernyit bingung. Ia tidak tahu apa yang Jeremy lakukan disana bersama Rex. Litzi berharap semoga Jeremy tidak mengatakan apapun yang dapat membahayakannya. Tampak Jeremy menyondorkan sebuah kertas dan pulpen, kemudian Rex menuliskan sesuatu diatas kertas itu dengan cepat. Lalu Jeremy melenggang pergi. Ketika Jeremy kembali ke dapur, lantas Litzi menyerangnya dengan berbagai pertanyaan.
"Hey! Apa yang kau lakukan disana? Kau tidak membongkar keberadaanku kan? Lalu apa yang dia tulis dikertas itu? Katakan, Jeremy! Apa yang kalian bicarakan heh?" tanya Litzi dengan khawatir.
Jeremy mendesah, ia mengeluarkan kertas itu dari saku bajunya lalu memperlihatkan sebuah tanda tangan dengan nama Rexford Mackenzie dibawahnya.
"Jadi.. kau meminta tanda tangannya?" tanya Litzi.
"Ya. Kapan lagi aku berhadapan dengannya? Lagipula, aku beritahu sesuatu padamu ya... dia itu sosok inspirasiku," papar Jeremy.
Litzi ber-oh-ria lalu kembali melihat Rex secara diam-diam dari jendela yang sama. Tampak pengunjung wanita disana menatap Rex terus menerus, bahkan ada yang berbisik-bisik lalu tersenyum ke arah Rex. Tingkah para wanita itu seperti terpesona dengan Rex. Pengunjung lain juga memusatkan perhatian mereka ke arah Rex. Mereka tak menyangka malam ini, mereka dicengangkan dengan adanya sosok Rex. Pemilik dan manager restoran itu juga terlihat senang, mereka tak menduga restoran kelas menengah itu di kunjungi oleh orang berkasta tinggi seperti Rex.
Pria dewasa satu itu telah menyita banyak perhatian, batin Litzi.
"Bukan cuma para wanita yang mengaguminya. Aku juga kagum padanya," gumam Jeremy.
Litzi meliriknya sesaat, "Apa yang kau kagumi darinya?"
"Dia itu patut di kagumi. Para wanita melihatnya karena ketampanan dan keseksiannya. Kalau aku? Melihat sisi kesuksesannya. Dia berhasil meraih puncak kesuksesan dan dinobatkan menjadi trillionaire sejak usianya 20 tahun, sampai saat ini pun peringkat pertama di dunia tetap dia yang tahtai."
Luar biasa. Bagus, Litzi! Kau telah mengambil resiko menipu seorang Rexford Mackenzie, batin Litzi.
Tiba-tiba Litzi merasakan getaran di saku bajunya, ia merogohnya dan menatap layar ponselnya. Matanya terbelalak, Rex menelfonnya. Litzi mengintip ke jendela dan benar, tampak Rex memegang ponsel ke telinganya dan seperti orang menunggu.
"Jeremy, dia menelfonku," gumam Litzi.
"Angkat saja," kata Jeremy.
"Tapi--"
"Angkat! Daripada tingkahmu itu membuatnya curiga lalu bergegas mencarimu," potong Jeremy.
Litzi pun mengikuti saran sahabatnya itu. Kemudian meneguk salivanya saat Rex membuka pembicaraan.
"Kau dimana, Litzi?" tanya Rex.
Litzi melihat Rex dari jauh, "Aku.. dalam perjalanan ke empat rumah lagi untuk mengantar pesanan kue."
"Ini sudah malam. Sekarang kau ada dimana? Kebetulan aku belum pulang. Aku akan menjemputmu," kata Rex dengan nada terdengar khawatir.
"Tidak, tidak sekarang. Aku akan menelfonmu nanti setelah aku siap untuk pulang. Jika aku pulang sekarang, aku tidak enak. Dia sendirian," bantah Litzi.
"Aku akan bilang padanya bahkan kalau perlu aku akan membantu kalian."
"Egh.. tidak usah repot-repot. Tunggulah sampai aku menghubungimu lagi."
"Litzi, ini sudah malam. Kau pasti belum makan kan? Aku tidak mau sampai kau sakit. Apalagi kau seorang gadis, tidak baik keluar malam-malam."
"Terimakasih, kau sudah perhatian padaku. Tapi sungguh, aku berjanji.. aku akan menjaga diri. Percayalah! Aku mohon! Kali ini saja biarkan aku melakukan apa yang aku mau."
Terdengar helaan nafas, "Baiklah. Tapi syaratnya adalah.. urusanmu itu harus selesai sebelum jam 10 malam. Kau mengerti?!"
"Baiklah."
"Jika kau tidak menghubungiku sebelum jam 10. Lihat saja nanti!"
"Em--"
Tut..tut..tut..
Litzi mengatup bibirnya saat Rex memutuskan sambungan telfonnya. Suara Rex terdengar begitu tegas, Litzi tak bisa bayangkan bagaimana jika kebohongannya terbongkar, suaranya pasti akan menghentakan seluruh bumi.
"Apa saja yang dia bicarakan?" tanya Jeremy.
Litzi menggeleng, "Cuma menanyakan keberadaanku dan kapan aku pulang."
"Tapi kenapa wajahmu pucat pasi begitu?" Jeremy berseringai.
Litzi menatapnya sinis, "Diamlah! Bukan apa-apa."
"Litzi, kita bersahabat sudah 2 tahun lamanya. Bagaimana aku tidak mengenalimu?" timpal Jeremy.
"Huh, dia memberiku syarat. Urusanku harus selesai sebelum jam 10 malam. Dia juga mengancamku," Litzi mengantongi ponselnya lagi.
"Lalu sexy dancer-nya? Kau bisa pulang dari sana pukul setengah duabelas malam kan?"
Litzi mengangkat bahunya, entah cara apa lagi yang harus ia tempuh. Ia melihat Rex membayar tagihan lalu melenggang pergi. Litzi menatap jam dinding dan berusaha mencari cara untuk bisa selesai sebelum jam 10.
Saat ini Litzi sudah berada di tempat hiburan malam, tepatnya klub malam dengan ciri khas yang cenderung mengarah hal-hal negatif. Klub tempat Litzi bekerja adalah dunia yang panas, asap rokok dan bau alkohol menyeruak bebas. Belum lagi para gadis berpakaian seksi dan para pria predator. Litzi berada di kamar tempat ia dan tim sexy dancer-nya bersiap-siap. Dengan mahir Litzi merias wajahnya sesuai keinginan leader timnya. Mereka merias wajah semenarik mungkin dan ditambah dengan pakaian yang mereka kenakan. Litzi mengenakan sepatu boots sebatas atas betis, rok mini super ketat dan baju potongan rendah yang memapangkan perut proporsionalnya. Penampilannya serba berwarna hitam dan mengekpose tubuhnya.
Joao memperhatikan Litzi yang duduk disofa seraya membenarkan rambut panjangnya yang indah. Joao tersenyum miring, keberadaan Litzi dalam tim sexy dancer di klubnya adalah suatu keberuntungan. Kemolekan tubuh dan kecantikan Litzi menarik para pria untuk berkunjung ke klubnya. Litzi beranjak dan menghampiri Joao.
"Joao, aku ingin mengatakan sesuatu," kata Litzi.
Joao mengernyit, "Apa?"
"Em... bisakah kau mengizinkanku pulang sebelum jam 10 malam?" tanya Litzi dengan hati-hati.
Joao menggeleng, "Tidak! Enak saja! Apapun alasannya aku takkan mengizinkanmu, Emasku."
"Emasmu?" Litzi mengerutkan dahi.
"Oh, sayang... keberadaanmu di klub ini adalah keuntungan. Aku akan semakin kaya jika kau setiap harinya menari erotis di depan para pelangganku," Joao mencolek dagunya.
Litzi menahan rasa kesalnya, ucapan Joao barusan sama saja menghinanya. Jika bukan karena tuntutan hidup dan kontrak, ia tak mau bekerja disana. Litzi menghela nafas dan menatap punggung Joao yang berlalu. Joao tidak mengizinkannya, lalu harus apa lagi? Litzi kebingungan berada di antara keadaan yang mendesaknya.
"Eh, kecil! Ayo cepat! Kita harus segera tampil!" teriak seorang wanita yang mana adalah leader timnya.
Litzi menghela nafas dan mengekori timnya yang lebih dulu keluar. Ia dan timnya berdiri diatas panggung yang di kerumuni banyaknya orang, kebanyakan para pria. Litzi dan timnya mengambil posisi masing-masing. Saat musik terdengar perlahan-lahan, Litzi yang berada ditengah-tengah lebih dulu menggerakan tubuhnya bagaikan angin sepoi-sepoi. Lalu diikuti para wanita disisi kanan dan kiri Litzi. Teriak-teriakan demi terdengar riuh dan meneriaki nama Litzi berulang-ulang kali. Para pria semakin berteriak saat musik berubah menjadi remix dan Litzi menghentakan dadanya ke depan seraya mengibaskan rambut panjangnya. Dia terlihat semakin seksi, namun dalam hatinya ia merutuki dirinya sendiri.
Sepasang mata berwarna hazel memusatkan perhatiannya kearah Litzi. Kedua mata pria itu menatapnya gairah dan menjilati bibir bawahnya sendiri, lalu berseringai tiap kali menyaksikan penampilan Litzi. Pria berpakaian formal itu berjalan menerobos kerumunan dengan perlahan-lahan dan tak mengalihkan pandangannya dari Litzi. Saat Litzi berada diakhir pertunjukan, tepat ketika ia menghentakan dadanya ke atas seraya merentangkan kedua tangannya ke sisi kanan kiri, seseorang tiba-tiba saja merengkuh pinggangnya lalu menariknya sampai ke bawah panggung. Suasana berubah hening.
Litzi menahan orang itu dengan menekan d**a bidang itu menggunakan kedua tangannya, lalu memejamkan matanya karena saking terkejut. Saat Litzi membuka matanya, ia terkejut melihat wajah pria tampan asing di depannya. Litzi memperhatikan kedua mata hazel itu dengan rasa takut.
"Hola, baby!" kata pria itu tersenyum miring dan membelai sisi wajah Litzi.
Litzi mencoba mendorongnya, "Lepaskan aku! Tidak sopan! Lepaskan!"
"Tidak. Kau harus ikut bersamaku," balas pria itu dan semakin merengkuhnya.
Semua orang, termasuk Litzi terkejut ketika pria itu melemparkan uang ke arah wajah Litzi. Lembaran demi uang lembaran bertebaran dan berserakam ke lantai. Litzi membuka kedua matanya lagi dan membelakak kedua matanya, apa-apaan pria itu? Apa maksudnya? Tiba-tiba saja pria itu menariknya secara paksa. Litzi meronta-ronta bahkan berteriak minta tolong, namun tak ada yang memperdulikannya. Pria asing itu membawa Litzi ke lantai atas melalui lift, lalu terus menariknya melewati lorong. Litzi terkejut, lorong itu adalah letak beberapa kamar, kamar yang ia tahu adalah tempat untuk melakukan hal b***t. Pria itu membuka salah satu pintu kamar lalu mendorong Litzi ke dalam sampai gadis itu tersungkur. Litzi bangun dan hendak kabur namun pria itu menahannya, lalu datanglah Joao.
"Joao, tolong aku! Tolong aku!" pekik Litzi.
"Siapa yang kan menolongmu heh?" tanya pria asing itu kepada Litzi.
Joao tergelak, "Takkan ada yang menolongmu, cantik."
"Joao, kau..." Litzi mengernyit.
"Termasuk aku," Joao tersenyum licik.
Pria itu tertawa, "Aku sudah menyewamu untuk malam ini padanya, sayang."
Litzi tercengang, "A.. apa?"
"Dia sudah membayarnya," sambung Joao.
Litzi meneteskan air mata, "Joao, kau jahat! Sialan!"
"Tutup mulut cantikmu itu! Jangan munafik! Kau beruntung dapatkan limpahan uang darinya. Turuti apa maunya! Jangan macam-macam, Litzi!" kata Joao melototinya.
"b******k! Kau memanfaatkanku! Kau jahat! Manusia biadap! Sialan! Lepaskan aku! Kalian para pria b******k!" sumpah serapah keluar dengan mulus dari mulut gadis itu.
Joao melenggang pergi, seraya menutup pintunya. Pria asing itu mengunci pintunya lalu menarik Litzi. Kemudian mendorong gadis itu tanpa perasaan ke ranjang, lalu mengambil posisi diatasnya. Pria itu memegang kedua tangan Litzi lalu mengarahkannya ke atas kepala Litzi. Bahkan kedua kaki Litzi dihempit oleh kedua kaki pria itu.
"Lepaskan aku! b******k!" teriak Litzi.
"Namaku, Vigo Lafrance. Harus kau ketahui bahwa aku takkan melepas apa yang sudah ada ditanganku," desis Vigo.
"Kenapa harus aku?! Kenapa?! Lepaskan aku! Aku mohon!" Litzi meneteskan air mata.
Vigo tersenyum licik, "Setelah aku puas, aku baru melepasmu. Malam ini kau hanyalah milikku."
Litzi berteriak saat Vigo berusaha mencium lehernya, ia memberontak sekuat tenaga dan berhasil menendang pria itu. Lalu Litzi menggulingkan diri ke kiri lalu turun dari ranjang, ia berlari ke arah pintu namun tidak menemukan kuncinya. Litzi menggedor-gedor pintu seraya berteriak meminta tolong, bahkan sampai menangis. Litzi ketakutan, ia tidak mau menjadi korban predator itu.
"Kau takkan bisa kabur!" kata Vigo.
Litzi menoleh dan melihat Vigo menggantungkan kunci dijarinya. Litzi menggeleng-gelengkan kepala saat Vigo berjalan ke arahnya.
"Tolong, lepaskan aku! Biarkan aku pergi. Jangan hancurkan hidupku," ucap Litzi dengan bergetar.
Vigo berseringai, Litzi meraih guci diatas meja yang ada di dekatnya lalu melemparnya ke arah Vigo namun pria itu berhasil melesat. Litzi bergetar ketakutan saat Vigo semakin mempercepat langkahnya, Litzi kembali meenggedor-gedor pintu dan berteriak meminta tolong, berharap seseorang mendengarnya.
Ponselku? Oh tidak! Ponselku berada di ruang make up. Ya Tuhan, tolong aku! Jika ini adalah hukumanku, aku berjanji takkan berbohong lagi. Tuhan..., aku tidak mau hidupku hancur, batin Litzi.
Vigo menarik rambut Litzi, hingga jatuh lalu menyeretnya. Litzi meringis kesakitan dan mencekal tangan Vigo yang menarik rambutnya. Ia berusaha melepaskan diri namun kalah kuat dengan pria itu. Entah sudah berapa banyak air mata itu mengalir, rasa takut dan sakit berpadu menjadi satu. Vigo melepaskan tarikannya lalu membuat Litzi berdiri. Belum sampai disitu, Vigo lagi-lagi mendorong Litzi ke ranjang lalu menginjak salah satu paha Litzi seraya membuka jasnya, kemudian membuka satu persatu kancing kemejanya. Vigo menatap sekujur tubuh Litzi dengan gairah.
"Akan ku nikmati tubuhmu," desis Vigo.
"Tidak! Tidak!" teriak Litzi bangun, namun dengan cepat Vigo mendorongnya.
Lalu mencekal kedua tangan Litzi ke belakang, Vigo menghirup aroma leher Litzi lalu bergerak ke atas dan menatap wajah cantik Litzi yang pucat pasi. Ia tak menghiraukan tangisan gadis itu, bahkan getaran rasa takutnya. Vigo menatap bibir Litzi yang bergetar, ia hendak menciumnya namun Litzi memalingkan wajahnya. Vigo tak menyerah, ia terus mencoba, tak perduli dengan usaha Litzi yang menghindar darinya.
"Eghh...!!! TOLONG!!! TOLONG!!" teriak Litzi sekuat tenaga, masih berharap ada yang menolongnya
Vigo tergelak mendengar teriakan Litzi, ia menganggap Litzi hanya buang-buang energi saja untuk berteriak meminta tolong.
DORR!!! DORR!!!
Seketika tawa Vigo terhenti. Litzi dan Vigo sama-sama terkejut begitu mendengar suara tembakan. Lalu terdengar suara ricuh dari luar. Vigo menggeram, keributan diluar telah mengganggunya. Litzi memanfaatkan kelengahan Vigo, ia menendang pria itu tepat di area kejantanannya dan spontan ia berteriak kesakitan. Litzi turun dari ranjang namun lagi-lagi pria itu berhasil menangkapnya, dan mendorongnya ke ranjang lalu menindihnya.
"Aku tak perduli keadaan diluar! Malam ini tetap malam kita, sayang...," ucap Vigo.
Tiba-tiba saja...
BRAKKK!!!
Suara keras telah mengejutkan Vigo dan Litzi. Gadis berusia 17 tahun itu berteriak meminta tolong seraya menatap ke arah pintu yang telah didobrak.
"LEPASKAN GADIS ITU!" teriak seorang pria.
Litzi mengernyit, suara itu seperti tidak asing ditelinganya. Vigo menoleh dan menatap pria berpakaian casual yang berdiri diambang pintu dengan tajam.
"LANCANG! Kau menyentuh apa yang aku miliki!" kata pria berpakaian casual dan memegang pistol itu.
Vigo menggeram, pria casual itu mendekatinya dan menarik kerahnya lalu membantingnya ke dinding. Kemudian berdiri membelakangi Litzi.
"DIA ADALAH MILIKKU!" ucap pria casual itu dengan tegas dan mata elangnya yang mengkilat tajam.
Litzi beranjak dan berlari ke sudut ruangan, ia bertekuk lutut dan memeluk dirinya sendiri. Tubuhnya bergetar hebat. Vigo hendak kabur namun pria casual itu menariknya dan membantingnya, lalu melepaskan pelurunya ke lain arah hingga sebuah guci pecah berkeping-keping. Pria casual itu memberi tembakan peringatan.
Vigo meringis kesakitan saat pria casual itu mencengkeram lehernya dan menariknya sedikit ke atas, posisinya bersandar pada dinding.
"Beraninya kau menyentuhnya. Kau tidak tahu siapa aku heh?" desis pria bermata abu-abu itu
"Kau mengganggu malam kami! Kurang ajar!" balas Vigo.
Vigo menendangnya lalu hendak membogemnya, namun dengan sigap pria casual itu menahan kepalan tangannya lalu memelintir tangannya. Kemudian menyikut punggungnya dengan keras, lalu membanting Vigo dengan begitu mudahnya. Vigo melawannya dan ketika sudah berdiri, ia mengeluarkan sebuah pistol. Lalu menembaknya ke arah pria casual itu, namun gagal. Litzi menutup telinganya ketika ruangan itu penuh dengan suara tembakan demi tembakan juga pecahan kaca. Terjadi baku tembak disana, namun yang terluka hanyalah Vigo dibagian lengan. Litzi menatap pistol itu dengan bibir bergetar dan matanya yang terbelalak, pistol-pistol itu mengingatkannya pada tragedi dimasa lalu. Tubuhnya semakin bergetar hebat.
Vigo semakin lemah, untuk pertama kalinya ia gagal dalam perlawanan. Ia pun berlari pergi. Pria casual itu memerintahkan orang-orangnya untuk mengejar Vigo. Lalu mencari keberadaan Litzi, ia pun menemukannya di sudut ruangan. Gadis itu bertekuk lutut dengan tubuh yang bergetar. Pria itu memasukan pistolnya di balik jaketnya, lalu berlari menghampiri Litzi.
"Litzi!"
Litzi yang menunduk pun mendongak dan lantas saja ia memeluk pria itu dengan sangat erat. Keberadaan Rex telah membawa Litzi pada rasa aman, benar saja itu Rex, sebab suara khasnya sudah dikenali Litzi. Rex yang telah ia tipu, telah datang menolongnya. Rex memeluk gadis itu tak kalah erat, ia mengusap-ngusap punggung gadis itu, mencoba menenangkannya. Sesekali mengecup puncak kepala gadis itu dengan rasa lega.
"Kau aman sekarang, Litzi. Aku bersamamu... aku bersamamu..," ucap Rex mengusap rambut Litzi.
"Pria itu... pria itu berniat memperkosaku, aku takut.. takut...," getar Litzi.
Kedua mata Rex menajam, "Aku takkan pernah mengampuninya. Takkan pernah!"
Lalu Rex mengangkat tubuh Litzi dan membopongnya keluar. Santos berada di lorong, ia menggiring Tuannya untuk keluar. Sebagian orang-orang Rex tengah mengurus tubuh Joao dan para anak buahnya yang tergeletak dengan luka tembak. Rex lah yang telah menembak Joao dan orang-orang bersenjata Rex yang menembak para anak buah Joao sebab melarangnya untuk membawa Litzi.
Rex yang bertelanjang d**a itu duduk di tepi ranjang, seraya menggenggam tangan kanan Litzi. Rex menatapnya sendu, melihat keadaan Litzi yang lemah dan terlelap usai meminum obat dari dokter yang beberapa menit lalu memeriksa keadaannya. Sebenarnya Rex meragukan Litzi saat meminta izin tadi sore, ia ingat bila Litzi sebelumnya bekerja di dua tempat. Rex pun mengikuti Litzi diam-diam, sampai direstoran dan klub malam. Tanpa Litzi ketahui, Rex sudah mengawasinya sejak Litzi masuk ke rumah Jeremy.
Ada Allcia dan Kharel juga di kamar itu, mereka berdiri menatap Litzi dan menilai perlakuan Rex yang begitu perhatian pada gadis itu.
"Kharel, menurutmu.. apa kakak tertua kita itu menyukainya?" bisik Allcia.
"Aku sudah menduganya sejak awal," Kharel tersenyum diikuti Allcia.
Rex berdiri dan mengajak kedua adiknya keluar, membiarkan Litzi istirahat. Sebelum Rex pergi, ia tak lupa mematikan lampunya. Namun ia menghentikan langkah kakinya begitu berada di ambang pintu. Melihat Allcia dan Kharel melengang pergi, ia kembali masuk ke kamar Litzi. Tanpa Rex sadari, Allcia dan Kharel mengintipnya sedang mencium kening Litzi. Kebiasaan Allcia dan Kharel dari sejak kecil belum juga hilang, keduanya tertawa kecil lalu berlari saat Rex bergegas keluar.
"Jangan! Jangan bunuh mereka! Tidak! Tidak!"
DORRR!!!
"Ayah!! Tidak!!! Jangan! Hentikan! Aku mohon!"
DORR!!!
"Litzi.."
"IBU!!! Tidakk!!!!"
"Hahahhahhahahaha!!! Kau saksikan ini lagi, gadis manis!"
DORRR!!!
"Tidak!!!!! Ana!! Ana!!!!!! Tidakkkkkk!!!!!!"
"Hahahaha!! Hahahaha!! Hahaha!!"
Suara-suara itu merasuki alam bawah sadar Litzi. Gadis itu menutup telinganya kuat-kuat dan peluh keringat bercucuran kemana-mana.
"Aaaaaaa!!!! TIDAKKKKKKK!!!!"
Pekikan Litzi sampai pada telinga Rex. Kebetulan Rex tengah menuju kamar Litzi karena perasaanya yang gelisah. Dengan cepat Rex berlari ke kamar gadis itu. Saat pintu terbuka secara otomatis, ia lantas berlari ke arah Litzi yang tanpa menyalakan lampu terlebih dulu. Kamar itu temaram, diterangi sorotan cahaya bulan dan salah satu lampu nakas. Litzi meringkuk di atas kasur dalam posisi tengkurap, seraya menutup kedua telinganya lalu mencengkeram rambutnya kuat-kuat. Selimut yang sebelumnya menyelimuti Litzi kini tergeletak ke lantai. Memang, saat mimpi buruk itu kembali mengganggunya, polahnya seperti orang yang kerasukan.
"Tidak! Tidak! Jangan.. ku mohon hentikan.., jangan bunuh mereka.. tidak..," gumam Litzi dengan tangisannya.
Rex duduk disisi Litzi, membangunkannya lalu dengan cepat menariknya kedalam pelukannya. Dalam sekejap, Litzi tenang dan hanya terdengar nafasnya yang terengah-engah. Litzi menyentuh d**a bidang itu dan tampak nyaman berada dalam dekapan trillionaire itu.
"Malam ini, kau akan tidur bersamaku. Aku selalu siap menjadi penenangmu," ucap Rex lalu mengecup puncak kepala Litzi.
****