DIRTY BABY - 06

3065 Kata
     Gadis itu memundurkan sedikit tubuhnya, agar tidak terlalu dekat padanya. Dengan benak penuh tanda tanya Litzi memperhatikan wajah Rex yang tampan. Polosnya trillionaire itu ketika terlelap, pikir Litzi. Gadis blasteran Rusia-Spanyol itu masih bingung dengan dirinya sendiri, mengapa responnya begitu cepat jika trillionaire itu memeluknya. Tiap kali Rex mendekapnya, rasa gelisah dan ketakutannya terhempas begitu saja. Litzi masih ingat betul kejadian semalam, ketika dia di sudut kamar klub saat bertekuk merasakan getaran rasa takut, tiba-tiba saja ia memeluk Rex begitu erat. Padahal biasanya saat ia ketakutan, Litzi hanya mengeluarkan kata-kata takut, tidak dengan memeluk siapapun itu. Tapi ada apa dengannya semalam? Ia memeluk Rex tanpa permisi, Litzi merasa malu dan tidak enak. Di tambah semalam ketika ia tidur ia berteriak karena mimpi buruk, antara sadar dan tidak sadar ia bisa merasakan seseorang memeluknya. Aroma tubuh yang sudah dikenalinya, mengarahkan seseorang itu adalah Rex. Dan tebakannya itu benar, saat kesadarannya penuh, ia melihat pria itu bersamanya, memeluknya dan mengusap lembut rambutnya. Litzi semakin heran dengan dirinya sendiri, saat Rex tidur disampingnya, amarahnya sama sekali tidak muncul. Litzi merasa aman bila Rex ada didekatnya, sehingga untuk melontarkan kata pergi saja mulutnya seolah-olah terkunci. Litzi, ada apa denganmu? Dimanakah jawaban itu? Mengapa? batin Litzi bertanya-tanya. Perlakuan manis Rex melintas dipikirannya. Semalam saat mimpi buruk itu datang, Litzi cukup sulit untuk kembali tidur. Dengan sabar Rex mengeloninya sambil mengelus-ngelus rambutnya. Trillionaire itu menanyakan apakah dia haus, lapar atau menginginkan sesuatu. Untuk pertama kalinya, aku menemukan orang asing yang begitu perhatian padaku. Ada apa dengan Litzi yang sekarang? Mengapa aku mudah menerima orang asing masuk kedalam kehidupanku? batin Litzi. Terlihat kedua mata Rex bergerak, Litzi menantikan kelopak mata pria itu terbuka seutuhnya dengan jantung yang berdegup kencang. Nafas Litzi berhenti sesaat ketika Rex tersenyum padanya, ugh! Pagi-pagi dia sudah disuguhi senyum manisnya. Rex tidak menghiraukan ekspresi Litzi yang datar. "Selamat pagi, Litzi,"" ucap Rex dengan nada serak. Suara pria itu seksi sekali, batin Litzi. "Kau bangun lebih dulu dariku. Padahal semalam kau kembali bisa tidur saat sudah larut sekali," ujar Rex. Litzi masih diam. Rex melirik jam dinding yang menujukan pukul 07:15 AM. Trillionaire muda itu menurunkan satu kakinya ke lantai, seraya menepiskan selimut yang menutupi setengah tubuhnya tadi. Rex berdiri sepenuhnya dan mengulet seraya mengerang. Saat Rex membalikkan tubuhnya ke arah Litzi, saat itu juga  Litzi fokus menatap tubuh proporsional pria itu. Sial! Kenapa dia suka sekali berpenampilan seksi seperti itu? batin Litzi meremas sprei dibalik selimut yang masih membungkusnya. "Ada apa dengan ekspresimu?" Litzi mengerjap dan menggeleng. Kemudian memalingkan wajahnya. Ia merutuk dirinya karena tak bisa mengontrol diri, semoga Rex tidak berpikir macam-macam. Rex tersenyum geli lalu berjalan menuju jendela yang ukurannya cukup besar dan lebar memenuhi dinding kamar. Ia menekan sebuah tombol di dekat jendela lalu tirai itu terbuka secara otomatis. Rex menekan tombol satu lagi, dan jendela dengan beberapa bagian itu terbuka. Udara pagi yang sejuk lantas masuk ke dalam kamar yang suhunya hangat. Mansion trillionaire itu memang difasilitaskan dengan adanya otomatical atau technological. Selanjutnya Rex membuka pintu balkonnya. "Udara pagi itu sangat bagus untuk tubuh dan ruangan," gumam Rex. Litzi mengambil posisi duduk, kedua kakinya yang bersila tertutupi selimut. Rex melangkah mendekati Litzi lalu duduk di tepi ranjang. "Semalam teriakanmu cukup keras. Kau membuatku begitu cemas dan takut," ucap Rex. Litzi menunduk sesaat lalu kembali menatap Rex, raut wajah pria itu serius sekali. Litzi memperingati dirinya sendiri untuk tidak percaya dengan kata-kata manis ataupun ucapan dari orang yang baru dikenalnya. Gadis itu mencari-cari sebuah kebohongan, setidaknya candaan di kedua mata Rex, namun ia tak menemukannya. Hanya keseriusan. "Kau mencari sesuatu?" tanya Rex, "Jangan berpikir buruk tentangku," tambahnya. Litzi lantas tercekat, ia lupa bila pria di depannya memiliki kepekaan yang tidak dimengerti. Apa yang Rex tebak, yang Rex ucap, selalu tepat persis dipikirannya. "Pasti dalam hati kau bertanya tentang kepekaanku," kata Rex. "Apa kau punya kemampuan membaca pikiran orang lain, Mr. Rex?" tanya Litzi. Rex tersenyum, "Tepat sekali." "Jadi benar?" Litzi cukup terkejut. Rex tertawa pelan, "Bukan. Bukan itu maksudku. Ya tepat sekali, dugaanku benar jika kau memang memikirkan hal itu." "Bicaramu berbelit-belit," ketus Litzi. "Lebih dari itu," balas Rex dengan tersenyum miring, "Pikiranmu akan berputar-putar karena ketidak pengertianmu mengenai diriku," tambahnya. "Kau memang sulit dimengerti," timpal Litzi, mengungkapkan apa yang menjadi beban pikirannya. Tiba-tiba saja Rex mendekat ke arah wajahnya. Perasaan Litzi sudah tidak enak saja, tubuhnya serasa beku, ia sendiri merasa aneh. Yang bisa ia lakukan adalah memejamkan mata. Ia merasakan deru nafas yang lembut di leher kirinya. "Perlahan-lahan. Ikuti saja alurnya. Kau.. pasti akan mengerti," bisik Rex. Teka-teki lagi? ucap Litzi dalam hati. Litzi membuka matanya saat Rex kembali menjauh. Ia pikir Rex akan menciumnya, tapi dugaannya salah. Pikiran nakal Litzi muncul semenjak pria itu mendekat padanya, ditambah penampilannya yang bertelanjang d**a. "Banyak yang berpikir aku memiliki kemampuan membaca pikiran orang-orang disekitarku. Namun sebenarnya itu tidak benar. Inilah kejeniusanku, Tuhan memberiku kepekaan yang kuat," papar Rex. Litzi mengernyit, "Tetapi bagaimana mungkin? Tebakanmu selalu tepat." Rex tersenyum, "Aku bisa menebak dengan melihat raut wajah dan nada bicara seseorang." "Tapi dia bisa saja tidak mengaku sesuai apa yang kau tebak," balas Litzi. Rex tersenyum miring, "Selama ini tebakanku tidak pernah meleset, sedikit pun. Dia bisa mengelak, memanipulasiku, tapi sesungguhnya itu cuma sia-sia. Jika itu hal yang sepele, aku abaikan. Tapi jika itu hal yang penting atau berat, aku akan.. ber.tin.dak." Litzi membatin, Kenapa aku merasa dia menyindirku ya? Tatapan Rex berubah tajam. "Jangan pernah meremehkanku," desis Rex. Litzi meneguk salivanya. "Jangan pernah memanipulasiku," desis Rex lagi. Litzi terdiam. "Itu bisa jadi boomerang untuk dirimu sendiri," desis Rex yang ketiga kalinya. Litzi tercekat. Pria itu beranjak, namun tiba-tiba saja ia menerjang tubuh Litzi. Jarak keduanya hanya beberapa sentimeter saja, mereka bisa saling merasakan deru nafas yang menyapu wajah keduanya. Jantung Litzi berpacu cepat, tak karuan. Ia merasakan kedua tangannya tercekal kuat, Rex mencekal kedua tangannya. "Seperti ini! Kau ingat kejadian semalam? Kau ingat pria itu mencoba memperkosamu? Dengan uang dia ingin menyentuhmu!" ucap Rex dengan tegas. Kedua mata Litzi berkaca-kaca, bagaimana bisa ia melupakan kejadian itu? Justru menambah luka dan trauma. Rex melepaskan cekalannya, berpindah untuk menopang tubuhnya dan ia terus bergerak ke bawah secara perlahan. Dari atas perut Litzi, ia menghirup aroma gadis itu, bergerak ke atas perlahan-lahan seraya memejamkan mata. Litzi tak dapat berkutik, selain tubuh Rex yang menguncinya, tubuhnya terasa terkunci kuat dan sulit digerakan. Rex berada di atas wajahnya dan siap menyerang bibirnya. Tidak, Litzi! Tidak! teriak batin Litzi. Refleks! Litzi menahan d**a Rex dengan tangannya. Rex menghentikan aksinya, sedikit lagi bibirnya menggapai bibir tipis gadis itu. Ia membuka kedua matanya. Lalu mereka saling beradu tatapan. "Tolong, jangan lakukan itu! Jangan...," lirih Litzi. Rex tersenyum, "Tentu. Aku takkan melakukannya tanpa izinmu." "Terimakasih," ucap Litzi. Rex membelai sisi wajah Litzi dengan lembut. "Aku tak rela jika ada pria lain yang mencicipi bibirmu, bahkan sedikit saja menyentuhmu. Aku takkan biarkan itu terjadi," desis Rex. Rex menyeka air mata Litzi dengan lembut. Lalu tersenyum, kemudian beranjak. Litzi masing berbaring dengan benak yang terpatri tanda tanya. "Pelayan akan kemari untuk menyiapkan air hangat untukmu mandi," kata Rex. Litzi bangun, "Tidak. Itu tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri." "Baiklah. Dua puluh menit lagi Alejo kesini, dia akan mengantarmu ke ruang makan. Kau harus sarapan. Aku akan menunggumu disana," kata Rex. Litzi menggeleng, "Tidak. Itu--" "Jangan membantah, Litzi!" tegas Rex. Litzi terdiam. Rex pun melangkah pergi. Namun tiba-tiba Litzi menahannya. Rex menghentikan langkah kakinya tanpa membalikan tubuhnya. "Aku sama sekali tidak mengerti," ucap Litzi. "Katakan apa yang tidak kau mengerti," kata Rex. "Sikapmu. Kau bertingkah seolah-olah aku adalah orang yang spesial. Kau begitu melindungiku. Aku tahu kau mengurusku tapi...," Litzi menjeda ucapannya karena bingung harus bagiamana menjelaskan maksudnya. "Aku mengerti maksudmu," kata Rex. "Lalu?" balas Litzi. "Haruskah ku katakan sekarang?" "Ya. Selagi jawabanmu menghilangkan ketidak pengertianku." "Jika aku mengatakan, aku mencintaimu...," Rex menjedanya. Litzi sedikit membelalak kedua matanya. Jantungnya berdegup kencang, menunggu Rex melanjutkan ucapannya. "Apa kau percaya?" tambah Rex. Belum sempat Litzi menjawab, trillionaire itu melenggang pergi dan hilang dibalik pintu. Litzi mendesah, itu pasti tidak mungkin! Memang perlu waktu untuk mengungkap kemisteriusannya, pikir Litzi. Rexford Mackenzie, sang trillionaire yang suka meninggalkan jejak tanda tanya disetiap langkahnya. ◻◾◽❤◽◾◻      Litzi sudah cantik dan aroma parfum yang dikenakannya terkesan feminim. Ia mengenakan salah satu pakaian yang menurutnya pas. Kini Litzi bisa merasakan kembali mengenakan barang-barang bermerk dan modis, setelah sekian lamanya. Litzi bingung, haruskah ia bersyukur? Gadis itu mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar yang luas itu. Seseorang seperti membisikinya, mengingatkannya bila kamar itu adalah kamarnya. Litzi menghela nafas, apakah sebaiknya ia menerima kenyataan kalau dia hidup di dunia yang baru? Dunia milik Rexford Mackenzie, pria yang menariknya ke dunia yang asing dan memutuskan untuk mengurusnya. Terdengar suara bel, itu bel pintu masuk kamar. Lalu pintu itu terbuka seperti pintu lift, disana berdiri Alejo. Kepala pelayan itu mengucapkan selamat pagi padanya seraya membungkuk hormat. Sebenarnya Litzi tidak pernah bahkan tidak suka terlalu dihormati oleh pelayan, namun ia harus menerimanya karena mansion itu dunia Rex. Litzi tahu alasan kedatangan Alejo, ia pun melangkah keluar. Alejo berjalan lebih dulu agak menyerong, diekori Litzi. Sekali lagi Litzi memuji kemewahan mansion itu. Saat Litzi tiba di lantai bawah, ia memberanikan diri untuk bertanya kepada Alejo. "Em... paman Alejo," panggil Litzi. "Iya, saya Nona Litzi. Ada apa?" tanya Alejo masih sambil berjalan. Litzi celingak-celinguk, "Sepi sekali, dimana yang lain? Allcia dan Kharel." "Kau tidak menanyakan keberadaan Tuan Rex, Nona?" tanya Alejo. Litzi mengernyit, "Aku sudah tahu dimana dia. Yang ku tanyakan adik-adiknya." Alejo tersenyum, "Biasanya jam segini Nona Allcia dan Tuan Kharel masih ada di dalam kamar masing-masing." Litzi ber-oh-ria. Benaknya seperti diketuk, Litzi jadi mengingat ucapan Rex yang bertanya jika dia mengatakan dia mencintainya, apakah Litzi akan percaya? Entah mengapa ia menjadi gugup, padahal bisa saja Rex hanya bercanda. Pria satu itu kan agak aneh. Sebentar lagi ia sampai di ruang makan, sudah semakin dekat pintu ruang makan yang menjulang tinggi itu. Namun tiba-tiba saja Alejo melewati pintu itu, justru berjalan ke arah lorong lain. "Paman! Tunggu! Bukankah--" "Tuan Rex ada di kolam renang, Nona," potong Alejo. Litzi mengernyit, "Apa?! Tapi dia bilang padaku, dia menungguku di ruang makan." Alejo mengernyit, "Benarkah? Saya tidak tahu akan hal itu. Boleh ku katakan sesuatu, Nona?" "Apa, Paman?" "Sepertinya Tuan Rex ingin memberimu kejutan." Kejutan apanya? Dia mengerjaiku! batin Litzi. Ada sebuah pintu terbuat dari kaca yang terbuka, dari jauh Litzi bisa lihat kolam renang dan bangunan lainnya. Terdapat kaca yang menjulang tinggi juga di dinding yang mengarahkan ke arah tempat itu. "Nona, Tuan Rex ada disana," kata Alejo ketika mereka sudah ada di teras belakang. Litzi mengikuti arah tatapan Alejo. Benar, pria itu tengah duduk diatas sebuah batu yang meninggi dan dibelakangnya terdapat pohon-pohon hijau. Alejo pun melenggang pergi. Litzi kembali melihat Rex, trillionaire itu duduk disana seraya mengangkat barbel menggunakan tangan kanannya selama beberapa kali. Litzi memanfaatkan keadaan Rex yang sibuk mengangkat barbel itu dengan membalikan tubuh dan hendak kabur dari sana. "Hey, kau mau kemana!" Kedua kaki Litzi serasa beku, ia meneguk salivanya. Sial! umpat Litzi dalam hati. BRAKK!!! Litzi terperanjat saat pintu di depannya tiba-tiba tertutup. Bagaimana bisa? "Kau tidak bisa kabur, Litzi. Kemarilah!" kata Rex. Litzi meremas jari jemarinya, ia memejamkan mata sesaat lalu membalikan badan. Tatapannya pun bertemu dengan mata elang pria itu dari jauh. Tatapan Litzi teralihkan saat melihat sesuatu yang dipegang Rex, seperti remot. Litzi berpikir pasti pintu teras tertutup secara otomatis. "Cepat kesini!" teriak Rex. Litzi pun berjalan sesuai suruhan Rex. Pria darah Amerika-Indonesia itu meletakan barbel di bawah, lalu menatap Litzi terus menerus. Semakin membuat Litzi gugup saja. "Kau tidak ke ruang makan untuk menemuiku?" tanya Rex. Litzi mengernyit, "Nyatanya kau ada disini." Rex tertawa pelan. Melihatnya tertawa, ia terkesan orang yang menyenangkan. Terlihat semakin tampan. "Bagaimana kejutannya?" tanya Rex saat Litzi sudah di dekatnya. Litzi tampak cuek, "Kau mengerjaiku." "Sama halnya sepertimu," kata Rex. "Aku?" "Ya. Kau meminta izin padaku, bilang padaku ingin membuat kue bersama teman perempuanmu. Meskipun aku tahu kau berbohong, aku berpikir kau mungkin berniat mengerjaiku, mengajakku bermain dan aku tetap mengizinkanmu. Bukankah aku baik?" Litzi terdiam. "Litzi, aku tahu kau menipuku. Sebenarnya aku benci dikhianati, rasanya aku ingin meremukan tulang-tulangnya," ucap Rex. Litzi meneguk salivanya. Rex menghela nafas, "Tapi aku tak bisa lakukan itu padamu. Aku melihat sisi lainnya, kau memanipulasiku, membuat skenario, itu demi tanggung jawab pekerjaanmu." Litzi menatapnya, ternyata Rex pengertian juga. "Litzi, sebenarnya aku selalu ada di dekatmu tapi kau tidak menyadarinya. Entah aku yang cerdik, atau kau yang cuek. Aku mencari info tentang keluarga yang kau maksud adalah teman perempuanmu, tapi ternyata teman laki-lakimu, Jeremy. Aku mengikutimu sampai kau tiba di restoran, aku ada direstoran itu demi memastikan kau baik-baik saja dengan cara berpura-pura tidak tahu kau ada disana," papar Rex. Litzi tercenung. "Aku tahu pekerjaanmu adalah pelayan restoran dan sexy dancer. Kau tahu? Rasanya aku ingin membentakmu, berkata agar kau tidak melakukan pertunjukan erotis itu, setidaknya.. jangan kau masuk ke dalam sana. Karena disana dunia yang gelap! Tapi aku menahan amarah meski terasa sulit. Aku tidak suka tatapan pria-pria itu padamu, Litzi. Mereka lapar, haus, begitu melihat tubuhmu yang cukup terekspose. Rasanya aku ingin sekali meruntuhkan tempat itu. Aku kembali memutuskan mengawasimu secara diam-diam, aku menyamar disana. Mengenakan jaket, kacamata hitam dan topi. Supaya tak ada yang mengenaliku," papar Rex lagi. Litzi masih tanpa suara. "Ketika seorang pria berani menarikmu, melemparmu dengan uang, aku tidak terima! Saat dia membawamu secara paksa, aku lmenghubungi Santos untuk datang bersama orang-orangku. Aku mendengar pembicaraan Joao dan pria bernama Vigo Lafrance itu. Beraninya Joao membuka sewa tubuhmu untuknya! Jangankan untuknya, takkan ku biarkan kau disentuh pria manapun. Kau bukan barang murah, Litzi!" Rex terlihat marah. Litzi menunduk, kedua matanya berkaca-kaca. Ia merasa malu dan sakit hati atas kejadian di malam itu. "Kau pasti dengar suara keributan. Suara tembakan. Itu adalah kerjaanku. Untung saja kau selamat, bagaimana jika tidak? Hidupmu pasti hancur karena pria laknat itu!" ucap Rex dengan helaan nafas. Rex mengangkat dagu Litzi dengan lembut agar menatapnya. Lalu berdiri dan menyeka air mata Litzi yang melolos dengan gerakan lembut pula. "Sudah, yang lalu biarlah berlalu. Jadikan itu pelajaran untukmu, okay? Selama aku hidup, takkan ada yang bisa mencelakaimu," ucap Rex dengan serius. "Aku sudah melakukan kesalahan. Aku telah lancang membohongimu. Kenapa kau tidak menghukumku?" tanya Litzi. Rex mendesah, "Jangan dibahas lagi ya? Aku tidak mau melihatmu bersedih. Lupakan! Semoga setelah ini baik-baik saja." "Terimakasih, Mr. Rex," balas Litzi. "Sejak kapan kau memanggilku dengan sebutan Mr. Rex?" Rex mengangkat satu alisnya. "Aku tidak tahu harus memanggilmu apa. Jika nama saja, itu terdengar tidak pantas ku ucapkan." "Aku ingin kau memanggilku Rex saja. Tapi... aku lebih suka kau memanggilku begitu. Jika kau yang menyebutnya, terdengar berbeda." Litzi tersenyum dan di balas Rex seraya mengacak puncak kepalanya. Rex beralih menyeburkan diri ke dalam kolam. Sedangkan Litzi melihat trillionaire itu sambil duduk di salah satu kursi. Sepertinya aku harus berhenti berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Dia pria berhati malaikat, batin Litzi. Rex mengajak Litzi untuk renang bersamanya, namun gadis itu menolak. Lagipula Litzi sudah mandi juga kan. Rex naik dan dengan tubuh basah kuyupnya ia berjalan mendekati Litzi. Perasaan yang tidak enak merayapi Litzi. Seringaian Rex yang jahil, semakin menguatkan tebakan Litzi. Saat Litzi hendak kabur, dengan cepat Rex menangkapnya dengan memeluknya. Litzi berteriak karena pria itu, bajunya jadi basah. Litzi meronta-ronta seraya berteriak, akan tetapi Rex tetap defensif. Rex sengaja melengahkan pelukannya, Litzi pun berlari. Canda tawa pun menyeruak bebas disana, mereka berlarian kesana kemari. Litzi berlari menghindari Rex yang mencoba menangkapnya. Untuk pertama kalinya, Rex mendengar tawa Litzi yang bebas. Gadis itu semakin cantik. Rex berjongkok di tepi kolam dan menghadang Litzi dengan cipratan air, alhasil! Gadis itu berteriak dan tercengang karena bajunya semakin basah. Litzi berjongkok di tepi kolam dan bergantian menyerang Rex. Rex tersenyum lebar saat menerima serangan yang mengenai wajahnya. Litzi tergelak begitu  berhasil melakukannya. Mereka nampak seperti adik dan kakak, namun nyatanya... berbeda. Litzi kembali berlari saat Rex berusaha menangkapnya. Suara gelak tawa Litzi sampai terdengar ke dalam mansion, Alejo dan beberapa pelayan lainnya mengintip diam-diam dari balik kaca jendela. Mereka tersenyum melihat Tuan besar mereka kembali bahagia, kehadiran Litzi memang mempengaruhi Rex. Rex berhasil menangkap tubuh Litzi, ia mengendong tubuh mungil Litzi dan melangkah menuju kolam renang. "Turunkan aku! Turunkan aku!" teriak Litzi merontakan kedua kakinya. "Kau harus berenang bersamaku!" ucap Rex. Litzi membelalak kedua matanya, "Tidak! Tidak! Aku tidak mau! Lepaskan! Turunkan aku!!!!!" Rex tak menghiraukannya, ia menceburkan diri bersama Litzi yang masih dalam gendongannya. Suara deboman air terdengar keras dan tampak air terciprat cukup tinggi. Kepala Litzi muncul terlebih dulu dari ke dalaman air, ia terbatuk-batuk beberapa kali dan diikuti kepala Rex yang kemudian muncul. Litzi mengeratkan lingkaran tangannya ditengkuk Rex dan tiba-tiba saja memeluk Rex...sangat erat. Rex tersenyum, merasa menang. Namun ia merasa bersalah saat merasakan tubuh Litzi yang bergemetar dan batuk beberapa kali. Ia bisa merasakan ketakutan Litzi. "Tolong jangan lepaskan aku! Aku takut! Jangan lepaskan aku!" ucap Litzi dengan suara bergetar. Rex mengernyit, "Ada apa, Litzi? Kau seperti kucing saja yang takut air." "Aku takut! Aku tidak bisa berenang! Ku mohon..., jangan lepaskan aku!" balas Litzi masih bergetar. "Hahahahaha!" Rex tiba-tiba saja terkekeh, "Dasar payah!" tambahnya di sela-sela tawanya. "Kurang ajar! Jahat!" timpal Litzi. Rex berhenti tertawa, ia tersenyum dan memegang kepala bagian belakang Litzi. Aku takkan pernah melepasmu. Kau milikku. Untuknya yang berani menyentuhmu, akan ku buat dia berlumuran darah, batin Rex dan mata elangnya yang menajam. Tanpa mereka berdua sadari, empat pasang mata melihat mereka dari balik jendela yang terbuka. Kharel dan Allcia, kakak beradik itu saling tertawa pelan dan tersenyum-senyum menyaksikan kakak tertua mereka melakukan hal menyenangkan nan manis bersama seorang gadis remaja. Kharel dan Allcia saling menebak perihal sikap Rex yang mengherankan. "Aku harap kakak kita itu bukan p*****l," gumam Kharel. Allcia menoyor kakak ke empatnya itu, "Hush! Konyol! Rex itu pria berkualitas! Mana mungkin dia p*****l. Dasar! Kalau dia dengar itu, kau akan habis, Rel!" "Aish! Aku hanya bercanda adikku yang cantik. Jangan kesal begitu. Lagian, Rex membuat orang heran saja," ucap Kharel. "Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Tapi aku yakin, seyakin-yakinnya kalau Rex menyukai gadis itu." "Bagaimana tidak? Litzi gadis yang cantik dan.. seksi." Allcia menutup kedua mata Kharel dengan tangannya dan mengacak-ngacak wajah Kharel dengan greget. Kharel menepis tangan mulus Allcia dan menatapnya kesal. "Apa-apaan kau ini!" kata Kharel. "Dasar mata trolli!" ucap Allcia dengan berdecak kesal. Kharel mengernyit, "Mata trolli?" "Ya! Mata keranjang tak pantas lagi untukmu! Semua wanita kau pandang seperti itu! Genit!" balas Allcia melipat kedua tangannya di depan d**a. Kharel tertawa, "Hahahaha! Aku baru dengar mata trolli! Ada-ada saja kau ini! Dasar model pampers!" Allcia tercengang, "Sialan! Model pampers katamu? Aku adukan Rex nanti baru tahu rasa!" "Heh, kau suka sekali mengadu padanya. Paling-paling dia cuma menegurku, tidak sampai membuatku babak belur. Aku kan saudara sedarahnya, wle!" "Meremehkan! Lihat saja, aku akan mengadu pada Mom and Dad saat tiba di Madrid siang nanti!" "Dasar tukang mengadu!" Allcia mengepalkan tangannya, ia membogem lengan Kharel yang berotot namun Kharel seperti tak merasakan apa-apa. Dia pun tertawa, membuat Allcia mendengus kesal. Mereka memang suka sekali bertengkar meskipun ujung-ujungnya baikan dengan sendirinya, apalagi Kharel yang suka menggoda Allcia adik manja kesayangannya itu. Kharel bersiul dengan sengaja dan sampai ditelinga Rex. Trillionaire itu yang masih di dalam kolam renang bersama Litzi mengarahkan matanya ke sumber suara, tepat di jendela kamar Allcia. "Serasa di dunia sendiri ya, Rex!" teriak Kharel. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN