DIRTY BABY - 07

2216 Kata
Litzi yang basah kuyup duduk di tepi kolam seraya memeluk dirinya sendiri. Rex menghampirinya, berjongkok lalu menutupi tubuh gadis itu dengan handuk. Litzi mengeratkan eratannya pada handuk itu. Kemudian Rex duduk di sisi Litzi dan ikut mencelupkan kedua kakinya ke dalam kolam. Litzi tak sadar kalau Rex memperhatikannya sejak tadi gadis sembari tersenyum. Lamunan Litzi buyar, ia menunduk dan mengernyit melihat pantulan Rex di air yang memperhatikannya. Litzi pun menoleh dengan cepat. "Berhentilah menatapku," ketus Litzi. "Kalau aku tidak mau bagaimana?" balas Rex berseringai. Litzi menatap lurus ke depan, "Apa ada yang aneh denganku?" "Kau begitu cantik." Lontaran Rex membuat kedua pipi Litzi memanas, ia menahan senyumnya hingga kedua pipinya terasa ngilu. Rex yang melihat semburat merah di pipi kanan Litzi tertawa pelan. "Ada apa dengan kedua pipi chubby-mu itu?" tanya Rex. Litzi sedikit membelalak matanya lalu tersenyum kikuk, "Memangnya.. kenapa?" "Tidak," singkat Rex lalu menatap genangan air kolam itu. Melihat pantulan Litzi. Sial! Kenapa aku jadi blushing begini? Kenapa rasanya berbeda jika Rex yang memujiku? batin Litzi. "Litzi, sebaiknya kau mandi. Kau bisa sakit jika terus kedinginan," gumam Rex. "Aku basah kuyup begini kan karena ulahmu," balas Litzi dengan ketus. Rex tersenyum sambil menoleh padanya, "Kenapa kau suka sekali bicara dengan nada ketus padaku?" "Memangnya kenapa?" Litzi menatapnya kesal, "Kalau kau tidak suka, jangan dengarkan aku," tambahnya. "Bagaimana bisa? Telingaku masih berfungsi dengan baik," timpal Rex. Litzi menghela nafas, "Baiklah. Terserah," ia kembali menatap lurus ke depan. "Mengaku kalah?" "Untuk apa?" "Kau kehabisan kata-kata untuk melawanku, Nona." "Aku cuma tidak mau terus berdebat denganmu. Jika kau ingin aku menghormatimu, maka perlakukanlah aku dengan baik." "Aku kurang baik apa?" "Kau baik, bijak dan terimakasih atas semuanya. Tapi kau juga menyebalkan. Jahil! Kau membawaku ke dalam kolam tanpa persetujuanku." "Apa yang ku lakukan tadi, semata-mata agar kau terbiasa denganku. Kau bersikap canggung, memandangku orang asing. Aku ingin seperti mereka yang bisa menghabiskan waktu bersamamu. Merasakan momen menyenangkan bersama seorang dengan tawa sumringahnya sepertimu." Litzi terdiam, perkataan Rex barusan membuat bibirnya terkatup rapat. "Sekarang aku tahu bagaimana memancing gelak tawamu. Kau suka ya diajak adegan tom and jerry? Kejar-kejaran," ujar Rex. Ucapan Rex membuat Litzi tersenyum, ia tersenyum karena mengingat kenangan masa lalunya bersama sang adik saat bermain kejar mengejar seperti kucing dan tikus. Uh, rasa sakit kembali berdesir di hatinya. "Ngomong-ngomong, kau seperti mommy-ku," gumam Rex. Litzi menoleh, "Apa?" "Dad pernah cerita padaku tentang sejarah percintaannya dengan mom. Dia bilang kalau isterinya itu takut dengan kolam renang, mom tidak bisa berenang," Rex tertawa pelan. Litzi tersenyum. "Baiklah, ayo! Aku akan mengantarmu ke kamar," Rex menceka lengan Litzi. Litzi menggeleng, "Tidak. Nanti saja. Aku masih ingin disini." "Ya sudah. Aku duluan kalau begitu. Aku memberimu waktu lima menit berada disini. Jika aku melihatmu masih disini lebih dari itu, aku akan datang dan menggendongmu. Paham?" papar Rex. "Kenapa kau jadi mengaturku?" Litzi mengernyit. "Demi kesehatanmu, cantik. Lagipula... aku kan pengurusmu. Kau tanggung jawabku. Ingat itu!" tegas Rex. Rex melenggang pergi meninggalkan Litzi yang menatapnya sinis. Tiba-tiba saja Litzi tertawa kecil saat ingat kejadian di pagi hari ini, bercanda dengan trillionaire itu. Ternyata Rex orang yang menyenangkan. Senyum Litzi perlahan menghilang begitu ingatannya pada malam kemarin, mimpi buruk itu datang lagi.. lagi dan lagi. Mimpi itu selalu mengusiknya, semakin membuka lukanya. Ketika Litzi menatap genangan air di bawahnya, ia melihat pantulan Ayah, Ibu dan adiknya disana. Keluarganya itu tampak tersenyum dan melambai-lambaikan tangannya. "Ayah! Ibu! Ana!" kata Litzi dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Dengan cepat Litzi menoleh dan senyumnya lantas menghilang. Tak ada siapa-siapa disana, tak ada seorang pun di belakangnya. Litzi melihat genangan air itu, pantulan keluarganya menghilang. Seketika air mata Litzi melolos begitu saja, suara tangisnya tak tertahan, ia menutup wajahnya dan menangis sejadi-jadinya. Menepikan kesadaran dimana dia sekarang. Rex yang melihatnya dari balik jendela langsung berlari kesana, pria itu duduk disisi Litzi dan menariknya ke dalam pelukan. Rex membiarkan gadis itu menumpahkan air matanya, sampai-sampai air mata Litzi mengalir di d**a bidangnya. Rex bisa merasakan rasa sakit itu, rasanya sangatlah perih! Tak terasa, air mata trillionaire itu ikut terjatuh. Litzi berdiri dibalkon kamarnya, menatap banyaknya pepohonan-pepohonan hijau yang jaraknya tak jauh dari kawasan mansion. Ia sendirian, dengan pikiran yang dipenuhi ribuan rekaman dalam memori. Litzi menatap langit cerah kebiruan di siang hari ini, angin sejuk yang menerpanya membuat rambut panjangnya menari-nari. Sejak dari kolam renang, Litzi berdiam diri di dalam kamarnya. Lagi-lagi Litzi menelan rasa malu dan tidak enak saat ia menumpahkan air mata dalam dekapan Rex. Litzi menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa mengontrol diri, ia memang orang yang perasa. Bahkan sarapan saja dia tak mau bergabung dengan Allcia dan Kharel, ia hanya mau makan di dalam kamar. Rex dengan hati lembutnya menuruti kemauan Litzi, ia membawa sarapan itu sendiri ke kamar Litzi. Akan tetapi ada hal yang Litzi tidak tahu, Rex juga yang menyiapkan sarapan khusus Litzi tanpa campur tangan orang lain. Ngomong-ngomong soal Rex, pria berkharisma tinggi itu tidak ada di mansion sejak dua jam yang lalu. Putera dari sang billionaire nomor satu di dunia tersebut tengah mengurus urusan perihal sekolah baru untuk Litzi. Gadis berusia 17 tahun itu masuk ke dalam kamar, ia membiarkan pintu balkonnya terbuka. Litzi menghempaskan tubuhnya ke kasur yang berukuran king size itu. Selang beberapa menit tanpa berbuat apa-apa, rasa kantuk mengelayutinya. Ia memejamkan mata dan terlelap. Saking nyenyaknya, ia sampai tak mendengar suara deringan ponsel yang tergeletak diatas nakas. Jeremy menelfonnya. Oh, ya ampun! Seharusnya Litzi ke sekolah lamanya atas permintaan Jeremy. "Nona! Nona, Litzi!" Samar-samar Litzi mendengar seseorang memanggilnya. Litzi membuka matanya, ia menyipitkan matanya untuk melihat siapa orang yang telah menggangu tidurnya. Oh ternyata Alejo. Ya, sejak tadi si kepala pelayan mansion itu berusaha membangunkannya dengan sabar. Alejo bernafas lega, akhirnya majika termudanya bangun juga. "Paman...," ucap Litzi dengan suara sedikit serak. "Maaf, Nona. Saya telah mengganggu tidur nyenyakmu," ucap Alejo. Litzi tersenyum, "Tidak apa-apa, paman." "Tuan Rex yang menyuruhku," kata Alejo. Litzi yang tadinya setengah duduk, kembali menghempaskan tubuhnya dengan menghela nafas. Argh! Jadi Rex penyebabnya, batin Litzi. "Tuan memintaku untuk menyampaikan pesannya padamu," gumam Alejo. Litzi bangun dan duduk di tepi ranjang, "Apa dia sudah pulang, paman?" "Sudah. Sejak satu jam yang lalu," jawab Alejo. Litzi meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas, hendak melihat jam tetapi ponselnya mati. "Ya, ampun! Aku lupa mengecasnya," ucap pelan Litzi. Ia pun melirik jam dinding, ternyata dia sudah tidur selama 2 jam setengah. Sudah jam setengah dua siang, batin Litzi. "Tuan bilang padaku kalau kau harus bersiap-siap. Pakailah pakaian yang sudah Tuan siapkan di walk in closet. Pakaian itu ada di dalam tas," jelas Alejo. Litzi mengernyit, "Untuk apa? Apa dia ingin membawaku pergi?" "Saya tidak tahu, Nona. Tuan hanya memerintahkanku menyampaikan hal itu padamu." Litzi mengangguk. "Setelah selesai. Cepatlah ke kamarnya, Nona. Dia menunggumu disana," kata Alejo. Litzi mengerutkan dahinya, "Ke.. kamarnya? Sungguh?" Alejo mengangguk. Kemudian permisi untuk pergi. Saat Alejo pergi dari kamarnya. Litzi masih terduduk dalam kebingungan. Litzi mengangkat bahunya heran, lalu beranjak untuk mengecas ponselnya. Setelah itu bergegas ke walk in closet. Benar kata Alejo, ada sebuah tas belanja dengan nama terkenal berdiri rapih di atas meja. Rex meletakan tas itu ketika Litzi tidur. Litzi merogohnya dan mengambil isi yang ada di dalam tas itu, ternyata sebuah gaun santai yang indah. Baru melihatnya saja, Litzi sudah menyukai gaun itu. Tapi mengapa Rex membelikannya lagi sedangkan di dalam lemari penuh dengan pakaian-pakaian yang masih baru. Orang kaya memang bebas ya? ucap Litzi dalam hati. Litzi melangkahkan kakinya menuju kamar sang trillionaire. Di sepanjang lorong yang terhubung dengan kamar Rex, Litzi mengedarkan penglihatannya untuk melihat bagaimana mewahnya interior dan barang-barang pada lorong itu. Terkesan elegan. Litzi meremas jari jemarinya ketika sudah berhadapan dengan pintu kamar itu. Litzi menetralisir rasa gugupnya lalu menekan belnya. Tak butuh waktu lama, pintu kamar semacam lift itu terbuka secara otomatis. Pandangan Litzi langsung tertuju pada sesosok makhluk bertelanjang d**a itu. Rex tampak berbaring diatas ranjang dengan seekor kucing kecil. Rex menoleh, melihat Litzi yang masih berdiri di luar kamarnya, padahal pintu sudah terbuka sejak tadi. "Sedang apa kau disana?" tanya Rex, "Kemarilah!" suruhnya. Litzi masuk ke dalam kamar dan pintu itu langsung tertutup rapat. Untuk pertama kalinya gadis itu mempijakan kakinya di kamar Rex. Litzi kira kamar seorang trillionaire penuh dengan kemewahan, tetapi ini tidak begitu. Kamar Rex dominan warna putih, hitam dan abu-abu. Terkesan kuat maskulinnya. Terpajang beberapa foto Rex dan keluarganya. Rex menyuruhnya duduk di sofa tak jauh dari ranjang tidurnya. "Bagaimana tidurmu, nyenyak?" tanya Rex. Litzi mengangguk, "Lebih nyenyak jika kau tidak mengangguku." "Aku? Apa salahku? Alejo yang membangunkanmu." "Tapi kan atas perintahmu." "Tadinya aku ingin membangunkanmu dengan marching band. Tapi.. ah, buang-buang waktu." Litzi tertawa, "Lagipula itu juga berlebihan! Kau ini ada-ada saja." "Kau semakin cantik jika tertawa," gumam Rex. Litzi lantas terdiam dan merasakan kedua pipinya memanas, kata-kata Rex telah membuatnya salah tingkah. Entahlah! Litzi sudah terbiasa dengan mereka yang memuji kecantikannya, tapi bila mulut Rex yang berbicara, terdengar berbeda. "Em... itu kucingmu?" tanya Litzi penasaran. "Tumben kau memulai pembicaraan," Rex meliriknya sekilas. "Mau jawab apa tidak? Terserah padamu," ketus Litzi. Rex mengangguk, "Ya. Namanya Duscha." "Duscha? Apa dia berjenis kelamin perempuan?" "Ya. Hola, Litzi! Aku Duscha!" ucap Rex menirukan suara perempuan, seakan-akan kucing peliharaannya itu yang bicara. Tingkah Rex membuat Litzi tertawa geli. Kucing yang memiliki warna bulu orange itu berjenis kelamin betina. Kucing lucu yang diberi nama Duscha itu merupakan kucing jenis American Bobtail. Rex memang penyayang binatang, terutama kucing. Trillionaire itu memiliki banyak jenis kucing yang terpelihara di mansion besarnya, namun jenis-jenis kucing seperti Maine Coon, Chinchilla Longhair, Persia dan Manx ia berikan kepada Allcia. Selain Rex dan Allcia, Kharel juga menyukai kucing. Kharel memelihara satu jenis kucing yaitu Grumpy, ladykiller itu ternyata unik dengan memelihara jenis kucing yang sempat menjadi selebriti internet. Laiv dan Elroy berbeda dari saudara-saudaranya yang menyukai kucing, justru mereka berdua alergi. Saat ini Rex hanya memelihara dua kucing jenis American Bobtail dengan jenis kelamin dan warna bulu yang berbeda. Aku baru tahu ada pria sesempurna dia yang masih sempat memelihara kucing, batin Litzi dan tertawa. "Ada apa?" tanya Rex. Litzi berhenti tertawa dan menggeleng, "Tidak." "Apa aneh bila seorang pria memelihara kucing?" tanya Rex. "Tidak. Justru itu bagus. Diluar sana juga pasti banyak pria sepertimu," balas Litzi, "Tapi tidak seaneh sepertimu," tambahnya. Rex mengernyit, "Aneh?" "Ya. Sikap dan perlakuanmu padaku cenderung...," Litzi menjeda ucapannya. Bila ku katakan cenderung membawa perasaan, nanti dia menuduhku kalau aku terlalu percaya diri, batin Litzi. "Cenderung apa?" tanya Rex. "Aneh," jawab Litzi sekenanya. "Dasar tidak jelas!" kata Rex. "Menyebalkan," umpat Litzi. Rex beranjak dan meletakan kucingnya di atas karpet, lalu berjalan menuju walk in closet. Aku tahu apa yang ingin kau katakan, Litzi. Sebenarnya kau bisa menyimpulkan sikap dan perlakuan manisku padamu, tetapi.. kau tidak bisa mengartikannya karena kedua matamu tertutup dengan ketidakperdulianmu padaku, batin Rex dengan lirih. Litzi beranjak dan tertarik untuk melihat foto-foto yang terpajang disana. Ia melihat salah satu foto yang di dalamnya terdapat sosok empat pria tampan dan satu wanita cantik. Litzi kenal dengan dua pria disana, Rex dan Kharel juga seorang wanita dengan kecantikan yang luar biasa, Allcia. Namun sosok pria kembar tidak Litzi kenali, tapi ada kemiripan dengan Rex, Kharel dan Allcia. Litzi tersenyum-senyum melihat para putera dari seorang billionaire, mereka semua tampan. Litzi menilai Kharel lebih tampan diantara mereka, namun entah kenapa matanya tak mau teralihkan dari sosok Rex. Apalagi saat melihat foto Rex yang bertelanjang d**a dan mengenakan topi tentara berwarna cokelat, kesan seksi dan misteriusnya menghanyutkan pikiran Litzi akan Rex yang suka bertelanjang d**a dan meninggalkan tanda tanya. "Huft! Kendalikan dirimu, Litzi," gumam Litzi sendirian lalu bergeser ke foto lain. Ketika Litzi ingin kembali duduk, sesuatu telah menarik perhatiannya. Terdapat sebuah bingkai yang tertutup dengan sebuah kain hitam, Litzi baru sadar akan keberadaan benda tersebut. Letak benda tersebut terpajang diatas sebuah meja dengan sebuah vas dan banyaknya bunga mawar merah yang sudah mengering, menghitam, layu dan segar. Litzi menghampiri meja itu. Ia menyentuh meja yang terbuat dari kayu itu dan mengernyit menatap bunga-bunga mawar itu dengan heran. Mengapa di kamar itu terdapat bunga mawar? Khususnya di kamar seorang pria sejantan Rex. Anehnya, bunga-bunga mawar itu ada yang tidak layak di pajang. Mengherankannya lagi, terdapat seperti bingkai ditutupi kain hitam yang sejajar dengan letak meja dan hanya itu satu-satunya meja yang ada di bawah bingkai foto. Foto-foto yang lainnya tidak ditutup dan tidak ada yang namanya meja, vas dan bunga mawar di bawah setiap bingkai foto. Ah! Mungkin Rex atau siapa sengaja meletakan meja ini disini. Tapi bunga-bunga mawar tidak layak dan bingkai tertutup kain, membuatku merasa ada sesuatu yang aneh, batin Litzi. Rasa penasaran menggerayapi Litzi. Tangan gadis itu terulur ke atas untuk menarik kainnya, namun tiba-tiba saja Rex mencekal lengannya hingga Litzi terperanjat. "Mr. Rex, kau mengagetkanku!" kata Litzi. "Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Rex dengan nada dingin. Kenapa matanya menajam dan suaranya berubah jadi dingin? Apa aku telah melakukan kesalahan? batin Litzi bertanya-tanya. "Em.. aku, itu.. kain itu," jawab Litzi dengan takut-takut. Tatapan Rex seketika kembali melembut. Ia menghela nafas, "Kau tak boleh menyentuhnya, Litzi," ucapnya dengan nada yang lembut. Litzi mengernyit, "Kenapa?" "Aku tak bisa berikan alasan itu padamu," kata Rex. Litzi menarik tangannya dari cekalan Rex lalu mengulum senyum, "Baiklah, maafkan aku. Aku lupa jika aku tidak ada hak. Maafkan aku." Rex yang sudah berpenampilan casual tidak meresponnya. Litzi melihat bunga-bunga mawar itu dengan pikiran yang masih dengan tanda tanya. "Aku baru tahu ada pria yang memajang bunga mawar di kamarnya. Apa kau suka bunga mawar?" tanya Litzi. "Kau juga tidak boleh menyentuh bunga-bunga itu," ucap Rex yang tidak sesuai dengan pertanyaan Litzi. Litzi mendongak dengan kening berkerut, "Mengapa? Mr. Rex, di dalam vas itu ada bunga mawar yang sudah mengering, menghitam dan layu. Itu tidak layak di pajang. Jika kau malas membuangnya atau menggantinya, aku yang akan melakukannya." "Tidak," kata Rex dengan cepat, "Itu tidak perlu, okay?" sambungnya. Belum sempat Litzi mengeluarkan satu patah kata pun, Rex menggenggam tangannya dan menariknya keluar. Litzi menoleh, melihat bingkai dengan kain hitam dan bunga-bunga mawar yang tidak layak itu dengan sejuta pertanyaan. Litzi merasa ada sesuatu yang Rex sembunyikan, hal yang misterius. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN