DIRTY BABY - 08

1799 Kata
    Litzi membisu, ia memikirkan tentang bunga dan kain hitam itu. Siapa yang tidak penasaran? Sungguh, tangan terasa gatal untuk cepat-cepat menarik kain hitamnya. Suatu apakah yang ada di balik kain hitam itu, lukisan kah? Atau foto dan bisa jadi lainnya. Argh! Rex gemar sekali membuat orang penasaran. Jika Litzi mati saat itu juga, dia pasti bergentayangan karena mati membawa rasa penasaran. Rex jatuh pada satu pemikiran, ia berpikir untuk mengawasi Litzi ketika gadis itu berada di kamarnya. Atau mungkin, ia mengunci pintu kamarnya dengan password. Sebenarnya apa yang trillionaire itu sembunyikan? Tidak, Litzi! Hentikan! Tempat ini wilayah kekuasannya. Kau tidak boleh mencampuri urusannya, termasuk bunga dan kain hitam itu. Kau tak ada hak, Litzi! batin Litzi memperingati dirinya sendiri. Litzi menghela nafas, ia menatap pria yang agak menyerong di depannya dan yang sedang memegang tangannya. Mengingat kelancangannya hendak menarik kain hitam itu, ia jadi merasa tidak enak pada Rex. "Mr. Rex," panggil Litzi. Rex diam. "Uhmm..., maaf atas kelancanganku tadi," ucap Litzi dengan hati-hati. Rex tidak bergeming, setidaknya merespon sedikit saja. Litzi membuang nafasnya pelan dan memalingkan wajahnya. Kenapa dia mengabaikanku? Apa dia marah? Apa aku begitu keterlaluan? batin Litzi bertanya-tanya. Litzi menatap trillionaire itu kembali. Penampilan Rex casual, ia terlihat jauh lebih muda jika berpenampilan seperti itu, seperti pemuda kampus saja. Bahkan Litzi sempat tak percaya jika umur pria itu 27 tahun, karena terlihat seperti 23 tahunan. Mungkin beban hidupnya tidak terlalu berat, pikir Litzi. Ngomong-ngomong kemana Rex akan membawanya? Tiba-tiba dari kejauhan nampak Allcia berlari ke arah mereka, ralat! Ke arah Rex! Allcia tampak bersemangat sekali. "Rex! Rex!!!" teriak Allcia. Rex dan Litzi menghentikan langkah kaki mereka. Rex tersenyum, dia tahu alasan adik kesayangannya itu begitu senang. Sedangkan Litzi bertampang datar, karena tidak mengerti. "Rex! Hosh..hosh!" Allcia terengah-engah, "Kau tahu?" tambahnya tersenyum lebar pada Rex. Rex mengernyit, "Kenapa?" "Mom and Dad, dalam perjalanan kesini! Yey!" pekik Allcia. Litzi membelalak kedua matanya. Rex tersenyum. Allcia tampak begitu bersemangat, sampai-sampai ekspresi gadis cantik itu membuat orang lain gemas padanya. "Mom and Dad, akan segera tiba di mansion!!!! Arghh!! Aku merindukan mereka, Rex!!!" pekik Allcia. Litzi ternganga, benarkah yang dikatakan Allcia? Mansion itu akan kedatangan pasangan fenomenal, Mr & Mrs. Mackenzie? Benarkah? Litzi yang mendengarnya tak percaya. "Aku sudah tahu, Allcia. Tadi Dad mengirimku SMS," ucap Rex. "Apa?!" refleks Litzi mengeluarkan suara. Rex dan Allcia sama-sama menoleh padanya. "Hola, Litzi!" sapa Allcia dengan ramah. Padangan Litzi kosong, keningnya berkerut. Allcia mengernyit, sapaannya diabaikan karena Litzi sendiri sedang tidak fokus. "Litzi, ada apa?" Litzi mengerjap, lalu menatap Rex. "Kau dengar tidak pertanyaanku tadi?" tanya Rex. Litzi memalingkan wajahnya dan menatap Allcia, "Maaf, tadi pikiranku entah kemana." Allcia tersenyum, "Tidak apa-apa. Memangnya apa yang kau pikirkan?" "Uhm, apa benar--" "Kenapa kau mengacuhkan pertanyaanku?" potong Rex. "Uhm, apa benar jika--" "Litzi, dengarkan aku! Lihat aku! Aku bertanya padamu!" potong Rex lagi. "Uhmm, apa benar jika mereka akan--" "Litzi!!! Aku tahu kau mau balas dendam padaku," potong Rex lagi. Allcia menatap Litzi dan Rex bergantian, tidak mengerti apa yang telah terjadi diantara mereka berdua. Litzi menghela nafas dan menatap Rex dengan sinis. "Bagaimana rasanya diabaikan?" tanya Litzi, "Tadi ketika aku memanggilmu dan meminta maaf padamu, kau mengacuhkanku. Kau kesal kan? Begitulah rasanya," tambahnya. Allcia berdehem. "Wow! Wow! Sebaiknya aku pergi," kata Allcia meringis lalu berlari pergi. Litzi tersentak saat Rex mendorongnya ke dinding dan merapatkan tubuhnya, Litzi menahannya dengan cara meletakan telapak tangannya di d**a bidang pria itu. "Apa yang kau lakukan? Bagaimana jika ada yang lihat?" tanya Litzi yang mendongak. "Aku ingin menciummu!" balas Rex. Litzi terkejut, "Hah? Apa?" "Bau!" Rex memundurkan tubuhnya, "Tidak jadi kalau begitu," tambahnya. "Kurang ajar!" Litzi memukul lengan pria itu lalu mendorongnya. Litzi yang merasa kesal pun melenggang pergi, dia kesal karena Rex mengerjainya. "Kenapa sih dia suka sekali mengerjaiku? Mendorongku tiba-tiba, merapatkan tubuhnya, bilang katanya mau menciumku..," gerutu Litzi, "Egh! Otak m***m," umpatnya. "Dan... dan dia tiba-tiba saja mengataiku bau?! Ingin rasanya ku berkata kasar. Adakah kata di atas kata sialan?" oceh Litzi sendirian. "Ehem!" Kedua kaki Litzi berhenti begitu mendengar suara berdehem. Oh, Rex! Dia ada di sampingnya, Litzi tidak menyadarinya sejak tadi karena mulutnya sibuk menggerutu. "Mau apa lagi heh?" tanya Litzi dengan malas. "Kenapa kau tiba-tiba pergi begitu saja?" tanya Rex. "Aku kan bau, jadi menjauhlah!" ketus Litzi lalu melangkahkan kakinya. Rex mengekorinya, "Jadi kau kesal karena itu?" Rex tersenyum geli. "Aku cuma bercanda, kecil," gumam Rex. "Tolong, berhentilah mengataiku!" Litzi memejamkan matanya sesaat. "Kau memang kecil." "Ya, aku tahu." "Kalau begitu kenapa kau marah?" "Sama saja kau merendahkanku. Lagipula kenapa aku kecil dimatamu, karena kau jauh lebih tinggi dan dewasa. Sedangkan aku? Anak berusia 17 tahun yang tingginya sebatas dadamu. Lihat saja nanti aku ketika dewasa, aku pasti bertambah tinggi!" "Oh ya? Ku rasa tetap kecil," balas Rex. Rex menghalangi jalan Litzi lalu berjalan memutarinya. "Kecil, kecil, kecil! Pendek!" kata Rex. Litzi menghela nafas, "Aku tahu kau hanya bercanda, tapi aku sedang tidak ingin bercanda, Mr. Rex." Rex yang berdiri di hadapan Litzi menghela nafas, "Baiklah, maafkan aku, Nona manis." Kedua pipi Litzi terasa panas. Rex tersenyum, dia suka membuat gadis di depannya itu blushing. "Ngomong-ngomong, kau sebenarnya punya kelebihan," gumam Rex. Litzi mengernyit. "Em...., kau memiliki tubuh yang indah. Kau cukup tinggi dan yeah, berisi. Wow! Seksi. Rasanya aku ingin sekali menyentuhnya," desis Rex dengan seringaian nakalnya. Litzi membelalak kedua matanya, "Apa kau tidak malu berpikiran m***m di depan seorang anak kecil? Mengerikan!" "Anak kecil? Usiamu 17 tahun dan kau masih menganggap dirimu anak kecil. Apa gigimu itu masih gigi s**u? Apa kau masih berhalusinasi bila unicorn yang imut datang padamu? Heh?" balas Rex. Litzi mengusap wajahnya dan mendengus, "Oh ya ampun! Mengertilah! Kau pria dewasa dan aku gadis kecil, egh.. maksudku.. remaja. Kau berani berpikiran m***m di depanku?" Rex mengangkat satu alisnya. "Jangan-jangan... kau p*****l," ucap pelan Litzi sambil mendelik ketakutan. Rex tertawa, "Apa katamu? Pikiran macam apa itu? Jika aku benar p*****l, aku sudah mengincar anak-anak sepertimu sejak dulu! Bagaimana bisa aku jadi p*****l kalau selama ini aku tak pernah mendekatkan diri kepada wanita?" Litzi mengernyit, ia seperti merasakan sesuatu ketika Rex mengatakan kalimat terakhir diucapannya tadi. "Litzi, tanyakan saja pada orang-orang. Apakah aku pernah dekat dengan seorang wanita, kecuali Mom dan adikku? Sebelum kau ada dalam hidupku, aku tak pernah lagi seperti ini, berani mendekatkan diri kepada wanita." "Tak pernah.. lagi?" Litzi mengernyit, "Maksudmu apa? Itu berarti kau pernah mendekatkan diri pada wanita kan?" tambahnya. Rex terdiam sesaat, "Sebaiknya kita cepat ke lantai bawah. Mereka akan segera tiba." Litzi melupakan hal itu, "Oh ya! Tunggu! Jadi benar orangtuamu akan datang?" "Mereka dalam perjalanan. Sebentar lagi sampai." Litzi tercengang. Tanpa berkata Rex menarik tangan gadis itu dan menuju lantai bawah. Setibanya dilantai bawah, terlihat pintu utama terbuka lebar. Rex melepaskan genggaman tangannya, meminta Litzi diam disana dan tak boleh kemana-mana. Lalu Rex mendekati pintu utama, ia tersenyum melihat adik perempuan satu-satunya itu berdiri tak bisa diam di teras depan mansion. Allcia meremas-remas jari jemarinya sendirian, Rex tahu adiknya itu tidak sabar menanti orangtua mereka. Rex menoleh dan memanggil Litzi untuk di dekatnya, namun Litzi menggeleng. Pintu gerbang utama mansion terbuka secara otomatis. Para penjaga yang berdiri disisi kanan kiri jalan membungkuk hormat ketika limousine melaju memasuki area mansion milik trillionaire itu. Pasalnya yang datang adalah majikan tertinggi mereka, para penjaga menyambut mereka dengan lebih hormat. Rex sendiri meminta para penjaga untuk tidak memperlakukannya seperti itu, kecuali kepada orangtuanya. "Mom! Dad!" teriak Allcia. Litzi membelalak matanya dan jantungnya berdegup kencang. Rex tersenyum lebar dan bersyukur Ayah dan Ibunya sampai dengan selamat. Mobil limousine tersebut berhenti tepat di depan teras mansion yang terhubung dengan pintu utama. Alejo yang berdiri di pelataran mansion bergegas untuk membukakan pintu mobilnya. Semua orang menantikan mereka keluar dari dalam mobil. Mr. Allard, billionaire itu lebih dulu keluar lalu menuntun sang isteri untuk keluar. Perlakuan manis Allard membuat Allcia dan Rex selaku anak-anaknya tersenyum. "Daddy!" Tiba-tiba saja Allcia berteriak dan berlari ke arah Allard. Pria paruhbaya tampan itu melebarkan kedua tangannya, siap menyambut puterinya ke dalam pelukannya.  Allcia lantas memeluk erat sang Ayah tercintanya itu. Rex tertawa bersama Alejo dan Harsha, sang Ibu. "Ya, ampun! Allcia," kata Allard. Allcia mengurai pelukan, "Kenapa, Dad? Apa kau tidak senang dipeluk puteri cantikmu ini?" "Iya kan saja, Dad. Biar dia senang," sambung Rex. Allcia menatap kakaknya dengan sinis, "What the hell?! Bisanya cuma iri saja, hu!" "Hey! Gender kita berbeda. Untuk apa aku iri karena kau cantik?" balas Rex. Allcia menggembungkan kedua pipinya dan menatap jengkel sang kakak. "Eh, sudah-sudah!" ucap Harsha, "Kalian ini malah bertengkar," tambahnya. "Rex yang memulainya, Mom. Entahlah, ada apa dengannya. Rex dan Kharel sama saja. Menyebalkan!" oceh Allcia. Allard menggeleng-gelengkan kepalanya heran, lalu mencubit hidung mancung Allcia dengan gemas. "You miss me, my sweety?" tanya Allard. "Tidak perlu ditanyakan, Dad. I miss you everytime," Allcia tersenyum manis. Harsha berdehem, "Yeah, inilah kenyataan yang harus aku terima." Allard dan Allcia mengernyit. Harsha melangkah menuju teras. "Ada apa, Mom?" tanya Allcia. Harsha tak menjawab. Ia menghampiri putera pertamanya itu, Rex pun memeluknya dengan hangat. Rex sedikit membungkukan badannya sebab Ibunya lebih pendek darinya. "Kenyataannya hanya Rex yang merindukan aku," gumam Harsha mengusap lembut sisi wajah Rex. "Allcia, ternyata Mommy-mu cemburu," ucap Allard. Allcia menghela nafas, "Oh, come on, Mom! Jangan berpikir seperti itu." Harsha membalikan tubuhnya dan tersenyum tipis ke arah Allcia. Anak terakhir sekaligus puteri semata wayangnya itu melangkah mendekatinya lalu memeluknya. Harsha membalasnya dengan penuh kasih sayang. "I always miss you, My Mama bear. I'm seriously," gumam Allcia. Harsha mengecup kepala Allcia dan tersenyum, "I know, My princess." "Loh, hanya kalian berdua saja yang menyambut kami? Dimana Kharel?" tanya Harsha setelah mengurai pelukannya. Senyum Rex memudar saat teringat Litzi. Karena bahagia akan kedatangan Allard dan Harsha, ia sampai melupakan gadis itu. "Entah," Allcia mengangkat kedua bahunya, "Sebaiknya kita masuk. Ayo!" ajak Allcia. "Oh, ya Tuhan!" kata Rex. Mendengar suara Rex, Allard, Harsha dan Allcia mengurungkan niat mereka untuk melangkahkan kedua kaki mereka. "Ada apa, Rex?" tanya Allcia. "Sebenarnya ada seseorang yang aku ajak untuk menyambut kedatangan kalian," kata Rex. Harsha mengernyit, "Siapa? Kharel?" "Bukan," jawab Rex. "Lalu siapa?" sambung Allard. Rex membalikan tubuhnya, "Em.. Litzi..." Ucapan Rex terhenti, keningnya berkerut karena Litzi tidak ada disana. Tadi Litzi berdiri tak jauh darinya, tapi sekarang... tidak terlihat batang hidung gadis itu. "Litzi!" panggil Rex dengan suara lantang. Litzi yang ternyata sudah dilantai atas spontan menghentikan langkah kakinya, ia mendengar suara Rex memanggilnya dari lantai bawah. Litzi berjalan dengan tergesa-gesa, menelusuri lorong dengan sesekali menoleh kebelakang untuk memastikan Rex tidak ada di belakangnya mengejarnya. Litzi kabur karena ia malu bertemu Allard dan Harsha. Pintu kamar terbuka secara otomatis, dengan cepat Litzi masuk ke dalam dan setelah pintu kembali tertutup ia menyandarkan punggungnya di pintu seraya mendongakan kepalanya dan bernafas lega. Huft! Aku belum siap bertemu mereka. Aku merasa malu. Rex, pria itu tidak memberitahuku sebelumnya jika Mr & Mrs. Mackenzie akan datang, batin Litzi dan memejamkan mata. Ketika Litzi membuka matanya dan menatap lurus ke depan, sosok yang dilihatnya membuat sekujur tubuhnya serasa membeku dan nafasnya tercekat. Kedua matanya bahkan terbelalak. Tampak seorang pria keluar dari kamar mandi seraya bersiul dan menunduk untuk mengencangkan handuknya. Ia tak menyadari keberadan Litzi. Astaga! Itu Kharel! "Kemana gadis itu?" tanya Rex sendirian, "Kalian ayo masuklah! Aku ke atas untuk mencarinya," kata Rex. Rex melenggang pergi menuju lantai dua mansion. Kharel berjalan dan berdiri di dekat jendela, posisinya membelakangi Litzi. Kamar itu dipenuhi dengan alunan dari siulannya, pria satu itu suka sekali bersiul. Penampilan Kharel hanya mengenakan handuk putih yang menutupi area bawah pinggang sampai batas betis. Kharel membalikan tubuhnya dan siap untuk membuka handuknya. "Aaaaaa!!!" "Litzi?" Rex mengernyit begitu mendengar suara teriakan Litzi. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN