Prolog
Tepat satu tahun yang lalu, aku menikah dengan seorang pria yang sudah lama ku kenal. Namanya Adnan, pria sholeh yang selama ini menjadi idola di desaku.
Aku menyukainya karena dia baik dan paham agama. Lulusan pesantren terkemuka di Indonesia dan sekarang sudah menyandang gelar Sarjana Ekonomi. Sering menjadi imam di masjid juga mengajarkan anak-anak desa mengaji.
Dia tampan, baik, berpendidikan, sempurna di mataku. Idaman semua gadis-gadis desa. Dan aku ... aku sudah mengidolakannya sejak masih duduk di bangku SMA. Aku bahkan sampai menulis buku harian yang isinya semua tentang dia dan hanya dia saja.
Namun pada saat itu, aku belum berani untuk mengungkapkan perasaanku. Sebab selama di desa, dia begitu cuek dan dingin. Yah, aku memaklumi sikapnya itu, mungkin karena dia adalah laki-laki yang tahu agama, jadi membatasi diri dari berinteraksi dengan yang namanya lawan jenis.
Hingga hari terus berlalu, tanpa disengaja, aku bertemu dengannya di persimpangan jalan desa saat hendak berangkat ke sekolah. Tanpa terduga lagi, ia mengucapkan salam sembari tersenyum ramah kepadaku.
Aku pun terperanjat. Menjawab salamnya dengan terbata saking gugupnya. Detak jantungku berdegup dengan sangat cepat, desir darahku seakan berhenti, napasku naik turun dengan tak beraturan. Selama melihat dan tahu tentangnya, baru kali ini dia menyapaku secara langsung dan ekslusif seperti ini.
Aku pun melayang dan nyaris terbang. 'Ku pikir sudah ada secercah harapan untukku bisa lebih dekat dan kenal dengan pria idamanku itu. Akan tetapi, harap itu seketika patah dan hancur. Disaat ku dengar ia menanyakan tentang keberadaan saudari perempuanku dan memintaku untuk menyampaikan salamnya, aku pun begitu terluka.
Aku nelangsa.
Aku putuskan untuk menyampaikan salamnya kepada saudariku, walau d**a ini sesak dan kecewa mulai menjarahi seluruh jiwaku. Aku tetap tersenyum, karena ku tahu itu hanya akan menjadi sebatas salam saja, sebab pada saat itu, saudariku sudah akan menikah dengan pria lain dan mereka tidak mungkin lagi untuk bersama.
Hari berlalu, aku pun memutuskan untuk melanjutkan pendidikan, kuliah ke Ibu Kota dan mengambil jurusan keperawatan. Sebab aku sangat ingin menjadi seorang perawat karena memang itulah cita-citaku sejak dulu.
Ternyata mimpiku pun tercapai. Berkat kebaikan hati kakak iparku, aku berangkat ke Jakarta dan kuliah di sana. Namun, tanpa terduga lagi, aku justru bertemu kembali dengannya. Laki-laki yang dulu sempat bertahta dihatiku dan kini pun masih, dia ... menyapaku dengan sangat ramah.
Aku merasa, takdir begitu baik kepadaku sehingga kami bisa bertemu kembali. Alam seakan merestui jika aku dan dia bersama meski aku belum tahu seperti apa perasaannya kepadaku.
Hingga waktu terus bergerak. Detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari. Aku dan dia sudah semakin sering bertemu. Dia yang memang bekerja di Dinas Kesehatan Ibu Kota, sementara aku yang mulai bekerja di salah satu Rumah Sakit ternama, sering bertemu dan intens dalam berkomunikasi.
Selang beberapa waktu kemudian, usai aku mengantar saudariku ke Bandara, tiba-tiba saja ia meneleponku dan mengajak untuk bertemu. Aku pun terkejut dan nyaris tidak percaya. Apa lagi saat aku mendengar kalimat yang keluar dari mulutnya, dia ... Muhammad Adnan melamarku untuk menjadi istrinya.
Tentu saja aku shock. Terkejut dan nyaris tak percaya. Sebab selama yang aku lihat, ia tidak pernah menunjukkan tanda-tanda jika ia menyukaiku. Atau ... mungkin memang seperti itu cara mencintai laki-laki yang taat agama, pikirku? Tidak pernah 'menembak' tapi tiba-tiba langsung mengajak untuk menikah.
Aku speechless. Antara tidak percaya dan bahagia sudah tak terbedakan lagi. Namun tanpa menunggu, aku pun menerima lamarannya. Berharap dengan menjadi istrinya, aku bisa semakin menjadi pribadi yang baik dan juga semakin taat kepada Tuhan. Bisa beribadah bersama dengannya dan menjadi pasangan sehidup sesurga.
Surga?
Ah, aku tak tahu apakah aku bisa menapakkan kakiku di surga atau tidak? Sebab, jangankan surga di sana, surga di dunia saja tak pernah aku rasakan.
Harusnya, pernikahan adalah hal paling membahagiakan bagi seorang wanita. Nyatanya, jangankan meraih surga, rumah tanggaku tak ayalnya bagaikan neraka j*****m yang menyala-nyala. Panas, dan selalu penuh amarah.
Aku merasa seperti b***k, bukan istri. Setiap hari yang ku dengar dari mulut suamiku hanyalah makian dan umpatan. Dia menuntut ku harus bersikap baik layaknya seorang istri sholeha. Namun sikapnya kepadaku, tak jauh bedanya seperti Fir'aun yang menyengsarakan para rakyatnya.
Aku menderita. Aku nestapa. Nyaris gila karena semua dera yang ia hujamkan ke tubuhku. Tak hanya hati, ia bahkan menyiksa ragaku dengan sesuka hatinya. Menghukum ku setiap kali aku melakukan kesalahan. Gilanya, ia selalu membawa dalil agama setiap kali selesai menyiksaku. Seakan-akan akulah yang salah. Akulah yang hina. Akulah yang durhaka dan layak untuk di siksa.
Sialnya lagi! Aku pun selalu menahannya, tidak bisa melawan apa lagi pergi darinya. Ku simpan luka ku hingga berbulan-bulan. Tidak aku ceritakan kepada siapa pun. Baik pada saudariku, rekan-rekan kerjaku, dan ... pria yang dulu sangat menggilai ku. Romeo Rayyanza.
Ah, aku kehabisan kata-kata setiap kali menyebut nama laki-laki itu. Kenapa di dunia ini masih ada pria sebodoh Romeo? Ku kira hanya Romeo dalam cerita romance masa lalu yang rela menenggak racun demi wanita yang dicintainya, ternyata Romeo yang ini tidak kalah bego-nya.
Ia datang padaku bak pangeran berkuda yang ingin menyelamatkan permaisurinya. Namun aku justru lari semakin menjauh darinya. Bukan, bukan karena ia pria bodoh yang tidak pernah ada dalam tipikal suami idamanku. Hanya saja, aku terlalu malu untuk menerima uluran tangannya.
Bagaimana bisa, laki-laki yang sudah aku tolak berkali-kali, lalu ku perlakukan seperti tak memiliki harga diri, ku tinggalkan begitu saja karena aku menikah dengan pria lain. Justru menjadi malaikat penolong yang ingin mengeluarkan ku dari lembah penderitaan.
Aku malu, malu sekali. Namun aku juga tidak bisa terus berada dalam pernikahan yang lambat laun, akan menghantarkan ku pada gerbang kematian.
Berujung pada dilema yang tak berkesudahan, jalan mana yang harus aku tempuh? Mengingat, sulit sekali bagiku untuk menghilangkan perasaan cinta kepada suamiku, meski tak pernah sehari pun aku melihat cinta dari dirinya untukku.
Sementara cinta gila yang ada di depanku, rasanya hanya seperti angin lalu yang tak pernah tampak meski dapat aku rasakan sentuhannya. Hatiku ricuh, terus memaksaku untuk berpaling dan membalas dendam. Bahkan kalau perlu, ingin rasanya aku berselingkuh dan melampiaskan kekecewaan ku pada pria tak berdosa itu.
Nyatanya, saat aku mulai terjerumus dalam kesesatan pikiran. Ia justru menawarkan cinta yang lebih dari sekedar kata-kata. Pernikahan.
Ya, Romeo ingin aku melepaskan Adnan, lalu beralih kepadanya. Namun, aku belum sepenuhnya yakin dengan apa yang ia tawarkan. Sebab selama yang aku lihat, pria yang terlihat Sholeh saja bisa bersikap layaknya iblis, apa lagi yang hobinya keluar masuk kelab malam.
SUNGGUH, ANTARA MENCINTAI DAN DICINTAI, MANA YANG AKAN AKU PILIH?