Muka Dua dan Si Busuk (Ajeng's POV)

1093 Kata
Cukup lama aku bolak balik di dalam kamar. Mas Barga menyuruhku untuk menunggu di kamar, tapi dia tak kunjung juga masuk. Sebenarnya apa yang terjadi?. Semoga saja mereka tidak terlibat percekcokan lagi. Astaga, aku lupa. Mana mungkin mas Barga akan sebegitunya kepada mas Dimas. Memangnya aku siapanya sampai-sampai membuat mereka berselisih karenaku?. Bodoh kamu, Ajeng. Sepertinya kamu harus sadar pijakan dulu. Semakin lama, aku semakin merasa gelisah. Ingin rasanya untuk turun ke bawah dan melihat apa yang terjadi, tapi rasanya sulit sekali menolak perintah mas Barga untuk keluar dari kamar. Akhirnya aku memutuskan untuk mendengar murotal dari hp. Mengambil earphone dan menyetel surahNya yang begitu indah. MasyaAllah, begitu tenang sekali mendengar alunan surahNya. Membuat hati menjadi sedikit tenang sampai membuatku menutup mata sambil mendengarkannya. Aku juga ikut mengucapkan surahNya. Terlalu asik, aku melakukan itu sambil tiduran. Tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar. Aku langsung berdiri dan hp yang tadi berada di meja samping kasur terjatuh. Sambungan eaephone terlepas dan membuat surahNya mengaluni kamar ini. Ternyata yang membuka pintu kamar dengan kasar adalah mas Barga. Tentu saja dia yang akan membukanya, lalu siapa lagi?. Huft... ternyata aku salah. Aku salah menafsirkan. Astaga, betapa bodohnya aku. Mas Barga membiarkan Aisyah masuk ke dalam kamar kami berdua dan dengan keadaan emosi ia menghampiriku. Sudah sangat jelas menggambarkan bahwa aku bukanlah orang yang penting dalam hidup mas Barga. Dengan jelas aku melihat Aisyah mengelus pundak mas Barga. Seharusnya itu adalah tugasku untuk menenangkan suamiku, bukan dia. Sungguh, perbuatan kalian membuatku sakit hati. Tapi sekali lagi, aku tidak bisa mengelak fakta bahwa aku bukanlah siapa-siapa. "Ada apa mas? Kenapa terlihat begitu emosi?" Bodoh. Aku bodoh sekali. Kenapa aku mengatakan itu padanya. Apakah tidak ada pertanyaan lain, Ajeng?. Lihatlah, dia semakin terlihat emosi dan mungkin saja itu karena pertanyaan bodohmu, Ajeng. "Kenapa?. Kamu menanyakan pertanyaan itu kepadaku? Hah!" Mas Barga melengos dan menghadap Aisyah. "Aisyah, kamu bisa keluar sebentar gak?" Begitu lembut. Mas Barga mengucapkan itu dengan sangat lembut pada Aisyah. Sangat berbeda ketika berbicara denganku. Sudahlah, Ajeng. Bukankah ini sudah menjadi makanan sehari-hari kamu?. Ya Allah, kapan ya hambamu ini bisa hidup dengan layak?. Entah mengapa, suara lembut mas Barga kepada Aisyah membuatku sangat iri. Juga sukses membuat air mataku keluar dari peraduannya. Aneh memang. Aku biasanya sudah kebal dengan hal yang seperti ini, tapi ini rasanya adalah hal yang berbeda. Begitu berbeda dan sangat menyakitkan. Ini tidak seberapa sakitnya ketika mendengar mas Adit yang memutuskan untuk mengkhitbah Aisyah. Astaga, seharusnya Aisyah juga sadar bahwasanya ia adalah istri dari pria lain. Ish, ada apa denganku? Kenapa aku terlalu ikut campur dengan orang lain. Sudahlah, ini sangat menyakitkan. Aisyah keluar dari kamar kami, tentu saja di antar oleh mas Barga. Kemudian mas Barga menutup pintu dan menguncinya. Mengunci?. Astaga, apa yang akan terjadi? Biasanya ia tidak pernah melakukannya. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Jujur, bukan berarti aku adalah istri yang durhaka kepada suaminya. Tapi ini tentang kenyamanan hati seorang perempuan yang ditatap begitu tajam oleh seorang laki-laki. Tatapannya begitu tajam seraya melangkah ke arahku. Selamatkan lah aku, Ya Allah. "Ada apa sebenarnya ini?" "Ha?. Masih bertanya ada apa?. Malah aku yang bertanya sama kamu, maksud kamu apa mendekati Dimas?" Ha?. Maksudnya apa? Apalagi ini, ya Allah. "Maksud mas apa?" "Jangan panggil aku dengan sebutan 'mas' seakan mengatakan bahwa hubungan kita baik-baik saja. Bukankah aku sudah mengatakan untuk bersikap selayaknya saat kita lagi berdua?" "Apa yang salah dengan panggilan mas? Seorang istri tidak pantas memanggil suaminya hanya dengan sebutan nama, dan aku yakin mas sudah mengerti akan hal itu" Ini tidak boleh di biarkan. Apakah sekarang aku akan semakin diatur dan di kekang bahkan untuk hal sepele?. "Sayangnya aku tidak menganggap kamu istriku!" Jder... Dengan jelas dia mengatakan bahwa dia tidak menganggapku sebagai istrinya. Lalu aku apa baginya?. Pembantu? atau hanya sebagai mainan kamar?. Atau seperti apa? tolong jelaskan!. "Maksud mas apa?". Aku tidak bisa menahan suaraku yang bergetar. Jujur saja, aku terlihat lemah di depannya. Aku takut, aku tak pantas untuknya meski sebenarnya dia sendiri yang tidak ingin bersanding denganku. " Masih bertanya lagi!?. Aku pikir kamu belum terlalu tua untuk melupakannya. Kita menikah karena apa, aku pikir kamu masih mengingatnya. Mungkin, kamu perlu di ingatkan sekali lagi dan setelahnya jangan bertanya lagi". Badanku bergetar dan merinding. Jujur, ini sakit. Sakit yang tak berdarah dan tak punya penawar selain dari si pemberi luka. Mas Barga semakin berjalan mendekat kepadaku. Kini, ia juga memegang pundakku. Mungkin ini adalah kali kedua ia memegang pundakku. Kali pertama adalah ketika pernikahan kami, pernikahan yang tidak dianggap olehnya. "Mungkin kamu lupa bahwa alasan kita menikah hanya karena Aisyah yang menyuruhku untuk menikahimu. Jika saat itu aku boleh menolak, maka aku akan berkata keras untuk menolak menikahi perempuan bermuka dua sepertimu!" Mas Barga mendorongku sampai aku terduduk di ranjang. Air mata sudah tak bisa aku bendung. Rasanya mereka terlalu kuat untuk ku tahan-tahan supaya tetap pada genangannya. "Maksud mas apa? Aku bermuka dua seperti apa?" Aku tidak bisa berkata-kata. Apa yang diucapkannya masih terasa asing bagiku. Sebenarnya apa salahku dulu sampai membuatku tidak bisa hidup dengan layak, bahkan barang sedetik pun. Apakah karena aku tidak memiliki seorang ayah sejak kecil? atau memang karena sejatinya aku diciptakan untuk rasa sakit?. "Cih, masih saja bertanya-tanya seakan tidak mengerti apa-apa. Apakah harta keluarga kami adalah incaranmu selama ini?. Apakah memanfaatkanku tidak cukup sampai membuatmu harus mendekati sepupuku, Dimas. Apakah kamu harus semenyedihkan itu, Ajeng?!" Apa?. Dia mengatakan bahwa aku memanfaatkan dirinya?. Aku memanfaatkan dari segi apa?. Bahkan hak yang seharusnya aku dapatkan sejak awal, tak kunjung aku rasakan. "Tampilanmu saja yang syar'i, tapi sebenarnya kamu busuk!" Sakit. Setelah mengucapkan kalimat pendek nan penuh sakit itu, mas Barga berjalan ke pintu. Sepertinya kembali meninggalkanku sendirian dan bertemankan rasa sakit yang mendalam. "Oh, iya, aku lupa. Bukankah ibumu melahirkanmu di luar ikatan pernikahan?. Pantas saja kamu menjadi anak yang seperti ini. Induknya aja sudah busuk, apalagi anaknya". Brak... Mas Barga menutup pintu dengan emosi. Aku luruh. Aku luruh dengan ucapan menyakitkan itu. 'Induknya aja busuk, apalagi anaknya'. Ibuku bukanlah orang seperti itu. Bukan. Kenapa hidup semenyakitkan ini?. Kenapa aku lah yang harus mendapat bagian kepahitan?. Tunggu. Aku tidak pernah menceritakan perihal aku yang merupakan anak di luar nikah. Apakah Aisyah yang menceritakan kepada mas Barga?. "Aisyah, kamu adalah perempuan yang susah di tebak. Sayangnya kamu lebih istimewa daripada si busuk ini" Aku menangis sendirian di kamar. Hanya bertemankan alunan surahNya yang belum sempat aku matikan. Setidaknya kesepianku ini masih di temani oleh Allah. Aku yakin, Allah sedang memelukku sekarang. Dan aku juga yakin bahwa manusia hanyalah pembawa rasa kecewa dan luka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN