Kesalahpahaman (Ajeng's POV)

1112 Kata
Astaga, melihat mereka bertukar cerita sampai tertawa bersama membuatku semakin merasa tak pantas. Bukannya berburuk sangka, tapi ini lah faktanya. Mereka berdua adalah orang yang taat agama dan sama-sama tahu syariat agama. Tapi, kenapa mereka tetap melakukan kesalahan yang mungkin berujung zina?. Bahkan aku yang sebagai istri sahnya sendiri, belum pernah bertatap muka dan bersua semanis itu. Sudahlah. Tidak ada gunanya aku melihat kemesraan mereka. Lebih baik aku pergi ke belakang dan melihat apa yang bisa aku bantu. Iya, itu lebih bermanfaat. Ah, terserah dengan gamis yang sama ini. Sampai di belakang, tepatnya dapur, aku bertemu dengan Diana. Fyi, Diana adalah sepupu mas Barga dan juga orang yang paling mendukung hubungan Aisyah dengan Barga. Ah, aku salah. Sejak awal, tidak ada yang mendukung hubunganku dengan mas Barga. Sesopan mungkin, aku tersenyum menghampiri Diana yang sudah memasang raut wajah tak sukanya. Bahkan ia juga sempat mendecih tak suka. "Lagi cari apa, Diana? Perlu bantuan mbak?" Tanyaku sesopan mungkin supaya ia tidak salah menangkap maksud dari yang aku ucapkan. "Jangan sok baik, mbak. Eh, Ajeng aja deh. Jangan panggil mbak, kesannya kayak aku nerima hubungan sesat kalian" Hubungan sesat?. Hey, kami sudah sah dan sebelumnya juga kami tidak pernah bertemu. Lalu sesat darimana?. Huft, sabar. "Astagfirullah, Diana. Ingat Allah, jaga lisan kita. Jangan sampai karena kelalaian kita dalam menjaga lisan, membuat kita menjadi salah satu orang yang merugi. Jangan sampai juga, karena lisan kita, kita tidak mendapat syafaat Rasulullah nantinya. Jaga lisan, Diana!" Astaga, apakah aku salah berucap?. Setelah aku mengatakan saranku atas ucapannya, dia semakin tidak suka terhadapku. Jelas sekali terlihat di wajahnya. "Sok suci!. Aku lebih suka dengan mbak Aisyah daripada kamu!. Sejak awal kamu adalah manusia yang menjijikkan, tidak punya ayah!" Tega. Dia kembali mengungkit fakta menyakitkan itu. Aku terima ketika ia lebih memilih Aisyah daripada aku untuk menjadi pasangan mas Barga Tapi, tolong, jangan sebut kenyataan bahwa aku tidak punya ayah. Jangan!. Setelah mengucapkan itu, Diana berlalu pergi. Iya, itu adalah yang terbaik. Dia pergi dan aku sendirian disini, merenungkan kenyataan pahit itu. "Oh, iya. Satu lagi. Gamis yang kamu pakai itu sama dengan gamis yang di hadiahkan mas Barga untuk Aisyah. Kalau masalah penampilan, maaf, mbak Aisyah masih jauh di atas kamu" Oke. I'm fine. *** Menangis memang bukanlah suatu solusi. Tapi dengan menangis, kita bisa lebih tenang dari sebelumnya. Sengaja tidak mau bergabung dengan keramaian. Aku bersembunyi di dapur karena aku rasa tidak akan ada lagi yang akan masuk ke dalam dapur. Semua makanan telah di pindah ke luar, lalu ada keperluan apa lagi untuk masuk ke dalam dapur. Aku rasa, tidak. Tiba-tiba terdengar suara deritan pintu. Siapa yang masuk dan punya kepentingan di dapur?. Astaga, ini terlalu tiba-tiba. Aku langsung menghapus air mataku yang sudah menguasai pipi. Setelah yakin tidak ada lagi bekas yang tersisa, aku bangun dan melihat siapa gerangan yang punya kepentingan tidak jelas di saat semua orang berkumpul di luar merayakan kedatangan Aisyah untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Mampus!. Kenapa yang masuk adalah orang yang beberapa hari ini aku hindari?. Kenapa yang masuk adalah mas Dimas?. Aku lebih memilih yang masuk adalah Diana meski ucapannya terkesan pedas, tapi dengan adanya kita berdua di dapur, bisa semakin membuat citraku menjadi buruk. Astaga, dia tersenyum. Seakan tidak ada masalah sebelumnya. Tenang, Ajeng. Kamu harus bersikap se-natural mungkin supaya mas Dimas tidak merasa aneh dengan sikapmu. Aku membalas senyumnya. Dan yang lebih tak beruntungnya lagi adalah mas Dimas berjalan menuju ke arahku. Astaga, Ya Allah, cobaan apa lagi ini?. "Mbak Ajeng kenapa di sini? Bukankah semua orang berada di luar?" Oke, itu pertanyaan yang bagus sampai membuatku tidak mau menjawabnya. Aku hanya tersenyum dan menggeleng. Aku hanya bisa melakukan itu, aku tidak bisa bersuara. Aku takut untuk berbohong. Mas Dimas duduk dan membuka laptopnya. Astaga, orang ini sepertinya adalah orang yang sangat sibuk. Orang lain sedang bersenang-senang menyambut kedatangan seseorang, dia malah memilih menyibukkan dirinya dengan laptop dan segala jenis laporan lainnya. Entah mengapa, aku tidak merasa canggung lagi. Aku bergabung dengan mas Dimas dan melihat kepentingannya itu. Benar. Ternyata sebuah laporan yang penting, dan sepertinya harus di presentasikan secepat mungkin. Tentu saja aku mengetahui hal tersebut, aku adalah lulusan mahasiswi bisnis. "Laporan penting, ya?" Mas Dimas mengangguk. Aku pun ikutan mengangguk. Sepintas aku membaca laporannya dan aku melihat ada kesalahan. "Mas, sepertinya ini salah deh. Data yang mas Dimas masukin ke sini, berbeda dengan yang ada di laporan ini. Coba di cek lagi, mas" "Eh, iya. Benar. Aku memasukkan data yang salah. Terima kasih, ya. Kalau tidak ada kamu, mungkin besok pagi aku mempresentasikan data yang salah" Mas Dimas mengatakan itu sambil tersenyum padaku. Aku hanya mengangguk dan juga tersenyum. Sejak awal aku mengatakan kalau aku tidak berani terlalu banyak bicara. Aku sangat ingat dengan sabda Rasulullah, jika memang kita tidak bisa memberikan kebermanfaatan kepada orang lain dengan lisan kita, maka sebaiknya kita diam supaya nanti kita tidak dimasukkan ke dalam nerakaNya. Naudzubillah. "Maaf ya" Aku terkejut. Maksudnya apa? Maaf untuk apa?. "Mas Dimas minta maaf untuk apa? Aku rasa mas Dimas tidak pernah salah, malah aku yang selalu salah selama ini" Aku memelankan suaraku saat aku menyalahkan diriku sendiri. Aku tidak mau membuat mas Dimas penasaran maksud dari kalimat yang aku ucapkan itu. Rasanya itu bukanlah hal yang pantas untuk aku katakan padanya. "Iya, aku minta maaf. Karena kejadian beberapa hari yang laly, saat menjelang waktu subuh itu. Waktu itu kan mas Barga salah paham dengan kita berdua. Dia mungkin mengira kita melakukan hal yang tidak-tidak" I see. "Iya, tidak masalah, mas. Mas Barga gak salah paham kok" "Apa maksudmu dengan aku yang tidak salah paham waktu itu?!" Lagi. Suara itu lagi. Suara itu terdengar di waktu yang tidak tepat. Atau mungkin aku saja yang di takdirkan untuk salah. Entahlah. Terdengar tapakan kaki yang mendekat ke arah kami. "Apa maksudmu dengan kesalahpahaman yang kemarin?. Bahkan sekarang saja, aku sudah salah paham dengan hubungan kalian. Disaat orang lain sedang berkumpul di luar, kalian hanya berduaan saja di sini. Saling tatap-tatapan lagi!" Astaga, ini tidak boleh terjadi. "Bukan, mas. Mas salah paham. Kami tidak melakukan apa-apa" Mas Barga melengos. Oke, aku paham. Aku yang salah. Aku yang salah karena tidak menjaga diriku untuk bertemu dengan pria lain selain suamiku sendiri. "Mas..." "Kamu masuk ke kamar sekarang juga!" "Mas..." "Masuk!. Nanti aku akan menyusul!. Masuk sekarang juga!" Baiklah, untuk mengelak pun rasanya sia-sia. Mau tidak mau, aku berjalan keluar dari dapur. Saat melintasi ruang tengah, semua orang melihatku layaknya aku adalah seorang narapidana yang sudah melakukan kesalahan yang tidak bisa di maafkan. Aku juga melihat Aisyah, hanya sebentar. Senyumannya menyiratkan kemisteriusan. Tidak mungkin bukan dia senang dengan aku yang salah paham dengan mas Barga?. Jangan terlalu mudah menyimpulkan, Ajeng.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN