Sejatinya Diri Ini Tak Pantas (Ajeng's POV)

1124 Kata
Setelah kurang lebih dua jam berkutat dengan alat-alat masak, akhirnya jadi juga menu makan malam yang akan di hidangkan malam ini. Kebanyakan dari masakan itu adalah request dari ibu, tidak lain dan tidak bukan bahwa itu adalah makanan kesukaan Aisyah. Tentu saja aku mengetahui itu. Aku adalah sahabat Aisyah dan aku tahu pasti bahwa menu-menu yang diucapkan oleh ibu adalah menu kesukaan Aisyah. Miris sekali. Kapan kamu bisa seperti itu, Lya? Sudahlah. Memikirkannya terlalu panjang sama saja dengan mencari penyakit baru yang ujung-ujungnya akan berimbas ke hati yang merasakan sesak itu lagi. Iyuh, memikirkannya saja membuatku merinding. Sudah cukup 25 tahun itu. "Bu, aku izin ke atas ya. Aku mau liat mas Barga, sekalian mau membersihkan diri" Pintaku minta izin pada ibu. Ibu hanya mengangguk. Ia tidak menoleh sedikit pun. Pandangannya masih terfokus pada makanan yang baru saja kami hidangkan dengan cantik dan rapi di atas meja makan. Jangan lupakan senyuman manisnya saat menatap hidangan itu. Astaga, pantaskah aku sakit hati melihat senyuman manis ibu mertuaku?. Aku bergegas menuju lantai atas. Baru saja aku membuka pintu kamar kami berdua, aroma parfume sudah menyeruak masuk ke dalam hidungku. Aromanya sangat maskulin. Dan baru saja aku masuk, aku sudah melihat mas Barga sibuk merapikan pakaiannya sambil memasang gaya di depan cermin besar dekat meja rias. Ya Allah, apakah aku masih merasa pantas bersanding dengannya?. Sejak awal Engkau sudah menguji hambamu ini tanpa ampun. Masih belum cukupkah? Setelah ibu mertua, sekarang suami sendiri?. Belum cukupkah, Ya Rabb?. Aku mendehem cukup keras. Dia sadar dan membalikkan badan, namun setelahnya ia hanya melengos dan kembali memasang gaya sambil tersenyum manis pada cermin yang tak bersuara. Astaga, bahkan aku sendiri tidak pernah mendapat senyuman manis seperti itu. Astaga, ada apa dengan diriku? Bukankah aku tidak memiliki perasaan sedikitpun pada Barga? Bukankah diri ini masih mengagumi sosok sholeh mas Adit, suami Aisyah?. Lalu apa ini sekarang?. Ya Allah, berikan hamba petunjuk pada diri hamba yang labil ini, Ya Rabb. Semoga saja nanti mas Adit tidak datang bersama Aisyah. Tapi, mana mungkin sepasang suami-istri yang saling mencinta akan saling berjauhan. Ah, ngaco kamu, Lya!. "Mas, sudah solat maghrib?" Tanyaku pada mas Barga. Dia tidak lagi memasang gaya di depan cermin, namun kini beralih pada ponsel pintarnya. "Hmm..." Jawabnya. Oke, tidak masalah. Aku kira malam ini aku bisa menjadi makmunnya, namun ternyata belum. Sabar, Lya, belum waktunya. Baiklah. Itu sudah cukup Ajeng. *** Setelah selesai membersihkan badan dan memakai pakaian lagi di dalam kamar mandi, tidak lupa juga kerudungku masih tetap aku gunakan meski di depan mas Barga. Ini belum waktunya bagiku untuk membuka meski ia sudah menjadi suami. Aku keluar dari kamar mandi, ternyata dia masih berada di dalam kamar. Masih setia dengan ponsel pintarnya. Aku beralih ke sisi yang kosong dan mengggelar sajadah. Memakai mukena tanpa membuka jilbab. Aku baru saja akan memulai, namun terhenti setelah mendengar ucapan pedas dari mas Barga. "Ingat. Pernikahan ini atas dasar saling TIDAK SUKA. Aku tidak suka kamu, begitupun kamu yang juga tidak suka aku. Sejak awal pernikahan ini ada karena Aisyah. Perlu kamu ketahui satu hal, aku masih mencintainya. Masih sangat mencintainya, sampai kapanpun. Dan aku harap kamu bisa tau batasan antara kamu dan diriku. Aku sangat bersyukur apabila pernikahan ini berakhir secepatnya" Sungguh, kalimat itu sungguh membuatku merinding. Tidak hanya sebatas bulu kuduk saja, namun entah mengapa hatiku juga memberontak mengatakan ketidak-mampuannya. Sakit, bagai teriris sembilu. Memang benar bahwa dari awal pernikahan ini hanya sebuah saran egois dari Aisyah. Aku yang tidak berdaya menjadi korban keegoisan manisnya. Tapi, apakah pernikahan menurut Barga sesempit itu? Hanya sebatas ijab kabul dan berpisah kembali?. Sungguh, jika tahu dari awal, aku juga tidak akan mengiyakan khitbahnya. Astaga, bahkan aku melupakan niatku untuk sholat. *** Sebenarnya, sangat sulit bagiku untuk menunaikan solat maghrib malam ini. Setelah mendengar kalimat itu, rasanya sulit sekali untukku mengangkat tangan dan mengucapkan kebesaranNya. Tidak hanya itu saja, aku tak kuasa mengucapkan ayat-ayatNya karena tidak bisa membendung tangis yang dari tadi memberontak meminta untuk di bebaskan. Setelah mendengar suara pintu tertutup, detik itu juga tangisku pecah. Sampai pada rakaat dan salam terakhir, aku bersimpuh di hadapanNya dan berserah diri. Aku serahkan semuanya padaNya. Hanya Dia yang tahu, apa yang terbaik untuk hambanya.Tangis tak terhitung jumlahnya, sakit tak terlupakan rasanya, suara tak kunjung hilang bekasnya. Sungguh, hal itu menguji imanku yang tak seberapa. Rasanya sudah cukup bagiku untuk menangisi hal yang tidak pasti. Melipat sajadah dan mukena serta menyiman Al-Quran di tempat terbaik. Aku tidak langsung turun begitu saja. Aku menyempatkan diri untuk bercermin sebentar. Astaga, kacau sekali diriku dengan mata bengkak dan segala kekacauan lainnya. "Astaga, melo sekali diri ini. Padahal dia mengatakan kebenaran, kenapa aku malah nangis bombay seperti ini?" Tanyaku pada diriku sendiri. Aku duduk di depan meja rias dan memainkan beberapa alat make up yang bisa menutupi kekacauan ini. Namun sayangnya, tdak ada alat yang bisa menghilangkan rasa sakit hati kecuali keikhlasan. Setelah ku rasa cukup dengan make up, aku membuka lemari pakaian dan mengambil salah satu gamis yang menarik perhatianku. Begitu sederhana namun elegan dalam waktu yang bersamaan. Ah, aku baru sadar. Kalau aku memakai gamis ini, akan seperti couple dengan baju yang mas Barga pakai. Alhasil, pilihanku jatuh pada gamis berwarna biru tua itu. *** "Oke, sudah cukup. Mari kita menyambut tamu, sekaligus menyambut luka" Ujarku berusaha menegarkan diri sendiri. Sebelum benar-benar keluar, aku kembali melihat penampilan di cermin. Setelah merasa cukup pantas dengan penampilan, aku memutuskan untuk turun ke bawah. Sejak aku membuka pintu, suara kegaduhan sudah terdengar oleh telingaku. Astaga, merek terdengar sangat gembira. Sayangnya, itu bukan karena dirimu. Namun karena mantan pacar suamimu, sahabatmu sendiri. Aku menuruni tangga satu persatu. Sejenak, kegaduhan itu terhenti ketika melihatku turun. Ah, tidak mungkin mereka terkesima bukan? Aku sangat jauh dari kata cantik atau apalah itu namanya sehingga membuat mereka terkesima denganku. Aku belum menyadari sebab mereka memperhatikanku dengan begitu teliti sampai rasanya aku sedang di kuliti oleh pandangan mereka. Sampai pada suatu ucapan dengan kalimat yang singkat, padat, dan jelas, namun sukses menciptakan luka. "Lah. Kok gamis mbak Ajeng sama dengan gamis mbak Aisyah?" Ucap salah satu anak perempuan yang sangat polos. Baik. Itu adalah alasan yang logis untuk menyatakan mengapa mereka memperhatikanku dengan begitu fokusnya. Aku percaya dengan ucapannya. Mana mungkin sekecil dia akan menjadi anak yang pembohong, apalagi pembual. Sudahlah. Tidak usah di perpanjang. Lagipula, gamis yang ku pakai tidak mungkin adalah gamis satu-satunya di dunia ini. Tidak mungkin. Aku tidak sekaya itu. Lagipula, ini adalah gamis pemberian mas Adit. Kalau Aisyah aku tidak tahu. Apakah dari mas Adit juga?. Tidak sengaja aku menoleh ke arah lain, dan ternyata mataku memilih tempat yang tepat. Iya, tepat menciptakan luka. Di tempat itu, terlihat seorang perempuan bergamis yang sama denganku, berbicara bahkan tertawa dengan suamiku. Mereka adalah Aisyah dan mas Barga. Mereka terlihat begitu serasi. Dan aku sakit melihatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN