Bayangkan saja, bagaimana sakitnya hati yang aku rasakan sekarang. Aku terlahir dari rahim ibuku yang belum menikah, aku besar tanpa ajaran seorang ayah yang bisa memimpin keluargaku, aku hidup dari caci makian bahkan fitnahan yang bisa aku katakana kalau itu merupakan makanan sehari-hariku. Lalu, setelah umurku 25 tahun, aku menikah dengan lelaki yang tidak mengharapkan kehadiranku. Suamiku dengan terang-terangan mengagumi perempuan lain yang sayangnya ia adalah sahabatku sendiri. Naasnya lagi, sahabatku itu adalah seorang istri dari lelaki yang aku kagumi dalam dia. Paket komplit, memang rasa sakit tercipta untuk selalu bersamaku. Andai aku bisa memilih, maka lebih baik aku tidak terlahir ke dunia sekalipun.
Namun, Tuhan, aku sangat bersyukur, di sela sakit yang berkepanjangan ini, Engkau hadirkan ibu yang kuat untukku. Engkau hadirkan ia yang menjadi penyemangatku ketika teriakan lelah itu meronta dalam jiwa.
Aku segera masuk ke kamar atas, tepatnya kamarku dengan mas Barga. Setelah ia mengatakan ucapan sakit itu dengan jelas saat kami hanya berdua saja, sukses membuat pikiranku penuh akan makna perkataan tersebut. Ya, aku mengerti dengan pasti bahwa ia mengatakan dengan jelas bahwa ia tidak menyukaiku, namun kenapa harus selalu aku yang mengalami sakit itu?.
Aku cukup lama terduduk di atas ranjang, pikiranku sudah berkelana entah jauh kemana, dan aku juga tidak mengerti dengan kelabilan hati ini. Aku beranjak ke laci dekat ranjang dan mengambil benda persegi panjang berwarna merah muda dengan rangkaian huruf pembentuk namaku di depannya. Tanganku menari mengisi benda itu, mengikuti apa yang di inginkan oleh pikiranku juga hatiku yang jatuh. Entah mengapa, selalu seperti ini, zat bening itu akan mengalir dari pelupuk mata dan kembali membasahi benda persegi panjang yang selalu aku sembunyikan dari siapapun, termasuk ibuku.
***
Dear, Allah
Hamba tahu, hamba berlumurkan dosa
Bersahabatkan salah
Berhobikan khilaf
Tapi, Allah…
Apakah hirupan nafas hamba hanya untuk di salah-salahkan dan dianggap seakan tak ada?
Apakah hamba tercipta untuk merasakan sakitnya penghinaan?
Apakah hamba hanyalah sebuah pelampiasan raa salah??
Ya Allah…
Jikalau kau berkenan, hamba sangat ingin meminta secuil kebahagiaan yang mungkin saja engkau takdirkan untuk hamba, meski hanya sesaat
Jikalau kau berkenan, berikanlah tawa meski hanya sesaat saja
Berikanlah hamba seseorang yang bisa memberikan semangat supaya hambaMu ini tidak selalu bersalah hati kepadaMu
Berikanlah hamba hati yang kuat dan tangguh untuk menghadapi semua ujianMu
Hamba ini hanyalah kecil di mataMu
Hamba ini sangat lemah jika dibandingkan denganMu
Karena itu Ya allah,
Hamba menginginkan pelukanmu yang bisa menghangatkan jiwa ini, Ya Allah
Berikanlah hamba jalan yang benar
Hamba takut tersesat dan tak bisa kembali kepadaMu lagi, Ya Allah
Kalau hamba bisa meminta lagi,
Hamba menginginkan hati suami hamba melunak kepada hamba
Hamba ikhlas apabila rasa cinta itu tidak Engkau hadirkan untuk hamba
Tapi, Ya Allah
Jika berkenan, biarkan suami hamba menjadi satu-satunya lelaki yang bertaut dengan hamba karena mungkin saja saat ini hamba telah jatuh padanya
Aku menutup benda persegi panjang yang sudah basah oleh air mataku itu dan menyimpannya di tempat rahasia supaya tidak akan ada yang menemukannya apalagi membaca isinya.
Jujur saja, aku juga bingung kenapa aku meminta agar hati mas Barga melunak padaku. Padahal sampai saat ini aku masih memikirkan pria lain yang maasih bertaut denganku. Sungguh berdosalah aku karena memikirkan pria lain selain suamiku. Sudahlah, diri ini memang membingungkan.
***
Tepat sesuai prediksiku selama beberapa hari ini, mas Barga akan pulang dari kantor antara jam 4 sore atau paling lambat sekitar jam 5 sore. Dan benar saja,. Ia pulang pukul 4.24 sore. Aku yang tadinya sedang menyiram tanaman hias ibu mertuaku di taman, langsung melepas benda pajang itu dan menyambut mas Barga. Aku mengambil tas kerjanya dan mengekor dari belakang. Meski ia tidak berbicara apapun padaku setelah salim padanya, namun aku cukup senang mas Barga tidak menolak permintaanku untuk membawakannya tas kerja.
Namun ternyata, aku harus di tuntut untuk jangan terlalu mudah menyimpulkan sesuatu karena pada akhirnya itu akan mengecewakan juga pada akhirnya. Bagaimana tidak, setelah aku senang karena membawakan mas Barga tas kerjanya, ia menyebut nama wanita lain kepada ibu mertuaku dengan raut yang menurutku terlalu berlebihan.
“Ma, Aisyah mau kesini malam ini. Dia mau makan malam bersama. Pokoknya mama harus masak yang banyak dan enak ya ma, aku mau ke atas dulu. Mau persiapan” Ucap mas Barga dengan nada yang sangat bahagia. Fix, detik itu juga hatiku bagai teriris sembilu. Andai aku menjadi pribadi yang lemah, maka pada saat itu juga tas kerja mas Barga akan jatuh. Untung saja jiwa ini sudah terlatih untuk merasakan sakit, meski sakit yang aku rasakan sekarang jauh dari sebelumnya.
Mas Barga naik ke lantai atas dengan gelagat seperti anak kecil yang di beri harapan bakal di berikan hadiah sebentar lagi. Ia berjingkrak, memutar dan bahkan sedikit meliukkan badannya. Ia terlihat begitu senang, namun aku sakit melihat hal itu. Astaga Malya, kamu harus sabar untuk urusan ini karena sainganmu adalah hati yang sulit untukmu ketuk.
Baik Malya, kebahagiaan itu tidak datang dengan sangat cepat. Kamu harus merasakan sakit yang bertubi-tubi dulu baru bisa tersenyum dengan lebar. Kamu masih harus banyak menangis karena tersakiti sebelum bisa menangis karena bahagia. Hidup memang seperti itu, jika kamu belum siap tersakiti, maka jangan sekali-kali mengemis bunga untuk hati.
aku bergegas menyusul mas Barga ke kamar untuk menyimpan tas kerjanya. Ternyata benar, ia langsung mandi setelahnya. Aku juga mendengar beberapa kali ia bersiul. Apakah pantas aku mematahkan kebahagiaanya?.
Aku turun ke bawah, tepatnya ke dapur untuk membantu ibu mertuaku yang sedang menyiapkan makanan. Sebenarnya, rumah sebesar ini tidak memiliki pambantu satu pun. Semua pekerjaan dikerjakan oleh ibu mertuaku sebelum aku menjadi istri mas Barga.
“Kita masak apa malam ini bu? Aku dengar tadi temen mas Barga mau kesini ya?” ucapku mencoba tegar padahal aku sendiri tahu kalau seseorang yang akan berkunjung akan menimbulkan rasa sakit yang baru. Sudahlah, aku memang sudah tercipta untuk tersakiti.
“Eh, Lya. Hari ini ibu mau masak makan malam yang special, jadi Lya bisa bantu mama membuatnya supaya cepat selesai. Aduh seneng banget deh, Aisyah berkenan makan malam bareng lagi” Ujar ibu mertuaku dengan riang, persis sama dengan yang dilakukan mas Barga. Apakah aku juga tega untuk merusak perasaan bahagia mereka? Tentu tidak, bukan?.
“Iya bu. Mari kita buat makan malam yang super lezat sampai tamu kita nanti tidak akan berani melupakan rasanya” Ujarku sok tegar, yang ada aku sendiri yang tidak bisa melupakan makan malam nanti.
Sepertinya aku salah menyebut, setelah aku mengucapkan kata tamu, ibu mertuaku langsung menoleh padaku. “Dia bukan tamu, Lya. Tapi sudah seperti keluarga” koreksinya.
“Iya, bu. Keluarga, maaf Lya salah sebut” Ujarku dengan senyuman manis, namun setelahnya berubah menjadi kecut karena ledakan rasa sakit.
Memang ngakak, aku memang terlahir untuk menerima rasa sakit.