Sejak kejadian itu, Disa mulai berubah. Ia tak lagi dekat dengan Adrian—baik di kampus maupun di rumah. Ketika Adrian mendekat, Disa memilih menjauh. Di kampus, waktu istirahat atau jam kosong selalu ia habiskan di perpustakaan atau pergi ke mal hanya untuk menonton film. Ia tidak membiarkan ada ruang sedikit pun bagi Adrian untuk mendekatinya. Sebisa mungkin, ia menjaga jarak.
Ingin rasanya Disa pergi dan meninggalkan semua, tetapi apa daya—Dira adalah satu-satunya keluarga yang ia punya. Begitu pun sebaliknya.
Sudah dua bulan berlalu sejak hari itu, namun luka di hatinya belum juga sembuh. Dalam dua bulan itu pula, Disa jarang pulang cepat. Ia selalu pulang larut malam, atau bahkan menginap di rumah temannya. Hubungannya dengan sang kakak pun mulai renggang, dingin, dan penuh diam yang tak terucapkan.
Sore itu, Disa duduk di dekat jendela besar perpustakaan Universitas Balikpapan. Dari lantai sembilan, hampir seluruh sudut kampus bisa terlihat. Langit senja yang berwarna jingga merekah begitu cantik di matanya. Ia memandangi langit itu dengan tatapan kosong, tanpa menyadari bahwa seseorang baru saja datang dan berdiri di belakangnya.
Adrian.
Lelaki itu sudah berkali-kali mencoba menemui Disa, tapi selalu gagal karena Disa terus menghindar. Namun, kali ini ia tidak bisa menghindar lebih lama.
“Langitnya cantik, ya, Dis. Kamu suka senja, kan?” tanya Adrian pelan, lalu menarik kursi dan duduk di sampingnya.
Disa tidak menjawab. Ia langsung meraih tasnya dan bersiap pergi.
“Hm,” gumamnya singkat.
Saat ia berdiri, lengannya ditahan Adrian.
“Berhenti. Tolong... berhenti bersikap seperti ini. Kakakmu selalu menunggumu di rumah, Dis.”
Disa menoleh sedikit. “Terus?”
“Dis...”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Disa melepaskan tangan Adrian dengan pelan, lalu berjalan pergi. Namun, Adrian tetap mengejarnya, hingga mereka tiba di depan lift. Saat Disa hendak menekan tombol, Adrian lebih dulu menekan lantai kosong—membuat lift berhenti di tempat yang sepi.
“Kamu gila? Adrian, apa maumu?” bentak Disa, emosinya mulai naik. “Sudah jelas semua, kan? Apalagi?!”
“Kenapa kamu nggak marah, Dis?! Kenapa kamu nggak emosi?! Lampiaskan ke aku! Tolong... jangan diam seperti ini!” seru Adrian, menatap kedua mata Disa yang berair.
“Suka-suka aku, ngapain kamu repot?! Urus saja urusanmu sendiri! Lagian aku udah bukan kekasihmu! Aku nggak mau emosi atau marah, karena itu semua nggak akan mengubah apa pun!” jawab Disa keras.
“Tapi kamu terluka...”
“Itu bukan urusanmu lagi, Adrian! Jaga sikapmu mulai sekarang. Jadilah kakak ipar yang baik. Aku sudah memaafkanmu... jadi tolong, jaga kakakku sepenuh hatimu.”
Untuk terakhir kalinya, Disa memeluk Adrian dan menyandarkan wajahnya di d**a pria itu.
“Udah, ya...” bisiknya lirih.
Ia hendak melepaskan pelukannya, tetapi Adrian menahan dan memeluknya lebih erat. Ia menunduk, mencium pucuk kepala Disa dengan perlahan.
“Maafkan aku... Aku sudah jahat padamu,” ucapnya dengan suara bergetar.
Seindah apa pun cara berpamitan, perpisahan tetaplah menyakitkan.
***
Beberapa bulan kemudian...
Disa akhirnya berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan swasta ternama sebagai staf tim purchasing. Hari-harinya kini dipenuhi laporan, e-mail vendor, dan jadwal meeting yang padat. Rutinitas barunya menuntutnya untuk fokus dan profesional, dan itu berhasil membuat pikirannya tidak lagi dipenuhi kenangan yang menyakitkan.
Ia berangkat pagi, pulang malam, bahkan sering kali harus membawa pekerjaan ke rumah. Tapi Disa tidak keberatan. Kesibukan itu menjadi pelarian terbaiknya dari segala luka dan beban masa lalu.
Di sisi lain, Dira mulai merasakan perubahan dalam tubuhnya. Beberapa minggu terakhir ia merasa mudah lelah, sering mual di pagi hari, dan payudaranya terasa lebih sensitif dari biasanya. Awalnya, ia mengira hanya kelelahan biasa. Namun, semakin hari gejalanya makin nyata. Hingga akhirnya, di suatu sore saat Disa masih di kantor, Dira memberanikan diri membeli test pack dari apotek kecil di ujung jalan.
Kamar mandi di rumah mereka sunyi sore itu. Dira berdiri gelisah di depan wastafel, menatap benda kecil yang kini ada di tangannya. Dua garis merah.
Tubuhnya lemas seketika. Ia duduk di tepi bak mandi, napasnya tercekat. Ia hamil.
Tangannya gemetar saat meletakkan test pack itu ke atas wastafel. Pikiran Dira kacau. Ia tahu persis siapa ayah dari bayi itu, dan itu membuat rasa bersalahnya menggulung seperti gelombang besar—menghantam d**a dengan hebat.
Malamnya, Dira duduk diam di tepi tempat tidur. Lampu kamar hanya menyala redup, menambah rasa tegang yang ia rasakan. Sudah hampir jam sepuluh malam, dan Disa belum juga pulang. Saat suara kunci pintu berputar dan suara langkah kaki masuk ke rumah, jantung Dira berdebar semakin cepat.
“Dis, kamu udah pulang?” panggilnya lirih.
“Iya,” jawab Disa dari ruang depan. “Aku mandi dulu, habis itu kita makan bareng, ya?”
Dira hanya mengangguk pelan meski tak terlihat. Ia menunggu. Dan saat Disa akhirnya masuk kamar sambil mengikat rambut yang masih basah, Dira menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Ada apa?” tanya Disa, menyadari keganjilan pada wajah kakaknya.
Dira menggigit bibir bawahnya, lalu menyodorkan test pack dari balik bantal. Disa menatapnya, lalu mengambil benda itu. Dua garis merah. Ia paham maksudnya seketika.
“Dis...” suara Dira gemetar, “Aku hamil.”
Disa terdiam beberapa detik. Lalu ia duduk pelan di samping Dira, menatap wajah kakaknya yang jelas-jelas dipenuhi rasa bersalah.
“Aku nggak marah, Kak,” ucap Disa lembut.
Dira menoleh cepat, matanya membesar. “Kamu nggak marah? Dis, aku... aku hamil. Aku udah nyakitin kamu. Aku bahkan belum menikah, dan—”⁸
Disa menggeleng, tersenyum kecil. “Aku tahu dari awal, Kak.”
Dira tercekat. “Tahu?”
“Iya. Malam itu... sebenarnya aku udah pulang. Tapi aku dengar suara kalian. Aku nggak sengaja dengar kalian dari ruang tamu. Aku sempat mau pergi lagi, tapi kakak tahu apa yang lebih sakit? Bukan karena apa yang kalian lakukan. Tapi karena kalian tidak jujur.”
Suara Disa tenang, tapi nadanya mengandung luka yang telah lama ia pendam. “Setelah itu, aku tanya Adrian. Dia minta maaf. Aku suruh dia nggak cerita apa-apa ke kakak. Aku Cuma butuh waktu. Tapi ternyata... kakak pun memilih diam.”
Dira tak kuasa menahan tangis. Ia langsung memeluk adiknya erat-erat. “Maaf... Maaf, Disa. Aku jahat... aku... aku pengkhianat...”
Disa membalas pelukan itu. “Aku udah maafin sejak lama, Kak. Sekarang yang penting kamu jaga diri, jaga bayi itu baik-baik. Kamu harus lebih kuat sekarang. Kamu nggak sendiri.”
“Dis...”
“Aku nggak bilang ini akan mudah. Tapi kamu bisa, Kak. Aku akan bantu sebisaku.”
Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, Dira merasa beban beratnya mulai terangkat. Ia tahu luka Disa belum sepenuhnya sembuh, tapi cara adiknya memaafkan dan tetap merangkulnya—itu lebih dari cukup untuk membuatnya ingin berubah, menjadi lebih baik, menjadi sosok yang bisa Disa banggakan.
Malam itu, mereka berdua duduk di tepi tempat tidur. Saling berpegangan tangan, saling menguatkan dalam diam. Di tengah luka dan rahasia yang sempat memisahkan, mereka kembali pada satu hal yang tak tergantikan: keluarga.