Bagian 1
"Daripada pacaran sama Disa, bagaimana kalau saya sama kamu saja, Dira? Kita sama-sama cocok, dan umur kita juga tidak terpaut jauh."
Kalimat itu terdengar jelas dari balik pintu saat Disa baru saja pulang membeli madu. Langkahnya terhenti. Ia tak langsung masuk, melainkan menunggu, berharap ada jawaban yang bisa meredakan perasaan aneh yang perlahan tumbuh dalam dadanya.
"Sebenarnya, aku suka kamu... tapi aku takut menyakiti adikku. Bagaimanapun juga, kamu miliknya," jawab Dira—kakaknya sendiri.
Hati Disa remuk. Ia mengintip dari celah jendela dan mendapati sesuatu yang tak seharusnya dilihat: Adrian, lelaki yang selama ini mengisi harinya, memiringkan kepalanya mendekati Dira. Mata Disa melebar, napasnya tercekat. Ciuman itu bukan ciuman biasa—ada hasrat, ada ketertarikan yang tak pernah Disa lihat sebelumnya.
Dira tidak menolak. Bahkan, ketika tangan Adrian mulai menjelajah, Dira membalas. Disa melangkah mundur, lalu berlari menerobos hujan yang mengguyur seakan-akan langit pun ikut menangis bersamanya. Tangisnya tumpah bersama derasnya air yang membasahi tubuh dan jiwanya yang hangus.
Sampai akhirnya tubuhnya tersandung dan jatuh. Ia terduduk di pinggir jalan, menggigil, menekan dadanya yang terasa seperti dihujani pisau.
"Tega banget… jahat banget..." gumamnya sambil menangis keras. Air mata dan hujan menyatu, membuat semuanya terlihat samar.
***
Di rumah, Dira mondar-mandir, gelisah.
“Disa belum pulang juga... kenapa lama sekali?” gumamnya panik. Ia membuka pintu, tapi angin malam langsung menyerbu masuk bersama percikan air hujan. Cepat-cepat ia menutupnya.
Adrian menghampiri, lalu mengusap pundak Dira. “Tunggu saja,” ucapnya tenang, sambil membawa cangkir kopi buatan Dira.
Dira duduk di sofa, masih tampak tak tenang. “Perasaanku gak enak. Aku takut Disa tahu soal kita...”
“Kenapa harus takut, Dir? Kalau ketahuan pun, itu lebih baik,” balas Adrian seraya memeluk pinggangnya.
“Cepat banget kamu berbalik hati.”
“Aku memang suka kamu sejak pertama bertemu, sayang.” Suaranya merendah, lembut. Dira meletakkan kepala di d**a Adrian. Usapan lembut di kepalanya terasa asing tapi nyaman—rasa dicintai yang lama hilang dari hidupnya.
“Dira?” Suara Adrian berat, nyaris serak. “Aku benar-benar sayang padamu. Jangan takut... termasuk kalau Disa tahu. Kita hadapi sama-sama, ya.”
Dira hanya mengangguk, dan kecupan hangat mendarat di keningnya.
***
Sudah lebih sejam hujan mengguyur. Disa masih berdiri di bawah gerimis, menggigil. Setelah cukup tenang, ia melangkah ke minimarket, membeli air mineral dengan uang basah dari sakunya.
“Maaf, Kak. Uangnya basah,” ucap Disa lemah. Kasir tersenyum hangat.
“Gak apa-apa, Kak. Ini ada roti hangat, gratis buat Kakak.”
Disa menunduk, lelah untuk menolak. Ia hanya berbisik lirih, “Terima kasih.”
Di jalan pulang, Disa makan rotinya perlahan, menahan tangis dan rasa perih. Sesampainya di rumah, pintu tampak sedikit terbuka. Ia masuk dengan hati-hati, mendengar suara samar dari dalam kamar.
"Kalau ketahuan gimana?" suara kakaknya.
"Hmh, biarin aja. Jangan sampai ketahuan," jawab Adrian, nadanya mendesah.
Lalu tawa Dira terdengar, ringan… dan menyakitkan.
Disa duduk di meja makan, menatap makanan di bawah tudung saji. Pintu kamar terbuka, dan Adrian keluar hanya mengenakan handuk. Saat ia melihat Disa, ekspresinya kaget.
Disa tersenyum kecil, menggigit bibir agar tangis tak pecah. “Sttt... jangan bilang Kak Dira. Aku ke kamar dulu.”
Ia lari kecil ke kamarnya, menutup pintu dan menekan tubuhnya ke baliknya. Adrian hanya terpaku. Ia tertangkap basah, tapi Disa tidak marah. Bahkan tidak berteriak. Itu justru yang paling menyakitkan.
“Apa Disa datang?” tanya Dira dari dalam kamar.
“Bukan,” jawab Adrian singkat, matanya kosong. Ia masuk ke kamar mandi, memejamkan mata.
"Sial."
***
Di dalam kamar, Disa terisak dalam diam. Ia memukul dadanya, menahan gejolak yang membakar. Kakaknya, yang selama ini menjadi pelindungnya, justru menusuknya dari belakang. Tapi ia tidak tega menyakiti Dira. Ia hanya bisa berpura-pura tidak tahu.
“Disa mana, ya? Kok belum pulang juga?” suara Dira dari luar.
Disa menyeka air mata, lalu membuka jendela. Ia keluar diam-diam, berlari kecil ke depan rumah, dan mengetuk pintu.
"Assalamualaikum."
Dira membuka pintu. “Disa? Ya Allah, kamu kenapa? Nangis? Pakaianmu basah, sayang...”
Disa memeluk kakaknya erat. Tangisnya pecah lagi.
“Aku kangen Ayah sama Bunda, Kak,” bisiknya—satu-satunya alasan yang aman.
Dira mengusap punggung adiknya. “Ayo masuk. Kakak buatkan air hangat dan s**u, ya.”
“Disa bisa sendiri, Kak.” Disa melepaskan pelukan, masuk ke kamar mandi. Ia mandi lama, mencoba meredakan gemetar tubuh dan hatinya. Lalu, dengan handuk membungkus tubuh, ia berlari kecil ke kamar.
***
Adrian menatap Dira. “Disa gak mau makan?”
Dira menggeleng. Adrian mengetuk pintu kamar Disa. “Dis, aku bawain Richeese, lho. Cantik...”
Tak ada sahutan. Ia masuk, duduk di sisi ranjang.
“Dis... maaf.” Bisikannya nyaris tak terdengar.
Disa membuka mata. Suaranya pelan dan dingin. “Keluar. Ini kamarku. Aku mau tidur.”
Adrian menyentuh keningnya. “Dira! Disa demam!”
Dira masuk panik. “Main hujan sih... ayo bangun, Kakak suapin makan, ya.” Ia segera ke dapur menyiapkan obat dan makanan.
Adrian menunduk. “Maafkan aku, Disa. Aku jahat. Aku sakiti kamu. Aku suka kakakmu... tapi bukan maksudku menyakitimu.”
Disa menatapnya samar. “Apa yang bisa kulakukan... selain memaafkan? Anggap saja ini balas budi karena Kak Dira selama ini merawatku. Tapi... beri aku waktu. Aku harus sembuhkan diriku dulu.”
***
Dira duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan adiknya yang dingin. Disa terbaring dengan wajah pucat dan mata yang setengah tertutup. Peluh dingin membasahi pelipisnya, dan napasnya tampak berat.
“Maaf ya, sayang... Kakak nggak tahu kamu bakal sakit seperti ini,” bisik Dira pelan, seraya menepuk-nepuk tangan Disa yang lemah.
Adrian berdiri di ambang pintu, menggigit bibir bawahnya dengan rasa bersalah yang mulai mencengkeram kuat. Tatapan Disa sempat bertemu dengan miliknya tadi—tatapan penuh luka yang bahkan tak butuh kata untuk menyampaikan betapa hancurnya perasaan seorang gadis yang dikhianati oleh dua orang terdekatnya.
“Dia demam tinggi,” kata Dira cemas. Ia segera bangkit, mengambil baskom dan handuk kecil. Air hangat di baskom itu bergetar, seperti cermin bagi hatinya yang berguncang.
Adrian menunduk, lalu perlahan mendekat, ingin membantu, tapi Dira menahan gerakannya.
“Biar aku saja yang rawat Disa.” Suaranya lembut, tapi jelas menyiratkan jarak.
Adrian mengangguk pelan. Tak bisa berkata apa-apa. Ia memilih mundur, lalu berdiri di luar kamar sambil menatap ke arah hujan yang kini tinggal gerimis. Dalam hatinya, pertanyaan berputar: apa dia sudah memilih dengan benar, atau justru menghancurkan seseorang yang seharusnya ia lindungi?
***
Disa menggigit bibirnya kuat-kuat ketika Dira mengompres dahinya. Bukan karena demamnya, melainkan karena luka itu masih membara di hatinya. Air mata kembali mengalir, tanpa bisa ia tahan.
“Kak...” bisiknya.
Dira menoleh. “Iya, sayang?”
“Kalau aku nggak ada... Kakak bakal sedih nggak?”
Dira menghentikan gerakannya. Wajahnya langsung berubah. “Disa, jangan bicara kayak gitu. Kakak nggak mau kehilangan kamu. Kamu satu-satunya alasan Kakak bertahan di dunia ini.”
Disa tersenyum kecil. “Kakak juga satu-satunya yang aku punya.”
Lalu ia menutup mata, menyembunyikan air mata yang tak sanggup lagi ia bendung.
***
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Hujan reda, tapi suara hati Disa tak kunjung sunyi. Ia terbangun sekitar pukul dua dini hari, tenggorokannya kering, tubuhnya masih panas. Ia keluar kamar perlahan, mengambil air di dapur. Saat hendak kembali ke kamarnya, ia mendengar suara samar dari ruang tengah.
Adrian dan Dira sedang bicara. Lagi.
“Aku merasa bersalah, Dir. Lihat Disa, dia bukan Cuma demam. Dia patah.”
Dira menghela napas. “Aku tahu. Tapi aku juga mencintaimu, Adrian. Apa salah kalau aku memilih kebahagiaanku kali ini?”
“Bukan salahmu. Tapi... mungkin salahku yang terlalu cepat berpindah hati.”
Disa berdiri di balik tembok, memejamkan matanya. Hatinya seperti diiris ulang. Ia ingin berteriak, tapi suaranya terkubur dalam bisu yang memilukan.
Ia kembali ke kamarnya, tak sanggup mendengar lebih banyak. Di dalam kamar, ia mengambil jurnal kecil yang selalu ia simpan di bawah bantal. Tangannya gemetar saat mulai menulis.
“Dear Ayah, Bunda... kalau kalian masih hidup, aku nggak akan sesakit ini. Aku nggak akan merasa sendirian seperti sekarang. Kak Dira yang selama ini jadi tempat aku pulang... sekarang dia juga pergi. Bukan karena mati, tapi karena memilih seseorang yang tega menghancurkanku.”
Air matanya m*****i halaman itu. Tapi Disa tetap menulis. Ia tahu, jika tak dituangkan, perasaannya bisa meledak dalam bentuk yang jauh lebih buruk.
“Tapi aku nggak akan benci. Aku janji. Aku akan sembuh, dan aku akan pergi. Karena yang tersakit bukan yang kalah. Tapi yang memilih diam, agar orang lain bisa bahagia.”
Disa menutup jurnalnya. Ia menatap langit-langit kamar yang sepi, kemudian memeluk guling erat-erat.
“Aku akan pergi setelah sembuh. Ini bukan rumahku lagi,” gumamnya lirih, sebelum akhirnya terlelap dalam demam yang masih membara.