Bagian 7

1183 Kata
Pagi itu dingin dan mendung. Matahari seolah enggan menampakkan dirinya. Jalanan masih basah oleh embun, dan udara terasa lebih berat dari biasanya. Mobil jenazah perlahan memasuki area pemakaman. Di dalamnya, Dira terbujur kaku dalam kafan putih, wajahnya telah ditutup sejak tadi malam. Adrian duduk di dalam mobil pengiring paling depan, menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong. Jemarinya mengepal di atas lutut, menahan rasa yang tak bisa ia jelaskan. Hatinya masih terasa beku sejak malam itu. Seharusnya, pagi ini ia bangun bersama Dira—membicarakan pernikahan, menyiapkan daftar nama untuk calon bayi mereka, tertawa tentang hal-hal kecil. Tapi takdir memilih jalan lain. Hari ini, ia justru akan menguburkan perempuan yang ia janjikan seumur hidup. Sesampainya di lokasi pemakaman, beberapa keluarga sudah menunggu. Tak banyak yang hadir. Hanya kerabat terdekat dan beberapa sahabat. Semuanya diam, larut dalam duka yang senyap. Beberapa dari mereka bahkan belum percaya Dira benar-benar pergi. Liang lahat sudah digali dengan rapi. Tanah merah yang basah tertumpuk di sisi lubang, menunggu untuk mengubur semua kenangan. Dengan hati-hati, empat orang membawa tubuh Dira menuju peristirahatan terakhirnya. Adrian ikut mengangkat, meski lututnya nyaris tak sanggup menopang beban yang tak hanya berasal dari tubuh Dira, tapi juga dari semua rasa bersalah yang tak terucap. Saat Dira diturunkan ke dalam liang, Adrian berdiri di sisi kubur. Tangannya gemetar, bibirnya rapat, matanya menatap ke dalam tanah seolah ingin memastikan—apakah ini nyata? Apakah perempuan itu, yang beberapa jam lalu masih memanggil namanya, kini benar-benar akan pergi… selamanya? Tak ada suara, selain gemerisik angin dan langkah kaki yang tertahan. Beberapa kerabat mulai menimbun tanah perlahan. Adrian maju, mengambil sekop, dan dengan tangan sendiri ia menaburkan tanah di atas tubuh Dira. Setiap gerakannya seperti mencabik bagian terdalam dari jiwanya. Ia tak menangis. Bukan karena tak ingin, tapi karena air mata sudah habis sejak semalam. Yang tersisa hanya diam yang dalam, dan rasa kehilangan yang membatu. Saat pusara sudah tertutup sempurna, Adrian menatap nisan sederhana yang sudah tertancap di ujungnya. Hanya tertulis nama Dira dan tanggal kepergiannya. Tanpa hiasan. Tanpa kalimat panjang. Tapi bagi Adrian, itu lebih dari cukup untuk menyimpan seluruh kenangan. Ia berlutut di samping gundukan tanah itu. Mengusap pelan permukaannya, lalu menunduk. “Maaf…” bisiknya. Itu kata pertama yang bisa keluar dari bibirnya setelah sekian lama. Hanya satu kata, tapi beratnya seakan cukup untuk menghancurkan dirinya. Ia menarik napas panjang, menatap langit yang perlahan berubah abu. “Tapi aku janji… aku akan menepati permintaanmu. Disa akan aku jaga. Meski… meski aku belum tahu bagaimana caranya.” Tak lama kemudian, pamannya mendekat. “Semua sudah selesai. Kita harus kembali. Disa masih di rumah sakit.” Adrian berdiri perlahan. Ia menatap makam itu sekali lagi, seolah ingin menanamkan dalam-dalam gambar itu ke dalam memorinya. Lalu ia berbalik, melangkah meninggalkan pusara dengan langkah berat. *** Sementara itu, di rumah sakit, Disa masih terbaring tak sadar. Selama Adrian mengurus pemakaman, ia menitipkan Disa pada tantenya yang kini duduk di kursi dekat ranjang. Tangan Disa masih dingin. Wajahnya pucat. Seolah tubuhnya ikut tenggelam dalam duka yang tak sempat disuarakan. Tantenya mengelus pelan rambut Disa. “Kamu harus kuat, Sayang. Kakakmu sudah pergi. Tapi kamu masih punya hidup yang harus dijalani.” Saat itu, pintu kamar terbuka. Adrian masuk, mengenakan kemeja yang kusut dan sepatu berdebu. Matanya merah, tubuhnya lelah, tapi ia tetap mencoba berdiri tegak. Ia mendekat, memandangi Disa dalam diam. Ada sesuatu yang aneh saat melihatnya. Dulu, setiap ia menatap Disa, yang muncul hanyalah rasa bersalah. Tapi kini… ada yang berbeda. Entah perasaan melindungi, atau mungkin sisa janji yang ingin ia genggam erat. Ia duduk di sisi ranjang, memegang tangan Disa. Tak mengatakan apa-apa. Hanya diam, memandangi wajah adik dari perempuan yang baru saja ia makamkan. Dan untuk pertama kalinya… dalam diam yang panjang itu, Adrian merasa takut. Bukan karena kematian, tapi karena kemungkinan kehilangan lagi—seseorang yang diam-diam pernah ia abaikan, dan kini menjadi satu-satunya yang tersisa. *** Di ruang tunggu rumah sakit yang sepi, Adrian terduduk lemas di kursi panjang, membiarkan tubuhnya terlipat ke depan. Kemeja putih yang belum sempat ia ganti masih menyimpan noda tanah di lengan dan bagian d**a. Debu-debu halus dari prosesi pemakaman tadi pagi belum sempat ia bersihkan. Bahkan wajahnya pun masih terasa dingin bekas air wudu dan embusan angin pemakaman. Rambutnya acak-acakan, dan mata yang sembab itu hampir tak sanggup menatap siapa pun. Pagi yang menyakitkan. Dan kini ia kembali ke rumah sakit, ke tempat satu-satunya yang masih menghubungkannya dengan Dira… dan kenyataan. Tante Nisa duduk di sampingnya. Sudah sejak tadi ia memperhatikan keponakannya itu dalam diam. Bahkan sejak Adrian datang dan hanya menunduk tanpa sepatah kata, Tante Nisa tahu pria itu sedang menggenggam terlalu banyak luka dalam dadanya. “Rian…” sapanya pelan, nyaris seperti bisikan. Adrian mengangkat kepalanya perlahan, menoleh tanpa suara. “Sudah selesai semuanya?” Adrian mengangguk. “Sudah. Tadi pagi... semuanya berjalan lancar. Dira sudah dimakamkan.” Tante Nisa menunduk, ikut merasakan pilu itu. Ia menggenggam jemari Adrian, dingin dan tak bersuara. “Makasih, Tante,” gumam Adrian kemudian. “Udah jagain Disa selama aku pergi.” “Disa masih belum sadar,” jawab Tante Nisa pelan. “Tapi tadi perawat bilang kondisinya mulai stabil. Dia hanya perlu istirahat. Fisiknya lemah... mungkin karena tekanan batin juga.” Adrian mengangguk tanpa menoleh. Ia tahu itu. Ia tahu Disa bisa pingsan seperti tadi karena jiwanya ambruk, tak tahu lagi harus berdiri di mana setelah satu-satunya orang yang menjadi rumahnya pergi. Sunyi kembali membungkus ruang tunggu. Hanya suara langkah perawat sesekali terdengar di lorong. Lalu, setelah jeda yang cukup lama, Tante Nisa bertanya, perlahan, hati-hati. “Rian… soal pernikahan kalian. Acaranya hampir rampung, tinggal beberapa hari lagi. Kamu mau... dibatalkan?” Pertanyaan itu mengendap di udara seperti kabut. Adrian mengangkat wajahnya, tatapannya kosong namun tegas. Wajahnya memucat, seperti seseorang yang baru saja berjalan terlalu jauh dalam kabut duka. “Enggak,” jawabnya pendek. Tante Nisa menatapnya lekat-lekat. “Maksudmu...?” “Pernikahan gak batal. Enggak akan pernah batal.” Adrian menarik napas, matanya sembab dan suara seraknya penuh beban. “Dokumennya tinggal diganti... nama pengantinnya.” “Ke... Disa?” Adrian menatap kosong ke depan. “Iya. Jadi Disa.” “Adrian...” Tante Nisa nyaris tak percaya apa yang didengarnya. “Kamu yakin?” “Gak tahu.” Suaranya pecah. “Aku cuma tahu... aku janji. Sama Dira. Aku gak akan pergi ninggalin Disa. Aku akan nikahin dia. Aku akan jaga dia. Pokoknya gitu.” Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu menyandarkan kepala ke dinding di belakangnya. “Aku capek, Tante. Tapi aku harus jalanin ini. Gak ada pilihan lain.” Tante Nisa menghela napas panjang, matanya mulai berkaca. Ia tidak bisa membayangkan beban sebesar itu dipanggul oleh lelaki muda di sebelahnya. Dalam diam, ia hanya bisa menggenggam lengan Adrian dan menguatkannya dengan tatapan penuh doa. “Kalau kamu butuh bantuan, kamu gak sendiri, Rian. Aku akan bantu.” Adrian mengangguk pelan, tak mampu berkata-kata. Di dalam ruang rawat, Disa masih tertidur pulas. Belum tahu bahwa hidupnya akan berubah. Bahwa begitu kelopak matanya terbuka, dunia yang ia kenal kemarin sudah tak ada lagi. Hanya janji seseorang… dan masa depan yang masih gelap, menunggunya di ambang pintu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN