Bagian 1

905 Kata
Awal libur musim panas. Alenia merapikan seluruh kamarnya yang biasa berantakan menjadi rapi seolah baru dihuni. Ia menatap puas penjuru ruangan 3x6 meter itu setelah berkutat selama hampir 3 jam disana. Sekarang tidak ada lagi buku-buku berserakan, tumpukan piring kotor, tumpukan pakaian bersih dan kotor, tumpukan sampah bekas pembuatan berbagai maket, juga kolong ranjang yang sedikit berdebu. Kesibukannya sebagai mahasiswi Desain Interior dengan banyak tugas sampingan membuatnya berubah menjadi gadis malas. Padahal ia datang ke Korea dengan tekad akan menjadi mahasiswi rajin dan bersih. Untung saja keluarganya tinggal di Thailand, jadi ia tak perlu pusing memikirkan reaksi ibunya melihat kamar sewanya serupa gudang. Lalu gadis itu merebahkan dirinya di kasur yang sudah ia ganti sprei dan selimutnya, menikmati kerja kerasnya hari itu. Tangannya meraih sebuah buku catatan kecil, membukanya di bagian tengah, dan mulai memikirkan apa saja yang akan ia lakukan dan ingin ia beli selama liburan. Tapi baru selesai menulis untuk baris pertama, ia sudah merebahkan kepalanya dan terlelap dengan cepat sementara buku catatannya masih terbuka. What i want to do? -- "Paket!" Suara itu mengusik kesadarannya berkat gedoran keras di pintu. Alenia terbangun dan menatap jengkel pada pipinya yang sedikit basah. Begitulah yang akan terjadi kalau ia tidur menelungkup dalam keadaan lelah. Air liurnya akan merembes keluar. "Paket!" Suara gedoran menyentakannya. Cepat-cepat membasuh wajah lalu membuka pintu kamarnya dan mendapati kurir pengantar barang menatapnya jengkel. "Atas nama Alenia Park?" Tanya kurir itu, berusaha terlihat tetap sopan tapi malah terkesan kaku. "Ya, saya sendiri." "Ada paket untuk nona. Tolong tanda tangan disini." Alenia menerima paket itu, mengempitnya di lengan kiri lalu membubuhkan tanda tangan. "Terima kasih." Lalu kurir itu berlalu begitu saja, membuat Alenia mendengus. Jadi kurir memang melelahkan dan menyebalkan. Tapi Alenia tak ambil pusing karena paket berisi tas selempang yang ia pesan 2 hari lalu akhirnya tiba. Ia akan menggunakan tas cantik baru berwarna biru navynya itu untuk merayakan hari jadinya yang ke 2 tahun dengan Park Jaehwa besok. Tunangannya itu memang bermarga Park, sama dengannya, maka dari itu ia lebih suka memakai nama tengahnya, Elizabeth. Alenia Elizabeth Tak lama berselang, ponselnya berdering. Layarnya menampilkan nama 'Nyonya Oh' sebagai pemanggil dan seketika gadis 21 tahun itu tersenyum lebar. -- Alenia menatap wanita paruh baya di hadapannya dengan canggung. Nyonya Oh di telepon tampak berbeda begitu ia berhadapan langsung dengannya. Tampak dingin, elegan, berkelas. Tipikal tak tersentuh dan membuat siapapun yang berhadapan menjadi segan. Gadis itu hendak membuka obrolan lebih dulu, tapi kalimatnya tertelan kembali saat menatap Nyonya Oh menyeruput tehnya dengan gerakan yang begitu anggun. Seketika ia merasa bagai rakyat jelata di hadapan sang Ratu. "Nona Alenia Elizabeth Park?" Suara wanita itu mengalun lembut, tapi mengandung ketegasan. "Benar, Nyonya Oh." "Aku sudah membaca profilmu dan menyelidiki latar belakangmu. Maaf kalau aku telah lancang melakukannya, tapi aku ingin cucuku berada dalam pengasuhan orang yang tepat," ujarnya, menatap Alenia tepat di manik mata. Alenia mengangguk sopan, berusaha mengimbangi sikap Nyonya Oh yang begitu formal dan berkelas. Tapi tetap saja, pada akhirnya ia merasa seperti rakyat jelata. "Tidak apa-apa, Nyonya Oh. Saya dapat memahami." Nyonya Oh menyunggingkan sebuah senyum, menampakan tulang pipinya yang berproporsi tinggi. "Kapan kau bisa mulai?" "Lusa, Nyonya. Karena saya masih ada urusan yang harus diselesaikan besok." Lebih tepatnya, besok ia akan berkencan seharian dengan Jaehwa. "Baiklah." Nyonya Oh tersenyum sekali lagi. "Aku akan mengirim alamat yang harus kau datangi lusa ke alamat emailmu." "Baik, Nyonya." "Untuk jam kerjamu, kau akan tinggal disana sesuai kesepakatan. Itu artinya, kau harus siaga 24 jam atas setiap kebutuhan cucuku, termasuk apabila ia terbangun di tengah malam dan kau tidak boleh mengabaikannya." Alenia mengangguk. Bukankah anak kecil hanya akan terbangun sesekali karena haus atau buang air? Jadi, ia pikir itu tidak akan menyulitkannya. Toh ia terbiasa bangun di tengah malam untuk lanjut membuat tugas maket. "Baik, Nyonya." "Sesuai kesepakatan yang telah kau ajukan, kita akan terikat kerja sama selama 3 bulan. Dan selama itu, segala keperluanmu akan ditanggung." Alenia mengangguk lagi, diam-diam mengagumi pemilihan kata wanita berkelas itu. "Aku akan menghitung bayaranmu penuh selayaknya seorang ibu yang mengasuh anaknya 24 jam setiap hari. Setiap tanggal 2 aku akan mengirim 7500 USD ke rekeningmu.” Tapi gadis muda itu tertegun. Ia menatap wanita anggun di hadapannya dengan ragu. "Apa itu, , tidak terlalu banyak, Nyonya?" "Tentu saja tidak. Aku bahkan berpikir itu kurang." Alenia segera menggeleng kikuk. "Sebenarnya, itu sudah cukup banyak untukku." Nyonya Oh tersenyum lagi, menatap gadis muda di hadapannya yang sering menunduk dibanding menatap wajahnya. "Kau berhak untuk itu, dear. Kapanpun kau merasa kurang, katakan padaku. Aku akan menambahkannya." Masih dengan senyum kikuknya, Alenia mengangguk pelan. "Itu sudah lebih dari cukup untukku, Nyonya. Dan terima kasih tawarannya." "Sama-sama." Nyonya Oh kembali menyeruput teh di hadapannya, menatap gurat wajah yang akan mengasuh cucunya itu dan tersenyum. "Baiklah kalau begitu, jika ada yang ingin kau tanyakan, kau bisa mengirim email atau bertanya padaku lusa. Aku harus pergi sekarang. Sampai bertemu lagi, Nona Park." Dengan gerak elegan, Nyonya Oh bangkit dari duduknya, melangkah anggun menuju pintu kafe tempat mereka bertemu sampai seorang pengawalnya membukakan pintu dengan sopan. Sebuah mobil Alphard hitam berhenti di depan teras kafe dan Nyonya Oh masuk ke mobil itu, masih dengan gerakannya yang anggun dan berkelas. Alenia jadi berpikir bahwa wanita itu mungkin berasal dari kalangan bangsawan yang tutur kata serta sikapnya terjaga. Bahkan gerak-gerik seanggun itu sudah seperti pembawaannya. Dan sampai detik ini, sampai Alphard hitam itu menghilang dari pandangannya, barulah ia sadar bahwa sedari tadi ia menahan napas. -- []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN