Pov Nailis ( Perasaan Bapak )

1315 Kata
Entah apa yang sudah direncanakan Bapak. Dia pulang kampung tanpa memberi kabar apapun padaku. Entah pada Ibu, apakah Bapak juga tidak memberitahunya. Hanya anehnya, sedari sore sampai sudah hampir waktu isak, Ibu dan Leon belum juga kembali ke rumah. Dan ketika ingin ku susul mereka, Bapak melarangku tanpa mengatakan alasannya. Biasanya, Ibu memang membawa Leon ke rumah Mbak Hasna. Di sana putraku bisa anteng bermain dengan Raihan dan Alya, dua anak Mbak Hasna yang juga masih balita. Bukan inginku menitipkan anak pada asuhan Ibu. Tapi keadaan yang memaksaku melakukan ini. Aku tidak mungkin bergantung terus pada Bapak dengan penghasilannya sebagai sopir. Apalagi melimpahkan beban dan kesusahanku padanya. Laki-laki yang teramat menyayangiku. Laki-laki yang memiliki harapan tinggi padaku, pada pendidikanku, pada masa depanku. Namun takdir membuatku harus menempuh jalan berliku yang tak pernah kuduga sebelumnya. "Assalamuallaikum." Salam dari Ibu membuat hati ini gelisah. Ini yang aku takutkan. Semoga saja yang kutakutkan tidak terjadi. "Wallaikumsalam." Serempak kami menjawab salam sembari menoleh pada kedatangan Ibu dan Leon. Seperti yang sudah kuduga, hanya sekilas pandangpun mereka akan menyadari sesuatu. Benar. Seperti inilah dulu Bapak kala pertama kali menatap wajah putraku. Lambat laun menjadi sebuah tanya ketika kian hari semakin jelaslah apa yang dipikirkannya selama ini dan tak berani ia tanyakan padaku. Pandangan ketiga tamuku tak lepas dari putra kecilku. Balita umur satu tahun lebih yang sudah pandai berjalan, berlari kecil menghampiriku. Segera kuangkat tubuhnya yang mulai merintis, setelah enam bulan pengobatan flek paru-parunya akhirnya tuntas. Melegakan kekhawatiranku sebagai ibu muda yang baru pertama kali memiliki buah hati. Kuciumi pipinya yang menggemaskan. Putraku Leon, semangat hidupku. Kulihat Pak Usman dan Bu Dewi saling melempar pandang, kemudian beralih menatap wajah putra mereka. Sama seperti Bapak yang tidak bisa dibohongi. Karena putraku dan pria itu memiliki wajah bagai pinang dibelah dua. Tentu saja, karena dia adalah ayah dari putraku. Dulu, sebulan penuh kutunggu itikad baik darinya. Dalam penantian panjang kucari-cari media sosialnya. Ternyata pria itu sudah memiliki kekasih yang sangat cantik. Hanya saja, masih kutunggu sekedar permintaan maafnya padaku. Namun tak kunjung jua datang. Apa tak ada setitik pun perasaan bersalah dalam dirinya yang sudah menghancurkan masa depanku? Pendidikan yang kukorbankan, masa depan dan kisah cintaku pun harus kandas karenanya. Lebih dari itu perasaan malu dan depresi karena omongan tetangga harus kutelan sendiri. Kuhabiskan setahun lebih mengasingkan diri dari tetangga dan kehidupan luar. Mental setiap orang tidaklah sama. Aku adalah gadis baik-baik yang tak suka membuat masalah. Pertama kalinya menjadi bahan gosip tetangga adalah sebuah hantaman besar yang mengharuskanku beberapa kali berkonsultasi ke psikiater. Alhamdulilah, berkat dukungan Ibu, Bapak juga mantan kekasih sekaligus mantan suamiku. Aku bisa bangkit. Dimas, laki-laki yang merelakan dirinya bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Dimas, kekasihku yang sudah kuberi luka namun tetap mau berkorban demi diri yang kotor ini. Aku tak pernah berharap rasa cintanya masih sama seperti sebelumnya. Apa yang dilakukannya sudah lebih dari cukup. Ketika ia memutuskan untuk menceraikanku. Tak sedikitpun aku mampu menahannya. Dia berhak bahagia, bukannya harus terus-terusan berada disisiku dan mengerti diri ini yang terus memberikan luka. "Usman ... Dewi ... sebenarnya ada hal penting yang ingin aku sampaikan mengajak kalian berkunjung ke gubukku ini." Bapak mulai berbicara serius. Sementara dua pasangan paruh baya itu tak sanggup berkata-kata. Begitupun pria yang enggan sekali ingin kutemui seumur hidupku. "Bapak," sergahku. Sedari awal aku memang ingin menyimpan rahasia ini sendiri. Kalau saja Leon tak memiliki kemiripan dengan ayah kandungnya. Bapak tentu tak akan pernah tahu apa yang sudah kusembunyikan selama ini. "Apa yang kalian pikirkan setelah melihat cucuku?" Bapak tak menggubris keberatanku. Jika sudah serius seperti ini, aku tak kuasa melawan pria yang sudah banting tulang membesarku sepenuh hati. "Wato ... tolong jelaskan pada kami. Kenapa cucumu bisa ...." Pak Usman terlihat ragu meneruskan kata-katanya. "Coba tanyakan langsung pada putramu, Usman." Bapak kini melempar penjelasan pada pria yang sedari tadi menunduk. Entah apa yang dipikirkannya. "Mandala ...." Bu Dewi menatap pada putranya, gusar. "Apa yang sudah terjadi?" desaknya mulai tak sabar melihat kediaman putranya. "Maaf ..." Hanya itu yang terucap dari bibir pria yang masih menunduk itu. Satu kata yang ku tunggu selama dua tahun ini. Itupun terucap setelah mendapat desakan dari Bapak dan keluarganya. "Maaf, sudah bersikap pengecut selama ini," akunya. Kali ini mendongak dengan menunjukkan wajah penyesalan. Tapi apa cukup untuk membayar apa yang sudah dilakukannya? "Maksudnya apa, Mandala?" Pak Usman terlihat emosi. Sepertinya ia sudah mulai bisa meraba-raba apa yang sudah terjadi. "Malam itu ... aku mabuk." Sejenak ia menjeda kalimatnya. "Malam itu Mandala benar-benar hilang kendali dan tanpa sadar ... sudah menodai Nailis ...." "Apa!" Pak Usman dan Bu Dewi tak bisa menutupi keterkejutannya. "Kamu anak kurang ajar!" Bu Dewi nampak hilang kendali dan memukul bertubi tubuh putranya. Sementara Pak Usman nampak mengelus dadanya, tak menyangka anaknya bisa melakukan hal itu. "Wato ... aku benar-benar minta maaf." Pak Usman benar-benar malu akan kelakuan b***t putranya. "Seharusnya kamu beritahu kami, To. Biar anak kurang ajar ini bertanggung jawab dengan perbuatannya ... ya Allah kenapa bisa begini?" Aku hanya bisa diam melihat drama ini. Untuk apa semua ini? Bagiku sudah terlambat, aku sudah tak mengharapkan apa-apa lagi. Bagiku dua tahun, waktu yang sangatlah lama hanya untuk datang dengan sekedar permintaan maaf yang tidak berguna. Kemana dia selama ini? "Nailis sama sekali tidak pernah menceritakan apapun padaku ...sampai aku melihat wajah cucuku dengan mata kepalaku sendiri." Bapak nampak emosional. Tak kupernah lihat ia seperti ini. "Nai ... kenapa kamu nggak bicara jujur sama kami, Nduk?" Wanita paruh baya itu nampak berkaca-kaca. Kutarik nafas panjang, rasanya masih sama sesaknya. Meski dua tahun telah berlalu. "Sebulan lebih Nailis menunggu itikad baik dan putra Ibu. Setidaknya permintaan maaf saja ...." Ah, kenapa aku harus menangis. "Tapi ... sepertinya. Tidak ada yang bisa diharapkan dari laki-laki yang bahkan sepertinya tak sedikitpun memiliki rasa bersalah sudah menghancurkan masa depan orang lain ..." Kulirik sinis pria pengecut itu. "Aku memang pengecut. Tapi aku berani bersumpah ... setiap hari terus dibayangi perasaan bersalah sudah melakukan perbuatp)0lan kotor padamu. Tujuanku ke sini pun ... aku ingin jujur dan meminta maaf padamu juga keluarga," terangnya. "Dua tahun Nak Mandala ... dua tahun kami menunggu kejujuranmu. Satu tahun lebih Bapak setiap hari menunggu pengakuanmu. Kalau bukan karena Nailis ... rasanya Bapak sudah ingin menghajarmu dengan tangan Bapak sendiri." Tak pernah kulihat Bapak seemosional ini. Bahkan ketika pertama kali aku jujur atas semua yang sudah terjadi padaku. Bapak hanya diam tak mengatakan apapun. "Maafkan saya, Pak." Pria itu bersujud dikaki Bapak. "Silahkan pukul saya, Pak. Silahkan penjarakan laki-laki pengecut ini. Saya siap menanggung dosa atas perbuatan saya." "Nikahi putri Bapak!" tegasnya. Aku melotot tak percaya, apa-apaan Bapak ini? "Pak ... apa maksudnya ini?" protesku tak setuju. "Meskipun aku tak dikampung setiap hari. Tapi aku tahu anakku terus menjadi pergunjingan tetangga yang tak tahu apa yang sudah terjadi. Apalagi setelah Nailis diceraikan suaminya ... aku tahu anakku tertekan dengan omongan-omongan diluar. Dari luar dia kelihatan tegar, tapi Bapak tahu dia menangis setiap hari." "Kalian tahu sendiri, aku sangat menyayangi Nailis, betapa bangganya aku padanya. Kugantung harapan tinggi pada masa depannya, agar tidak seperti kedua orang tuanya. Tapi apa? Dia harus putus sekolah ... melahirkan anak sebelum waktunya. Banting tulang mencukupi kebutuhannya, membayar hutangnya pada mantan suaminya yang rela bertanggung jawab atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Apa yang bisa kutuntut dari mantan menantuku? Tidak ada ... dia juga adalah korban. Ketika orang tuanya meminta timbal balik, kami bisa apa selain memberikannya ...." "Kalau kalian jadi aku. Apa kalian sebagai orang tua akan diam saja melihat anak kalian berjuang sampai seperti ini?" Mata tua itu nampak berkabut. "Kalau bukan karena Nailis yang meminta, sudah lama aku meminta pertanggung jawaban dari putra kalian. Tapi apa kalian tahu apa yang Nailis katakan?" "Dia tidak ingin merusak kebahagiaan putra kalian. Saya juga tahu Nak Mandala sudah memiliki kekasih ... tapi apa ini adil bagi anak saya? Tidak, Us, Wi ... aku tidak bisa terus-terusan melihat putriku digunjingkan banyak orang. Karena sebenarnya dialah korban yang paling tersakiti disini." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN