Pov Mandala ( Nailis )

981 Kata
Perjalanan dari Jakarta ke Wonogiri sungguh sangat melelahkan. Aku dan Pak Wato duduk bergantian di belakang kemudi. Kukira setelah tiba di kota Wonogiri, tempat tujuan kami tidak akan lama lagi. Tapi ternyata masih membutuhkan kurang lebih satu jam untuk tiba di desa Pak Wato. Jalanan memang mulus tanpa cela, tapi kelokan-kelokannya membuat perutku sedikit mual. Mungkin juga karena efek perut kosong. Karena sejak sebelum keberangkatan, nafsu makanku benar-benar hilang mengingat sebentar lagi akan bertemu dengan Nailis. Wanita malang yang tanpa sengaja telah kunodai saat aku dalam pengaruh alkohol sialan itu. Ya, Tuhan ... apa yang harus kukatakan saat bertemu dengannya nanti? Sekitar pukul lima sore kami tiba di rumah Pak Wato. Rumah berbentuk limasan dengan cat berwarna putih. Hanya saja rumah itu nampak sepi dan semua pintunya tertutup rapat. Di terasnya ada sebuah sepeda motor matic warna putih terparkir dengan termos besar berwarna hijau di bagian jok belakang. "Mari-mari silahkan duduk." Pria berambut ikal itu mempersilahkan kami duduk di kursi rotan yang ada di teras rumah. Tapi kami lebih memilih melepas penat dengan berselonjor di lantai keramik putih itu. Sejuk sekali hawa di desa, tapi sayangnya aku tidak bisa menikmatinya. Karena pikiranku benar-benar kacau saat ini. "Sebentar, saya hubungi Nailis dulu." Pak Wato merogoh saku celananya dan mulai menghubungi putrinya. "Nailis! Nailis!" Tepat ketika sebuah mobil Chevrolet usang lewat di jalan depan rumah. Pak Wato menurunkan ponsel jadul yang semula bertengger tepat di lubang telinganya. Tangannya melambai pada sopir mobil pick up itu dan berlari menghampiri mobil berwarna coklat usang yang mengangkut hasil panen padi yang menggunung di bak terbuka belakang. Hanya sekilas pandang netra kami saling menatap, tapi jantungku sudah berdebar tak karuan. Gadis muda yang duduk di belakang kemudi dengan masker hitam itu. Benarkah itu Nailis? "Mari masuk-masuk ... pasti pada capek, habis perjalanan jauh." Pak Wato kembali setengah berlari kecil membuka pintu rumahnya. "Itu tadi Nailis, To?" tanya Ayah. Mereka memang terbiasa memanggil nama. Maklum sahabat lama, jadi tidak ada batasan layaknya majikan dan sopirnya. "Iya. Lagi nganterin panen dulu. Lumayan musim begini rame, buat tambah-tambah beli beras. Maklumlah nggak punya sawah, Us." Pak Wato terkekeh sembari menyalakan lampu dan membantu kami memasukkan barang-barang juga oleh-oleh untuk keluarganya. "Bukannya kata kamu Nailis kerja di pabrik?" tanya Ayah lagi. "Ya ... apa aja dia mah, Us. Ya kerja di pabrik, jualan, usaha jamur tiram. Kadang ngangkutin hasil panen padi kalau lagi musim, apa aja dilakuin ... maklum kebutuhan banyak." Kali ini ekspresi Pak Wato nampak berbeda. Bahkan sekilas ia melirik padaku ditengah kesibukannya membawa termos besar yang ia lepas dari jok motor putrinya. Perasaanku semakin tak karuan saja, firasatku mengatakan sesuatu akan terjadi beberapa saat lagi. "Lha ada suaminya kan, To. Emang suaminya kerja apa? Bukannya katanya karirnya bagus di Jakarta?" Kali ini ibu yang bertanya. Sementara mulut ini tak memiliki nyali untuk sekedar bersuara atau berbasa-basi. "Sudah lama mereka bercerai," jawab Pak Wato dengan mimik sedih. Berbeda sekali dengan ketika biasanya ia menceritakan tentang Nailis. "Lho? Kapan? Kok kamu nggak pernah cerita sama kita?" Ayah nampak tak percaya. Begitupun ibuku, juga aku tentunya. Mengingat, sudah menjadi kebiasaan Pak Wato menceritakan apapun tentang putri kesayangannya itu. "Panjang ceritanya, nanti kalian juga akan tahu." Perasaanku benar-benar gelisah melihat gerak-gerik Pak Wato yang menurutku aneh, tidak seperti biasanya, yang ceria dan penuh tawa jika sudah berkumpul seperti ini. "Oh iya ... kalian mau minum apa? Oh iya sekalian ... mau pada makan bakso nggak? Ke Wonogiri itu belum afdol kalau belum makan bakso. Dijamin ketagihan," seloroh Pak Wato mulai dengan sisi guyonannya yang biasa. *** Aku memutuskan untuk mandi pertama, hawa dingin memang mulai terasa. Namun lengket di tubuh tak bisa diabaikan. Lagipula aku perlu mempersiapkan mental dan hati untuk bertemu dengan Nailis. Mendengar pernikahannya yang kandas dan perjuangannya banting tulang memenuhi kebutuhan hidup semakin membuat diri dikuasai perasaan bersalah. Perasaanku mengatakan itu semua karena perbuatanku. Kuyakinkan diri bahwa aku harus bertanggung jawab, entah dengan cara apa. Satu yang pasti aku ingin mengakui perbuatan dosaku, meminta maaf padanya. Setelah itu aku siap menerima konsekuensinya, apapun itu. Aku tidak mungkin hidup dengan selalu dibayangi perasaan bersalah seperti ini. Aku harus menerima hukumannya, termasuk jika nantinya orang tuaku memintaku menikah dengan wanita yang bahkan tak aku tahu wajahnya dan tentunya tak aku cintai. Mengenai Amaya ... aku pikirkan nanti. "Mandala, sapa dulu Nailis!" Seruan Ayah membuat tubuhku yang baru kembali dari kamar mandi mendadak membeku. Namun mataku reflek mencari keberadaan gadis yang Ayah maksudkan. Jangan tanyakan bagaimana kabar jantungku saat ini? Serasa aku baru lari maraton ketika langkah kakiku mendekat padanya padahal dengan langkah yang pelan sekali. "Hai." Tenggorokan ini rasanya tercekat ketika wajah itu mendongak dan membiarkan netra kami bertatap tanpa jarak yang berarti. Kutelan saliva susah payah ketika menyadari satu hal. Nailis? Nailis yang dulu dalam bayanganku adalah Pak Wato dalam versi wanita. Bayangan itu musnah berganti dengan kekaguman yang tak dapat kututupi. Aku dibuat terpesona pada gadis yang hanya mengangguk lemah tanpa membalas sapaanku. "Apa kabar?" Kuulurkan tangan dengan netra ini tak lepas dari wajah ayunya. Dia menyambut uluran tanganku singkat. Benar-benar singkat. Sampai rasanya seperti bersentuhan dengan angin. Setelah itu ia seperti berusaha menghindariku. Entah kenapa hati ini terasa sakit. Padahal harusnya itu wajar, setelah apa yang kulakukan padanya. "Ibu tahu Nailis cantik ... tapi nggak usah sampai ngiler juga kali," sindir ibuku tepat sasaran. "Apaan sih, Bu." Kikuk. Tapi mau bagaimana lagi. Apa pantas b******n ini mengaguminya? Tentulah Nailis sangat membenciku. *** Aku sadar. Nailis sengaja menghindariku, bahkan ia tak membiarkan mata sayunya berkontak langsung dengan mata b******n ini. Aku hanya bisa tersenyum miris, menertawakan jiwa pengecutku. Kenapa selama ini kamu diam saja Nailis? Kenapa tidak melaporkanku pada polisi atau pada kedua orang tuaku? Menuntut ganti rugi atau pertanggungjawabanku? Kenapa selama ini dia diam saja? "Anak kamu di mana Nai?" Pertanyaan ibu mewakili rasa penasaranku yang sedari tadi kusimpan. Begitu pengecutnya diriku, nyaliku semakin lenyap sejak kehadiran Nailis. "Sebentar lagi paling mereka pulang," terang Pak Wato. Lagi-lagi dengan senyumnya yang penuh misteri. Mereka yang dimaksudkan adalah istri dan cucunya. Kualihkan tatap pada Nailis. Gadis itu terlihat menunduk dalam gelisah. Entah karena apa? Mungkinkah kehadiranku membuatnya tak nyaman?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN