The Dictator

1532 Kata
Sore itu gerimis turun perlahan. Freya sengaja tidak langsung pulang. Ia menunggu Pak Reza yang sedang mengajar bimbingan TOEFL di LPPMP untuk mengembalikan debit card miliknya. Gadis itu tampak menunggu dengan bosan sembari menimang-nimang ponselnya. Pikirannya tak sengaja flashback saat percakapannya dengan Dannis di telefon. Bagaimanapun juga Dannis adalah seseorang yang pernah mewarnai hidupnya selama empat tahun terakhir ini, dan tidak bisa dipungkiri bahwa perasaannya tetap ada untuk cowok b******k itu meskipun sedikit. Gerimis pun berubah menjadi hujan. Sepertinya ia harus segera pesan taksi online sebelum baterainya benar-benar habis. Freya baru saja hendak mengaktifkan ponselnya saat sebuah suara mengejutkannya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Freya menoleh dengan cepat. Pak Reza berdiri tepat di belakangnya sembari membuka payungnya. Gadis itu lalu menyerahkan debit card, sepasang cincin, beserta nota pembeliannya. “Terima kasih.” Hanya kata itulah yang mampu ia ucapkan karena ia juga bingung hendak bicara apa lagi. Pak Reza hanya menjawab dengan singkat. “Freya!” Suara panggilan itu membuat Freya maupun Pak Reza menoleh bersamaan. Dannis tampak mendekat dan membawa payung untuknya. “Udah gue bilang gak perlu kemari!” gertak Freya. “Kalau begitu saya pergi dulu,” pamit Pak Reza padanya dan Dannis. “Aku antar kamu pulang ya, Sayang. Hujannya deres banget lho,” tawar Dannis. Freya menepis tangan itu dengan kasar. “Kenapa baru datang sekarang? Kemarin-kemarin juga hujan dan kamu nggak peduli tuh! Kemarin kemana aja saat aku hujan-hujanan ke rumah kamu tapi kamu malah keluar dengan....” Freya tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Dadanya terasa sesak, pandangannya mengabur oleh air mata. Bagaimanapun saat itu adalah memori yang sangat ingin ia lupakan dan sangat ingin ia hapus dari ingatannya. Freya lalu menerobos hujan begitu saja. Hanya agar Dannis tidak melihatnya menangis. Tidak. Ia tidak boleh terlihat lemah di depannya atau Dannis akan semakin bangga karena Freya sangat bergantung padanya. “Fre! Dengerin aku dulu. Kamu salah paham!” teriak Dannis sembari mengejar Freya. Freya semakin berlari sekencang mungkin. Ia yakin kalau Dannis bisa mengejarnya dengan cepat kalau ia mau. Toh larinya Freya emang nggak secepat anak cowok. Sayangnya ia tak mendengar suara sepatu Dannis di belakangnya. Hanya suara rintik hujan yang membentur jalan aspal. Air matanya semakin deras mengalir. Freya berhenti mengatur napasnya. Semua tidak ada yang berjalan sesuai keinginannya. Bahkan mimpi sederhananya untuk menikah dengan seseorang yang ia cintai rasanya sudah tak mungkin lagi terwujud. Mungkin dia akan menjadi Siti Nurbaya 2019. Oh ayolah, Freya berusaha menghibur diri. Sebenarnya usianya dengan Pak Reza tidak terpaut jauh. Hanya saja karena Pak Reza terlahir jenius jadi bisa menyelesaikan studinya lebih cepat. Tiba-tiba Freya tersentak. “Sial, laptop gue!” pekiknya sambil mencari tempat untuk berteduh. Seketika ia menyesali keputusan cerobohnya untuk menerobos hujan. Kenapa ia bisa lupa sama sekali kalau membawa laptop sih. Sekarang laptopnya sudah basah kuyup dan entah bakal selamat atau tidak. “Hiks, skripsi gue.” Tetes air hujan tiba-tiba berhenti membasahinya. Freya mendongak. Pak Reza tampak memayunginya. “Masuk mobil!” perintahnya. “Kenapa saya harus nurutin perintah Bapak?” Freya memandangnya kesal. Pak Reza menatapnya datar tanpa ekspresi. “Karena pakaian dalam kamu kelihatan.” Tatapan Pak Reza turun ke pundak Freya, segaris tali tercetak disana. “Hmm, biru ya? Kamu mau jalan-jalan kemana dengan baju terawang begitu?” “Hah?” Freya melotot tak percaya. Ia sungguh tak habis pikir Pak Reza bisa mengucapkan hal seperti itu dengan datarnya. Freya langsung masuk ke dalam mobil, Pak Reza menyusulnya. “Bapak sengaja ngikutin saya ya? Iya kan? Dan asal Bapak tahu ya ini bukan warna biru tapi navy!” protes Freya. Pak Reza menyalakan mobilnya. “Saya tidak ngikutin kamu, tapi kalau kamu mau keluar silakan.” Nih orang gak punya belas kasihan apa. “Dan menurut saya, biru sama navy itu sama saja!” lanjutnya. Freya memilih diam daripada meladeni omongan Pak Reza yang ujung-ujungnya juga hanya membuatnya semakin terpojok. Pak Reza mengambil jasnya dari kursi belakang. “Pakai ini!” Freya menerima jas itu dengan senang hati. “Kenapa? Takut ada cowok lain yang ngelihat daleman saya?” tanya Freya tanpa ingat lagi kalau yang disampingnya ini adalah dosen pembimbingnya. “Enggak, kursinya bisa ikut basah kalau kamu senderan terus kayak gitu! Ntar kalau lembab jadi jamuran lagi!” Freya hampir menjatuhkan rahangnya. Ia melongo tak habis pikir. Rupanya kursi mobil itu lebih berharga daripada harga diri calon istrinya. “Kenapa sih Bapak nggak nikah aja sama Bu Sesil? Bapak kan digosipin deket sama dia. Lagipula di mata Bapak kan saya nggak lebih berharga dari kursi mobil ini!” Freya melemparkan jas Pak Reza kembali ke kursi belakang. Pak Reza tidak terlalu menanggapi ocehan Freya. Ia masih fokus mengemudi dengan tenang. “Besok pagi ikut saya ke butik,” katanya kemudian. “Nggak mau!” “Saya jemput jam delapan.” “Saya bilang nggak mau! Besok saya berencana masuk angin!” Pak Reza menoleh. “Kamu pikir sakit bisa direncanakan? Kalau sakit beneran nanti gimana?” Haatchii!! Freya mengusap hidungnya. Pak Reza segera menyodorkan tissue. “Kenapa karma gue bisa datang secepat ini sih!” sesalnya. “Makannya hati-hati kalau ngomong. Ucapan adalah doa,” tukas Pak Reza membuat Freya bungkam. Pak Reza menghentikan mobilnya di apotik. Ia keluar sendirian karena Freya memilih untuk menunggu di dalam mobil. Tak lama kemudian laki-laki itu kembali. Ia menyerahkan bungkus plastik yang berisi obat flu dan beberapa suplemen pada Freya. “Berapa semuanya?” tanya Freya sambil mengeluarkan dompet. “Semuanya gratis kalau kamu berhenti manggil-manggil saya Bapak ketika kita lagi di luar,” tukasnya. “Why? Jangan bilang pengen dipanggil sayang. Hii, ogah. Gak sudi!” Freya begidik ngeri. Pak Reza berdecak. “Panggil Mas kan bisa!” Freya memilih diam. Ia lagi nggak mau memperdebatkan nama panggilan karena ada hal yang lebih penting. Freya mengecek laptopnya yang tadi sempat tertunda. “Hiks, skripsi gue,” ratapnya saat sudah memencet tombol power berkali-kali namun laptopnya tak juga menyala. “Buat lagi aja. Toh skripsimu yang itu salahnya masih parah banget. Kalau saya boleh bilang sebenernya yang perlu direvisi adalah semuanya. Jadi mending kamu buat lagi saja,” komentar Pak Reza jujur. “Saya nggak sepintar Bapak. Itu saya ngerjainnya saya bela-belain sampe begadang lho, Pak.” “Kepintaran itu hanya menyumbang beberapa persen saja dalam skripsi. Sisanya adalah kemauan dan motivasi!” Arrgghhh! Kapan sih dia nggak ngedebat pendapat gue! *** Seperti yang dikatakannya kemarin. Pak Reza tiba di rumah Freya pukul delapan tettt. Manajemen waktunya bener-bener bagus. Nggak seperti freya yang baru saja bangun tidur. Akhirnya, Pak Reza terpaksa menunggu Freya mandi dan berdandan. Satu jam kemudian Freya sudah siap. Saat ia turun nampak Pak Reza sedang menunggunya sambil bermain game di ponselnya. Freya mengendap untuk melihat jenis game seperti apa yang dimainkan seorang dosen. “Ya ampun, Pak. Hari gini masih main sudoku. Kuno banget sih!” komentar Freya. “Memilih game itu juga yang harus ada manfaatnya!” Freya tidak menjawab dan memilih masuk ke mobil. “Bagaimana flu kamu? Sudah mendingan?” tanya Pak Reza sembari memasang sabuk pengamannya. Freya mengangguk singkat. Toh kalau gue jawab masih flu dia juga tetep maksa gue buat ikut! Pak Reza memarkirkan mobilnya di sebuah butik gaun pengantin. Freya terbelalak tidak percaya. “Pak ini kan butiknya desainer ternama! Bapak nggak salah ngajak saya kesini?” “Jangan panggil saya Bapak! Bisa-bisa orang-orang di dalam ngira kita Bapak dan anak!” Pak Reza berdecak kesal. Freya terbungkam. Bapak dan anak darimananya coba. Kalau Freya boleh jujur sebenernya Pak Reza ganteng kok. Kalau dia ikut kuliah pun masih pantes dan terlihat seperti mahasiswa. Sayangnya dia kaku banget, kayak kanebo kering. Pak Reza mengajaknya masuk. Mata Freya menjelajah pada setiap gaun pengantin yang dipasang di setiap manekin. Pegawai butik itu membantunya mencoba beberapa potong gaun sementara Pak Reza duduk di sofa menunggunya. “Jadi, mana yang kamu suka?” tanya Pak Reza setelah Freya mencoba beberapa potong gaun. “Hmm, semuanya bagus. Saya bingung pilih warna yang gold ini atau yang putih.” Jawab Freya sambil membanding-bandingkan. Pak Reza menghitung mundur. “Five, four, three, two...” “Yang gold aja deh, Kak.” Freya memutuskan pilihannya. “Kami ambil yang putih,” ucap Pak Reza pada pegawai butik itu. “Tolong dibungkusin yang gold aja, Kak.” Freya melirik Pak Reza tajam. Pegawai butik itu tampak kebingungan. “Jadi, yang gold atau yang...” “Yang putih!” Pak Reza memberi keputusan final. “Fre, yang warna gold itu punggungnya terlalu terbuka dan belahan dadanya terlalu rendah. Tidak sopan!” “Tapi, Mas, yang make gaunnya kan saya!” “Yang bayar gaunnya kan saya!” Freya hanya bisa mengerucutkan bibirnya. Pegawai butik itu terlihat menahan tawa mendengar perdebatan kecil mereka. Trus ngapain coba nyuruh gue milih kalau ujung-ujungnya dia juga yang nentuin. Diktator!!! *** Hari sudah menjelang sore saat Freya dan Pak Reza kembali dari percetakan untuk mengambil undangan pernikahan. Freya memandang undangan-undangan itu dengan hampa lalu mengembalikannya ke kursi belakang mobil. “Aku nggak mau ngundang temen-temen aku!” Freya melirik Pak Reza yang sedang menyetir. “Takutnya mereka shock trus serangan jantung, selain itu nanti kampus jadi geger karena temen-temen aku pada ember!” “Itu pilihan kamu! Tapi saya nggak jamin pernikahan ini akan bisa dirahasiakan karena semua dosen, rekan-rekan saya dan ayahmu akan datang.” Freya menjambak rambutnya frustasi. Benar juga! “Dan jangan lupa kalau calon mertua kamu adalah rektor. Akan ada lebih banyak dosen yang diundang dari berbagai fakultas bahkan juga dosen-dosen dari universitas tetangga!” Wajah Freya semakin memucat. “Saya nggak mau tahu! Pokoknya harus dapet MUA yang bisa ngebuats emua orang pangling sama saya!” Pak Reza hanya menggumam malas. “Mas!” “Hmm?” “Ada pesan WA masuk tuh.” Freya melirik ponsel Pak Reza yang berkedip. “Tolong bukain. Saya lagi nyetir!” Pak Reza memberikan ponselnya pada Freya. Ini pertama kalinya Freya membuka w******p seorang dosen. Ia bahkan tidak berani membuka w******p ayahnya. Persis seperti dugaaannya, bisa ditebak kalau isinya kebanyakan adalah para mahasiswa yang minta izin mau bimbingan. Freya pun iseng membuka pesan itu satu per satu. Anjir, balesannya dikopas semua! Pak Reza benar-benar membalas pesan dengan sesingkat-singkatnya, ngirit banget, seolah biaya chatting itu dihitung per hurufnya. Tidak ada diskriminasi, semua mahasiswa diperlakukan sama. Dasar es batu! Dilihat dari cara balesnya aja udah bikin mahasiswa down duluan sebelum bimbingan! “Apa ada pesan penting?” tanyanya. Freya tersentak lalu segera menekan tombol back. “Ada mahasiswi yang pengen bimbingan besok. Mau dibales gimana?” “Suruh ke ruangan saya jam sebelas.” Freya segera mengetik balasan pesan itu. Ia hendak mengembalikan ponsel itu pada Pak Reza, tapi tiba-tiba sebuah ide terlintas di benaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN